CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–4 SKP
Trauma Medula Spinalis: Patobiologi dan Tata Laksana Medikamentosa Yoanes Gondowardaja*, Thomas Eko Purwata** *PPDS I, **Staf Pengajar Bagian/SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK Trauma medula spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen dan mengancam nyawa. Saat ini penggunaan kortikosteroid masih menjadi perdebatan di samping obat-obat baru yang diharapkan mampu memberikan pilihan terapi bagi pasien trauma medula spinalis. Kata kunci: Trauma medula spinalis, kerusakan seluler, kortikosteroid
ABSTRACT Spinal cord injury can cause disability and life threatening condition. Corticosteroid use is still controversial despite newest research. New management guideline recommendation is urgently needed. Yoanes Gondowardaja, Thomas Eko Purwata. Spinal Cord Trauma: Pathobiology and Medical Management. Key words: Spinal cord injury, cellular injury, corticosteroid
PENDAHULUAN Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di USA.1,2 MEKANISME Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, Alamat korespondensi
terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas.3 Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut: 1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi. 2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia. 3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah kapiler dan vena. 4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi tulang.3
Mekanisme kerusakan primer Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer: (1) gaya impact dan kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi, (3) tarikan medula spinalis, (4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma (lihat Gbr. 1).1 Mekanisme kerusakan sekunder Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan
email:
[email protected]
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
567
CONTINUING MEDICAL EDUCATION elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain (lihat Gbr. 2).1 Proses imunologi pada kerusakan sekunder Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino eksitatorik dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor untuk menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom. Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan predominasi inflitrasi neutrofil yang melepaskan enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan memfagositosis sel rusak.1,11 Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini akan memodulasi infiltrasi neutrofil pada lokasi trauma; penggunaan antibodi monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi
mieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen yang meregulasi proses inflamasi, proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi respons imun pada trauma medula spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan sekunder.1,9,11 Apoptosis Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, inflamasi, radikal bebas, dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma, apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya, apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas dan inducible
nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel. Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis factor meningkat pascatrauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF.1,11 Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain aktivasi reseptor μ dan δ opioid dapat memperlama proses eksitotoksik. Aktivasi reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan menginduksi eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin dan serotonin, juga akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel.1,9,11
PRIMARY INJURY
PRIMARY INJURY SYSTEMIC FACTORS • Neurogenic shock • Respiratory failure
LOCAL FACTORS • Vascular effects • Membrane damage • Local compression • Glutamic release • Edema • Inflammation
ISCHEMIA CELLULAR SWELLING
↓O2, glucose, energy failure
Vasospasm Vasospasme
Membrane depolarization
SYSTEMIC FACTORS • Neurogenic shock • Respiratory failure Vascular Effects
Loss of autoregulation, vasospasm, thrombosis, hemorrhage
LOCAL FACTOR
Increase permeability
Glutamate release
Interstitial edema &cord compression
Excitotoxicity
Inflammation
Microglia
Neutrophils
Cytokine release
↑ INTRACELLULAR [Ca2+]
Glutamate receptor activation
ISCHEMIA Caspase & Calpain activation
Proteolysis & cytoskeletal damage
Mitochondrial damage
Permeability transition Cytochrom C release
↓ATP production
Reactive Oxygen Species
Il-6, TNF, IL IL Il-1B
Cell Membrane Damage
Lipolysis
Changes in Membrane potensial& potential ion channel activation
Damage to protein, lipids, DNA dna&& membrane membrane degradation
Changes in gene expression
Apoptosis Reactive Oxygen Species
APOPTOSIS
CELL DEATH CELL DEATH
Gambar 1 Patofisiologi kerusakan primer1
568
Gambar 2 Patofisiologi kerusakan sekunder1
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.4,13 Evaluasi Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas: A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal B: Breathing dan ventilasi C: Circulation dengan kontrol perdarahan D: Disabilitas (status neurologis) E: Exposure/environmental control Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.4,5,8,14 Penatalaksanaan Gawat Darurat Stabilisasi vertebra Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif.4,5,15 Medikamentosa Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler.5,10 Pada tingkat seluler,
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.5,7 Terapi kerusakan primer Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.1,6 Terapi kerusakan sekunder Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat patofisiologi yang sangat variatif.1 Kortikosteroid Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor komplemen yang beredar,
inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofilamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan kematian.1,2,5,15-18 21-Aminosteroid (Lazaroid) 21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan membran sel, namun penggunaannya masih belum terbukti menghasilkan keluaran yang lebih baik.1,5 GM-1 Gangliosid Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel. Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik. Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf
569
CONTINUING MEDICAL EDUCATION pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini.1,13,17 Antagonis opioid Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik tangkap, yaitu golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfin dan norbinaltorfimin) pada hewan coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah, pengurangan influks kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik.1,12,13 Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai fungsi melawan faktor-faktor pengganggu,
s
i tos
Apoptotic Cascades
Phagocytes
Energetics
Cell Respiration
Cytokines
X
Gliosis
Glutamate
Axonal Damage
Calcium
ATP
X
Cytokines Sodium
AMPA NMDA
NonNeuronal Death
Demyelination
AMPA Ion Transport
NO
ROS
icity
Immune Activation
Neuron Death
Axonal Damage
Calcium
Excit otox
Membrane Damage
Cell Respiration
Sodium
Ion Transport
X
X
Vascular Transport
Gliosis
Glutamate
Phagocytes
X
Immune Activation
Neuron Death
ATP
Penyekat Kanal Natrium Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel pascatrauma. Efek obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo menggunakan tetrodotoksin dan golongan lain, seperti QX314, masih belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula penggunaan riluzol oleh Schwartz dan Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan klinis.1,13
Apoptotic Cascades
on
Membrane Damage
Magnesium Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder. Pada tikus dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO4 600 mg/kgBB mempunyai efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked potential dan mempunyai efek mencegah peroksidase lipid, namun untuk memastikan efek pada kondisi klinis sesungguhnya masih dibutuhkan serangkaian uji klinis pada manusia.1,13
B ti ma
N Vascular Transport
terjadi dalam hitungan detik pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran darah regional menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif.1,12
am
op
p o-A ecr
Penyekat Kanal Kalsium Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik, vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium. Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium
Infl
A
seperti opioid endogen, platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid. Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2 mg/ kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik, terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah injury.1,12
NMDA
r
Othe
ROS
NonNeuronal Death
Demyelination
NO
Free Radical
Gambar 3 Patologi komprehensif trauma medula spinalis (TMS) sekunder13 (A) Model hubungan patologi TMS dan respons terapi pada proses trauma sekunder. (B) Model hubungan dinamika patologi TMS sekunder dan strategi terapi pada kerangka waktu yang relevan secara klinis.
