tradisi merantau di minangkabau pada novel tenggelamnya kapal

Intan Ramadyla Eka Putri, 1112013000004, “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya. Hamk...

6 downloads 717 Views 10MB Size
TRADISI MERANTAU DI MINANGKABAU PADA NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK DAN MERANTAU KE DELI KARYA HAMKA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Intan Ramadyla Eka Putri 1112013000004

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

ABSTRAK

Intan Ramadyla Eka Putri, 1112013000004, “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum. Novel karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli merupakan novel yang menggambarkan dan informasi tentang bagaimana tradisi merantau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi merantau yang terdapat pada dua novel karya Hamka yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terkhusus untuk siswa dalam pembelajaran di sekolah serta menghargai nilai budaya yang terdapat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengutamakan gambaran yang terdapat dalam novel ini dan mengidentifikasi unsur intrinsiknya. Berdasarkan penelitian ini bahwa tradisi merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka adalah: 1) Merantau Pemekaran Nagari, 2) Merantau Keliling, dan 3) Merantau Cino dari ketiga kategori tersebut terdapat lima yang melatarbelakangi merantau tersebut, berikut cakupannya 1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, 2) Pendidikan Perantau, 3) Pekerjaan Perantau, 4) Tempat-tempat merantau yang dituju, dan 5) Tujuan Merantau. Tradisi merantau ini dikategorikan menjadi tiga macam dan mempunyai masing-masing pengertian dan fungsinya. Kata Kunci : Merantau, Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli, dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

i

ABSTRACT

Intan Ramadyla Eka Putri, 1112013000004, “Tradition wander in Minangkabau on a Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and Merantau ke Deli by Hamka and Its Implications for Learning Indonesian Language and Literature in School,” Departement of Education Indonesia Language, Fakulty of Science and Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor : Ahmad Bahtiar, M.Hum. Novel written by Hamka titled Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and Merantau ke Deli described about wander tradition. These two novels tell the information about culture and tradition in Padang. This research is aimed to find information about the wander tradition that exist in the two novels written by Hamka. The writer hopes that would give advantages for the reader especially senior high school students so that they could more appreciate Indonesian culture. This research used qualitative descriptive method that concern in describing the content and identificate the intrinsic side. Based on this research, the writer concludes that wander tradition that is told in the novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and Merantau ke Deli written by Hamka are: 1) Merantau Pememekaran Nagari, 2) Merantau Keliling, dan 3) Merantau Cino. From those three wander’s types there are five things that become the reason why people do wander. These are those reasons 1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, 2) Pendidikan Perantau, 3) Pekerjaan Perantau, 4) Tempat Merantau yang Dituju, and 5) Tujuan Merantau. The wander tradition is categorized as three types and each type has its own definition and function. Keywords : Wander, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and Merantau ke Deli, and implication for learning Indonesian language and literature in schools.

ii

KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan atas ke Hadirat Allah swt. karena telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dan Implikasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. shalawat serta salam sudah sepatutnya mengiringi kepada Baginda Nabi Muhammad. yang telah membawa kita kepada zaman yang dulu gelap gulita hingga sekarang terang di semesta alam. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dalam penulisan ini penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, semangat, dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Toto Edidarmo, MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Bapak selama ini sehingga penulisa dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Papa Ir. Dadang Heryawan dan Mama Lia Amalia tercinta yang selalu memberikan doa restu dan dukungan baik motivasi maupun material

iii

kepada penulis untuk selalu bersemangat dalam penyusunan skripsi ini serta selalu memberikan kasih sayang sampai detik ini yang tiada hentinya serta Defajar Dwi Putra Heryawan, adikku yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. “Teh, semangat ya mengerjakan skripsinya!” tidak lupa selalu mengucapkan kalimat itu, penulis selalu terdorong untuk mengerjakannya. 6. Teman-temanku Eneng Intan Lestari, Fitri Hera Febriana, Syarifah Aliya, dan Ami Septiani. Mereka adalah teman sejawat dari semester satu sampai sekarang selalu memberikan dukungan dan selalu motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian juga sukses selalu. 7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya kelas A. Terima kasih pengalaman dan pembelajaran yang berharga yang penulis dapatkan selama ini. 8. Pihak sekolah SMP IT ANNUR Cikarang Timur yang selalu memberikan kesempatan untuk bimbingan ke kampus, selalu memberikan motivasi dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini dan murid-murid SMP IT ANNUR Cikarang Timur yang selalu mendukung dan mengingatkan penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi ini. 9. Achmad Muchlis Shiddiq, S.Pd.I selaku rekan kerja, sahabat, teman, kakak yang selalu mendukung, memberikan motivasi, dan nasihat yang sangat membangun ketika penulis merasa putus asa. Pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas kalian semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Jakarta, 6 Maret 2017

iv

Penulis

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ................................................................................................................................ i ABSTRACT .............................................................................................................................. ii KATA PENGANTAR .............................................................................................................iii DAFTAR ISI............................................................................................................................ v BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 6 C. Pembatasan Masalah ..................................................................................................... 6 D. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6 E. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6 F. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 7 G. Metode Penelitian ......................................................................................................... 8 1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................. 9 2. Objek Penelitian ...................................................................................................... 9 3. Sumber Data........................................................................................................... 10 4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................................... 11 5. Teknik Analisis Data.............................................................................................. 11 BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................................ 12 A. Hakikat Novel .............................................................................................................. 12 B. Struktur Novel .............................................................................................................. 16 C. Sosiologi Sastra............................................................................................................ 24 v

D. Tradisi Merantau di Kebudayaan Minang ................................................................... 25 E. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah ..................................................................... 32 F. Penelitian yang Relevan ............................................................................................... 35 BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ....................................................................... 37 A. Biografi Hamka ............................................................................................................ 37 B. Sinopsis Novel ............................................................................................................. 39 1) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck .................................................................... 39 2) Merantau ke Deli ................................................................................................... 41 C. Karya dan Pemikiran Hamka ....................................................................................... 43 BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS ........................................................... 50 A. Unsur Intrinsik Novel .................................................................................................. 50 1) Tema ...................................................................................................................... 50 2) Alur ........................................................................................................................ 57 3) Tokoh ..................................................................................................................... 74 4) Latar ....................................................................................................................... 95 5) Sudut Pandang ..................................................................................................... 106 6) Gaya Bahasa......................................................................................................... 108 7) Amanat ................................................................................................................. 110 B. Analisis Pembahasan Tradisi Merantau pada Novel Hamka ..................................... 112 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ................................................. 131 BAB V PENUTUP................................................................................................................ 134 A. Simpulan .................................................................................................................... 135 B. Saran .......................................................................................................................... 136 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 137 RIWAYAT PENULIS

vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan semata, seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, pematangan, dan langkah-langkah tertentu yang akan berbeda antara sastrawan satu dengan sastrawan yang lain untuk menghasilkan karya sastra yang baik.1 Sastra memiliki bahasa yang indah, makna yang berkesan, dapat menghibur para pembacanya untuk kepuasan batin. Jika para pembaca merasakan kepuasan batin maka karya sastra tersebut bisa dikatakan dengan karya yang memiliki hasil yang baik dan isi yang berkualitas. Sehingga sastrawan berhasil dalam menciptakan sebuah karya sastra. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Sebagaimana kita pahami, novel merupakan suatu karya fiksi yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata, tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan detail rekaan. Novel berbentuk prosa merupakan bentuk pengungkapan dengan cara langsung, tanpa rima dan tanpa irama yang teratur. Novel tidak berbentuk begitu saja, dalam novel bisa dijumpai elemen-elemen puitis ataupun mencantumkan puisi di dalamnya. Sekalipun terlalu tergesa-gesa jika berasumsi bahwa bahasa yang digunakan dalam novel adalah bahasa seharihari atau bahasa yang sering dijumpai dalam tulisan-tulisan nonfiksi.2 Sehingga tidak semua novel menggunakan bahasa yang baku atau menggunakan bentuk seperti puisi atau pantun, tetapi novel bisa saja

1

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 74. Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h. 2. 2

1

2

menggunakan bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari yang terdapat pada tulisan nonfiksi. Novel bersifat naratif, yang artinya adalah ia lebih bersifat “bercerita” daripada “memperagakan”. Ciri yang satu ini membedakan antara novel dan drama, yang penceritaannya lebih banyak mengandalkan peragaan dan dialog. Selain itu, novel memiliki apa yang disebut dengan tokoh, perilaku, dan plot. Dengan kata lain, novel melibatkan sejumlah orang yang melakukan sesuatu dalam suatu konteks total yang diatur atau dirangkai dalam urutan logis, kronologis dan sebab-akibat.3 Novel memang hampir sama dengan drama, mempunyai jalan cerita yang berurutan sesuai logika, memiliki tokoh dan karakter. Tetapi yang dijelaskan sebelumnya yang membedakan hanyalah fungsi, jika novel lebih kepada cerita dan drama berfungsi sebagai “peraga”. Perkisahan dalam novel memiliki unsur tentang percintaan, pendidikan, perjuangan atau nasionalis, keagamanaan, kebudayaan, dan politik. Unsur tersebut sangat penting dalam penceritaan sebuah novel. Hal tersebut mencerminkan bahwa masyarakat adalah sebagai makhluk berbudaya, yang selalu mengalami kehidupan dengan perubahan dan perkembangan dalam sebuah tuntutan kebutuhan dalam kehidupan. Tatanan kebudayaan menempati posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan hukum sosial yang lainnya dan menjadi sebuah tolok ukur dalam mengambil sebuah keputusan.4 Jika dihubungkan antara kebudayaan dan cerita pada novel, sastrawan bisa saja mengambil ide cerita dari pengalaman kebudayaan merantau tersebut untuk dijadikan sebuah karya sastra. Salah satu sastrawan yang karya sastranya sering membahas tentang adat budaya, keagamaan atau keislaman, percintaan dan politik adalah Hamka. Berkat kecemerlangan otak dan kebiasaannya membaca buku, serta sadar akan keberadaannya sebagai putra dari ulama yang mahsyur, Hamka tidak lupa untuk belajar agama dan sastra. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama singkatan HAMKA. Hamka menulis novel yang tidak terlepas dari 3

Ibid, h. 3 – 4. Hamka, Ayahku, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1982), h. 8 – 9.

4

3

penceritaan tentang keagamaan, kisah percintaan, adat budaya, dan kedudukan sosial. Hal yang lebih menarik dari novel-novel karya Hamka yaitu mengisahkan tokohnya selalu merantau dari darek5 ke nagari baik untuk mengadu nasib yang lebih baik, menjadi pedagang, bahkan mencari jodoh di luar dari daerah asalnya. Hamka berbeda dengan sastrawan lainnya, beliau masih sangat kental sekali dengan budaya dan daerahnya sendiri sehingga pada karya sastranya masih merujuk kepada hal tersebut. Tidak hanya budaya dan daerah, Hamka masih menyuguhkan sebuah cerita pada novelnya yang menampilkan keagamaan. Agama menjadi prioritas utamanya, karena Hamka merupakan putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah seorang tokoh yang dikenal sebagai pembaharuan Islam.6 Diantara novel beliau yang sangat kental akan budaya Minang atau Padang adalah Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Adat Minangkabau menghadapi Revolusi (1946). Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli termasuk ke dalam sekumpulan karya-karya yang dilahirkan oleh Buya Hamka yang terkenal di bidang kajian sastra yang telah mendunia dan tidak hanya itu kalangan masyarakat juga mengagumi setiap kali membaca karyanya, sehingga novel Buya Hamka tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat yang bersifat religius.7 Hamka menggugah keindonesiaan khalayak pembaca melalui kisah cinta dan perkawinan yang tragis antara tokoh Poniem (Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli (1940). Melalui Merantau ke Deli, Hamka tidak saja mengkritik Minangkabau dari dalam, tetapi juga mulai memperkenalkan kemungkinan menciptakan Indonesia yang utuh melalui

5

Darek adalah tanah asal dari orang Minangkabau yang menurut legenda merupakan keturumam Raja Iskandar Zulkarnain. (kutipan ini terdapat pada buku yang berjudul Adat Minangkabau dan Merantau penulisnya Tsuyoshi Kato) 6 Jamal D. Rahman dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 79. 7 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2002), h. 326 – 327.

4

pembauran antaretnik melalui hubungan perkawinan. Bagi Hamka agama yang penting walaupun berlainan etnis, asal sama-sama Islam boleh menikah, asalah itu membawa kebahagiaan. Perkawinan antara sesama Minang belum menjamin kebahagiaan. Di samping kepercayaan yang kuat terhadap agama Islam, ciri-ciri khas yang sering kali dihubungkan dengan orang Minangkabau ialah merantau dan adat, khususnya adat yang berciri matrilineal (nasab ibu). Hamka kembali mengangkat tema lain dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton secara berkala pada Pedoman Masjarakat di Medan, 1938. Dalam novel tersebut, Hamka mengambil tema melalui tokoh Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin, pemuda Bugis yang berayah Minangkabau dan beribu Bugis menurut sistem matrilineal Minangkabau, Zainuddin adalah orang Bugis, bukan orang Minangkabau.8 Kemudian pada novel Merantau ke Deli Hamka menceritakan seorang tokoh utama, yaitu Leman untuk merantau bertujuan mencari pekerjaan yang layak dan mencari jodoh di luar adatnya. Dengan merantau, orang Minangkabau mulai bertemu dengan berbagai kelompok etnik di Indonesia, yang mempunyai bahasa dan tradisi yang saling berlainan. Minangkabau secara umum, dilukiskan dalam beberapa novel yang mempunyai ciri-ciri yang sama, yang ditulis oleh pengarang Minangkabau sepanjang tahun 1920-an dan 1930-an. Hampir semua pengarang ini memiliki pengalaman merantau. Demikian pula dengan tokoh utamanya dalam novel tersebut adalah perantau. Novel-novel ini sering membincangkan secara sepintas lalu adat Minangkabau, seperti perkawinan, kawin paksa, poligami, dan sistem matrilineal. Dalam karya Hamka, tokoh laki-laki tersebut diceritakan oleh Hamka masing-masing melakukan perantauan. Pada novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Zainuddin merantau ke Surabaya untuk bekerja dan berniat menjauh dari Hayati dan tokoh Leman pada novel Merantau ke Deli, memang merantau ke Deli untuk bekerja. Konsep merantau yang diangkat oleh Hamka, 8

Kompas. “Kritik, Sastra, Etnisitas, Agama dan Kebangsaan”. SURYADI Dosen Studi Indonesiadi Leiden University Institute forArea Studies, Leiden, Belanda. Diunduh pada hari Selasa tanggal 28 Oktober 2015 pukul 21.54 WIB.

5

yang dipahami oleh para pembaca adalah melakukan sesuatu dengan mencari kehidupan yang lebih baik atau pergi berkelana. Hubungannya dengan Minangkabau, kata merantau selalu dipahami dalam arti, yaitu meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan, ilmu

pengetahuan,

dan

kemahsyuran.

Kebiasaan

merantau

orang

Minangkabau bukan semata-mata merupakan akibat proses urbanisasi belakangan ini, tetapi sudah berakar dalam sejarah Minangkabau. Novel-novel karya Hamka mampu memberikan amanat atau pesan bagi para pembaca tidak terkecuali untuk pelajar di sekolah khususnya yang sedang mempelajari tentang materi novel. Karya Hamka sangat banyak sekali mengajarkan pendidikan agama, budaya, dan akhlak yang baik. Implikasi dan pembelajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat bagi siswa sekolah yang ingin mengetahui unsur intrinsik dari novel karya Hamka dan memahami isi dari cerita novel tersebut. Dalam penelitian ini, tradisi merantau adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian yang terjadi pada tokoh laki-laki, kemajuan pendidikan di antara masing-masing tokoh, pekerjaan-pekerjaan para perantau, tempattempat yang dituju dan tahun berapa merantaunya, serta tujuan tokoh laki-laki untuk merantau merupakan sebuah penelitian yang berjudul “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli Karya Hamka dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah.” Penulis juga mencoba memasukkan pandangan sosiologi dalam menganalisis historis masyarakat Minangkabau agar lebih jelas. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas yang sudah dijelaskan, maka muncul berbagai identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Kurangnya minat siswa terhadap membaca sebuah novel serius dibandingkan dengan novel populer. 2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik yang terdapat pada novel.

6

3. Kurangnya pemahaman siswa tentang latar belakang budaya dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka. 4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap tradisi Merantau pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka. 5. Kurangnya implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas. C. Pembatasan Masalah Mengingat masalah-masalah yang muncul sangat kompleks, maka diperlukan pembatasan masalah yang akan dibahas. Selain itu, pembatasan masalah dilakukan agar pembahasan lebih fokus. Maka, penelitian ini dibatasi dapat dilihat sebagai berikut : 1.

Pemahaman terhadap tradisi Merantau pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka.

2.

Pemahaman implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.

Bagaimana tradisi Merantau pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka?

2.

Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan tradisi Merantau dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka. 2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. F. Manfaat Penelitian Untuk melihat kualitas penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan menambah wawasan

7

dalam bidang kesusastraan bagi pembaca karya sastra. Manfaat yang dimiliki penilitian ini ada manfaat teoretis dan manfaat praktis. Oleh karena itu manfaat yang diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini memiliki manfaat untuk Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar untuk meningkatkan kemampuan analisis siswa dalam pembelajaran sastra. Terutama dalam memberikan gambaran bagaimana etnis dan budaya pada daerah-daerah yang masih sangat kuat dan kental dalam suku budayanya serta mengetahui konsep merantau.

2.

Manfaat Praktis a. Bagi siswa SMA, adalah siswa dapat mengambil inti cerita pada novel, mencari kekurangan dan kelebihannya pada resensi novel. Kemudian dalam implikasi pembelajarannya siswa dapat berlatih membuat karya-karya dan mampu mengapresiasikannya. b. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif membuat karya ilmiah di dunia sastra dan pendidikan. c. Bagi peneliti, diharapkan memberikan pengarahan terhadap remaja untuk berperilaku yang semestinya dengan menuntun nilai akhlak, agama dan berpikir positif. d. Penelitian ini diharapkan untuk menumbuhkan minat para pembaca agar lebih meningkatkan kemampuan dan mengkaji sebuah karya sastra.

G. Metode Penelitian Kata metode berasal dari kata methodos (bahasa latin), sedangkan methodos sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah. Sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan

8

rangkaian

sebab-akibat

berikutnya.

Metode

berfungsi

untuk

menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dapat dipecahkan dan dipahami.9 Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati.10 Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi dapat disimpulkan bahwa deskriptif menyajikan data, menganalisis data dan menginterpretasi.11 Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif, dimana peneliti dihadapkan dengan dua buah novel, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angkaangka. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang mendorong motode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Tujuan dengan penelitian kualitatif deskriptif ini untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh kecermatan dalam menggambarkan suatu hal. Metode kualitatif pada dasarnya sama dengan metode hermeneutika. Artinya, baik metode hermeneutika, kualitatif, dan analisis isi, secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskriptif.12

9

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Cetakan ke-5 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 34. 10 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 4. 11 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2004), h. 44. 12 Nyoman Kutha Ratna, Op.Cit. h. 46 – 47.

9

Sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Oleh karena itulah, penelitian kualitatif dipertentangkan dengan penelitian kuantitatif yang bersifat bebas nilai atau angka. Dalam ilmu sosial sumber datanya adalah masyarakat, data penelitiannya adalah tindakantindakan sedangkan dalam ilmu sastra sumber datanta adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Untuk melalukan penelitian tentang budaya dan tradisi merantau pada daerah Padang, perlu dilakukannya penelitian secara dalam melalui sosial yang terdapat pada masyarakat terutama para peneliti awalan/amatiran yang baru akan belajar mandiri. Beberapa ragam metodologi penelitian dalam ranah kajian media dan budaya yang semakin berkembang.13 1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian tidak ada, karena penelitian ini tidak terikat pada satu tempat maupun waktu karena objek yang dikaji berupa analisis sebuah naskah (teks) sastra. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan struktural dan mengetahui budaya Minang. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah apa yang menjadi perhatian dari suatu penelitian. Sasaran untuk mendapatkan suatu data sesuai dengan pendapat, objek penelitian menjelaskan tentang apa dan siapa yang menjadi objek penelitian. Dapat disimpulkan bahwa objek penelitian adalah ruang lingkup yang merupakan pokok persoalan dari suatu penelitian. Kali ini objek penelitiannya adalah konsep dan tradisi merantau yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1936) dan Merantau ke Deli (1937) karya Buya Hamka.

13

Rachmah Ida, Metodologi Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. (Jakarta : Prenada Media Group, 2014), h. 9.

10

3. Sumber Data Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini ada dua macam sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Secara sumber data primer yaitu materi yang berkaitan langsung dengan penelitian atau sumber pokok, sebagai berikut : a. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dengan 223 halaman karya Buya Hamka cetakan keenam belas diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, Jakarta tahun 1936. b. Merantau ke Deli, dengan 194 halaman karya Buya Hamka diterbitkan oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta tahun 1937. Selanjutnya selain sumber data yang digunakan penulis, sumber sekunder pun melengkapi pembuatan penelitian ini oleh penulis misalnya beberapa buku-buku teori sastra, beberapa hasil penelitian mengenai sosiologi sastra, novel, penelitian ilmiah sebelumnya mengenai novel ini serta melalui artikel dan jurnal, atau media lainnya. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik menelaah, teknik kepustakaan, teknik simak, dan teknik catat. Berikut penjelasan masing-masing teknik. 1)

Teknik menelaah yaitu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

2)

Teknik kepustakaan yaitu ilmu tentang sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian, dokumen digunakan untuk mencari data-data mengenai variabel yang berupa catatan, transkip, buku, majalah, gambar, dan datadata yang bukan angka-angka.

3)

Teknik simak atau disebut juga teknik sadap yakni penyadapan sesuatu yang digunakan seseorang atau beberapa orang informan dalam upaya mendapatkan data.

4)

Teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan peneliti ketika menerapkan metode simak.

11

5. Teknik Analisis Data Untuk menjawab rumusan masalah, teknik pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu sosiologi sastra. Penelitian ini terfokus pada analisis sosiologi karya dan sastra dengan cerminan masyarakat. Langkah kerja dalam penelitian ini antara lain: 1) peneliti membaca teks sastra yang diteliti secara intensif, yaitu pembacaan berulang-ulang; 2) mencari data serta mengklasifikasikan data sesuai dengan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti melalui studi pustaka; 3) melakukan analisis struktur pada novel Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang meliputi analisis tema, alur, amanat, penokohan, gaya bahasa, dan sudut pandang; 4) mendeskripsikan kemudian menganalisis gambaran mengenai tradisi merantau di daerah Minangkabau yang terdapat pada tiga novel tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra; 5) peneliti menarik simpulan pada setiap hasil analisis. Hal ini untuk menjawab rumusan seluruh masalah dalam penelitian ini.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Hakikat Novel Karya sastra, yang berbentuk novel, cerpen, dan puisi adalah karya imajinatif, fiksional, dan ungkapan ekspresi pengarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi karya sastra yang diberikan dan dapat diterima oleh anak-anak sekolah menengah pertama hingga sekolah lanjutan atas.1 Maksudnya adalah di mana ketika para pembaca khususnya anak-anak remaja mereka dapat memahami apa yang dimaksud pengarang karena bersifat imajinatif dan berupa ekspresi yang pada umumnya. Novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman : novelle) kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama. Dalam penceritaan suatu karya ada unsur-unsur yang penting sebagai pembangun cerita yaitu tokoh, latar tempat, latar waktu, dan peristiwa-peristiwa.2 Roman lebih banyak melukiskan seluruh hidup pelaku-pelaku, mendalami sifat-sifat watak mereka, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup. Pelakupelakunya dilukiskan dari mulai kecil hingga akhir hidupnya. Sedangkan novel tidak mendalam lebih banyak melukiskan suatu saat, suatu episode dari kehidupan seseorang yang isinya lebih terbatas dari roman.3 Roman dan novel memang sama, hanya saja yang membedakan alur ceritanya jika roman penceritaannya dari tokoh tersebut lahir, kemudian adanya konflik hingga penyelesaian bahkan sampai tokoh 1

Dwi Susanto S.S., M.Hum., Pengantar Teori Sastra, (Jakarta : CAPS, 2012), h. 32. Melanie Budianta, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). (Magelang: Indonesiatera, 2003). h. 85. 3 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung : UPI PRESS, 2006), hlm. 89. 2

12

13

tersebut meninggal dan bisa menceritakan beberapa konflik tidak hanya satu beda halnya dengan novel, jika novel hanya menceritakan satu konflik saja. Pada dasarnya novel menceritakan gambaran kehidupan dan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial dan fenomena sosial itu bersifat nyata yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Karya sastra adalah karya yang dimaksudkan oleh pengarang sebagai karya sastra, berwujud karya sastra, dan diterima oleh masyarakat sebagai karya sastra.4 Maksudnya adalah bagaimana seorang sastrawan dapat menciptakan hasil karya sastra dengan baik agar karyanya tersebut bisa diterima dan dipahami oleh para pembaca. Sastrawan memberi makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap dipahami oleh pembaca. Tidak lepas dari realitas kehidupan masyarakat, budaya dan adat istiadat juga hadir dalam penceritaan dalam novel. Oleh karena itu karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Sebagai genre sastra, novel ternyata telah banyak menarik perhatian dan minat banyak kalangan. Dari perspektif historis, novel memiliki garis perkembangan

yang

membentang

ke

belakang,

ke

tradisi-tradisi

fiksi

pendahuluannya.5 Novel merupakan sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks. Sedangkan pengertian lain, cerita fiksi dalam bentuk prosa dengan panjang kurang lebih satu volume yang menggambarkan tokoh-tokoh dan perilaku yang merupakan cerminan kehidupan nyata dalam plot yang berkesinambungan. Novel merupakan suatu bentuk karya sastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. 4

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:PT.Grasindo, 2008), h. 92. Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h. 1. 5

14

a. Macam-macam Novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Burhan Nurgiyantoro membedakan novel menjadi dua bagian, yaitu novel populer dan novel serius. 1) Novel Populer Kayam dalam Nurgiyantoro mengatakan bahwa sebutan novel populer atau pop mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70’an. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai novel pop. Kata “pop” diasosiasikan dengan kata “populer”, mungkin karena novelnovel itu sengaja ditulis untuk selera populer yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagai suatu barang dagangan populer dan jadilah istilah pop itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra.6 Sastra dan musik populer sebagai kelanjutan dari istilah “populer” yang sebelumnya telah dikenal dalam dunia sastra dan musik adalah semacam sastra dan musik yang dikategorikan sebagai hiburan dan komersial ini menyangkut apa yang disebut selera orang banyak atau selera populer. Pop sastra di dunia barat condong pada sastra baru yang inovatif, eksperimental yang tidak saja dalam hal gaya manipulasi bahasa dan penjajahan tema yang sebebas mungkin walau tidak menutup kemungkinan untuk komersial. Sebagai kebailkan sastra populer itu adalah sastra yang serius, literatur. Sastra serius, walau dapat juga bersifat inovatif dan eksperimental, tidak akan dapat menjelajah sesuatu yang sudah mirip dengan “main-main”.7 2) Novel Serius Novel serius merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dan diapresiasi oleh akademis sastra. Dalam sejarah sastra, 6 7

Ibid. h. 17. Ibid. h. 17 – 18.

15

novel yang bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel serius harus sanggup memberikan suatu kesan yang mendalam tentang hakikat kehidupan. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan.8 Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat mengikuti para pembaca. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca. Jika ingin memahami novel serius dengan baik maka diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertakan dengan kemauan untuk memahaminya. Novel jenis ini, di samping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.9 Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli dapat dikategorikan sebagai novel serius dan dapat diteliti oleh akademis sastra. Materi dan tema yang terdapat pada novel ini bukan hanya tentang percintaan saja tetapi terdapat permasalahan yang serius, terlebih tentang ada dan tradisi sebagai bahan pembelajaran setiap akademis sastra yang membacanya. Novel mempunyai ukuran panjang tertentu. Sebuah puisi sebagai contoh, bisa hanya terdiri dari dua baris saja, atau sampai ribuan bait. Akan tetapi, sebaliknya kita akan merasa kurang pas kalau menyebut cerita yang panjangnya hanya empat puluh sampai lima puluh halaman sebagai novel. Tentu permasalahan sebenarnya bukan terletak pada panjang pendeknya suatu karya. Masalahnya adalah bahwa 8 9

Ibid. h. 19. Ibid. h. 18 – 19.

16

sebuah novel harus melibatkan penggalian suatu permasalahan manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga mengharuskan adanya perlakuan cukup rumit. Dengan demikian, dalam praktiknya bila suatu cerita memiliki panjang berkisar antara dua puluh sampai tiga puluh halaman kita sebut sebagai cerita pendek (cerpen), sedangkan cerita yang ukuran panjangnya berada antara cerpen dan novel, yaitu antara empat puluh sampai seratus halaman, kita sebut novela.10 Sebagai cerita fiksi, novel mempunyai unsur-unsur cerita yaitu tema, amanat, alur, tokoh, latar/setting, sudut pandang, dan gaya bahasa. Selain itu memiliki struktur cerita, baik berupa struktur cerita konvensional maupun struktur cerita sorot balik atau flashback.11 B. Struktur Novel Berbagai macam pendekatan ditawarkan seperti yang telah dikemukakan Abrams, salah satu diantaranya pendekatan objektif. Pendekatan objektif atau struktural digunakan dengan maksud untuk menjaga keobjektifan sebuah karya sastra, sehingga untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis dan lepas pula dari efeknya pada pembaca.12 Dari pernyataan tersebut melalui pendeketan objektif kita dapat menganalisis sebuah karya sastra sesuai dengan keaslian atau keabsahan pada unsur-unsur yang terdapat pada sebuah karya sastra itu sendiri tanpa menggabungkan dari latar belakang sejarah maupun pengarangnya. Teori struktural merupakan teori kritik sastra objektif. Dikemukakan Abrams bahwa ada empat pendekatan pada karya sastra, yaitu pendekatan (1) pendekatan mimetik, yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik, yang menganggap bahwa karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekpresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan); dan (4)

10

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Op.Cit. h. 4. Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung : UPI PRESS, 2006), h. 86. 12 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:PT.Grasindo, 2008), h. 185. 11

17

pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Strukturalisme dalam penelitian sastra memusatkan perhatiannya pada elemen atau unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Maka dari itu, pendekatan objektif identik dengan pendekatan strukturalisme yang bertujuan memaparkan fungsi dan keterkaitan antarelemen karya sastra. Unsur-unsur instrinsik inilah yang melahirkan karya sastra hadir sebagai karya, diantaranya tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, amanat dan gaya bahasa.Adapun unsurunsur intrinsik dari sebuah novel adalah sebagai berikut: a) Tema Kata tema seringkali disamakan dengan pengertian tentang topik, padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Topik merupakan pokok pembicaraan sedangkan tema merupakan suatu gagasan utama, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam fiksi. Tema sering juga disebut dengan ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita. Tema merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah keseluruhan.13Tema juga merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang atau yang terdapat dalam puisi.14 Tema menyangkut ide cerita dan keseluruhan isi yang tersirat dalam karya sastra. Tema ini biasanya berkaitan dengan pengalamanpengalaman kehidupan sosial, cinta, idiologi, maut, religius dan sebagainya.15 Menciptakan sebuah tema hal tidak mudah untuk mendapatkannya. Sastrawan harus memiliki banyak ide atau kreatif yang tinggi untuk mendapatkan tema yang pas dan berkualitas yang akan dikembangkan menjadi sebuah cerita. Sama halnya dalam pembelajaran di sekolah, ketika pembelajaran

13

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), h. 67 – 68. 14 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT.Grasindo, 2008), h. 124. 15 Ibid, h. 161.

18

mengarang siswa disuruh untuk menentukan tema atau ide pokok yang akan dikembangkan. Siswa sangat sulit mendapatkan tema tersebut. b) Alur/Pengaluran Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.16 Setiap tahapan peristiwa ke tahapan selanjutnya harus saling berkesinambungan, berurutan secara logis. Definisi lainnya alur adalah jalinan peristiwa yang bergerak mulai awal sampai dengan akhir cerita. Sebagai sebuah rangkaian cerita, alur selalu menampilkan konflik-konflik. Konflik bisa berupa konflik internal yaitu konflik yang terjadi pada diri tokoh dan konflik eksternal yaitu konflik tokoh dengan sesuatu di luar tokoh. Konflik eksternal bisa terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, ataupun manusia dengan Tuhan. Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis memakai pendapat Burhan Nurgiyantoro yang dikemukakan oleh Tasrif, tahapan-tahapan dalam alur dijelaskan menjadi lima bagian, tahapan tersebut sebagai berikut. 1) Tahapan Penyituasian Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikasihkan pada tahap berikutnya. 2) Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri yang akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

16

Ibid, h. 159.

19

3) Tahap Peningkatan Konflik Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya

emakin

berkembang

dan

dikembangkan

kadar

intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita emakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindarkan. 4) Tahap Klimaks Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian. 5) Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah mencapai klimaks diberikan penyelesaian. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, dan konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut juga sebagai tahap akhir dari sebuah cerita.17 c) Latar Latar dapat diartikan sebagai landasan pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.18 Latar memiliki tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial yang 17

masing-masing

mempunyai

permasalahan

yang

berbeda.

Latar

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), h. 9 – 10 18 Ibid., h. 216.

20

memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. `

`

Latar atau setting adalah gambaran yang terdapat cerita fiksi mengenai tempat, waktu maupun peristiwa yang bersifat fisikal maupun psikologis.19 Latar atau setting menyarankan pada pergantian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar sangat penting untuk memberikan gambaran kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang sungguh-sungguh terjadi. Unsur latar dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan sebagai berikut. 1) Latar tempat Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. 2) Latar waktu Latar waktu berkaitan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Adanya latar waktu membantu pembaca masuk ke dalam suasana cerita. Selain itu, dengan adanya acuan waktu akan mempermudah pembaca memahami cerita. 3) Latar sosial Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Kehidupan sosial masyarakat meliputi berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, seperti : kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan lain sebagainya. d) Tokoh Tokoh adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan

19

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 148.

21

selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Tokoh berkaitan dengan siapa yang diceritakan, siapa yang melakukan sesuatu, siapa yang mengalami sesuatu, siapa yang membuat konflik, dan lain sebagainya. Peristiwa dalam cerita dialami oleh tokoh atau pelaku. Jadi, unsur tokoh sama pentingnya dengan unsur alur dan lainnya. Masing-masing tokoh dalam cerita tentu memiliki watak atau karakter yang berlainan. Pemberian karakter pada tokoh dinamakan penokohan. Sehingga penokohan dapat dikatakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan sebuah cerita. Penokohan memiliki arti yang lebih luas dari tokoh karena penokohan merupakan pelukisan bagaimana perwatakan tokoh-tokohnya dan memberikan gambaran yang jelas pada pembaca. Jenis-jenis tokoh sebagai berikut. 1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh cerita dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus (mendominasi sebagaian besar

cerita).

Tokoh

utama

ini

adalah

tokoh

yang

diutamakan

penceritaannya. Tokoh tambahan merupakan tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dengan porsi yang relatif pendek. 2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang umumnya kita kagumi karena menampilkan sesuatu yang sesuai pandanganpandangan dan harapan-harapan pembaca. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik, umumnya tokoh ini berposisi dengan tokoh protagonis. Akan tetapi, konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak selalu hanya disebabkan oleh tokoh antagonis, tetapi juga disebabkan oleh hal-hal lain, seperti bencana alam, aturan sosial, dan sebagainya.

22

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dibedakan tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Tokoh sederhana bersifat datar, monoton, atau hanya mencerminkan satu watak tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki berbagai kemungkinan sisi kehidupan, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya dan sering memberikan kejutan bagi pembaca. 4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Berdasarkan kriteria berkembang dan tidaknya, tokoh cerita dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis merupakan tokoh yang tidak mengalami perubahan, sedangkan tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang mengalami perubahan sejalan dengan peristiwa dan plot yang dikisahkan.20 e) Sudut Pandang Sudut pandang menuju kepada cara sebuah cerita dikisahkan. Bagaimana pengarang menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi. Jadi, sudut pandang adalah strategi, teknik, atau siasat yang dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.21 Pembagian sudut pandang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku” Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona pertama artinya pengarang berlaku sebagai pelaku, ia ada dalam cerita tersebut. Pengarang adalah si Aku, tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya, mengisahkan peristiwa yang dialami, dilihat, didengar, dirasakan, dan diketahuinya, serta mengisahkan sikapnya terhadap tokoh lain kepada

20 21

Ibid, h. 150. Ibid, h. 151.

23

pembaca. Pembaca dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si Aku tersebut. 2) Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia” Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga artinya pengarang berlaku sebagai narator, yaitu seseorang yang berada di luar cerita dan menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya. Sudut pandang persona ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu “dia” mahatahu dan “dia” terbatas. Dalam sudut pandang mahatahu, pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” mahatahu. Pengarang bersifat mahatahu, mengetahui tentang berbagai hal,

tokoh,

peristiwa,

dan

tindakan

termasuk

motivasi

yang

melatarbelakanginya. Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Sudut pandang orang pertama biasanya menggunakan tokoh “aku” sekaligus sebagai pencerita. Sudut pandang orang kedua adalah pencerita mengajak berbicara orang kedua. Orang kedua dalam cerita tersebut bisa tokoh lain, bisa juga “pembaca” atau “pendengar” di dalam karya sastra. Sudut pandang orang ketiga adalah sastrawan menggunakan pencerita yang sama sekali tidak terlibat dalam cerita. Penceritanya berada di luar cerita. f) Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.22 Pada setiap akhir cerita pada novel tidak semata-mata hanya memberikan kepuasan batin untuk para pembaca, tetapi memberikan pesan moral atau amanat yang disampaikan untuk para pembaca.

22

Wahyudi Siswanto, Op.Cit. h. 142-162.

24

g) Gaya Bahasa Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus. Yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi

jelas

tidaknya

tulisan

pada

lempengan

tadi.

Karena

perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata.23 Seorang pengarang yang sudah berpengalaman akan mempunyai gayanya sendiri dalam mengolah bahasanya ke dalam cerita agar disukai oleh pembaca. Menurut Hendry Guntur Tarigan, sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai maka gaya bahasa dibagi menjadi empat kelompok yaitu, perulangan, perbandingan, pertautan, dan pertentangan.24 Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkansuatu benda atau hal tertentu dengan benda hal lain yang lebih umum. Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. C. Sosiologi Sastra Sebelum menjelaskan sosiologi dengan sastra, yang kemudian berdisiplin menjadi sosiologi sastra, berikut akan dijelaskan pengertian sosiologi sebagai bidang ilmu. Sosiologi sastra merupakan sosiologi yang mempunyai dua akar kata, socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos (dari bahasa Yunani) yang berarti ilmu tentang. Secara harfiah sosiologi berarti ilmu tentang pertemanan. Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai studi tentang dasardasar keanggotaan sosial (masyarakat). Secara lebih teknis, sosiologi adalah analisis mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interkasi sosial. Sosiologi Sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubunganya dengan realitas dan aspek sosial 23

Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 112. Henry Guntur Tarigan. Pengajaran Gaya Bahasa. (Bandung: Percetakan Angkasa, 2009). h. 4.

24

25

kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra adalah ilmu yang memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra. Faktor sosial diutamakan untuk mencermati karya sastra. Sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.25 Berdasarkan pengertian di atas, sosiologi sastra hakikatnya adalah interdisipliner antara sosiologi dengan sastra, keduanya memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat. Adapun definisi sosiologi sastra yang merepresentasikan hubungan interdisiplin ini, yang masuk dalam ranah sastra, mencakup pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspekaspek

kemasyarakatannya,

pemahaman

terhadap

karya

sastra

sekaligus

hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya dan hubungan dialektika antara sastra dengan masyarakat.26 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra objek kajian utamanya adalah sastra, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, sastra, maupun pembaca dalam relasi hubungan dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca. D. Tradisi Merantau di Kebudayaan Minang Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, karena menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk kebudayaan, kecuali

25

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Tim Redaksi CAPS, 2011), h. 5 – 8. 26 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 4 – 5.

26

tindakan yang sifatnya naruliah saja yang bukan merupakan kebudyaan.27 Tindakan yang berupa kebudayaan adalah kebudayaan dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui proses sosialisasi dan alkuturasi. Banyak definisi tentang kebudayaan, kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.28 Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua berdasarka pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta dan objek-objek materi.29 Menurut Ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal.”30 Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh sebagai anggota masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dari adatistiadat. Hal itu disebabkan nilai budaya dianggap bernilai, berharga dan paling

27

Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 20. 28 Ibid, h. 141. 29 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 18. 30 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 181.

27

penting dalam kehidupan bagi masyarakat bahkan menjadi pedoman hidup yang memberi arah.31 Koentjaraningrat menyebutkan adat istiadat sebagai kebudayaan abstrak atau sistem nilai, adat istiadat merupakan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Anggota masyarakat yang melanggarnya akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan.32 Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakat. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Hukum nilai adat yang sering didengar di dalam masyarakat mengandung empat unsur berikut. a) Adat sebenar adat, datang dari Yang Mahakuasa, semenjak dahulu sampai sekarang tidak berubah. b) Adat istiadat, ialah peraturan-peraturan atau yang dikeluarkan oleh penguasa adat (ninik mamak, penghulu, ulama), seperti adat peminangan/adat menikah. c) Adat yang diadatkan, ialah bulat kata karena mufakat, unsur musyawarah sangat diperlukan dalam menghadapi sesuatu yang bersendi kepada alur dan patut.

31

Rahmat Subakti Mahdi. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: CV. Rajawali, 1984). h. 166 –

167. 32

Lia Rachmawati, Hakikat Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat, dan Peraturan. (Jakarta : Intimedia Ciptanusantara, 2011), h. 16.

28

d) Adat yang teradat, ialah adat yang sudah biasa atau terbiasa di daerah itu karena tiru meniru, sperti perhelatan, pakaian, dan perhiasan.33 Adat yang terdapat di Minang adalah merantau. Merantau sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan masyarakat Minangkabau. Kata rantau sendiri pada awalnya bermakna, wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau (tempat awal mula peradaban Minangkabau). Peradaban Minangkabau mengalami beberapa periode atau pasang surut. Aktivitas orang-orang dari wilayah inti ke wilayah luar disebut “merantau” atau pergi ke wilayah rantau. Lama kelamaan wilayah rantaupun jadi wilayah Minangkabau. Akhirnya wilayah rantau menjadi semakin jauh dan luas, bahkan di zaman modern sekarang ini wilayah rantau orang Minangkabau bisa disebut di seluruh dunia, walaupun wilayah tersebut tak akan mungkin masuk kategori wilayah Minangkabau namun tetap disebut “rantau”. Gusti Asnan menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul Kamus Sejarah Minangkabau, ada dua pengertian merantau yang dapat dipahami di Minangkabau. Pertama, Merantau dipahami sebagai pergi meninggalkan kampung halaman untuk berbagai keperluan serta dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Kedua, Merantau sebagai perubahan pemikiran atau transformasi pemikiran dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya ini disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau, yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, ialah keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Ini dapat dihubungkan sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak menggunakan tanah itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin dapat menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinear. Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap

33

Ibid. h. 46.

29

di tempat lain.34 Orang Minang memang ada di mana-mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura. Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui proses transmigrasi diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh-tokoh asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim. Mochtar Naim memaparkan, bahwa merantau adalah “migrasi”, tetapi “merantau” adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Barat manapun. Dilihat dari sosiologi, istilah ini sedikitnya mengandung enam unsur pokok sebagai berikut. a. Meninggalkan kampung halaman b. Dengan kemauan sendiri c. Untuk jangka waktu lama atau tidak d. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman e. Biasanya dengan maksud kembali pulang35

34

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1985), h. 242. Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013) h. 3. 35

30

Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat/pekerjaan/jabatan. Istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah

kelahiran.

Definisi

sederhana

ini

tidak

sepenuhnya

menunjukkan

kompleksitas arti merantau sebagai fenomena sosial dan sejarah. Umpamanya, tentu ingin tahu siapa yang meninggalkan kampung halaman, dengan alasan apa, untuk berapa lama, dan daerah mana yang ditujunya. Menurut Kato pada bukunya yang berjudul Adat Minangkabau dan Merantau, berpendapat bahwa merantau dibedakan menjadi tiga jenis cara merantaunya atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau: Merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler), dan merantau Cino (merantau secara Cina). Cara-cara merantau ini secara kasar digolongkan ke dalam tiga periode sejarah: pemekaran nagari dari masa legenda hingga awal abad ke-19, merantau keliling dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, dan merantau Cino mulai dari 1950-an sampai sekarang. Dalam tradisi merantau, perlu diketahui bahwasannya apa saja yang memberikan pengaruh dan yang melatarbelakangi perantauan mereka, seperti adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, kemajuan pendidikan para perantau, pekerjaan-pekerjaan utama perantau, tempat-tempat merantau yang biasa dituju, dan tujuannya mereka merantau.36 1. Merantau Pemekaran Nagari Merantau untuk pemekaran nagari merupakan monilitas geografis untuk membuka perkampungan baru. Biasanya alasan yang paling

36

Tsuyoshi Kato, Adat Minagkabau dan Merantau, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 116.

31

utama adalah kurangnya tanah untuk digarap dan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Pekerjaan di tempat yang baru pun masih ada hubungannya dengan pertanian. Perpindahan dilakukan oleh satu kelompok matrilineal di bawah pimpinan kepala kelompok tersebut. Perpindahan dimaksudkan untuk tinggal menetap di tempat yang baru. Hubungan antara tempat yang lama dan yang baru kadang-kadang dipertahankan. Akan tetapi, ini bukan bersifat penting dari pemekaran nagari, khususnya sesudah lama waktu berlalu. 2. Merantau Keliling Merantau keliling dilakukan oleh lelaki, baik yang sudah menikah maupun yang bujangan. Selain terbatasnya lahan pertanian (yang disebut faktor pendorong), mobilitas mereka dipengaruhi oleh adanya kesempatan-kesempatan di tempat lain (faktor penarik) dan juga oleh hasrat pribadi. Jenis merantau ini mengarah ke kota-kota yang jaraknya tidak terlalu jauh. Pekerjaan yang dicari bukan dalam bidang pertanian, mereka adalah saudagar, pegawai kantor, guru, dan pengrajin. Meskipun seseorang lelaki telah menikah, istri dan anak-anaknya ditinggalkan di kampung. Hubungan dengan kampung asalnya tetap dijaga. Ia sering pulang, sekali atau dua kali dalam setahun, lain dari pihak ibu. Novel-novel Minangkabau menunjukkan pola hubungan antara perantau dan masyarakat Minangkabau pada saat merantau keliling sangat dominan. Perantau meninggalkan kampung halaman untuk mencari rezeki di Batavia, Medan, Deli atau tempat-tempat lainnya. Merantau keliling membuka jalan baru pada kekuasaan, kekayaan, pengetahuan, dan martabat. Pada tahap awal merantau keliling, biasanya laki-laki berpindah secara sendirian, sebagian sebabnya adalah karena hubungan suami-istri belum begitu terdengar dan karena mamak masih memegang kekuasaan yang agak kuat terhadap kerabat perempuan mereka.

32

3. Merantau Cino Merantau Cino pada umumnya, tetapi tidak semestinya, berhubungan dengan keluarga inti. Keluarga inti dapat saja berpindah sebagai satu kelompok atau sseorang suami, sesudah pindah, dapat menyuruh istri dan anak-anaknya untuk menyusul kemudian. Seorang bujangan yang merantau dapat pulang dan menikah di kampung halaman untuk kemudian membawa istrinya pindah ke tempat perantauannya. Secara psikologis para perantau Cino merasa dekat dengan kampung halamannya, tetapi hubungan secara fisik tidak sering dilakukan. Merantau Cino dapat melibatkan lebih dari satu keluarga inti, misalnya ikut pula keluarga suami atau orang tua istri.37 Secara tradisional, daerah-daerah dalam pengaruh Minangkabau disebut Alam Minangkabau. Rantau merupakan daerah yang berbatasan dengan dunia luar dan melaluinya ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan kepada Alam.38 Maksudnya adalah ditentukan oleh batas alam atau batas yang dibuat oleh manusia. Nagari adalah suatu unit teritorial yang mempunyai struktur politik. Nagari adalah unit pemukiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat. Untuk menjadi suatu nagari, suatu pemukiman harus memiliki berbagai fasilitas, seperti jalan raya, tempat mandi untuk umum, balai adat, masjid, lapangan terbuka untuk hiburan dan olahraga. E. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah Kata sastra pada awalnya sebenarnya adalah kesusastraan, akan tetapi orang lebih suka menggunakan istilah sastra. Kata kesusastraan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu susastra dengan memperoleh imbuhan ke-an. Kata su berarti baik atau indah dan kata sastra berarti tulisan atau karangan yang indah dan baik, semua tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memiliki beberapa funsgi bagi kehidupan manusia diantaranya. 37 38

Ibid. h. 13 – 15 . Ibid. h. 21.