570
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Modulasi metabolisme asam arakidonat Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin, dan leukotrien akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit sehingga menimbulkan iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim COX dianggap dapat bermanfaat. Prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda, yaitu vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung dengan indomethacin dan prostasiklin yang dimulai 1 jam pascatrauma memiliki efek lebih menguntungkan dibandingkan dengan naloxon sendiri. Studi lain menggunakan ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog
(iloprost) menunjukkan manfaat terhadap aliran darah.1,13
yang ber fungsi sebagai promotor regenerasi akson.1,13
Strategi pengobatan lain Antagonis serotonin yang bekerja pada reseptor 5HT-1 dan 5HT-2 dalam percobaan memberikan efek cukup baik, begitu pula dengan penggunaan neurotrophic growth factor; antibodi inhibitor degenerasi aksonal telah dicobakan begitu pula dengan transplantasi sel saraf, semuanya memberikan hasil baik sebatas percobaan. Target berikut yang lebih penting adalah memotong jalur apoptosis yang dicetuskan oleh kaspase, seperti inhibitor kaspase-3 serta antiapoptosis protein (BCl-2). Takrolimus (FK56) dapat dipakai sebagai imunomodulator
SIMPULAN Penatalaksanaan trauma medula spinalis masih membutuhkan studi lebih lanjut terkait pilihan medikamentosa terbaik. Penggunaan kortikosteroid membutuhkan kajian lebih mendalam terkait efek samping seperti sepsis dan perdarahan lambung yang dikatakan lebih sering dan lebih berbahaya dibandingkan efek yang diharapkan. Pemahaman biomekanika proses trauma disesuaikan dengan konsep biomolekular kerusakan yang terjadi dapat digunakan sebagai pedoman penatalaksanaan terkait trauma ataupun komplikasi lain akibat kerusakan medula spinalis.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms, clinical neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol. 2001;24:254–64.
2.
Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma medula spinalis. Jakarta: Prikarsa Utama; 2006.
3.
Tjokorda GBM, Maliawan S. Diagnosis dan tatalaksana kegawat daruratan tulang belakang. Jakarta:Sagung Seto; 2009.
4.
Wahjoepramono EJ. Medula spinalis dan tulang belakang. Jakarta: Suburmitra Grafistama; 2007.
5.
Gall A, Stokes LT.Chronic spinal cord injury: management of patients in acute hospital settings.Clin Med. 2008;8:70–4.
6.
Ball PA.Critical care of spinal cord injury. Spine. 2001;26:S27–S30.
7.
David WC,Michael GF.Spinal cord injury a systematic review of current treatment options.Clin Orthop Relat Res. 2010;469:732–41.
8.
Green B. Spinal cord injury, a system approach: prevention, emergency medical service and emergency room management. Crit Care Clin. 2007;3:471-93.
9.
Holtz A,Levi R.Spinal cord injury.New York: Oxford University Press; 2010.
10. Janneke A. Complication following spinal cord injury: occurrence and risk factors in a longitudinal study during and after inpatient rehabilitation. J Rehabil Med. 2007;39:393–8. 11. James SH,Sharan A,Ratliff J. Central cord injury: pathophysiology, management, and outcomes. The Spine Journal. 2006;6:198S–206S. 12. Kanellopoulos GK. White matter injury in spinal cord ischemia: protection by AMPA/kainate glutamate receptor antagonism. American Heart Association. 2000;31:1945–52. 13. Mitchell CS,Lee RH. Pathology dynamics predict spinal cord injury therapeutic success. J. Neurotrauma. 2008;25:1483–97. 14. Rimel RW. An educational training program for the care at the site of injury of trauma to central nervous system. 2001;9:23–8. 15. Schwartz ED, Flanders AE. Spinal trauma: imaging, diagnosis, and management. Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 16. Hadley MN, Walters BC. Introduction to the guidelines for the management of acute cervical spine and spinal cord injuries. Neurosurgery. 2013;72:5–16. 17. Hurlbert RJ, Hadley MN, Walters BC, Aarabi B, Dhall SS, et al. Pharmacological therapy for acute spinal cord injury. Neurosurgery. 2013;72:93–105. 18. Koenig KL. New neurosurgical guidelines warn of harm from steroids in acute spinal injury. Neurosurgery. 2013;71:1.
CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014
571