33

1. Fungsi reaktif, yaitu fungsi atau manfaat yang memberikan rasa senang, menghibur, dan gembira. 2. Fungsi didaktif, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat mengarahlan dan mendidik pembaca karena mengandung nilai-nilai moral. 3. Fungsi estetika, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat memberikan keindahan bagi pembaca karena bahasanya yang indah. 4. Fungsi moralitas, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat membedakan moral yang baik dan tidak baik bagi pembacanya karena sastra yang baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. 5. Fungsi religiusitas, yaitu fungsi atau manfaat yang mengandung ajaran-ajaran agama yang harus diteladani para pembaca. Pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam praktiknya, pengajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra. Berdasarkan hal di atas, pembelajaran sastra mencakup hal-hal sebagai berikut, 1) menulis sastra; menulis puisi, menulis cerpen, menulis novel, dan menulis drama, 2) membaca sastra; membaca karya sastra dan memahami maknanya, baik terhadap karya sastra yang berbentuk puisi, prosa, maupun naskah dramanya, 3) menyimak sastra; mendengarkan dan merefleksikan pembacaan puisi, dongeng, cerpen, novel, dan pementasan drama, 4) berbicara sastra; berbalas pantun, deklamasi, mendongeng, bermain peran berdasarkan naskah, menceritakan kembali isi karya sastra, dan menanggapu secara lisan pementasan karya sastra. Pendidikan tentang sastra adalah pendidikan yang membahas tentang sastra. Pendidikan ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi pembelajaran sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastram kajian teks sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Pembelajaran novel dalam kompetensi dasar diharuskan peserta didik memahami unsur intrinsik dan eksrinsik dalam novel. Memahami unsur intrinsik

34

novel, diperlukan untuk memahami susunan peristiwa-peristiwa, hubungan antarperistiwa, dan letak konflik serta bagaimana klimaknya. Mempelajari dengan baik berbagai contoh tokoh dan karakter setiap tokoh.39 Novel juga diharapkan dapat membantu membentuk karakter peserta didik sesuai dengan kurikulum 2013, yakni guru diharuskan menanamkan nilai-nilai karakter dalam sebuah pembelajaran di kelas. Berdasarkan kurikulum 2013 terdapat tujuan pembelajaran sastra yang telah dijabarkan dan diharapkan pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara keseluruhan yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. 1. Membantu Keterampilan Berbahasa Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu peserta didik berlatih keterampilan membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Sastra berkaitan dengan semua aspek manusia dan alam secara keseluruhan. Setiap karya sastra menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan. 3. Mengembangkan Cipta dan Rasa Dalam pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan bersifat sosial, serta yang bersifat religius. 4. Menunjang Pembentukan Watak Ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam dan mampu mengantarkan siswa untuk mengenal rangkaian kehidupan. Kedua, pembelajaran sastra hendaknya dapat memberkan

39

Hindun. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar. (Depok: Nufa Citra Mandiri, 2013), h. 53.

35

bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter.40 Penelitian ini memfokuskan pada tradisi merantau dalam dua novel karya Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Merantau ke Deli. Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan contoh yang baik, sehingga mampu membimbing peserta didik membentuk karakter dan tingkah laku serta memberikan pengetahuan tentang kebudayaan minang khususnya tradisi merantau. F. Penelitian Relevan Sebelum penulis menganalisis novel ini, beberapa penulis lainnya sudah pernah menganalisis novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Ka’bah dengan berbeda judul dan beda pendekatan, diantaranya adalah pertama Nilai-nilai Pendidikan Islam Bagi Remaja Dalam Roman Karya Buya Hamka: Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah karya Buya Hamka. Tesis yang ditulis oleh Sawaluddin dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru pada tahun 2012 menceritakan tentang masalah pokok dalam penelitian ini adalah apa sajakah Nilai-nilai pendidikan Islam bagi remaja yang tedapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan bagaiamana implementasi nilai-nilai Pendidikan Islam bagi Remaja yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van DerWijck, dan di bawah Lindungan Ka’bah. Penelitian kedua skripsi, Konstruksi Gender dan Perjodohan pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Kabah karangan Buya Hamka dalam Lingkup Budaya Minang dengan Teori Sosiologi Sastra. Ditulis oleh Dian Lestari mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontruksi gender dan perjodohan yang terdapat pada kedua novel karya Hamka.

40

B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius, 1992) h. 15.

36

Penelitian ketiga, yaitu “Memandang Poligami di Merantau ke Deli” oleh Ulfa Rahma Tania mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2014. Skripsi ini membahas tentang poligami, Poniem sebagai isteri pertama yang dinikahi oleh Leman. Kemudian Leman meminta izin kepada Poniem untuk menikah lagi dengan Mariatun, dengan bijaksana dan ketabahannya Poniem ihklas jika dia akan di poligami. Poligami dahulu dianggap menguntungkan bagi para kaum laki-laki, namun sekarang poligami digambarkan tidak lagi indah dan bahkan membawa petaka bagi Leman. Penelitian yang terakhir yaitu skripsi Merantau ke Deli : Analisis Tokoh Wanita tahun 2015 oleh Estu Murniasih salah seorang mahasiswi Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, jurusan Sastra Indonesia yang dosen pembimbingnya

Sapardi

Djoko

Damono.

Analisis

dari

Estu

bertujuan

mengungkapkan aspek sosial budaya dua tokoh wanita yang ada dalam novel Merantau ke Deli menggunakan metode deskriptif analitis dan pendekatan instrinsik. Novel karya Hamka banyak sekali yang meneliti sebelumnya, khususnya novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli. Perbedaan dengan penelitian ini yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis akan meneliti sebuah tradisi merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka. Berdasarkan dari tinjauan sebelumnya, penulis belum menemukan adanya penelitian tradisi merantau terhadap kedua novel ini. Adapun persamaannya hanya pada metode deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Kemudian menyertakan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA A. Biografi Hamka Pribadi seseorang dapat diketahui setelah melihat dan membaca perjalanan hidupnya dan rekam jejak usahanya. Pribadi dapat dikatakan bahwa suatu kumpulan sifat dan kelebihan diri yang menunjukkan kelebihan seseorang daripada orang lain sehingga ada manusia besar dan manusia kecil. Kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita, dan bentuk tubuh. Hai itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain.1 Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia. Hamka juga diberikan sebutan dengan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (Tajdid) di Minangkabau. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat tanggal 17 Februari 1908. Riwayat pendidikan Hamka pertama kali di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di Surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka seorang pelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik baik Islam maupun Barat. Kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, 1

Hamka. Pribadi Hebat. (Jakarta: Gema Insani, 2014) h. 4.

37

38

dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Prancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee dan Pierre Loti. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Sejak muda, Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberikan gelar si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopratono, dan KH Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Hamka sangat gemar sekali membaca buku, hal itu membuat Hamka semakin kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada. Oleh karena itu, di usia yang sangat muda Hamka sudah melalang buana.2 Hamka bekerja sebagai guru Agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadyah, Padang Panjang dari tahun 1957 – 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam di Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo di Jakarta. Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu Hamka sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di tanah Air. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Alim melantik Hamka sebagai ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Aktivitas Hamka selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan di beberapa sebuah berita kabar, seperti Pelita Andalas, 2

M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung : Mizan, 1993), hlm. 201 – 202.

39

Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Kemudian pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid). Pada tahun 1950, ia mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke berbagai negara daratan di Arab. Sepulanya itu, Hamka menulis beberapa roman, antara lain Mandi Cahaya di tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman lainnya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setelah itu Hamka menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita. Hamka meninggal pada umur 73 tahun, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981 Hamka telah pulang pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan Agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. B. Sinopsis 1) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya meninggal dunia. Ia diasuh oleh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi. Setibanya di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampainya di sana, ia begitu gembira, namun lamalama kebahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harapkan. Ia masih dianggap orang asing.

40

Sudah beberapa lamanya dia hidup di Padang dan saat itulah ia bertemu dengan Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat menyurat, kemudian mereka pun menjadi semakin dekat dan akhirnya saling mencintai. Kabar kedekatan mereka terebar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang, sebab di keluarga Hayati merupakan keturuan terpandang maka hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati dengan alasan demi kebaikkan Hayati, mamak Hayati meminta Zainuddin untuk pergi meninggalkan Negeri Batipuh. Zainuddin dengan berat hati menuruti kemauan mamak Hayati. Zainuddin dan Hayati berjanji untuk saling setia dan terus berkirim surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz kakaknya Khadijah. Aziz tertarik dengan kecantikan Hayati. Tidak lama kemudian Mak Base meninggal dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnya rombongan dari pihak Aziz yang juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati. Kemudian dengan terpaksa Hayati menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih terpandang dan beradab. Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut apalagi kata sahabatnya Muluk, Aziz adalah seorang yang tidak baik moralnya. Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit. Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal dengan masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya dan ia pun menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan dan

41

secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah di rumah Zainuddin karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikkan Zainuddin. Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat perminta maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya saja. Keesokan harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck. Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertuliskan “Aku Cinta Engkau dan Kalau ku Mati adalah Kematianku di Dalam Mengenang Engkau.” Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati. Saat sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung kaget dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati. Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati sedang terbaring lemah sambil memegangi foto Zainuddin dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pendiam dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebelahan dengan makam Hayati. 2) Merantau ke Deli Suatu ketika Leman dapat bertemu dengan wanita yang dicarinya itu, namanya Poniem. Poniem seorang kuli di kebun itu yang berasal dari tanah Jawa. Poniem adalah istri “piaraan” dari mandor besar. Poniem masih muda dan mempunyai banyak barang emas. Leman mengajak Poniem untuk menikah dengannya, sehingga Poniem mau walaupun sempat ragu-ragu. Mereka ketemuan di Siantar, kemudian Leman dan Poniem lari ke kota Modean bersama dengan barang emas yang dimiliki Poniem untuk menikah di rumah tuan Kadhi. Sebelum mereka pergi, Leman diberi nasihat oleh Bagindo Kayo

42

seorang yang lebih tua di perantauan itu. Mereka berangkat ke rumah tuan Kadhi pada hari itu juga. Menikahlah dengan sah secara Islam. Mereka telah lama menikah dan sempat mengalami krisis ekonomi karena dagangan suaminya tidak berjalan dengan lancar, sehingga membuat Poniem merasa kasihan pada suaminya. Poniem menjual barang emasnya yang melekat di tubuhnya yang tersisa hanyalah sepasang anting yang melekat pada telinganya. Seiring berjalannya waktu usaha dagangan suaminya semakin maju dan terus mau. Kesejahteraan sepasang suami istri ini terdengar sampai ke kampung Leman. Sehingga banyak orang-orang dari kampung Leman yang datang ke temoat Leman dan mengakungaku keluarga Leman. Leman dan Poniem menolong semua orang-orang yang datang ke rumahnya sehingga dapat berdiri sendiri. Suatu ketika datanglah seorang anak muda bernama Suyono yang mencari pekerjaan untuk bertahan hidup ke kedai Leman, dan dia dijadikan orang kepercayaan penjaga kedai oleh Leman karena sifatnya yang baik dia berasal dari Jawa. Sudah lama menikah tetapi Leman dan Poniem belum dikaruniai anak. Datanglah waktunya Leman untuk pulang ke kampungnya dan membawa istrinya, Leman dan Poniem pulang ke kampung halaman Leman disambut dengan hangat oleh orang kampung Leman. Poniem disambut hangat oleh perempuan dan oranorang di sana karena sifatnya yang lembut dan baik tetapi sayangnya Poniem bukan berasal dari orang awak. Dalam suasana di kampung Leman mendapatkan hasutan untuk menikah lagi dengan orang sekampungnya yang bernaa Mariatun yang masih segar bugar dan perawan serta lebih muda dari pada Poniem. Akhirnya Leman menyetujui pernikahan itu. Setibanya Leman dan istrinya di rumah kedainya. Leman berjanji kepada Poniem tidak akan mengabaikannya dan selalu menjaga perasaannya sebagai istri pertama. Namun janji tinggal janji. Istri mudanya jauh lebiih pandai berdandang, merayu, dan merebut perhatian Leman supaya lebih mencintainya. Pertengkaran pun mulai terjado. Perdagangan Leman yang selama ini dibantu Poniempun hendak dikuasai oleh istri muda. Leman yang serba salah pada mulanya lama kelamaan mulai memihak kepada istri mudanya.

43

Pertengkaran hebat yang terjadi memaksa Leman menceraikan Poniem. Sejak hari itu Poniem meninggalkan rumahnya dan merantau ke Deli. Kegiatan perdangan Leman mulai mengalami kerugiaan, ditambah lagi dengan sikap tamak istri yang baru. Barulah Leman menyadari, selama ini dia banyak terbantu oleh ketekunan Poniem dalam berdagang. Tetapi semua sudah terlanjur terjadi. Poniem akhirnya menemukan jodoh barunya yang lebih memahami dan menghargainya. Suyono salah satu seorang pekerja di kedai Leman. Mereka memulai berdagang kembali dengan sedikit modak yang ada pada mereka. Usaha dagang mereka maju hingga mereka sanggup membeli rumah dan tanah. Sementara itu Leman dan istri mudanya semakin hari semakin jatuh miskin. Pertemukan kembali Leman dan Poniem terjadi ketika Poniem dan Suyono telah membeli rumah di Deli. Leman meminta maaf kepada Poniem atas kesalahannya dulu. Dengan lapang hati Poniem memaafkan kesalahan mantan suaminya itu. C. Karya dan Pemikiran Hamka 1. Karya-karya Hamka Sebagai seorang yang berpikiran maju, Hamka tidak hanya merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam cerama agama, tetapi ia juga menuangkannya dalam berbagai macam karyanya berbentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Sebagai penulis yang sangat produktif, Hamka menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku. Beberapa di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut: a. Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat antara tahun 19371937 karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian dibukukan.

Dalam

karya

monumentalnya

ini,

ia

memaparkan

pembahasannya ke dalam XII bab. Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf. Kemudian secara berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan

44

utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qonaah, kebahagiaan yang dirasakan rosulullah, hubungan ridho dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah. Karyanya yang lain yang membicarakan tentang tasawuf adalah ”Tasawuf; Perkembangan Dan Pemurniaannya”. Buku ini adalah gabungan dari dua karya yang pernah ia tulis, yaitu ”Perkembangan Tasawuf Dari Abad Ke Abad” dan ”Mengembalikan Tasawuf Pada Pangkalnya”. b. Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiri dari XI bab. Pembicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegang pemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja (penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman. secara tersirat, buku ini juga berisi tentang pemikiran Hamka terhadap pendidikan Islam, termasuk pendidik. c. Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai buku ini dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian pada bab berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam berbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkan tentang undang-undang alam atau sunnatullah. Kemudian tentang adab kesopanan, baik secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnya makna kesederhanaan dan bagaimana cara hidup sederhana menurut Islam. Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagi kehidupan manusia, selanjutnya tentang keadilan dan berbagai dimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana mencari dan membina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakan Islam sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satu alat yang Hamka gunakan untuk mengekspresikan pemikirannya tentang pendidikan Islam. d. Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkan pemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagai kewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial, hak atas harta

45

benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim, kewajiban dalam keluarga, menuntut ilmu, bertanah air, Islam dan politik, Al-Qur’an untuk zaman modern, dan tulisan ini ditutup dengan memaparkan sosok nabi Muhammad. Selain Lembaga Budi dan Falsafah Hidup, buku ini juga berisi tentang pendidikan secara tersirat. e. Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab. Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut mana mencari Tuhan, dan rukun iman. f. Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yang paling monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika ia menjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisan Tafsir Al-Azhar dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang i’jaz Al-Qur’an. Kemudian secara berturut-turut dijelaskan tentang i’jaz Al-Qur’an, isi mukjizat Al-Qur’an, haluan tafsir, alasan penamaan tafsir Al-Azhar, dan nikmat Illahi. Setelah memperkenalkan dasar-dasar untuk memahami tafsir, ia baru mengupas tafsirnya secara panjang lebar. g. Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang kepribadian dan sepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rosul. Hamka melukiskan perjuangan umat pada umumnya dan khususnya perjuangan ayahnya, yang oleh Belanda diasingkan ke Sukabumi dan akhirnya meninggal dunia di Jakarta tanggal 2 Juni 1945.3 h. Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakan autobiografi Hamka. i. Islam dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan kritikannya terhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya tak sesuai dengan perkembangan zaman. 3

Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi. (Bandung: Nuansa, 2007), hlm. 62.

46

j. Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan upaya untuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dari Islam era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abad pertengahan. Ia pun juga menjelaskan tentang sejarah masuk dan perkembangan Islam di Indonesia. k. Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dan kenegaraan Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studi Islam,

dan

perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasi PBB dan Islam. l. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas tentang perempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan keberadaannya. m. Si Sabariyah (1926), buku roman pertamanya yang ia tulis dalam bahasa Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1979), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau Ke Deli (1977), Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah Kehidupan, Salahnya Sendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru, Cermin Kehidupan. Sebagai pendidik, Buya Hamka telah membuktikan mampu menunjukan bukti menyakinkan akan keberhasilannya. Walaupun tidak menjadi pendidik dalam arti guru profesional, ia memancarkan secara keseluruhan sikap mendidik sepanjang hidupnya. Ini adalah karakteristik yang umum di kalangan ulama, karena salah satu etos yang paling umum dianut adalah keharusan menjadikan diri contoh dan teladan moralitas keagamaan. Dalam Ta’lim Al-Muta’allim merumuskan etos itu dengan singkat; jadilah penuntut ilmu atau pengajarnya! Ini sepenuhnya tercermin dalam setiap aspek kehidupan Hamka. Watak mendidik itu akhirnya mencapai titik optimalnya ketika ia menjadi Ketua Umum MUI, dan berpuncak pada ”efek mendidik” dalam setiap ia mengeluarkan keputusan. Penunaian tugas sebagai pendidik itu dipermudah oleh ketekunananya menjalankan peribadatan perorangan, yaitu dengan kebiasaannya untuk bangun dini hari guna menunaikan sholat subuh, bahkan sembahyang tengah malam ketika orang lain beristirahat, terutama pada usia lanjut, dan keteraturan irama hidupnya mendukung dengan kuat fungsi yang kemudian ditunaikannya secara pribadi sebagai pendidik. Kerja mendidik yang dijalaninya secara fisik itu menjadi wahana yang serasi bagi

47

pesan-pesan keagamaannya yang jelas sekali bernada mendidik pula. Efektivitas pesanpesan itu tercermin dari kenyataan, bahwa apa yang dikumandangkan Hamka bagaikan terpaku pada sejumlah tema dasar, seperti perlunya dikembangkan kasih sayang sesama muslimin, perlunya sikap saling menghormati dengan orang lain. perlunya solidaritas yang jujur antara sesama warga masyarakat, dan seterusnya. Karena Hamka hanya membatasi diri pada fungsi mendidik masyarakat secara umum, lalu menjadi sulit kerja mengukur kedalaman persepsinya sendiri tentang fungsi yang dilakukannya itu. Dengan kata lain, kualitas hasil didikannya sulit untuk diukur kualitasnya. Ini berarti efektivitas Hamka sebagai pendidik adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan diterima berdasarkan pengamatan lahiriah, tanpa dapat dibuktikan secara ilmiah menurut kriteria yang beragam yang dikembangkan oleh ilmu pendidikan sendiri. Kini, kenang-kenangan tentang ulama, penyair, sastrawan, dan filosof bernama lengkap Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkat Hamka itu, bisa ditemui di kampung halamannya: Nagari Sungai Batang Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat (Sumbar). Ratusan buku karangan Hamka, semenjak novel fiksi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah, sampai kepada buku filsafat seperti Tasawuf Modern dan Falsafah Hidup, bahkan karyanya yang sangat fenomenal Tafsir Al-Azhar yang diselesaikan ketika Buya dipenjara tanpa alasan yang jelas oleh rezim Soekarno bisa ditemui di museum rumah kelahiran Buya Hamka tersebut. 2. Pemikiran Hamka tentang Adat Minangkabau Hamka adalah seorang pemikir kritis. Buku yang berjudul Ayah karya Irfan Hamka anak kelima dari almarhum. Buku tersebut menggambarkan tentang perjalanan Hamka dari masa muda, dewasa, menjadi seorang ulama, kemudian sastrawan, politisi, menjadi seorang kepala rumah tangga, hingga menggambarkan ajal menjemputnya. Ketika Hamka menjadi seorang sastrawan banyak buku yang ditulisnya mengenai adat istiadat di Minangkabau. Hamka menulis novel tersebut banyak mengritik tentang sistem matrilineal dan tradisi merantau di Minangkabau. Novel yang menceritakan sistem matrilineal ada pada novel Tenggelamnya kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Bawah Lindungan Kabah. Novel

48

tersebut jelas terlihat sosok Hamka sangat menolak keras tentang adat tersebut yang dikisahkan pada tokoh-tokoh di dalam novel. Pada tahun 1946, Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), putra terkenal dari seorang ulama yang dihormati bernama Haji Rasul, Hamka menerbitkan sebuah buku lainnya yang berjudul Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Dalam buku ini Hamka mengusulkan agar adat atau sister matrilineal harus digantikan dengan sistem yang beroriebtasikan prinsip patrilineal, yang menurut pendapatnya lebih sesuai dengan keadaan yang sekarang dan sama dengan adat lainnya yang ada di Indonesia. Pada buku yang berjudul Adat Minangkabau dan Merantau karya Kato dipaparkan ada pepatah yang terkenal yang melukiskan ciri adat Minangkabau yang tidak berubah : Adat lama, pusaka usang, Tidak lapuk oleh hujan, Tidak lekang oleh panas. Mengenai pepatah di atas, Hamka mengatakan bahwa “Adat Minangkabau tidak lapuk dihujan dan tidak lekang dipanas, perkataan itu tepat sekali, karena yang tidak lapuk dihujan dan tidak lekang dipanas adalah batu. Dan batu itu sekarang sudah berlumut. Maka supaya tersimpan dan tetap berharga baiklah disimpan di gedung arca atau museum.4 Melalui novel-novelnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Hamka menjadi seorang kritikus yang paling keras terhadap Minangkabau dan sistem matrilinealnya. Dia pulalah yang menganjurkan adat itu seharusnya disimpan di museumkan. Dapat dilihat di penceritaan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka menceritakan tokoh Hayati yang harus menikah dengan mengikuti sistem adatnya yang menikah dengan orang dari mamaknya. Hamka menceritakan bahwa sosok Hayati tidak bahagia dan bahkan bercerai dengan suaminya, kemudian pada novel Merantau ke Deli pun sama tokoh laki-lakinya menikah dengan bukan dari daerahnya, melainkan dari Jawa dia hidup 4

Tsuyoshi Kato. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). h. 245 – 246.

49

bahagia dan tentram tetapi ketika dia disuruh menceraikan istri pertama dan menikah lagi dengan perempuan asal Minang, hidup Leman pun tidak bahagia bersama istri keduanya. Jelas sekali bahwa Hamka sangat menolak dengan sistem ada yang ada di Minangkabau, kemudian dia curahkan ke dalam novel terbitannya. Bagi Hamka, tampaknya tradisi dan adat adalah sesuatu yang disayangi dan diidamkan, bukan sesuatu yang dijadikan panduan hidup.

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS A. Unsur Intrinsik 1. Tema Tema merupakan suatu pokok permasalahan yang terdapat dalam cerita dari pengarang yang terangkai dan tersusun dengan baik. Beberapa pengarang ada yang menyampaikan temanya secara tersirat adapun pengarang yang menyampaikannya secara tersurat. Maksudnya tersirat adalah disampaikannya secara tersembunyi sehingga pembaca harus benarbenar paham dari isi cerita tersebut, sedangkan tersurat adalah tema yang disampaikan secara terang-terangan bisa melalui judul, isi cerita, maupun secara langsung di dalam kata pengantar. Berikut ini penjelasan tentang unsur intrinsik pada kedua novel yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, memiliki tema tentang perantauan. Seorang tokoh utama yang selalu merantau ke setiap kota. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya....1 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa tokoh utama yang bernama Zainuddin akan merantau ke Padang Panjang. Selain itu tema yang lainnya tentang cinta yang tulus dan cinta yang masing-masing memiliki kesetiaan antara tokoh utama laki-laki dan tokoh utama perempuan yang awalnya saling mengenal satu sama lain diawali dengan tokoh utama laki-laki Zainuddin ingin menjadi sahabat Hayati yang dapat dilihat dari kutipan percakapan sebagai berikut.

1

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 26

50

51

“Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui, saya orang dagang melarat dan orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia” 2 Berikut penggalan surat yang diberikan Zainuddin kepada Hayati guna menjadikan

Hayati

sebagai

sahabat

barunya.

Kutipan

tersebut

mempengaruhi tema yang terdapat pada cerita ini karena pada awal penceritaan, tokoh Zainnuddin ingin mengenal lebih dekat dengan tokoh Hayati sehingga terjalin kedekatan. Selain itu teknik cakapan yang disampaikan oleh Zainuddin kepada Hayati bahwa Zainuddin pantas atau tidak menjadi sahabat Hayati. Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan buka kebaikan rupa. Kalau engkau bukan mengharapkan kayaku, tetapi mengharapkan pengorbanan jiwaku untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak merasa menyesal jika kelak bertemu dengan bahaya yang negeri dan kecimus bibir; kalau semuanya itu tidak engkau perdulikan, Hayati, sebagai kukatakan dahulu, engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia.”3 Berdasarkan pada kutipan di atas menggambarkan sosok Zainuddin yang menerangkan keadaan yang sebenarnya, dia ingin menjadi sahabat Hayati tapi dia ragu akan dirinya yang dipandang hanya sebagai orang miskin tidak punya kekayaan, dia hanya punya sebuah satu kesetiaan menjadi seorang sahabat. Zainuddin tahu bahwa Hayati adalah gadis keturunan orang beradat dan kaya. “Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang baru naik, dihadapan roh ibu bapak yang sudah sama-sama berkalang tanah, saya katakan : Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-pebuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawa dan badan adanya. Dan selalu saya berkata 2 3

Ibid. h. 42 Ibid. h. 49.

52

biar Tuhan mendengarkan bahwa engkaulah yang akan jadi suamiku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di hadapan Tuhanku, dan di hadapan arwah nenek moyangku.” Ujar Hayati.4 Kutipan selanjutnya mempengaruhi tema, bahwa Zainuddin ditolak oleh keluarga Hayati sehingga Zainuddin terpaksa harus menjauhi Hayati. Pertama kali mereka bertemu sudah terlihat jelas seberapa mereka saling mencintai dan memiliki kesetiaan yang tulus. Zainuddin mencintai Hayati dengan tulus, begitupun Hayati sangat mencintai Zainuddin apa adanya. Namun dengan adanya aturan atau adat yang menghalangi kisah cinta mereka. Cinta mereka tidak dapat dipersatukan dan tidak tersampaikan karena tradisi adat Minangkabau yang begitu mengikat dan mendiskriminasi adat lainnya. Mamak Hayati melarang Zainuddin untuk mendekati Hayati, berikut kutipannya. “Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahan Hayati yang engkau cintai.” Ucap Engku. “Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedangkan Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh ini. Alangkah besarnya kurban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. Berdasarkan kutipan di atas melalui teknik cakapan yang disampaikan melalui Engku, berkelanjutan dengan kutipan sebelumnya bahwa Zainuddin tidak pantas untuk mendekati Hayati. Jelas sekali adat dan tradisi Padang sangat menentang sekali dengan adanya pernikahan yang berbeda suku dan tahta. Selain itu dikirimnya surat balasan dari pihak keluarganya Hayati untuk Zainuddin, yaitu sebagai berikut. 4

Ibid. h. 66.

53

Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata dengan mudakat, maka kami panggilah kaum keluarga Hayati hendak memusyawarahkan hal permintaan anak muda itu. Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya. Artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan, maka kami tolaklah permintaan orang muda, dengan mengatakan terus terang bahwa permintaan ini tiada kami kabulkan. Lebih dan kurang, harap supaya dimaafkan. Dt................. Dt. Garang d.l.l Kutipan dan surat tersebut menunjukan bahwa cintanya Zainuddin ditolak oleh pihak keluarga dari Hayati. Zainuddin sangat kecewa sekali dengan keputusan Engku agar menjauh dari Hayati. Sebab dengan kehadiran Zainuddin di kehidupan Hayati bukan hanya saja bertentangan dengan adat istiadat, melainkan tentang keadaan sikap dan kondisi Hayati yang menjadi pemenung dan pehiba hati. Hayati segera dijodohkan oleh orang lain yang dikenalkan oleh Khadijah yaitu teman dekatnya. “Jika ada mulutku yang ganjil kepadamu, kalau manis jangan lekas diulur, kalau pahit jangan lekas diludahkan, pikirkan baik-baik dahulu.” Ujar Khadijah.5 “Alangkah baiknya jika kita berkarib dengan dia, kalau kita berkerabat dengan dia bukan main megahnya itu. Barangkali orang yang akan disuruh pergi yang tak mau.” Ujar Khadijah.6 Pada kutipan di atas juga mempengaruhi tema pada novel ini, melalui teknik cakapan juga yang dibuat oleh pengarang melalui tokoh Khadijah agar Hayati segera melupan Zainuddin karena bukan setanah sesuku, dan harus segera menikah dengan satu adatnya yaitu Aziz. Beberapa kutipan dan permasalahan dirangkai menjadi beberapa tema, simpulan dari tema yang dimiliki novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah 5 6

Ibid. h. 95. Ibid. h. 95.

54

perjalanan rantauan si tokoh utama serta cinta sejati tetapi tidak dapat bersatu dan tidak tersampaikan hanya karena adat istiadat yang sangat mendiskriminasi. Jika dikaitkan antara tema dengan analisis dapat disimpulkan bahwa terjadinya perantauan tokoh utama laki-laki disebabkan oleh dengan penolakan pihak keluarga Hayati terhadap Zainuddin, sehingga Zainuddin merantau ke Jakarta dan Surabaya dengan niat melupakan Hayati dan mencari ilmu dunia dan akhirat, dengan demikian tujuannya merantau tidak sia-sia. Merantau ke Deli Sedangkan tema yang terdapat pada novel Merantau ke Deli adalah tradisi adat antara Padang dan Jawa, perbedaan adat antara suami dan istri. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Menurut adat orang Minangkabau di dalam negeri sendiri yang memegang rumah tangga ialah si isteri. Suaminya hanya “Sumando” artinya orang lain yang datang ke rumah itu.7 Pandangan orang Jawa sama, suami dan isteri itu adalah berkongsi hidup, sama-sama mencencang dan melatih, sama-sama berusaha. Segala hak milik adalah kepunyaan mereka berdua, sampai-sampai kepada rumah tangga.8 Kedua kutipan tersebut terlihat jelas tentang perbedaan adat yang dimiliki kedua tokoh. Tokoh laki-laki yang berasal dari adat Minangkabau sedangkan isterinya berasal dari Jawa. Mereka berdua saling berdebat tentang adat masing-masing dari asal mereka berdua. Masalah yang dihadapinya pada saat suaminya sedang terpuruk masalah perniagaan dan tidak diceritakannya kepada isterinya, sebab dia pikir bahwa laki-laki Minang harus berusaha sendiri tanpa bantuan isterinya. Lain halnya lagi dengan isterinya yang sempat curiga kenapa suaminya selalu terpuruk, setelah mengetahui sebabnya maka isterinya membantu suaminya dalam perniagaan karena di dalam adat Jawa jika sudah bersuami isteri maka hak rezeky adalah tanggungjawab mereka berdua. 7 8

Hamka, Merantau ke Deli, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 28. Ibid,. h. 29.

55

Selain itu, tema yang lainnya adalah tentang hukum karma seorang tokoh utama laki-laki. Maksudnya adalah tokoh utama laki-laki telah menikahi seorang perempuan tua yang berasal dari Jawa bernama Poniem, ketika pulang kampung orang tua dari Leman menyuruh Leman untuk menikah lagi. Akhirnya Leman menyetujui pernikahan itu hanya karena gadis dari Padang itu lebih cantik, lebih molek, dan lebih muda dibandingkan dengan istrinya yang sudah tua. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Wahai, kulitnya putih, kuning, tumitnya..... ah, merah tumitnya dipijakkannya, jauh lebih cantik dari Poniem, bulat penuh mukanya, meskipun Poniem cantik juga, sayang telah agak tua, mukanya telah agak kisut.”9 Berdasarkan kutipan tersebut digambarkan melalui teknik pikiran dan perasaan yang dialami oleh tokoh utama, Leman. Leman berpikir bahwa dia akan menikah lagi dengan gadis yang lebih muda dari istrinya. Memang laki-laki apabila ditawarkan gadis baru yang lebih cantik dari istrinya, langsung mengiyakan tanpa melihat kondisi rumah tangganya, bisakah dia memberikan keadilan yang merata untuk memberi nafkah batin dan nafkah lahir. Dia tidak peduli sakit hati yang dirasa sang istri tua jika dimadu. Kutipan selanjutnya adalah ketika tokoh utama laki-laki tersebut mengalami sebuah karma dimana dia telah meninggalkan istri tuanya yang telah membuatnya sukses karena lebih memilih istri mudanya yang cantik dan hidupnya melarat. Berikut kutipannya. “Memang telah banyak perobahan-perobahan terhadap diri kita masing-masing dalam masa tiga tahun saja. Engkau meningkat naik, saya meluncur turun. Tiap-tiap saya coba, tiap itu pula saya jatuh. Engkau akan tinggal di rumah besar, duit telah tersimpan pula. Saya sendiri pindah dari sebuah kedai ke rumah petak kecil, disewa berkongsi-kongsi, sebab tidak tersewa sendiri.” Ujar Leman.10

9

Ibid. h. 65. Ibid. h. 173.

10

56

Berdasarkan penggalan cerita di atas, melalui teknik cakapan yang disampaikan oleh Leman kepada Suyono. Jelas tergambar bahwa kini Leman sudah tidak memiliki apa-apa lagi, kekayaanpun tidak punya. Itu penyebabnya karena ditinggalkannya seorang istri yang baik dan gigih yaitu Poniem. Dia lebih memilih Mariatun yang hanya sekadar cantik, molek, muda, dan enak dilihat. Dapat disimpulkan dari kedua kutipan cerita tersebut bahwa pada akhirnya itu semua tidak ada gunanya ketika memiliki seorang istri yang cantik saja tetapi tidak cerdas dan gigih. Tema yang dimiliki novel Merantau ke Deli memang agaknya sedikit berbeda dengan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, mengapa demikian karena di novel Merantau ke Deli hanya sedikit membahas tentang merantaunya, hanya saja tokoh utama pada awalnya tujuan pertama merantau yaitu ingin mencari pekerjaan di daerah Deli menjadi seorang pedagang dan tujuan kedua yaitu ingin mencari jodoh. Dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Meskipun ketika dia akan meninggalkan kampungnya dahulu telah diberi ingat benar-benar oleh orang tua-tua supaya hati-hati di tanah Deli, supaya ingat bahwasannya laut sakti dan rantau bertuah; meskipun perniagaannya terlalu kecil dan langganannya belum banyak; meskipun dagangannya belum begitu laku, semuanya itu tidak menghalangi dorongan darah mudanya.11 Yang menarik hatinya ke kebun ialah seorang perempuan yang cantik, masih muda.12 Berdasarkan kutipan di atas, kutipan yang pertama menandakan bahwa Leman merantau dengan tujuan ingin mencari pekerjaan di daerah Deli, yaitu sebagai pedagang. Dihubungkan dengan tradisi merantau Kato melakukan penelitian di daerah Hilir dan mengemukakan bahwa tidak ada merantau untuk tujuan perdagangan di dalam Sumatra Barat atau tidak ada pemekaran nagari di rantau hilir pada zaman itu. Pedagang-pedagang di Sumatra Barat nyata sudah giat, terutama di pantai barat boleh jadi

11 12

Ibid. h. 6 – 7. Ibid. h. 7.

57

pemekaran nagari lebih sering terjadi daripada merantau untuk tujuan berdagang di rantau hilir. Kemudian pada kutipan yang kedua bertujuan untuk mencari pasangan hidupnya tetapi dengan niat mencari di luar adatnya. 2. Alur Alur adalah rangkaian peristiwa yang ada di dalam cerita. Peristiwa tersebut bisa diawali dari rangkaian cerita terjadinya perkenalan, adapun yang diawali dari pertengahan permasalahan yang terjadi pada saat ini kemudian diakhiri dengan masa lampau. Tahapan plot yang dikemukakan pada buku Burhan yaitu tahapan plot dibagi menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah 1) tahap penyituasian, 2) tahap pemunculan konflik, 3) tahap peningkatan konflik, 4) tahap klimaks, dan 5) tahap penyelesaian. Pada novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck terdapat alur maju mundur, sehingga tokoh utama pada awal cerita adalah menceritakan tentang sebelum dia lahir yang diceritakan oleh ibu angkatnya. Secara umum, rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut akan dijelaskan pada tahapan-tahapan sebagai berikut. a. Situasi (mulai melukiskan keadaan) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Alur yang terangkai dalam cerita novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini adalah alur maju mundur sebab menceritakan hal-hal yang terjadi di masa lampau atau masa lalu, kemudian membahas lagi cerita baru yang terjadi dan sedang

berlangsung

selanjutnya

menjadi

cerita

yang

berkelanjutan. Pada awalnya menceritakan tentang kejadian lahirnya seorang anak dari pasangan Pendekar Sutan dan Daeng Habibah. Tumbuh besar seorang anak di Mengkasar yang berusia kira-kira 19 tahun yang sedang termenung memikirkan pesan ayahnya yang sudah meninggal, ayahnya seorang kepala waris tunggal. Kemudian menceritakan masa lampau lagi,

58

seorang ayah yaitu pandekar sutan masih remaja dimana ia selalu melawan orang tuanya dan pada akhirnya bertemulah dengan perempuan cantik yang bernama Daeng Habibah kemudian menikah dan dikaruniai anak laki-laki yang bernama Zainuddin. Berikut kutipan yang menceritakan tentang masa lampau Zainuddin. Dia dinamai ayahnya Zainuddin. Sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan....... Untuk mengetahui siapa dia, kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh X Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.13 Tiga dan empat tahun dia bergaul dengan isteri yang setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki, anak tunggal, itulah dia, Zainuddin yang bermenung di rumah bentuk Mengkasar, di jendela yang menghadap ke laut di Kampung Baru yang dikisahkan pada permulaan cerita ini.14 Penggalan cerita di atas adalah menceritakan tentang awal mula orang tua Zainuddin, yang menjelaskan tentang lahirnya seorang anak laki-laki dari pasangan yang bernama Pendekar Sutan dan Daeng Habibah di sebuah rumah Mengkasar, sebuah kampung yang bernama Kampung Baru. Semasa Zainuddin berumur 9 bulan Zainuddin ditinggal oleh ibunya. Berikut penggalan cerita melalui Mak Base sebagai orang tua angkatnya. TERANGKANLAH, mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya,” ujar Zainuddin kepada Mak Base, orang tua yang telah bertahun-tahun mengasuhnya itu.15 “Ketika itu engkau masih amat kecil.”katanya memulai hikayatnya. “Engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak 13

Hamka, Op.Cit., h. 11. Ibid. h. 15. 15 Ibid. h. 16 14

59

turun naik, dan hatinya rupanya sangat duka cita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan yang seberat itu, umurmu baru sembilan bulan.16 Bedasarkan penggalan cerita di atas mulailah penceritaan kembali ke masa kini, di mana mengisahkan perjalanannya Zainuddin yang sekarang dan menggambarkan hidup seorang anak yang masih berumur sembilan bulan. Dia sudah ditinggal ibunya selama-lamanya dan diasuh oleh orang tua angkatnya bernama mak Base. Tidak lama kemudian ayahnya yaitu Daeng juga pergi meninggalkan Zainuddin menghadap Illahi. Penggalan ceritanya sebagai berikut. Rupanya kudrat Illahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Karena di waktu engkau sedang cepat bermain di waktu sedang enak mengecap nikmat kecintaan ayahmu seorang, ayahmu meninggal dunia. Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja, dengan tidak disangka-sangka. Pada suatu malam, petang Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, bertekun sebagai kebiasaannya, meminta taubat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau telah pandai menangis dan bersedih, engkau meratap memanggil-manggil dia.17 Berdasarkan

penggalan

kutipan

cerita

di

atas

menggambarkan sosok Zainuddin yang sudah besar dan mengerti ketika ayahnya meninggal, dengan menangis dan bersedih meratapi memanggil-manggil nama ayahnya karena ketika ibunya meninggal ia masih berumur sembilan bulan dan belum mengerti apapun hal yang terjadi. Mulailah tahap situasi ini berkaitan dengan tradisi merantau dengan meninggalnya orang

16 17

Ibid. h. 16. Ibid. h. 20

60

tuanya Zainuddin,

terpaksalah Zainuddin untuk merantau ke

Padang Panjang yaitu negeri asal ayahnya. Merantau ke Deli Sedangkan alur pada novel Merantau ke Deli pengarang menggunakan alur maju, sebab ceritannya terus bergerak maju dimulai dari pertemuan Leman dengan Poniem menuju kejadiankejadian di rumah tangganya, lalu bagaimana penyelesaian masalah itu sehingga Leman dan Poniem berpisah pada akhir ceritannya. Tahap Situasi diawali dengan penggambaran masyarakat Deli yang sebagian besar adalah kuli dagang. Lalu pengenalan tokoh Leman dan Poniem. Poniem adalah seorang kuli kebun yang berparas cantik dan masih muda. Poniem sekaligus istri simpanan Mandor. Kemudian Leman adalah seorang perantau yang berdagang kain di Deli. Leman mengajak Poniem untuk bertemu dan berkenalan. Setiap hari bertemu menyebabkan Leman jatuh cinta kepada Poniem. Leman mengutarakan niatnya kepada Poniem untuk menikahinya. Dengan pertimbangan yang masak, akhirnya Poniem bersedia diperistri Leman. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Sekarang belum dapat kita berbicara panjang Poniem, saya hanya hendak bertanya: sempatlah engkau tanggal 18, lepas bekerja sore datang ke kedai, karena ada yang akan saya bicarakan dengan engkau?”18 “Kalau saya yang memintamu jadi isteriku, kalau saya ajak engkau ke luar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi, kalau saya suruh engkau meninggalkan mandor besar, lalu kita lari ke tempat lain di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik, akan engkau tolak jugakah?”19

18 19

Hamka, Merantau ke Deli, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 9. Ibid. h. 13.

61

“Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya mengharapkan harta bendamu, melainkan mengharapkan dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu!”20 “Saya mau kawin dengan Abang, kawin hanya perkara mudah, kita pergi ke tuan Qadhi, lalu kita dinikahkan, kita pulang ke rumah berdua lalu kita hidup.... Bila kami perempuan Jawa telah bersuami, maka badan dan jiwa, harta benda, lahir batin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah laki-laki yang menyia-nyiakan penyerahan itu!”21 Berdasarkan kutipan pertama situasi pertama yaitu pengenalan Leman dengan Poniem, Leman mengajak ketemuan pada tanggal delapan belas. Dari pertemuan itulah Leman menyimpan rasa untuk Poniem dan Leman tidak segan-segan meminta Poniem untuk menikah dengannya. Dengan pikiran yang matang, akhirnya Poniem menerima ajakan Leman untuk menikah. b. Peristiwa-peristiwa Mulai Bergerak Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Selanjutnya peristiwa yang dialami novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah ketika Zainuddin beranjak dewasa dan dia mulai berpikir untuk merantau ke negeri ayahnya di Padang dengan tujuan menyempurnakan cita-cita ayah dan ibunya serta ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuannya. Ia meminta izin kepada mak base untuk berangkat ke Padang. Berikut kutipan cerita mengenai Zainuddin meminta izin kepada orang tua angkatnya. Sempit rasanya alam saya, mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita 20 21

Ibid. h. 16. Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan Bintan, 1976). h. 17.

62

ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang. Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolahsekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan sebagus-bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memujimuji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk kemaripun dari sana. Lepaskanlah saya berangkat ke sana.”22 Berikut adalah kutipan Zainuddin meminta izin kepada mak base untuk merantau ke negeri Padang. Zainuddin pergi ke Padang

bukan

hanya

sia-sia

melainkan

dia

ingin

menyempurnakan cita-cita ayah dan ibunya, serta belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Padang adalah daerah yang sangat kental sekali dalam pendidikan agama dan pengetahuannya. Apalagi ilmu agamanya, sebab di Padang merupakan daerah yang masih menganut sistem-sistem keagamaan dan adat istiadat yang melekat. Agama Islam pun berawal dari orang-orang Padang. Setelah diizinkan kepergian Zainuddin ke Padang oleh Mak Base, sampailah dia di Padang Panjang. Sudah hampir 6 bulan dia tinggal di dusun Batipuh. Disinilah peristiwa mulai bergerak, Zainuddin bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis asli dari Padang yang bernama Hayati. Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang Panjang itu lebih banyak hujannya dari pada panasnya... ...zainuddin ada membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya kebetulan tidak membawa payung.23 “Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia berpayung?”24 Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Zainuddin meskipun keringatnya terbit di waktu hujan, 22

Ibid. h. 22. Ibid. h. 30 24 Ibid. h. 30 23

63

dia tampil ke muka ditegurnya Hayati : “Encik...!” sukakah Encik saya tolong?” tanya Zainuddin kepada Hayati.25 “Apakah gerangan pertolongan tuan itu?” jawab Hayati.26 “Berangkatlah Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga.”27 Berdasarkan kutipan percakapan antara Zainuddin dengan Hayati, jelas peristiwa mulai muncul dengan pertemuannya dua sejoli tersebut. Pertemuan di sebuah Ekor Lubuk dengan ditemani turunnya hujan. Hayati tidak membawa payung, segeralah Zainuddin meminjamkan payungnya kepada Hayati seakan-akan mulailah perkenalan mereka. Zainuddin sempat gugup dan diam sejenak karena dekat dengan gadis yang cantik tapi dia mulai memberanikan

dirinya.

Cerita

semakin

berlanjut

dengan

perkenalan lainnya, Zainuddin dan Hayati semakin dekat hubungannya. Dibuktikan dengan Zainuddin ingin lebih akrab lagi dengan Hayati dengan memberinya ia surat. “Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui, saya orang dagang melarat dan orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia”. Surat dari Zainuddin untuk Hayati.28

25

Ibid. h. 30 Ibid. h. 30 27 Ibid. h. 31 28 Hamka, Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 42. 26

64

Merantau ke Deli Selanjutnya untuk novel Merantau ke Deli pada tahap peristiwa mulai bergerak adalah kehidupan rumah tangga Leman dan Poniem sangat bahagia. Mereka saling menghormati satu sama lain. Mereka juga saling menyayangi. Namun semakin lama Poniem merasakan ada sesuatu yang berubah dari Leman ternyata perniagaan Leman sedang menurun. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Maka perniagaannya yang kecil kian lama kian mundur, sehingga hanya tinggal bingkai-bingkainya lagi, ialah kain-kain dan barang-barang yang tidak akan laku terjual.29 “Begini Poniem. Modal kita amat kurang, pekerjaan payah padahal labanya tidak ada. Kemanapun abang pergi, kurang sekali jual beli...”30 “Abang....! Perniagaan kita harus diperbesar segala barang-barang ini kita jual kembali kepada saudagar emas, kita jadikan uang.” Ujar Poniem sambil memberikan perhiasaan kepada Leman. Poniem memaksa Leman untuk berterus terang apa yang terjadi sehingga membuat Leman berubah. Akhirnya Leman menceritakan kepada Poniem bahwa perekonomian keluarga mereka sedang sulit. Modal dagangan menipis. Pembeli juga tidak banyak. Mendengar keluh kesah suaminya, Poniem langsung melepas semua perhiasan yang ada di tubuhnya. Poniem memberikannya kepada Leman supaya digadaikan untuk megembangkan usahanya. Itulah cintanya seorang istri terhadap suami, sesusah-susahnya seorang suami maka istri tidak boleh meninggalkan suaminya karena seorang istrilah penguat dan motivasi seorang suami. Kesuksesan suami adalah dari istri.

29 30

Ibid. h. 30. Ibid. h. 32.

65

Kutipan selanjutnya Leman dan istrinya pulang ke kampung halamannya Leman, yaitu di Padang. Sudah lama hal itu terpendam di dalam hati kecilnya. Maka pada suatu hari dikabarkanyalah kepada isterinya tentang niat hendak pulang itu. Dan sudah kepingin hendak bertemu dengan kaum kerabatnya, sudah terbayang-bayang di matanya halaman rumah famili.31 Mendengar itu Poniem menekurkan kepala, sehabis suaminya bercakap baru dia mengadah, seraya berkata : “kalau abang seingin itu benar hendak pulang, tidakkah teingat di hati abang hendak membawa saya serta?”32 Berdasarkan kutipan di atas, melalui teknik cakapan antara Leman dan Poniem. Alur ini menjelaskan bahwa Leman ingin pulang ke kampung halamannya tanpa mengajak Poniem. Poniem agak kecewa karena tidak diajaknya, sebab Leman berpikir jika Poniem ikut ke Padang akan berat diongkos. Tapi kembali lagi dengan sosok istri yang selalu menjadi penenang suaminya, Leman tidak usah memikirkan ongkos itu. Tahap inilah yang menjelaskan seorang perantau yang ingin pulang ke kampung halamannya jika ia sudah sukses di nagari rantaunya, terjadi pada Leman yang sudah sukses dan ingin pulang ke kampung halamannya. c. Keadaan Mulai Memuncak Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Pertemanan mereka cukup lama, dengan berkomunikasi surat menyurat. Zainuddin berkabar melalui surat dan begitupun sebaliknya Hayati membalaskan suratnya untuk Zainuddin. Zainuddin bercerita tentang bagaimana ia hidup di Padang, betapa tidak nyamannya dia hidup di negeri ayahnya sendiri seperti orang asing. Dengan begitu Hayati merasa kasihan terhadap Zainuddin. Lamanya mereka bersahabat, muncullah rasa 31

Ibid. h. 48. Ibid. h. 48.

32

66

sayangnya Zainuddin untuk Hayati, tapi di sisi lain Hayati mengingat

bahwa

Zainuddin bukanlah berasal

keturunan

daerahnya hanya saja Zainuddin keturunan daerah Padang dari garis ayahnya. Hayati khawatir dan ragu jika menyimpan perasaannya terlalu dalam. Berikut penggalan ceritanya. “Bukan begitu, tuan Zainuddin. Bukan saya benci kepada tuan, karena saya kenal budi baik tuan. Saya merasa kasihan di atas segala penanggungan yang menimpa pundak tuan. Tapi tuan, sebuah yang saya takutkan, yaitu saya takut akan bercinta-cintaan” Ujar Hayati.33 “Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh.34 Berdasarkan penggalan cerita di atas, mulainya rasanya khawatir dan takut Hayati muncul. Diketahuinya bahwa Zainuddin bukan keturunan dari orang Padang dan dia mengetahui Zainuddin tidak dianggap dikeluarganya seperti orang asing. Memang benar kekhawatiran Hayati itu terjadi, orang-orang di dusun Batipuh sudah mengetahui pertemanan mereka dengan surat menyurat. Padahal pertemanan mereka sudah tertutup rapat dan saling jujur. Berikut kutipan yang menandakan bahwa kedekatan mereka sudah tersebar. Tersiarlah di dusun kecil itu..... telah berintaian, bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang Mengkasar itu. Ginjing, bisik, dan desus, perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelantar lepau 33 34

Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan Bintan, 1976). h. 53. Ibid. h. 54.

67

petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia umum.35 Berdasarkan penggalan cerita di atas, kekhawatiran Hayati mulai tersebar luas dalam kalangan masyarakat di dusun itu. Kesalahan Hayati dan Zainuddin telah berkirim-kirim surat dengan bercinta-cintaan kedua kalangan muda itu. Orang-orang dusun berpikir bahwa mereka bukan percintaan suci lagi, karena Hayati bukan mencintai orang berasal dari daerahnya Padang melainkan dari Mengkasar. Karena adat di sana sangat mendiskriminasi sekali menentang untuk menikah dengan bukan dari daerahnya. Merantau ke Deli Selanjutnya pada novel Merantau ke Deli terdapat peristiwa yang mulai memuncak ketika Leman menginginkan pulang ke kampung halamannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Sudah lama Leman merantau, sudah bertahun hari yang habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar, ketika akan mengajak bekerja mencari penghidupan, belumlah teringat olehnya hendak pulang. Bagaimana akan pulang, padahal hidup masih serba kurang.36 d. Klimaks (Mencapai Titik Puncak) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Konflik berlanjut antara Zainuddin dengan keluarga Hayati, terutama dengan mamak hayati. Mamak Hayati segera meminta Zainuddin untuk melupakan dan pergi jauh dari Hayati. Seperti pada kutipan berikut. “.....sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu Zainuddin, sudilah kiranya engkau melepaskan hayati dari

35 36

Ibid. h. 57. Hamka, Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 47.

68

dalam kenanganmu dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini segera, untuk kemaslahatan Hayati.”37 “Dengan sangat saya meminta engkau berangkat saja dari sini untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai”. Ucap Engku.38 Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukttinggi saja, dia telah mau.39 Berdasarkan kutipan di atas Zainuddin di tentang oleh keluarga Hayati dan diusirnya Zainuddin dari dusun Batipuh. Zainuddin dengan berat hati mengiyakan kemauan dari Mamak Hayati, karena dia sadar diri bahwa dia tidak bersuku, tidak berhindu, anak orang terbuang, dan tidak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedangkan Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh. Perginya Zainuddin ke Padang Panjang, Hayati selalu merenung dan menjadi pendiam. Pada akhirnya dia singgah ke rumah sahabatnya yaitu Khadijah kemudian Hayati dikenalkan kepada Aziz sepupu dari Khadijah dan keluarga Hayati pun menerima lamaran dari Aziz dan menolak lamaran Zainuddin. Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mufakat hendak menerima Azis. Karena menurut pepatah : Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, sama berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari.40 “Ya, kita habisi saja itu, kita bulatkan sekarang menerima Aziz dan menolak permintaan Zainuddin.”41

37

Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan BintanG, 1976). h. 59. Ibid. h. 59. 39 Ibid. h. 60. 40 Ibid. h. 112. 41 Ibid. h. 114. 38

69

Berdasarkan

penggalan

di

atas,

terbayanglah

diri

Zainuddin yang sangat kecewa dengan keputusan yang diberikan dari mamak hayati yang menolaknya. Padahal dia sudah berusaha menjadi orang yang diinginkan oleh pihak keluarga Hayati. Namun apa boleh buat, Hayati telah dipertemukan dengan Aziz. Mamak Hayati langsung menerima lamaran dari Aziz. Merantau ke Deli Sedangkan untuk novel Merantau ke Deli pada tahap klimaksnya adalah ketika Leman pulang kampung semenjak itu kebahagiaan Leman dan Poniem tidak berlangsung lama. Leman dipaksa oleh sanak saudaranya di kampung halamannya Minangkabau untuk menikah dengan Mariatun yang satu kampung dengan Leman. Meskipun sakit hati, Poniem tetap mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan percakapan sebagai berikut. “Abang!” Ujarnya. “Poniem!” “Besar dosamu di hadapan Allah kalau lantaran kasihmu terhadap isteri muda yang cantik itu kelak, aku abang ceraikan. Dan jika aku mati, mengutuk arwahku kepada abang dari kuburku.” “Tidak Poniem!” jawab Leman.42 Berdasarkan kutipan di atas tahap puncaknya masalah, ketika Leman meminta izin untuk beristri lagi kepada Poniem. Dengan

pemunculan

puncak

masalah

ini,

menyebabkan

klimaksnya permasalahan antara Leman dan Poniem, sehingga Poniem mengizinkannya untuk menikah lagi. Setelah berjalannya pernikahan itu diibaratkan dua kapal satu nahkoda, kapalnya tidak bisa berjalan dengan lancar yaitu Poniem yang sudah mulai geram dengan tingkahnya Mariatun, tetapi di sisi lain Leman

42

Hamka, Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 89.

70

lebih membela Mariatun. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun! Sebelah mata saya tak bisa pandang pada kau lagi. Pergilah dari sini, mulai sekarang saya jatuhkan kepada kau talak tiga sekali! Pergilah!43 Berdasarkan kutipan di atas, puncaknya masalah ketika Leman menceraikan Poniem dan lebih membela istri mudanya. Ketika itu Poniem disebutkan orang Jawa yang tidak pantas bergabung lagi di daerahnya dan merasa berbeda adat. Akhirnya Poniem dan Suyono pergi dari rumah itu. Setelah Poniem pergi dari

rumah

itu,

kehidupan

Leman

tidak

seperti

dulu,

kehidupannya serba kekurangan di daerah rantauannya, apalagi istri mudanya sudah melahirkan. Sudah hampir tiga tahun merantau menurut adat di kampung sudah seharusnya Mariatun dibawa pulang apalagi hendak memperlihatkan anaknya. e. Pemecahan atau Penyelesaian Masalah Hiduplah rumah tangga dari kedua kaula muda itu, Hayati dan Aziz. Namun ada suatu rahasia rumah tangga yang mereka alami menjadi suami istri kehidupan rumah tangga mereka tidak bahagia. Berikut kutipan cerita pada novel tersebut. Dari sedikit kesedikit telah nyata bahwa cinta Aziz kepada hayati, adalah cinta sebagaimana disebut orang pada waktu sekarang. Yaitu cinta yang ditakuti oleh Zainuddin dan telah pernah diterangkannya dalam suratnya kepada Hayati seketika dia akan kawin. Aziz, sanggup memberikan segenap kesenangan kepada Hayati, yakni kesenangan harta benda, tetapi hati mereka sejak bergaul, bukan kian lama kian kenal, hanya kian lama kian nyata bahwa haluan tidak sama. Bilamana sebabsebab itu sudah tak ada lagi, cintapun kendorlah.44

43 44

Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan BintanG, 1976). h. 133. Ibid. h. 170.

71

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa Aziz tidak benar-benar sayang kepada Hayati. Sikap Aziz kepada Hayati seperti sikap Aziz kepada teman-teman wanitanya dahulu. Aziz dan Hayati pun berkunjung ke rumah di mana tempat Zainuddin tinggal dan pada akhirnya pun Aziz pergi untuk bekerja meminta izin kepada Zainuddin untuk menjaga Hayati selama Aziz bekerja, tapi tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa Aziz bunuh diri di hotel. Seperti dalam penggalan berikut. “Saya telah melarat sekarang, saya dan istri saya. Saudara yang telah menyambut dalam rumah saudara sekian lamanya. Hal ini tak boleh saya derita lama. Di kota Surabaya, sayapun lebih merasa malu. Sebab itu lepaslah saya berangkat mencari pekerjaan lain ke luar kota Surabaya. Saya akan pergi sendiriku lebih dahulu. Di mana pekerjaan dapat, saya kirim kabar segera, supaya istriku dapat menurutkan ke sana.” 45 “Penumpang itu tidak bangun lagi buat selama-lamanya, rupanya dia telah membunuh dirinya dengan jalan memakan Adalin, obat tidur yang mahsyur itu lebih dari 10 buah. Tube obat itu terdapat di atas meje telah kosong.”46 Berdasarkan penggalan di atas adalah surat kabar dari pihak hotel, tujuan memberitahu kepada pihak keluarga Aziz bahwa Aziz telah meninggal dunia dengan bunuh diri. Sebelumnya Aziz dan Hayati telah berkirim-kirim surat dan Aziz meminta cerai dengan Hayati. Hayati pun tinggal kini berdua hidup dengan Zainuddin. Tetapi Zainuddin meminta Hayati untuk pulang saja ke Padang, karena Zainuddin masih merasa sakit hati dengan Hayati. Bila teringat akan itu, terus dia berkata : “Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu 45 46

Ibid. h. 182. Ibid. h. 194.

72

asal .......... negeri Minangkabau beradat! Besok hari Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu ke kampungmu.47 Berdasarkan penggalan cerita di atas, Zainuddin masih kesal dan memendam kebencian terhadap Hayati dan keluarganya yang sudah menolaknya. Zainuddin menyuruh Hayati untuk pulang ke Minangkabau dan pergi dari kehidupan Zainuddin karena dia pikir bahwa dia bisa hidup tanpa Hayati, bukti selama dia singgah di Jakarta dan Surabaya dia dapat hidup sukses dan menjadi seorang penyair yang sangat terkenal. Akhirnya Hayati pun pergi dan menuju Tanjung Priuk untuk menaiki kapal yang ditumpanginya. Tetapi takdir berkata lain, kapal yang ditumpangi Hayati tenggelam ke dasar lautan. Berikut kutipannya. “.......sebagai seorang memang yang telah terikat pikirannya kepada surat kabar, baru saja koran-koran itu terletak di atas meja, segera dibukanya. Dipagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran,, Kapal Van der Wijck Tenggelam. Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran itu dibacanya terus.”48 Berdasarkan kutipan di atas melalui surat kabar yang dibaca Zainuddin. Seluruh badannya gemetar dengan sangat gugup ia berbicara dan memberitahukan kepada Muluk. Langsung saja dia pergi menyusul keberadaan Hayati. Memang cinta mereka tidak dapat dipisahkan, saling setia, dan saling mencintai. Dapat dibuktikan dengan penggalan berikut ini. Dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, cahaya pengharapan... “kau... Zain....”49

47

Ibid. h. 198. Ibid. h. 209 – 210 49 Ibid. h. 214. 48

73

“Ya, Hayati! Allah rupanya tak izinkan kita berpisah lagi, bila telah beroleh keizinan dari dokter, kita segera berangkat ke Surabaya.”50 “Hidupku hanya buat kau seorang Hayati!” “Akupun!.....” Setelah beberapa menit Hayati pun menghembuskan nafas terakhirnya, sambil dibisikan dengan dua kalimat suci oleh Zainuddin. Namun sejak kejadian itu, meninggalnya Hayati tubuh Zainuddin kian lama kian lemah, dada sesak, pikiran selalu duka dan sesal yang tiada berkeputusan. Akhirnya Zainuddin pun meninggal dunia dan dimakamkan bersebelahan dengan makam Hayati, orang yang dicintainya.51 Pada novel Merantau ke Deli tahap penyelesaiannya ketika Poniem memulai hidup baru dengan Suyono. Hal ini dapat dibuktikan dengan sebagai berikut. “Dan setelah perkawinan kita langsung, kita teruskan cita-cita kita. Kita penaik harta benda sedikit demi sedikit. Sebab banyak niat dan cita-cita kita yang masih tersimpan di dalam hati.” “Semuanya akan tercapai berkat kurnia Gusti Allah” ujar Suyono pula. Mereka telah kawin. Apakah perkawinan itu lantaran cinta? Akan dikatakan lantaran cinta, mereka belum kenal perkataan itu, mereka tidak pernah membaca buku romah untuk mengkurususkan cinta.”52 Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan penyelesaian akhir cerita yang diakhiri dengan menikahnya Poniem dengan Leman.

Maksud

mereka

untuk

menikah

adalah

untuk

menghindari dari marah bahaya, sebab mereka sudah tinggal berdua selama enam bulan lamanya. Suyono juga berniatkan untuk membentuk kehidupan baru bersama Poniem dengan berniaga yang benar dan menggapai cita-citanya. 50

Ibid. h. 214. Ibid. h. 221. 52 Hamka, Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977). h. 156. 51

74

3. Tokoh dan Penokohan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Tokoh merupakan orang yang berperan penting dalam cerita dan memiliki karakter yang beragam, sehingga cerita menjadi lebih hidup dan berwarna. Sedangkan penokohan adalah karakter yang digambarkan pada tokohnya dalam cerita. a. Zainuddin Zainuddin tokoh utama laki-laki pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck seorang pemuda yang lemah lembut, baik hati, alim, memiliki ambisi yang tinggi, dan sopan terhadap orang yang lebih tua. Zainuddin mendekat kepada orang tua itu, diciumnya keningnya : Perempuan yang bahagia, moga-moga Allah melindungimu!” katanya. Berdasarkan kutipan ini terlihat Zainuddin sangat menyayangi

orang

tua

angkatnya

Mak

Base,

dengan

menunjukkannya melalui bahasa tubuhnya mencium kening mak Base sebagai pertanda bahwa Zainuddin sangat sayang kepada beliau. Dia hanya mempunyai satu orang tua angkat, setelah kedua orang tua kandungnya meninggal dunia. Selain itu Zainuddin seorang anak yang tidak mau merepotkan orang tuanya ia lebih baik ingin hidup mandiri, seperti pada kutipan sebagai berikut. “Ai, mengapa mak Base ini? Wang itu mesti mamak perniagakan sebagai biasa. Yang akan saya bawa hanyalah sekedar ongkos kapal ke Padang.”53 Heran tercengang mak Base mendengarkan putusan Zainuddin atas harta benda itu. Tidak disangkanya akan sampai demikian baik budinya.54 Berdasarkan kutipan tersebut Zainuddin ingin pergi ke Padang, ia meminta ongkos kepada mak Base dan diberinya uang yang cukup banyak. Tetapi Zainuddin menolaknya karena dia pikir 53 54

Ibid. h. 23. Ibid. h. 24.

75

dengan uang yang cukup saja dia pergi ke Padang, sehingga mak Base mengatakan dalam pikirannya bahwa Zainuddin orang yang baik budinya. Zainuddin pergi ke Padang untuk merantau dengan bertujuan mencari kehidupan yang lebih baik lagi, ingin memuliakan cita-cita ayah dan ibunya. Setelah ia berangkat ke Padang, dia disana seperti orang yang diasingkan oleh keluarga ayahnya. Dia mengingat pesan dari mak Base, dia selalu termenung dalam pikirnya. Kutipan yang menggambarkan penokohan Zainuddin sebagai berikut. “Anak muda itu baik budi pekertinya, rendah hati, terpuji dalam pergaulan, disayangi orang. Sungguh belajar, karena dia berguru kepada seorang Lebai yang ternama. Tetapi dia pemenung, pehiba hati, suka menyisihkan diri ke sawah yang luas, suka merenungi wajah....”55 “....sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh dengan cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan batin yang begitu hebat sejak kecil, telah menimbulkan kasihan yang amat dalam di hati Hayati.56 Tidak lama kemudian datang balasan dari orang tua yang dikasihinya itu, mengajaknya lebih baik pulang saja ke Mengkasar, sementara dia masih hidup. Tapi Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil dia hendak memperdalam penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang berguna.57 Berdasarkan

pada

kutipan

pertama

sikap

Zainuddin

digambarkan oleh teknik cakapan pada buku Nurgiyantoro, menerangkan bahwa Zainuddin anak yang baik budi pekertinya, rendah hati, terpuji dalam pergaulannya. Namun di sisi lain ketika Zainuddin mendapatkan masalah dengan Hayati, dia orangnya mudah termenung, pehiba hati, dan suka menyendiri. Kutipan yang kedua dijelaskan dengan teknik pikiran dan perasaannya Hayati, bahwa Zainuddin orangnya lemah lembut terlihat bagaimana Zainuddin berbicara dengan lembut kepada Hayati. Kutipan yang 55

Ibid. h. 30. Ibid. h. 39. 57 Ibid. h. 69. 56

76

ketiga menggambarkan juga sosok Zainuddin yang alim dan gigih dalam menuntut ilmu sehingga apa yang dia kerjakan tidak akan siasia begitu saja ketika dia pergi ke Padang ternyata dianggap orang asing dan disuruh mak Base untuk pulang saja tetapi dia tidak ingin menyia-nyiakan. Dia disana tetap belajar mencari ilmu dunia dan akhirat. Tidak hanya itu, Zainuddin memiliki sifat yang dinamis, seperti pada kutipan sebagai berikut. Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan ibunya. Kadang-kadang pula dia menyadar untung malangnya, mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang Minangkabau!..... tetapi bukan itu yang jadi sebabnya, walaupun wang berbilang, emas bertahil, namun pemisah adat masih tebal di negeri itu.58 Ia diusir, meskipun secara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan tersuci benar negeri Minangkabau ini dari dosa. Disumpahinya dalam hatinya kepincangan adat, dikutukinya masyarakat yang terlalu rendah itu. Tetapi dari sedikit kesedikit terbayanglah di mukanya wajah Hayati, tiadalah pantas di negeri Hayati dia menjatuhkan upat dan maki, nista dan cela.59 Pada kutipan pertama merupakan sebuah rasa penyesalan Zainuddin yang telah dilahirkan tapi tidak diakui oleh keluarganya, selalu berpikiran bahwa dia tidak pantas jika hidup di daerah Minangkabau. Pada awalnya dia berpikir jika dia merantau ke negeri asalnya akan diterima oleh keluarga tetapi sebaliknya tidak. Kemudian kutipan kedua, berpengaruh pada tujuannya dia merantau. Tujuan dia merantau untuk menemui keluarga ayahnya dan berkenalan dengan gadis asal Padang yang dia jatuhkan kepada Hayati. Kutipan selanjutnya masih tentang kebencian seorang Zainuddin ketika meluapkan emosi dan kemarahannya, bagaimana ia bersumpah dan memendam kebencian pada adat yang dianut oleh

58 59

Ibid. h. 63. Ibid. h. 118.

77

keluarga Hayati. Selalu saja pikirannya berubah-ubah, ketika emosinya sedang meningkat maka pikirannya pun meluap-luap tetapi bila ingatannya kembali kepada kecintaannya terhadap hal yang bahagia maka emosinya menurun. Itulah yang menyebabkan sifatnya yang dinamis. b. Hayati Hayati peran gadis remaja putri, gadis yang baik, lembut, ramah,

pendiam,

sederhana,

memiliki

kesetiaan,

penyayang,

memiliki belas kasih, sabar, penurut, dan terkesan mudah terpengaruh oleh orang lain. Nama Hayati adalah nama yang jarang dipakai di daerahnya. Berikut kutipannya. Hayati, gadis remaja puteri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu. Hayati adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang selama ini.60 Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-mata kasihan, sahabat, lain tidak jangan engkau salah terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anakanak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang bernasib malang.61 Kutipan pertama adalah penjelasan seorang gadis cantik yang diberi nama Hayati. Nama Hayati bukan sembarang nama, Hayati adalah nama yang belum pernah dipakai pada sebelum-sebelumnya di desa Batipuh itu. Nama-nama gadis di Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai nan Aluih, Talipuk Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati adalah bayangan dari perobahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu.62 Kemudian pada kutipan selanjutnya menandakan seorang Hayati yang punya belas kasihan yang tinggi, terlihat dari surat itu yang ia

60

Ibid. h. 29. Ibid. h. 38. 62 Ibid. h. 29. 61

78

ceritakan ke temannya yaitu Khadijah, dia melihat sosok Zainuddin yang tidak diterima di Minangkabau karena tidak ada keturunan mamaknya dari Padang. Kutipan selanjutnya adalah tentang kisah percintaan dan kesetiaan seorang Hayati terhadap Zainuddin. “Selamat tinggal Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut kalimat syahadat, yaitu : Aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenangkan engkau... Berdasarkan penggalan di atas, penggalan tersebut adalah surat dari Zainuddin yang terakhir kalinya sebelum Hayati menghembuskan nafas terakhir. Hayati mengatakan bahwa dia akan mencintai Zainuddin sampai dia mati. Dia akan menjaga kesetiaannya terhadap Zainuddin, walaupun kehidupan percintaan mereka terhalang oleh keluarga Hayati sendiri. Kutipan selanjutnya menunjukan pribadi Hayati yang penurut ketika dia disuruh untuk meninggalkan Zainuddin. Hayati seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi jiwanya pun tak betah akan mengecewakan hati ninik mamaknya dan kaum kerabatnya. Dia hanya menerima apa tulisan takdir. Dia mencintai Zainuddin, tetapi percintaan itu tidak ada jalannya; percintaan yang tidak ada jalannya itulah yang kerap kali lebih subur dari pada cinta yang ada jalan terentan. Maka tergambarlah pikirannya nasehat-nasehat Khadijah, nampak pula sekarang kokohnya benteng adat yang memagari dirinya, itulah sebab dia termenung....63 Berdasarkan kutipan tersebut hayati adalah seorang yang penurut, dia tidak mau mengecewakan ninik mamaknya dan kaum kerabatnya, kemudian tergambar pula bahwa Hayati seorang yang terkesan mudah terpengaruh dengan orang lain. Dalam kutipan tersebut memang pada awalnya Hayati mencintai Zainuddin tapi terhalang oleh adat yang memisahkan sehingga ninik mamaknya 63

Ibid. h. 115.

79

melarangnya untuk dekat dengan Zainuddin. Khadijah temannya selalu memberikan nasihat kepada Hayati, untuk segera menjauh dengan Zainuddin dengan terpaksa Hayati mengiyakan nasehat temannya itu dan menikah dengan Aziz. c. Mak Base Mak Base adalah orang tua angkat dari Zainuddin. Mak Base memiliki watak yang baik hati, sayang terhadap anaknya. Berikut kutipannya. “Mengapa jadi sebanyak ini, mak Base?” “Mamak perniagakan dan Cuma dari keuntungan itulah pembayaran wang sekolahmu” “Ah, dengan apakah jasa mamak kubalas” ujar Znuddin. “Balasnya hanya satu, bacakan surat Yasin tiap-tiap malam Jumat kalau mamak meninggal dunia pula.”64 Berdasarkan kutipan di atas melalui teknik cakapan antara mak Base dan Zainuddin, terlihat sekali Mak Base sangat memperhatikan anaknya, walaupun dia adalah orang tua angkat tetapi dia benar-benar sayang kepada Zainuddin. Dianggapnya anak kandung, dia memberikan uang untuk biaya Zainuddin merantau ke Padang. Layaknya kasih sayang ibu kepada anaknya, rela memberikan hartanya agar anaknya kehidupannya berkecukupan. Kutipan lainnya yang menunjukan mak Base sangat menyayangi Zainuddin ketika Zainuddin ingin merantau meninggalkannya. Seketika akan berlayar, mak Base mengantar sampai kapal. Mereka bertangis-tangisan, karena berat sangka mak Base bahwa Zainuddin tidak akan bertemu dengan dia lagi.65 “Saya orang tua, Udin, hatiku tak dapat kutahan. Apakah derma seorang perempuan selain dari tangis? Apalagi kerap kali hati mamak berkata, agaknya kita tidak akan bertemu lagi. Coba lihat punggungku yang telah bungkuk.

64 65

Ibid. h. 21. Ibid. h. 24.

80

Mamak takut, kalau-kalau keluarga di padang tak sudi menyambutmu dengan baik.66 Pengarang menggambarkan melalui reaksi tokoh, ketika Zainuddin sudah beraada di kapal dan segera akan pergi, tangisan Mak Base mulai pecah dan beranggapan bahwa tidak akan bertemu lagi. Dia tidak rela apabila Zainuddin pergi jauh meninggalkannya, yang sudah tentu jika pergi ke Padang tidak akan diterima di keluarga ayahnya. Seorang ibu yang tidak ingin jauh dari anaknya. d. Khadijah Khadijah memiliki watak yang sangat berkebalikan dengan Hayati sahabatnya. Khadijah adalah orang kota, tinggal di rumah bentuk kota, orang yang sangat berpenampilan menarik, suka menghasut Hayati, dan berwatak keras kepala. Berikut kutipannya. Khadijah yang terlihat, setengahnya memakai rok, setengahnya berbaju kebaya Bandung yang dijahit menurut model yang paling terbaru..... Khadijah tengah asyik berhias di dalam kamarnya. “Pakaian apa yang kau pakai ini, Hayati? Apakah kau hendak sebagai „lepat‟ bungkus?” Lebih baik kau pergi ke surau saja. Hayati, jangan ke pacuan!” ujar Khadijah. Berikut adalah reaksi Khadijah ketika melihat Hayati yang berpakaian seperti layaknya orang kampung dan tidak berhias diri hanya menggunakan selendang sutera di kepalanya, berbeda dengannya yang tampak modern memakai kebaya buatan Bandung dan berhias diri. Dengan marah dan melarang Hayati untuk ikut kepacuan dan menyuruhnya untuk pergi ke surau. Kutipan lainnya menggambarkan bahwa Khadijah selalu mempengaruhi pikiran dan perbuatannya Hayati, kutipannya sebagai berikut. “Membuka rambut apakah salahnya? Bukankan panas kalau selalu ditutup saja?” “Sebetulnya saya tidak mempunyai pakaian yang demikian.” Kata Hayati pula. 66

Ibid. h. 24.

81

“Itu gampang pakailah pakaianku, itu tersedia dalam lemari, berapa saja kau mau.” Setelah bertengkar-tengkar, yang hampir saja menyebabkan Hayati tidak jadi pergi, tetapi mengingat hendak bertemu dengan Zainuddin nanti. Berdasarkan kutipan tersebut, Khadijah mempengaruhi Hayati untuk berganti pakaian yang seperti dia kenakan. Kemudian menyuruh Hayati untuk melepaskan selendang suteranya yang ada di kepala Hayati. Dengan terpaksa Hayati pun mengikuti apa yang diinginkan oleh Khadijah. Selain memiliki watak yang suka meninggi, sombong, dan suka mempengaruhi Hayati dia juga memiliki watak yang keras kepala. Kutipannya sebagai berikut. Sedang dia asyik membaca surat itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, masuklah Khadijah. Hayati mencoba hendak menyembunyikan surat itu ke bawah bantalnya, tetapi direbut segera oleh Khadijah dan dibacanya. Sehabis dibacanya, mukanya merah padam, bibirnya dicibirkan.67 Wataknya yang keras kepala dan selalu emosi, ketika Hayati mendapatkan surat membuatnya geram terhadap sikap Hayati yang selalu menantikan kehadiran Zainuddin. Khadijah tidak menyetujui jika Hayati menikah dengan Zainuddin, memang niatnya baik agar Hayati tidak miskin ketika dia menikah dengan Zainuddin dan yang berbeda adat. Akhirnya dijodohkanlah Hayati dengan Aziz.

e. Aziz Aziz memiliki watak yang sombong, gagah, tangkas, laki-laki yang pemboros, orang kaya yang suka berfoya-foya, tidak setia, tidak memiliki tujuan hidup, orang yang tidak beriman, tidak bertanggung jawab, penjudi dan suka menggoda rumah tangga orang lain. Terlihat dalam kutipannya sebagai berikut. Ditariknya tangan Hayati ke dalam, disendengnya Aziz dengan sudut matanya, sambil tersenyum. Azizpun 67

Ibid. h. 88.

82

tersenyum, kawan-kawannya yang lain tersenyum pula. Mereka terus berjalan ke dalam Tribune.... Jelas terdengar dan nampak nyata olehnya anak-anak muda itu setelah jauh dari dia, tertawa terbahak-bahak.68 Aziz bekerja di Padang, jauh dari mata orang tuanya, bergaul dengan teman sejawat yang tidak berkentuan perangai, sehingga dia sendiripun telah terturut-turut pula.69 Bilamana hari telah malam, dia pergi ke tempat pergurauan, melepaskan nafsu mudanya. Yang lebih disukainya ialah menghabiskan wang dengan orang-orang yang tak berketentuan. Atau mempermainkan anak anak bini orang.70 Berdasarkan kutipan pertama, Aziz memiliki watak yang sombong dan angkuh. Melihat sosok Zainuddin yang menurutnya anak kampung yang tidak pantas berkenalan dengannya. Seseorang yang memilik watak tidak menghargai orang lain ketika itu langsung saja ditariknya tangan Hayati tanpa permisi dan tertawa seenaknya bersama teman-temannya. Kutipan selanjutnya yaitu Aziz anak orang kaya yang jauh dari orang tuanya, dia bergaul dengan bebas dengan

teman-temannya.

Teman-temannya

tidak

ada

sopan

santunnya, terikutlah sikap Aziz seperti itu karena tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kutipan yang ketiga Aziz yang selalu berfoya-foya, boros selalu menghabiskan uang dengan temantemannya dan dia juga orang yang tidak beriman. Selain itu, Aziz juga seorang penjudi dan pengganggu rumah tangga orang. Kutipannya sebagai berikut. “Si Aziz anak St. Mantari, ibu bapaknya orang Padang Panjang ini, karena dia berkerabat dengan orang berpangkat-pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak pantas. Tetapi perangainya....... Masya Allah!!! Penjudi, pengganggu rumah tangga orang, sudah dua tiga kali terancam jiwanya karena mengganggu anak bini orang.71 68

Ibid. h. 83. Ibid. h. 91. 70 Ibid. h. 91. 71 Ibid. h. 127. 69

83

Berdasarkan kutipan tersebut yang disampaikan melalui cakapan, yang disampaikan dari Muluk kepada Zainuddin. Bahwa Aziz adalah seorang penjudi dan pengganggu rumah tangga orang. Sampai-sampai jiwanya terancam. Anak laki-laki yang digambarkan tidak mempunyai tujuan hidup untuk menikah, meskipun orang tuanya telah berkali-kali menyuruhnya untuk menikah tapi menurutnya jika beristeri itu mengikat langkah, menyebabkan hilang kebebasan. Namun ketika dia melihat Hayati, dia langsung menikah dengan Hayati. Tidak disangka juga perkiraan akan berubah sikap Aziz tetapi malah memburuk, wataknya yang kasar terhadap Hayati, ditinggalkan

dan

diceraikanlah

Hayati

oleh

Aziz.

Berikut

kutipannya. Sudah hampir 2 tahun pergaulan itu. Aziz telah mulai bosan melihat isterinya. Karena di kota yang ramai dan bebas, kalau cinta itu hanya pada kecantikan, maka kecantikan seorang perempuan kelak akan dikalahkan pula oleh kecantikan yang lain. Perubahan perangai Aziz ketika mulai beristeri adalah perubahan dibuat-buat. Perbuatan yang dibuat-buat biasanya tiada tahan lama.72 “Maka sesampainya surat ini, lantaran kau ku ambil dahulunya dengan nikah yang sah menurut agama, sekarang kau kulepaskan pula dengan sah menurut agama. Sesampai surat ini ke tangan adinda, jatuhlah talakku kepadamu 1 kali” Kutipan yang pertama adalah dimana Aziz sudah bosan dengan pernikahannya, Aziz tidak ingin lagi hidup bersama Hayati karena dia pikir bahwa kecantikan Hayati adalah sementara. Aziz orang yang tidak setia terhadap pasangannya. Kemudian di kutipan selanjutnya adalah surat dari Aziz yang diberikan kepada Hayati, surat cerai. Diceraikanlah Hayati oleh Aziz. f. Muluk

72

Ibid. h. 171.

84

Muluk memiliki watak yang baik hati, penolong meskipun dia suka berjudi tetapi sikap dia penurut dan sayang kepada mamaknya. Berikut kutipannya. “Agaknya anak mamak itu, si Muluk bisa menolongmu karena dia banyak pergaulan. Dia pandai berdukun, pandai kepandaian-kepandaian batin. Pergaualannya dalam kalangan orang dukun, ahli silat dan dalam kalangan orang-orang beradat, pun banyak pula. Pulangnya ke rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat ibu dan memberi wang. Dia tidak mau mengganggu kesenangan ibu.”73 “Tetapi hatinya baik, barangkali dia bisa menolong memberimu bicara, kalau pikiranmu tertumbuk.”74 Walaupun Muluk seorang Parewa75 tapi dia sangat sayang kepada ibunya, setiap pulang ke rumah ibunya selalu diberikan uang olehnya. Orangnya baik dan penurut. Kutipan selanjutnya yang menunjukan Muluk adalah seorang penjudi, penyabung, dan pedadu. “Bukan begitu guru” jawab Muluk. “Guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa, penyabung, pedadu, penjudi. Jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemudapemuda Padang Panjang ini, meskipun negeri kami penuh dengan rumah-rumah sekolah agama...”76 Tiba-tiba maknya menyelang “Engku muda ini katanya hendak meminta tolong kepada engkau Muluk. Kalau dapat tolonglah!” “Mana yang dapat saya tolong, Insya Allah guru!” jawab Muluk.77 Berdasarkan kutipan di atas, melalui teknik reaksi tokoh dimana dia menceritakan dirinya sendiri kepada tokoh lain. Muluk menggambarkan dirinya sendiri bahwa dia seorang penjudi,

73

Ibid. h. 123. Ibid. h. 124. 75 Di Minagkabau memang ada satu golongan orang muda-muda yang bergelar “Parwa”. Mereka tak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka ialah berjudi, penyabung, dan lain-lain. Mereka juga ahli dalam pencak dan silat. Pergaulan mereka sangat luas, di antara parewa di kampung dengan kampung lain harga menghargai dan besar membesarkan. Tetapi mereka sangat kuat mempertahankan kehormatan nama suku dan kampungnya. 76 Ibid. h. 125. 77 Ibid. h. 125. 74

85

penyabu, dan pedadu. Tapi di sisi lain Muluk adalah seorang yang sangat penolong terhadap temannya dan selalu memberikan nasihat yang baik kepada Zainuddin. Merantau ke Deli Selanjutkan tokoh dan penokohan yang terdapat pada novel Merantau ke Deli yaitu Leman, Poniem, Mariatun, Suyono, Baginda Kayo, Maryam, Warjo, Sutan Panduko, Ibu Kandung Maryam dan Tuan Qadhi. Tokoh dan penokohan dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Leman Leman merupakan tokoh yang penting juga ndalam novel Merantau ke Deli sama seperti Zainuddin. Leman adalah tokoh utama laki-laki yang melakukan perantauan. Leman digambarkan sosok laki-laki yang selalu berjuang untuk mencari nafkah dengan cara berdagang. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. Di antara pedagang-pedagang yang banyak di dalam kebun ini, adalah seorang anak muda dari Minangkabau, namanya si Leman.78 Seperti pada kutipan di atas, digambarkan bahwa Leman adalah seorang perantau dari negeri Padang yang tujuan rantaunya ke tanah Deli. Dia berprofesi sebagai pedagang di tempat kuli-kuli daerah Deli. Kemudian Leman bertemu dengan wanita Jawa yang bernama Poniem. Leman seorang yang pemberani dalam mengambil resiko, dia ingin menikahi seorang gadis piaraan mandor besar. Seperti pada kutipan sebagai berikut. Kuli-kuli yang lain tidak ada yang berani menganggu perempuan muda itu, maklumlah piaraan “mandor besar”. Hdup mereka bisa celaka, bahkan nyawapun bisa terlepas dari badan, kalau isteri mandor besar yang diganggu. Tetapi

78

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 6.

86

anak muda itu telah lupa daratan, dia lupa bahwa dia orang luar.79 Berdasakan kutipan di atas, terlihat bahwa Leman seorang yang pemberani. Dia tidak peduli bahwa dia berasal dari orang luar. Dia memberanikan diri untuk mendekati Poniem yang dijuluki sebagai piaraan mandor besar. Kemudian Leman mengambil keputusan untuk menikah dengan Poniem. Seperti pada kutipan sebagai berikut. “Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya mengharapkan harta bendamu, melainkan mengharapkan dirimu. Sunggu Poniem, saya bukan seorang penipu!80 Berdasarkan kutipan di atas merupakan keberanian Leman untuk mengambil Poniem dan menikahinya. Setelah berjalannya waktu, Leman pun menjadi seorang kepala rumah tangga yang memang seharusnya mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kecilnya. Leman digambarkan sosok tokoh yang sangat gigih dalam bekerja. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Dari sebulan kesebulan, dari setahun kesetahun, bertambah bersinarlah hidup mereka, baik kekayaan lahir atau kekayaan batin. Kedainya yang tadinya hanya kecil saja, sekarang telah besar, sudah banyak saudagar besar di Medan yang suka melepaskan barang kepadirnya dan sudah banyak pula langganan yang datang membeli.81 Berdasarkan kutipan di atas Leman seorang suami yang bertanggungjawab terhadap istrinya. Pada awalnya dia bekerja sebagai pedagang, tetapi perniagaannya yang kecil kian lama kian mundur, hingga hanya tinggal kain-kain dan barang-barang yang 79

Ibid., h. 7 – 8. Ibid. h. 16. 81 Ibid. h. 38 – 39. 80

87

tidak terjual. Tetapi ada seorang istri yang selalu membantunya dan mendukungnya sampai pada akhirnya perniagaan Leman terus semakin sukses dan Leman orang yang baik untuk menampung seorang laki-laki dari Jawa yang bernama Suyono guna membantu dia di kedainya. Tapi dengan berjalannya waktu Leman pulang kampung dan bertemu dengan gadis asal daerahnya sendiri, Padang. Sifat dan sikapnya sangat berubah, perjanjian dia dengan istrinya luntur untuk akan tetap setia. Dia menikah dengan Mariatun dan menjadi pemarah. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Leman duduk saja dengan tenang. Qadhi telah melakukan ijab dan kabul, pernikahan telah langsung dan hidangpun dimakan orang. Beberapa saat kemudian, tetamutetamu pulang ke rumahnya masing-masing dan pengantenpun masuk ke peraduan.82 “Ah ada-ada saja, kalian semuanya bodoh-bodoh. Semuanya tidak tau diuntung. Nanti kalau saya tidak tahan lagi keduanya saya tempeleng, atau keduanya saya usir dari sini seperti mengusir anjing.” Ujar Leman dengan marah dia turun ke bawah dan begitu pula perkataanya kepada Poniem.83 “Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun! Sebelah mata saya tak bisa dipandang pada kau lagi. Pergilah dari sini, mulai sekarang saya jatuhkan talak tiga sekali! Pergilah!” Hening beberapa saat.84 Terdapat tiga kutipan yang tertulis di atas, penjelasannya adalah kutipan pertama menandakan bahwa janji kesetiaan yang dimiliki Leman sudah pudar setelah Leman bertemu dengan Mariatun gadis cantik yang berasal dari padang. Leman tidak memperdulikan istri tuanya, meskipun dia meminta izin baik-baik terhadap istri tuanya. Dia pun menikah atas suruhan dari

82

Ibid. h. 99. Ibid. h. 123. 84 Ibid. h. 131. 83

88

keluarganya,

dia

tidak

bisa

menolak.

Semenjak

Leman

memperistrikan Mariatun sikapnya pun berubah menjadi arogan dan pemarah, dapat dilihat pada kutipan yang kedua. Ketika Poniem dan Mariatun sedang bertengkar emosinya mudah meluap, ucapannya tidak dijaga. Semakin lama dua istri itu semakin tidak akur kehidupannya, Leman melupakan janji yang dulu telah diucapkan kepada Poniem, sumpah yang dulu sudah diingkarinya di hapadan sumpah Tuhan. Amarahnya yang tidak dapat dipendam dan dia menceraikan Poniem. Perubahan watak itu tergambar jelas ketika Leman sudah menceraikan Poniem dan menerima dengan lapang karena setelah ditinggal Poniem kehidupannya tidak seperti dulu lagi. Kutipannya sebagai berikut. Setelah dia duduk, Suyono minta permisi ke belakang menjemput Poniem. Sepeninggal Suyono beredar mata Leman melihat dinding, tetapi dia tidak berani tegak dari kursinya lantaran malu...... takjub dia melihat perubahan Suyono di dalam masa tiga tahun, dan menaruh hormat dia di dalam hati kepada istri Suyono yang pandai rupanya mengatur rumah.85 Berdasarkan kutipan di atas walaupun dia sudah tidak sukses lagi seperti dulu dan Suyono yang dulunya adalah bawahannya dia. Sekarang Suyono lebih sukses dari Leman, tetapi Leman tetap menghargai Suyono, tidak memiliki rasa iri dan dengki. Leman menaruh rasa malu dan hormat kepada Suyono. Sikap itulah yang tertanam di diri Leman. Dari beberapa kutipan di atas banyak sikap, sifat, dan watak Leman yang dinamis. Terlihat ketika dia ingin menikahi Poniem sifatnya yang sangat baik, lemah lembut, dan berjanji setia. Tetapi ketika dia menikah yang kedua kalinya bersama Mariatun, sifatnya yang mudah marah dan emosi. Pada akhirnya sifat yang aslinya adalah memang Leman sosok orang yang sangat baik, hanya saja 85

Ibid. h. 181.

89

emosinya dia terbawa karena menikah dengan orang yang manja dan selalu menyusahkan seperti Mariatun. Leman adalah tokoh yang dapat dikategorikan sebagai tokoh utama laki-laki. Seperti halnya Zainuddin tokoh utama pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Mereka pelaku tokoh utama yang menjalankan perantauan, dengan tujuan yang masing-masing berbeda. Leman sebagai tokoh utama, selalu muncucl di dalam setiap kejadian di dalam novel. Leman mengalami berbagai masalah yang dialaminya, ketika dia merantau ke Deli dan menemukan istrinya kemudian

jatuh

miskin

karena

perniagaannya

mengalami

kemunduran tetapi selalu ada istrinya yang menyemangati. Leman sebagai tokoh utama sangat menentukan perkembangan alur cerita secara keseluruhan. Selain sebagai tokoh utama, Leman juga dikategorikan sebagai tokoh kompleks atau tokoh bulat. Leman sebagai tokoh mengalami

perubahan-perubahan

dan

perkembangan

sikap.

Perubahan ini terkait dengan menikahnya Leman dengan Mariatun gadis yang berasal dari daerahnya atau jodohan dari keluarganya. Sikapnya yang mudah marah, arogan dan emosi. Leman merupan tokoh yang mencerminkan kehidupan manusia yang sesungguhnya yang memiliki berbagai kemungkinan mengalami perubahan sikap dalam diri Leman, yang memang ada di kehidupan sehari-hari. Maka dari itu Leman dapat dikategorikan sebagai tokoh kompleks. Tokoh Leman juga dapat dikatakan sebagai tokoh dinamis karena Leman mengalami perubahann watak dengan perkembangan alur peristiwa yang dikisahkan pada novel tersbeut. Sikap dan watak Leman mengalami perkembangan mulai dari awal, pertengahan, dan akhir cerita sesuai dengan urutan peristiwa secara logis dan keseluruhan.

90

b. Poniem Poniem dalam novel Merantau ke Deli juga menjadi tokoh yang mempunyai peran penting seperti Leman. Poniem sebagai tokoh utama perempuan yang digambarkan sosok perempuan Jawa yang halus budinya, baik, walaupun dia adalah seorang piaraan mandor besar. Kehidupannya sebagai piaraan mandor besarpun bukan keinginannya. “Begini Bang,” kata perempuan itu meneruskan pembicaraannya: “Sesungguhnya tidaklah saya sangka bahwa saya akan terperosok ke dalam dunia kuli-kuli ini. Ibu bapakkku orang baik-baik di suatu desa di Ponorogo. Pada suatu ketika datanglah ke rumah kami seorang anak muda mengatakan hendak meminta saya menjadi istrinya, diberinya ibu bapak saya uang. Maklumlah hidup di desa.....”86 “Tidak rupanya dia bekerja menjadi kuli di dalam kebun ini. Maka sejak meninggalkan pelabuhan Tanjung Priuk, terlepaslah saya dari segala penjagaan, macammacamlah ancaman hidup saya, selalu saya di dalam bahaya, banyak kuli-kuli itu yang hendak mempermainkan saya.”87 “Benar Abang, saya bergaul dengan dia di luar nikah, tetapi hidup saya aman sentosa dengan dia. Pakaian, makan minum saya cukup diberinya, sehingga nasib saya tidak serupa dengan nasib kuli-kuli lainnya..... lagi pula tidak ada kesalahannya kepada saya, jadi tidak ada pula sebab-sebab buat saya meninggalkan dia.”88 Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa Poniem adalah seorang pelacur atau piaraan mandor besar. Memang keinginan awalnya dia tidak menginginkan keadaannya seperti itu. Poniem digambarkan sebagai perempuan Jawa kelas bawah yang merantau ke Deli untuk diajak oleh orang rumah yang memintanya sebagai istri, tetapi dia malah tertipu oleh laki-laki itu. Poniem sekarang dianggap menjadi cewek murahan yang mau saja sebagai piaraan mandor. Tetapi dengan bertemunya Poniem dengan Leman, 86

Ibid. h. 11. Ibid. h. 12. 88 Ibid. h. 12 87

91

Poniem dinikahkan dengan Leman dan terbebas dari mandor-mandor di kebun itu. Setelah dia diperistri oleh Leman kehidupannya seperti layaknya seorang istri yang baik dan selalu patuh kepada suaminya. Terlihat jelas pada kutipan sebagai berikut. “Itu tidak lurus abang, kesusahan ini mestilah kita pikul beruda. Bukankah dahulu, sebelum abang mengambil aku menjadi istri abang, abang hanya menyusahkan perut seorang, menyusahkan kain baju seorang, sehingga penjual berkecil-kecil telah mencukupi. Sekarang kita telah berdua, abang menghabiskan kekuatan sendiri untuk pikulan berdua.89 Berdasarkan kutipan tersebut, Poniem sebagai istri adalah seorang yang sangat nurut dan patuh terhadap suami. Rela berkorban demi suaminya. Poniem seorang perempuan Jawa yang tetap teguh pada pendiriannya sebagai istri yang berasal dari daerah Jawa yang selayaknya harus membantu suami bekerja walaupun hanya dengan doa dan sedikit rezeki yang dia punya. Tetapi takdir berkata lain ketika di dalam cerita itu, Leman meminta izin kepada Poniem untuk menikah lagi. Dengan berat hati, karena dia sangat mencintai Leman dan tidak ingin diceraikan maka dia mengiyakan kemauan suaminya untuk menikah lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Berangkatlah bang, mengapa abang lalai jua. Lekaslah bang, orang sudah payah menanti, suruhannya sudah datang.” “Tidak bang, berangkatlah lekas. Orang telah banyak menunggu, Yem tak marah” “Secinta-cintanya abang kepada istri muda abang, namun aku jangan abang ceraikan.”90 Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa Poniem memang benar-benar sebagai seorang istri yang penyabar dan menuruti semua keinginan suaminya. Selain itu juga Poniem seorang wanita yang selalu kerja keras dan religius. Ketika Poniem sudah sah menjadi 89 90

Ibid. h. 33. Ibid. h. 98.

92

istri pertama dan Mariatun menjadi istri kedua, kehidupan Poniem menjadi cukup berat, yakni sebagai seorang istri pertama dia selalu mengalah dan selalu menjadi tujuan utama kemarahannya seorang suami. Bahkan sampai-sampai dia diceraikan. Tetapi kehidupannya tetap berjalan dengan baik setelah dia menikah lagi dengan Suyono, pegawai di kedainya dulu. Poniem sebagai tokoh utama perempuan dalam novel Merantau ke Deli, sama halnya dengan Hayati seorang tokoh utama dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dengan kemunculan mereka sebagai tokoh utama, mereka sebagai pelaku yang sering dikenai kejadian di dalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya. Poniem memiliki sifat yang statis, karena dari awal penceritaan yang hidupnya sengsara tinggal bersama kuli mandor, kemudian bahagia karena menikah dengan Leman namun di pertengahan cerita Poniem harus diceraikan oleh Leman karena Leman menikah lagi, dan diakhir penceritan kemudian dia hidup bahagia bersama Suyono. Alur penceritan inilah menunjukkan bahwa Poniem mempunyai sifat yang statis, tidak mengalami perubahan ketika kejadian apapun yang dihadapinya. c. Suyono Suyono adalah tokoh tambahan pada novel Merantau ke Deli. Suyono merupakan laki-laki yang berasal dari Jawa. Berawal dari dia berjalan di depan kedainya Poniem dengan penggambaran fisik seperti pakaiannya telah berbau, dengan ikat kepala yang teruntai ke keningnya. Dia seorang kuli di sebuah kedainya Poniem. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Soal gaji, saya menurut saja dan tidak digajipun saya terima karena telah dapat saja saya bekerja di sini, sudah sangat besarlah pertolongan engku terhadap diri saya.”

93

“Ya, bekerjalah di sini. Tinggalah dengan kami, bersungguh-sungguh. Tolonglah Mbak Ayumu bekerja, baik di muka atau di belakang.”91 Kutipan di atas menggambarkan tokoh Suyono seorang kuli di kedainya Leman dan Poniem yang awalnya dia adalah seorang yang sangat lusuh sedang mencari pekerjaan dan akhirnya dia diterima untuk menjadi kuli di sana. Setelah beberapa bulan lamanya Suyono tinggal di kedainya Poniem dan Leman, jelas bahwa Suyono mengetahui seluk beluk rumah tangga mereka tapi tidak sedikitpun Suyono mengikutcampuri urusan rumah tangga mereka. Selain itu Suyono orang yang sangat setia, hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Ya barangkali tidak akan kembali lagi. Bukankah saya kuli kontrak pula?” dan orang Jawa pula?” “Kalau Mbak ayu suka, saya akan mengikuti ke mana Mbak ayu pergi. Bukankah kita senasib?”92 Kutipan di atas menggambarkan tokoh Suyono yang begitu setia kepada teman satu kampung halamannya karena pada penceritaannya Poniem diceraikan dan diusir oleh Leman sehingga Suyono pun ikut pergi dengan Poniem. Alur inilah yang mempengaruhi cerita, kemudian Suyono menikahi Poniem. d. Mariatun Mariatun digambarkan sebagai gadis yang berasal dari Padang yang sangat materialistis dan licik. Sebagai istri muda dari Leman, Mariatun begitu manja dan pemalas. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Dia tidur di loteng, bangunnya tinggi hari, turunnya dari tangga loteng itu dilambat-lambatkannya kakinya, padahal kamar Poniem di bawah tangga loteng itu. Sedangkan Poniem sudah semenjak tadi repot

91 92

Ibid. h. 42. Ibid. h. 135.

94

menyelenggarakan dapur dan menyiapkan makanan dan minuman.93 Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan Mariatun seorang istri yang begitu manja dan pemalas, ketika istri pertama bangun pagi-pagi sudah menyiapkan untuk sarapan tetapi lain halnya dengan Mariatun yang sangat pemalas siang hari baru bangun. Semakin lama semakin terlihat sifat dan sikap diri tokoh Mariatun. Selain itu dia hanya seorang wanita yang hanya pandai berdandan saja. Seperti pada kutipan sebagai berikut. Kalau dia mandi bukan main lamanya di kamar mandi, berbedak dan berlangir dahulu, setiap pagi dan sore bertukar baju, bedaknya ditebal-tebalkan dan hampir setiap pagi rambutnya dibasahinya, ketika memeras rambut itu dengan kain handuk, sengaja agak diperlihatkan di muka Poniem.94 e. Bagindo Kayo Bagindo Kayo merupakan sanak saudara Leman yang usianya jauh lebih tua dari Leman dan merupakan orang yang selalu ia ajak berkonsultasi. Bagindo Kayo digambarkan sebagai sosok yang berpikir logis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. “Oh, jadi rupanya masih hendak mencoba-coba! Saya Cuma memberi ingat karena siapapun perempuan, bagaimanapun hinanya, buruk dan baiknya adalah kepandaian laki-laki memegang, lain tidak. Kalau sekiranya engkau pandai mengasihi engkau beroleh isteri, yang setia, walaupun dia bukan orang „awak‟. 95 Berdasarkan kutipan di atas, Bagindo Kayo adalah seorang mamak dari Leman yang tinggal di Medan. Bagindo Kayo selalu memberi nasihat kepada Leman, beliau sudah sangat berpengalaman tentang kehidupan di tanah Deli. Leman selalu berkonsultasi kepada Bagindo Kayo baik dalam masalah pernikahan maupun perniagaan.

93

Ibid. h. 114. Ibid. h. 114. 95 Ibid. h. 26. 94

95

Tokoh-tokoh yang terdapat pada novel Merantau ke Deli mempunyai peran masing-masing dan memiliki penokohan atau karakter yang berbeda-beda sesuai dengan daerah yang dibawanya. Melihat seperti contoh tokoh pada Poniem dan Suyono, digambarkan seorang tokoh yang berasal dari Jawa yang kita ketahui bahwa orang yang berasal dari Jawa biasanya sangat lembut dan sabar. Lainnya halnya dengan Leman dan Mariatun, begitu berbeda dengan Poniem dan Suyono. Tetapi tidak semuanya orang Padang seperti itu, Hamka menggambarkan sosok Leman pun orang yang baik dan sabar ketika dia hidupnya masih bersama Poniem tetapi ketika menikah dengan Mariatun sikapnya menjadi emosian dan cepat marah. Selain itu ada beberapa tokoh lainnya seperti Suyono, Mariatun, Bagindo Kayo, Ibu Mariatun, Maryam, dan Suton Panduko mereka dikategorikan sebagai tokoh sederhana dan statis. Hal ini karena mereka hanya memiliki satu kualitas, satu sifat, dan satu karakter. 4. Latar Latar merupakan penggambaran tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Tempat, waktu, dan suasana tersebut saling berkaitan menghidupkan peristiwa-peristiwa tersebut seolah benar-benar terjadi. a. Latar Tempat Latar tempat berarti berkaitan dengan di mana peristiwa itu terjadi, misalnya di pedesaan, di perkotaan, dan lainnya. Latar tempat yang terjadi pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebagai berikut. 1) Makasar Makasar adalah tempat di mana Zainuddin lahir dan dibesarkan oleh mak Base. “Di waktu senja demikian kota Mengkasar kelihatan hidup.”96 Kota yang sangat indah panorama

96

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Deri Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 9.

96

yang menghadap ke laut dan terdapat benteng Kompeni. Benteng tersebut tempat sekitar 90 tahun yang lalu Pangeran Diponegoro kehabisan hari tuanya sebagai buangan politik. Kemudian mengkasar adalah kota yang memberikan cahaya dan kota yang penuh dengan riwayat dan sejarah. Kota Makasar merupakan kota kelahirannya Zainuddin, tinggal bersama

ayah dan ibunya. Kota yang memulai

penceritaan awal ketika dia ditinggal oleh ayah dan ibunya, menjadi seorang anak yatim piatu. Tetapi mak Base lah menjadi orang tua angkatnya dan merawatnya hingga dewasa ketika dia masih di Makasar. 2) Padang Panjang Padang Panjang adalah latar tempat

atau

tujuan

merantaunya Zainuddin yang pertama kalinya tepatnya di dusun Batipuh. Kota Padang Panjang, tempat ayahnya dilahirkan. Dalam kutipannya. Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli.97 Kota Padang Panjang adalah kota dengan luas wilayah terkecil di Sumatera Barat. Pada kota ini terdapat Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) yang menyediakan berbagai informasi dan dokumentasi tentang sejarah dan budaya Minangkabau berupa buku-buku, mikrofilm, foto, dan sebagainya. Latar tempat ini mempengaruhi awal penceritaan ketika Zainuddin merantau pertama kali yang bertujuan untuk menemui keluarga ayahnya tetapi nasib berkata lain, dia seperti orang yang 97

Ibid. h. 26.

97

diasingkan. Tidak hanya itu kota inilah pertemuan antara Zainuddin dan Hayati.

3) Jakarta Jakarta dimana tempat Zainuddin singgah atau tujuan rantauannya yang kedua untuk mengenalkan bahwa Zainuddin seorang penyair

atau

pengarang

yang terkenal.

Berikut

kutipannya. Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke Tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampainya di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi bersama sahabatnya Muluk.98 Kota Jakarta lah Zainuddin mulai mengadu nasib untuk mencari pekerjaan yang sesungguhnya yaitu dengan menjadi seorang pengarang, selalu dia kirimkan karangannya kepada surat kabar harian. Jakarta adalah ibu kota negara Republik Indonesia, dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527). Di Jakarta memang banyak sekali surat-surat kabar yang sangat terkenal pada masanya, seperti Koran Sindo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Republika, Kompas, Warta Kota, dan sebagainya. Tujuan lainnya ketika dia merantau ke Jakarta adalah disebabkan dia diusir oleh keluarga mamak Hayati agar segera menjauhi Hayati. Di Jakartalah Zainuddin memulai hidup barunya dengan bekerja sebagai penyair. 4) Surabaya Surabaya adalah tempat dimana dia merantau untuk yang ketiga. Kutipan ceritanya sebagai berikut. Dari pada bekerja di bawah tangan orang lain, lebih suka dia mengeluarkan dan membuka perusahaan 98

Ibid. h. 155.

98

sendiri. Oleh karena itu, kota Surabaya lebih dekat dengan Mengkasar, dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi....99 Surabaya adalah kota rantauannya yang terakhir kalinya, disana dia lebih mengembangkan dirinya sebagai pengarang. Dia membuka usahanya sendiri karena dia tidak ingin hidup bergantung dengan orang lain. Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Pindahnya rantauan Zainuddin dari Jakarta ke Surabaya, disebabkan karena dia ingin lebih hidup mandiri lagi. Merantaunya Zainuddin ke Surabaya ditemani oleh sahabatnya yang bernama Muluk. Tetapi tidak disangka kota terakhir ini yang dia rantau, Zainuddin bertemu dengan Aziz dan Hayati. Aziz menitipkan Hayati kepada Zainuddin untuk tinggal bersamanya sementara Aziz mencari pekerjaan di Semarang. 5) Pelabuhan Pelabuhan Tanjung Perak dimana Hayati akan pulang kembali Padang Panjang dan tempat pertemuan terakhirnya dengan Zainuddin. Berikut kutipannya. Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van Der Wijck yang menjalani lijn K.P.M. dari Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak.100 Pelabuhan Tanjung Perak adalah sebuah pelabuhan yang terletak di Surabaya, Jawa Timur. Tanjung Perak merupakan pelabuhan terbesar di Indonesia dan menjadi kantor pusat PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia III. Selanjutnya latar tempat yang terdapat pada novel Merantau ke Deli yang pertama adalah Deli. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. 99

Ibid. h. 156. Ibid. h. 200.

100

99

1) Deli Latar

peristiwa

di tanah Deli

merupakan

adanya

pergeseran yang suasana yaitu ketika Poniem diajak ke tanah Deli yang amat menyenangkan, akan tetapi setelah diajak oleh seorang laki-laki ke tanah Deli, Poniem menjadi kecewa karena tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Karena keras bujukannya, saya pun diserahkan orang tua saya kepadanya, karena katanya akan dibawanya merantau ke tanah Deli. Bukan main besar hati ibu bapak saya melepas saya merantau sejauh itu, nama Deli sudah amat mahsyur di desa kami.101 Berdasarkan kutipan di atas merupakan latar awal cerita pada novel Merantau ke Deli, Poniem merantau ke Deli karena bujukan oleh seorang laki-laki yang menjanjikannya untuk menikahinya tetapi Poniem tertipu oleh laki-laki itu dan dipekerjakan sebagai pelacur. Kutipan selanjutnya latar yang mempengaruhi tokoh utama laki-laki, yaitu Leman sebagai berikut. Meskipun ketika dia akan meninggalkan kampunya dahulu telah diberi ingat benar-benar oleh orang tua supaya hati-hati di tanah Deli.102 Kutipan selanjutnya merupakan latar tempat yang mempengaruhi tokoh utama untuk merantau, tujuan dia merantau adalah kota Deli. Kota deli adalah sebuah kecamatan di kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Desa kecil yang luas wilayahnya 9,36 km2 yang terdiri dari 3 desa dan 3 kelurahan. Kota yang dituju oleh Leman untuk mencari pekerjaan yang layak, dia bekerja sebagai pedagang.

101 102

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 10. Ibid. h. 6.

100

2) Medan Kemudian latar tempat selanjutnya yaitu di Medan, yaitu tempat mengadakan ijab kabul, Leman dan Poniem menikah dan dinikahi secara Islam. Dan menjadi tempat tinggal Leman dan Poniem. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut. Mereka telah berangkat ke Medan pada hari itu juga dan terus ke rumah tuan Qadhi. Mereka telah dinikahkan dengan sah secara Islam. Di luar rumah tempat mengakadkan ijab dan kabul itu telah menanti masyarakat, telah menanti pergaulan dan kehidupan, yang akan ditempuh oleh ke dua sejoli, akan mereka rasai pahit dan getirnya.103 Latar peristiwa di Medan mempengaruhi penokohan Leman yang telah berganti statusnya menjadi suami Poniem. Dalam peristiwa ini adanya suasana senang yang dialami oleh Leman dan Poniem yang telah menjadi suami isteri setelah Leman mengucapkan ijab dan kobul. Selain itu juga kota Medan adalah tempat pembelian barang-barang perniagaan Leman dan Poniem. Tiap-tiap bulan tua, dia sendiri yang pergi ke Medan membeli barang-barang baru, tuan-tuan toko telah percaya untuk memberikan barang-barang yang laku untuk dijualkan, walaupun dengan bayaran yang tidak kontan. Saudagar-saudagar yang berada sebelah menyebelah kedainya merasa tercengang, ada pula yang iri hati melihat kemajuan yang telah dicapainya.104 Berdasarkan kutipan di atas latar tempat di kota Medan adalah tempat pembelian barang-barang perniagaan, di sana sudah banyak langganan dan kenalan Leman. Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota ini merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa dan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.

103 104

Ibid. h. 26. Ibid. h. 43.

101

Kemudian peristiwa di Medan selanjutnya yaitu ketika Suyono akan membeli rumah dan bertemu dengan Leman disini Leman pun merasakan penuh penyesalan dari masa lalunya. Disini pula Leman meminta tolong dengan Suyono agar mempertemukannya dengan Poniem. Setelah bertemunya Leman dengan Poniem, Leman menjadi malu sehingga mukanya menunduk saja. Dan akhirnya Leman meminta maaf kepada Poniem. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Biarlah sekarang saya nyatakan. Kedatangan saya kemari, sebagai kemarin telah saya nyatakan kepada Suyono, ialah hendak menemui engkau, Poniem. Yaitu hendak meminta maaf atas kesalahanku. Baik juga kita bermaaf-maafan, karena umur di tangan Tuhan. Meskipun kita telah bercerai jauh dibawa nasib masingmasing....”105 Berdasarkan kutipan di atas terlihat penyesalan Leman terhadap Poniem dan Suyono. Hal ini membuat Leman merasa tidak enak hati atas kejadian yang lalu. Kemudian Suyono mengatakan bahwa ia telah menikahi Poniem. Disinilah suasana Leman menjadi pucat, lemas, malu bercampur menjadi satu. 3) Padang Kemudian

latar

tempat

yang

selanjutnya

adalah

Minangkabau yaitu tanah kelahiran Leman. Ketika Leman hendak pulang ke kampungnya dan Poniem ikut serta. Namun di Minangkabau, Leman dan Poniem tidak leluasa karena rumah yang

ditinggali

Leman

adalah

kerabat-kerabatnya

yang

perempuan dan bagi laki-laki yang membawa istrinya tidak tersedia tempat untuknya. Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagaklagaknya Deli betul-betul, memakai baju teluk belanga sama corak bajunya dengan celana....106 105 106

Ibid. h. 183. Ibid. h. 50.

102

Leman tersenyum-senyum simpul saja, dia merasa amat bangga, ada rupanya dia berkaum kerabat. Poniem telah dibimbing oleh perempuan-perempuan muda itu naik ke rumah.107 Rumah-rumah di Minangkabau tidak tersedia untuk saudara laki-laki yang hendak membawa isterinya tingal di sana.108 Berdasarkan kutipan tersebut menandakan Leman telah sampai dan disambut oleh sanak saudaranya. Saudaranya yang merindukannya setelah kurang lebih empat tahun dia merantau. Selain itu kutipan selanjutnya Latar peristiwa di Minangkabau ini mempengaruhi penokohan Leman yang terbujuk rayu untuk menikah lagi dengan seorang gadis muda, cantik, perawan dan sekampung yang bernama Mariatun. Setelah Sutan Panduko memperlihatkan foto Mariatun, Leman pun terus terbayangbayang akan wajah cantik Mariatun sang calon isterinya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Itulah yang meragukan hati Leman. Dia memang sayang kepada Poniem. Tetapi....... ya wajah Mariatun telah terbayang-bayang di ruang matanya. Alangkah lebih senangnya jika Mariatun itu disuruh memakai oakaian yang bagus-bagus”109 Maka suasana yang terjadi pada peristiwa ini yaitu kebingungan Leman antara akan menikah lagi dengan orang senegerinya atau tidak. Dan Leman akhirnya menyetujui untuk menikah lagi dengan Mariatun dan dengan persetujuan Poniem. b. Latar Waktu Latar waktu yang terdapat pada novel Tenggelamnya kapal van Der Wijck adalah pagi hari, senja, malam hari, Senin tanggal 19 Oktober 1936, dan Selasa tanggal 20 Oktober 1936. Hal berikut dapat dilihat dari kutipan cerita di bawah ini. 107

Ibid. h. 51. Ibid. h. 55. 109 Ibid. h. 65. 108

103

Di waktu senja demikian kota Mengkasar kelihatan hidup, kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang, apalagi telah sore diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam.110 Jelas sekali, berdasarkan kutipan di atas waktu yang digambarkan ialah senja atau sore hari, karena dijelaskan pada teks ketika orang-orang baru pulang kerja dari siang hari dan ketika senja keletihan itu bisa terbayarkan dengan pemandangan yang indah di kota Mengkasar lebih lagi melihat matahari yang akan terbenam. Latar waktu selanjutnya adalah malam hari, dimana Hayati merenungkan pikirannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. Demikianlah, hampir seluruh malam hayati karam di dalam permohonannya kepada Tuhan, supaya Tuhan memberi perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab sangat sekali surat Zainuddin mempengaruhi jiwanya.111 Berdasarkan kutipan di atas, tertera kata seluruh malam yang mengartikan bahwa Hayati selama semalaman memikirkan dan memohonkan untuk memberikan perlindungan kepada Zainuddin yang diasingkan oleh keluarganya sendiri. Latar waktu berikutnya adalah pagi hari ketika Zainuddin diusir dari kampung ayahnya, karena dianggap bukan sanak saudaranya. Berikut kutipannya. Boleh dikatakan tiada terpericing matanya semalam itu. Setelah ayam berkokok tanda siang, dia telah turun membasuhmukanya ke halaman dan mengambil wudhu, terus sembahyang shubuh. Tidak berapa saat kemudian, fajarpun terbitlah dari jihat Timur, kicau murai di pohon kayu, dan kokok ayam di kandang.112 Pada kutipan tersebut menunjukan aktivitas umat muslim seperti biasa, membasuh muka mengambil air wudhu dan segera 110

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 9. Ibid. h. 43. 112 Ibid. h. 64. 111

104

shalat shubuh. Latar tersebut jelas menggambarkan di pagi hari dengan adanya kicauan burung dan ayam berkokok di pedesaan yang masih asri. Latar waktu selanjutnya dengan penggunaan hari, yaitu hari Kamis. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Hari perkawinan telah ditentukan, petang Kamis malam Jumat disamakan diantara Aziz dengan adiknya Khadijah. Sebelum hari yang ditentukan itu datang. Hayati asyik memperbaiki rumah tangganya, mengatur bunga-bunga berkarang, pemberian kawan-kawannya, gelas dan baki, pinggan dan cawan.113 Pada kutipan di atas menunjukkan latar waktu menggunakan hari Kamis, pada saat hari yang ditentukan oleh keluarga Hayati dan Aziz dilangsungkanlah pernikahan adat mereka. Sebelum acara dimulai, Hayati masih merapikan keadaan seisi ruang rumah dengan pemberian hiasan dari kawankawannya. Oktober 1936 Latar waktu pada novel ini terdapat juga menyatakan bulan dan tahun kejadiannya, tetapi oleh pengarang hanya disampaikannya ketika penceritaan berakhir. Berikut kutipannya. Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van Der Wijck yang menjalani lijn K.P.M. dari Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjung Priuk, dan terus ke Palembang. Penumpang-penumoang yang akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di pelabuhan tanjung Priuk. Besoknya hari Selasa, 20 Oktober 1936, barulah Zainuddin kembali ke Malang. Dia masuk ke dalam rumah dengan wajah muram, terus ke kemar tulisnya.didapatinya Muluk sedang membersihkan bukubuku dan menyusun kertas-kertas yang terserak di atas meja.

113

Ibid. h. 140.

105

Berdasarkan latar waktu dari penggalan cerita di atas, pada kutipan pertama pada saat Hayati si gadis Minang akan kembali ke Padang Panjang karena sebelumnya dia berada di Surabaya bersama suaminya yang kini telah meninggal. Kutipan yang kedua adalah pada saat Zainuddin ditinggalkan oleh Hayati untuk pergi kembali ke kampung halamannya. Sedangkan pada novel Merantau ke Deli tidak terlalu spesifik dimunculkan pada keterangan waktu misalnya bulan dan tahun tetapi pengarang menjelaskan latar waktunya dengan menggunakan transportasi zaman dulu sekitar tahun 1930-an. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagaknya lagak Deli betul, memakai baju teluk belanga sama corak bajunya dengan celana, bersamping kain sarung halus, berpeci beledu tinggi dan berselop capal.114 Transportasi yang disebutkan di atas adalah transportasi zaman dulu sekitar tahun 1930-an yang ada di Sumatera Barat yang dinamakan oto. Transportasi ini sudah tidak ada lagi hanya saja mungkin zaman sekarang diganti dengan nama delman atau bendi. c. Latar Sosial Latar sosial menghubungkan pada hal-hal yang brkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks juga diceritakan dalam karya sastra. Tata caranya meliputi adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, kebiasaan hidup, cara berpikir, dan cara bersikap. Masyarakat Minangkabau termasuk kelompok yang mempunyai kebiasaan merantau. Kemudian mayoritas masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Agama Islam dalam 114

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 50.

106

masyarakat Minangkabau telah menjadi dasar yang kuat. Hal ini merupakan

kebiasaan

kehidupan

sehari-hari

masyarakat

Minangkabau. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Deri Wijck, latar sosialnya adalah tokohnya melakukan ketaatan beribadah. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Tiba-tiba, timbul pulalah seruan dari jiwanya kepada Tuhan yang melindungi seluruh alam, diserukannya di waktu tengah malam demikian, di waktu segala doa makbul. Pujianku tetaplah pada-Mu ya Illahi!115 Sedangkan pada novel Merantau ke Deli adalah sikap sosial yang saling tolong menolong sesama manusia. Sikap saling tolong menolong merupakan sikap yang terpuji. Sehingga pada novel ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Entah apa yang jadi sebabnya, entah karena melihat bayangan ketulusan yang terlukis di muka kuli itu atau entah karena melihat badannya yang telah lemah karena kurang makan, jatuh sajalah rasa rahim dan kasihan di hati keduanya.116 Berdasarkan kutipan di atas menerangkan bahwa sikap sosial atau belas kasih yang dimiliki Leman dan Poniem. Latar sosial ini mempengaruhi penceritaan dengan kehadirannya tokoh baru yaitu Suyono, sosok laki-laki yang sudah lusuh tetapi dengan digajinya sebagai kuli sekarang Suyono sudah terlihat bersih dan mempunyai pekerjaan tetap. Dengan adanya Suyono sama-sama yang berasal dari daerah Jawa dengan Poniem membuatnya hidup bahagia setelah bercerai dengan Leman. 5. Sudut Pandang Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya

115 116

Op. Cit. h. 44. Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 42.

107

fiksi kepada pembaca.117 Sudut pandang yang digunakan dalam novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck adalah menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang yang menggunakan pengisahan dengan gaya “dia”. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, pengarang menampilkan tokoh-tokohnya dengan nama orang, seperti Zainuddin, Hayati, Daeng Habibah, Pendekar Sutan, Mak Base, Khadijah, Aziz, Muluk, dan Mak Limah. Seperti dalam penggalan cerita berikut. Tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa dia telah kaya, telah sanggup menghadapi kehidupan dengan wang tertaruh, karena di zaman sekarang wang adalah sebaga garansi. Budi pekertinya yang tinggi tidak hendak mengusik kemuliaan Hayati yang telah begitu lama beristana dalam hati jantungnya....118 Berdasarkan penggalan di atas pengarang menggunakan nama Zainuddin dan Hayati pada tokoh utamanya serta menggunakan teknik penceritaan

“Dia-an”

dalam

novel

ini.

Pengarang

menempatan

kedudukannya serba tahu. Dengan kata lain yaitu sudut pandang yang digunakan pada novel ini adalah sudut pandang orang ketiga, pengarang serba tahu. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang lebih merasakan lagi konflik yang terasa dalam cerita ini dan mampu menyajikan gambaran dan cerita ini sampai baik dan berkualitas. Pengarang ikut menjiwai karakter tokoh yang dialami oleh tokoh utama dan seperti mengalaminya sendiri, Zainuddin dikisahkan menjadi seorang laki-laki yang tidak mudah putus asa, laki-laki yang pandai mencari ilmu baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan, dan seorang laki-laki rantauan serta penyair yang terkenal. Itu semua hampir sama karakter yang dimiliki oleh pengarang, yaitu Hamka. Beliau adalah seorang ulama besar, yang mempunyai ilmu agama yang sangat dalam, kemudian beliau adalah

117

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta : Gajdah Mada University Press, 2012). h. 248. 118 Hamka. Op.Cit. h. 109.

108

anak rantauan yang dulunya singgah di daerah kebayoran lama serta beliau adalah seorang penyair yang sangat terkenal di kalangan masyarakat. Selanjutnya untuk novel Merantau ke Deli sudut pandang novel ini adalah orang ketiga maha tau. Hamka seperti Tuhan dalam novel ini, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Sehingga pengarang melibatkan nama orang lain dalam bercerita, dengan kata lain pengarang adalah orang ke tiga. Seperti pada kutipan di bawah ini. Leman, sejak dia disambut beramai-ramai dan dilepas ramairamai pula, terasalah olehnya kembali bagaimana eratnya pertalian famili ....... meskipun bagaimana dia terpisah selama ini, jauh terbuang ke manapun dia, walaupun bagaimana senangnya hidup di rantau, namun dia tetap anak Minangkabau.119 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck adalah menggunakan bahasa sehari-hari dan sedikit dengan bahasa padang sekaligus ditambahkan sedikit lagu-lagu jika bercakap-cakap. Bahasa yang digunakan dalam sehari-hari disertakan masih berunsur bahasa baku atau melayu, berikut penggalannya. Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adatnya, walaupun apa banganya dan di mana negerinya.120 Pada kutipan di atas terlihat pengarang memberika gaya bahasa yang sehari-hari dan mudah dimengerti oleh para pembaca. Tetapi pengarang masih sedikit memasukan bahasa Padang ke dalam ceritanya. Seperti kata di bawah ini. 119 120

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 56. Ibid. h. 113.

109

a. Jum Pandang : nama asli dari Mengkasar, laksana Sriwijaya bagi Palembang.121 b. Pulau pandan jauh di tengah, Di balik pulau Angsa Dua. Hancur adik dikandung tanah, Rupa adik terkenang jua.122 Berikut adalah lantunan lagu Mak Base ketika Zainuddin masih kecil, yang berasal dari negeri sendiri yaitu Padang. Pengarang memasukan pantun kemudian yang dilagukan oleh tokoh. c. Uda123 : Uda adalah panggilan untuk Abang di kota Padang. Sedangkan gaya bahasa untuk novel Merantau ke Deli Bahasa yang digunakan dalam novel ini cukup mudah dipahami, karena sudah menggunakan bahasa Indonesia umum. Tapi masih ada bahasa daerah Minangkabau yang digunakan dalam percakapan. Novel ini juga menjelaskan bahasa tertentu menggunakan catatan kaki. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan pada novel Merantau ke Deli menggunakan majas seperti hiperbola, metafora, dan simile. Majas hiperbola adalah majas yang menyatakan sesuatu cara berlebih-lebihan sedangkan metafora adalah majas yang menggunakan kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, selanjutnya jika simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti bagaikan, umpama, ibarat, bak, dan bagaikan.124 Seperti hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan.

121

Ibid. h. 18. Ibid. h. 20. 123 Ibid. h. 96. 124 Rahma Fitri. Kitab Super Lengkap EYD dan Tata Bahasa Indonesia. (Jakarta : PT Serambi Semesta Distribusi). h. 102 – 107. 122

110

Pekerja-pekerja berlarian dalam kantor setelah menerima gajian masing-masing, gaji yang diharapkan dari awal keujung bulan.yang menyebabkan setiap hari mereka memeras keringat. Makna : yaitu bekerja keras tanpa mengenal lelah dalam menjalani kehidupan untuk bertahan hidup (menggunakan majas Hiperbola) Banyak kuli-kuli tersadar atau tersangkut saja disitu, tidak sanggup pulang lagi, tukang-tukang jual kain obral sangat lucunya, mulutnya bersorak-sorak memanggil kuli-kuli perempuan. Makna : yaitu suatu kehidupan tempat kediaman yang tidak bisa lagi berpindah ke tempat yang lainnya. (menggunakan majas Metafora) Oleh karena kemunduran perdagangannya, Leman kerap kali mengaluh, menarik nafas bagai seorang terselip garam dalam giginya. Makna : orang yang hampir putus asa menjalankan suatu pekerjaannya. (menggunakan majas Simile) 7. Amanat Amanat sama saja dengan pesan moral. Amanat menyampaikan pesan moral pada cerita yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan yang yang disampaikan oleh pengarang pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck salah satunya adalah pendidikan itu penting, yang disampaikan oleh tokoh Zainuddin yang merantau bukan hanya mencari kekayaan saja melainkan mendalami ilmu agamanya sehingga dalam hidupnya tidak boleh ada kata putus ada dan harus memiliki tujuan hidup, serta amanat lainnya yaitu terdapat melalui pikiran dan perasaannya Muluk. Terlihat pada kutipan sebagai berikut. Sekarang meskipun ada kekayaan yang ditinggalkannya, apalah gunanya bagiku. Padahal saya kehilangan dirinya, sahabatku, guruku, yang telah sekian lama kukenal dan kebersihan batinnya.125 Buat apa lagi kekayaan benda itu. Demikianlah penghabisan kehidupan orang besar itu. Seorang di antara pembina yang menegakkan batu pertama dari kemuliaan bangsanya, yang hidup didesak dan dilamun oleh cinta. Dan sampai matinyapun dalam penuh cinta. Tetapi sungguhpun dia meninggal namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup menghilangkan jasanya.126

125 126

Ibid. h. 222. Ibid. h. 223.

111

Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi, kesenangannya buat orang lain, buat dirinya sendiri tidak.127 Terlihat jelas sekali berdasarkan penggalan cerita di atas yang disampaikan pengarang melalui Muluk. Pengarang mengatakan bahwa sebanyak-banyak kekayaan yang kita cari apabila kehilangan seseorang yang kita sayang maka tidak akan terbayar dengan harta apapun. Kutipan selanjutnya adalah meskipun orangnya sudah wafat tetapi nama dan jasanya selalu dikenang dan tidak pernah dilupakan. Berdasarkan hasil analisis terhadap struktur novelnya dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dapat dikatakan bahwa novel tesebut sangat jelas sekali ceritanya karena alur ceritanya dipaparkan dari awal sebelum tokoh utama, yaitu Zainuddin itu hadir. Diceritakannya awal mula ayah dan ibunya Zainuddin, kemudian Zainuddin tumbuh menjadi remaja hingga bertemu dengan gadis yang ia cintai. Hingga akhirnya diceritakan Zainuddin kembali kepada Yang Maha Kuasa. Kemudian pada tokoh dan penokohannya pun pengarang menggambarkan jelas satu persatu bagaimana kehadiran tokoh Khadijah, Aziz, dan Muluk itu semua pengarang menjelaskan secara rinci di dalam ceritanya. Selanjutnya pesan moral yang disampaikan oleh pengarang pun jelas dipaparkan melalui tokoh Muluk, dengan begitu dapat membuktikan bahwa novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck memiliki cerita yang berkualitas sangat baik dan dapat tersampaikan kepada pembaca terutama untuk pembelajaran siswa di dalamnya terdapat adat dan tradisi merantau serta tujuannya merantau sehingga siswa bisa memahami sedikit demi sedikit budaya Padang. Selanjutnya amanat yang dapat disampaikan pada novel Merantau ke Deli adalah sebuah perantauan seorang anak laki-laki ke kota lain dengan meninggalkan sanak saudaranya, tetapi tidak pernah menuruti nasihat yang diberikan oleh orang yang dituakannya di kampungnya sehingga kehidupannya tidak jauh lebih baik dari sebelumnya, kemudian amanat lainnya yaitu janganlah 127

Ibid. h. 223.

112

sia-siakan istri yang sudah sepenuhnya membela suami. Istri yang setia dan selalu menjaga nama baik suaminya. Istri yang selalu mengerti bagaimana keadaan suami karena jika itu terjadi pasti kita akan sangat menyesal. Seperti tokoh Leman yang menyia-nyiakan Poniem. Leman lebih memilih menikah lagi dengan Mariatun daripada setia menjaga perasaan istrinya. Setelah Leman bercerai dengan Poniem dan jatuh miskin, barulah Leman menyesali perbuatannya dulu. Dapat disimpulkan amanat yang bisa diambil oleh pembaca, yaitu jangan dengan mudahnya mengucapkan janji atau sumpah jika tak sanggup menepatinya, jangan lupakan orang yang telah berjasa kepadamu, nafsu buruk hanya akan menyesatkan kamu dalam hidup ini, dan orang akan menganggap kamu, ada jika kamu telah sukses. B. Analisis Pembahasan Tradisi Merantau pada Novel Hamka Penelitian yang dilakukan penulis dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra. Analisis deskrptif kualitatif merupakan teknik penelitian untuk memperoleh keterangan dari isi pesan dalam bentuk lambang atau tulisan. Pendekatan sosiologi sastra yang digunakan merupakan pendekatan kajian sastra yang mengkaji tentang kehidupan sosial yang terdapat pada karya sastra itu sendiri. Karya sastranya berupa novel, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dengan 223 halaman karya Hamka cetakan keenam belas yang diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1976 dan Merantau ke Deli, dengan 194 halaman karya Hamka yang diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1977. Kedua novel ini menjadi kajian yang inti dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi merantau yang terdapat pada kedua novel ini. Padang merupakan ibu kota provinsi Sumatera Barat yang terletak di daerah pantai dengan penduduk lebih dari 200.000 jiwa pada tahun 1971 hal ini dibuktikan dengan sensus penduduk oleh Tsuyoshi Kato pada saat penelitiannya. Padang pun menjadi salah satu kota yang tersebar warga yang diluar kota Padang, misalnya Tionghoa, Jawa, dan Batak. Tetapi tidak hanya itu, Padang

113

menjadi pusat pemukiman bagi mayoritas penduduk Minangkabau. Selain itu, kepercayaan yang kuat terhadap agama Islam (berlawanan dengan tradisi Jawa), ciri-ciri khas yang sering kali dihubungkan dengan orang Minangkabau adalah merantau dan adat, khususnya adat yang berciri matrilineal (nasab ibu). Merantau adalah sebuah gabungan kata yang terdiri dari prefiks “me-“ dan kata dasar “rantau”. Rantau pada mulanya berarti garis pantai, daerah aliran sungai. Kata kerja rantau, yaitu merantau, berarti pergi ke daerah lain, meninggalkan kampung halaman, berlayar melalui sungai, dan sebagainya. Jika dihubungkan dengan Minangkabau, kata ini selalu dipahami dalam arti yaitu meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kemahsyuran. Kebiasaan merantau orang Minangkabau bukan semata-mata merupakan akibat proses urbanisasi belakangan ini, tetapi sudah berakar dalam sejarah Minangkabau. Selain dari kebiasaan merantau, satu lagi ciri khas yang sering kali dihubungkan dengan orang Minangkabau adalah adat atau tradisi matrilineal. Penelitian ini diambil oleh penulis dari kedua novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka, sebab di dalam kedua novel itu terdapat tradisi merantau yang dilakukan oleh masing-masing tokoh utama khususnya pada tokoh utama laki-laki. Menurut pendapat Kato pada bukunya yang berjudul Adat Minangkabau dan Merantau terdapat tiga jenis cara merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau: merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler), dan merantau Cino (merantau secara Cina). Cara-cara merantau ini secara kasar digolongkan ke dalam tiga periode sejarah: pemekaran nagari dari masa legenda hingga awal abad ke-19, merantau keliling dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, dan merantau Cino mulai dari 1950-an sampai sekarang.128 Dari ketiga jenis cara merantau, terdapat lima yang 128

melatarbelakanginya,

mencakup

1)

Adat

(yakni

kebiasaan)

Tsuyoshi Kato. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 13.

114

perkawinan/perceraian, 2) Kemajuan Pendidikan si Perantau, 3) Pekerjaanpekerjaan si Perantau, 4) Tempat-tempat merantau yang dituju, dan 5) Tujuan Merantau. Penulis juga mencoba memasukkan pandangan sosiologi dalam menganalisis historis masyarakat Minangkabau agar lebih jelas. Tradisi merantau pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan cara merantau keliling. Merantau keliling dilakukan oleh laki-laki, baik yang sudah menikah ataupun belum menikah. Selain terbatasnya lahan pertanian (yang disebut faktor pendorong). Jenis merantau ini mengarahkan ke kota-kota yang jaraknya tidak terlalu jauh, misalnya daerah Jawa. Pekerjaan yang dicari bukan dalam bidang pertanian, mereka adalah saudagar, pegawai kantor, guru, dan perajin. Jenis merantau ini pun tidak selalu menetap lama di setiap daerah rantauannya, sesekali dia pulang ke kampung halamannya setidaknya untuk mengunjungi keluarganya bahkan dapat merantau ke daerah lainnya lagi dengan tujuan yang sama. Zainuddin yang awalnya ia bermukim di daerah Mengkasar bersama orang tua angkatnya, kemudian dia merantau ke tiga kota yang mempunyai tujuan yang sama. Hal ini dapat dijelaskan secara umum tentang merantau keliling yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berikut kutipannya. “Apalagi puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-muji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk kemaripun dari sana. Lepaslah saya berangkat ke sana.”129 Berdasarkan penggalan di atas adalah kutipan teknik cakapan tokoh utama Zainuddin kepada ibu angkatnya, yaitu Mak Base. Kutipan ini awal yang menguatkan cerita karena yang menjelaskan bahwa tokoh utama akan merantau pertama kalinya dengan tujuan untuk mencari ilmu pengetahuan, ingin mencari ilmu akhirat, dan menyempurnakan cita-cita kedua orang tua kandungnya. Sebab di daerah Padang dijelaskan bahwa pengetahuan agamanya sangat kental sekali dan beradab sehingga Zainuddin tertarik untuk merantau ke daerah Padang. Hal 129

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 22.

115

lain yang menyebutkan bahwa novel ini jenis merantau keliling adalah dibuktikan dengan kutipan berikut ini. “Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih maslahat bagi diri saya dan bagi perjuangan yang akan ditempuh di zaman depan, saya akan pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke tanah Jawa. Di tanah Jawa nasihat bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi pula kalau di Padang panjang kelihatan juga, pikiran yang lama-lama timbul-timbul juga!”130 Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa Zainuddin akan merantau lagi ke daerah yang baru, yaitu tanah Jawa tepatnya di Jakarta. Berdasarkan teori yang sudah dijelaskan, memang pada dasarnya merantau keliling tidak selamanya akan menetap di daerah tujuan rantauannya tetapi perantau bisa kapan saja dan kemana saja dia merantau asalkan mempunyai tujuan yang tepat. Kemudian merantau keliling juga kota-kota rantauannya tidak terlalu jauh, masih di pulau Jawa. Tetapi satu hal yang berbeda antara novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan salah satu teorinya adalah si perantau masih menjaga tali silahturahmi kekeluargaannya dengan sanak keluarga yang ada di daerah aslinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil daripada ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedaktdekatnya dia dipandang orang lain juga.131 Jika dihubungkan dengan novel ini, si perantau atau tokoh utama lakilaki dia tidak dianggap oleh sanak keluarganya yang berasal dari daerah Padang. Sebab Zainuddin dianggap bukan keturunan padang, karena nasab ibunya adalah orang Mengkasar bukan Minangkabau yang berasal dari Minangkabau adalah ayahnya. Melihat dari pandangan sosial atau adat yang terdapat di Minangkabau, mereka sangat kental menggunakan adat terutama pada nasab ibu (matrilineal). Nasib seorang perantau (anak yang berasal dari keturunan matrilineal) malang 130 131

Ibid. h. 154. Ibid. h. 27.

116

yang di negeri ibunya dia dipandang orang asing dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing juga. Kategori merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck jelas sekali bahwa termasuk ke dalam merantau keliling, hal yang pertama adalah Zainuddin seorang laki-laki bujang yang merantau untuk mencari pekerjaan yang layak dan ilmu akhirat. Yang kedua adalah Zainuddin merantau dengan dia tidak menetap lama di satu titik atau daerah tertentu, dia merantau ke tiga daerah dengan mempunyai tujuan yang sama. Beda halnya dengan novel Merantau ke Deli, novel ini memiliki cara rantau yang berbeda dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel Merantau ke Deli memiliki cara merantau, yaitu merantau cino. Disebut dengan merantau cino karena ada beberapa hal misalnya perpindahan menuju ke tempat rantauanya jauh dan ke kota-kota besar sehingga mereka jarang pulang ke kampung halamannya untuk berkunjung, jenis pekerjaannya di bidang perdagangan, seorang bujangan yang dapat pulang dan menikah di kampungnya untuk kemudian membawa istrinya pindah ke tempat perantauan. Di dalam novel Merantau ke Deli memiliki beberapa hal yang dapat dibuktikan kebenarannya, sebagai berikut. Suara Deli yang demikianlah yang gemuruh kedengaran ke mana-mana ke sekeliling pulau Sumatera. Itulah yang membawa orang Tapanuli dan orang Minangkabau datang ke Deli sejak tanah Deli terbuka. Deli itulah yang menyeru orang Amerika mencari dolar, orang kontrak mencari sepiring mie sekali sebulan, orang dusun mencari dan mengumpulkan dari setali ke setali. Itulah kelak yang akan dibawanya pulang ke kampung halaman, penebus sawahnya yang tergadai atau penambah kerbaunya.132 Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa tokoh laki-laki merantau ke kota di daerah Sumatera tepatnya di Deli, jauh dengan Padang meskipun provinsinya masih sama-sama di Sumatera. Tokoh laki-laki yang bernama Leman, berasal dari Minangkabau yang merantau ke Deli, Medan. Untuk pulang ke kampung halamannya di Minang, Leman jarang sekali untuk pulang karena jaraknya yang 132

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 6.

117

jauh dari rantauannya dan membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggalan cerita sebagai berikut. Sudah lama Leman merantau, sudah bertahun-tahun hari yang habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar, ketika akan mengajak bekeija mencari penghidupan, belumlah teringat olehnya hendak pulang. Bagaimana akan pulang, padahal hidup masih serba kurang. Pada ketika itu orang kampung sendiripun tidak berapa ingat akan dia.133 Dengan perantauan Leman ke kota yang cukup jauh dan pekerjaannya sebagai pedagang di Deli tak cukup untuk membawa bekal pulang ke kampung halamannya. Sebab jika Leman pulang maka haruslah uang atau pundi-pundinya melimpah, karena di kampungnya banyak sanak saudaranya yang menunggu dia pulang. Selama Leman merantau di Deli, dia sudah menikah dengan gadis Jawa yang bernama Poniem. Menikahnya Leman dan Poniem membawanya keberuntungan, kehidupannya menjadi kaya dan berlimpah sehingga barulah dia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Namun ketika pulang kampung terjadi konflik yang besar sanak saudaranya tidak menyetujui pernikahannya dengan Poniem, gadis Jawa. Sehingga mengharuskan Leman untuk menikah lagi dengan gadis yang seadat dengannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaklah dia kawin di kampungnya sendiri. Setelah ada isterinya di kampung, walaupun dia akan kawin pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di negeri orang, tidaklah dia akan tercela, sebab dia telah sanggup mendirikan adat dan lembaga, sudah memakai gelar pusaka yang telah tersedia di dalam persukuannya yang diterima dari nenek, diturunkan dari mamak kepada kemenakan.134 Pulang ke kampungnya tidak memiliki keberuntungan seperti keberuntungan pada perniagaan yang dimilikinya. Leman pulang kampung sangat mempengaruhi jalannya cerita sebab disitulah banyak mulai terjadinya konflik hingga pada puncaknya klimaks yang membuat Leman menikah lagi dengan gadis Minang dan bercerai dengan Poniem seorang istri yang selalu 133

134

Ibid. h. 47. Ibid. h. 59.

118

memberikannya keberuntungan. Setelah dia menikah dengan gadis Minang yang bernama Mariatun, sehingga istri dan keluarga intinya diajak pula untuk ke kota tempat merantaunya. Dapat disimpulkan dari alasan yang telah dikemukakan bahwa novel Merantau ke Deli menggunakan cara merantau cino, yaitu kota yang dituju jauh dengan kota asalnya, memiliki pekerjaan sebagai pedagang, dan memiliki istri dari kampung halamannya sendiri sehingga istri dan keluarganya ikut pindah ke tempat perantauannya. Selanjutnya di pembahasan tentang yang melatarbelakangi atau yang menjadi faktor perantau untuk merantau ada lima hal, yaitu adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, kemajuan pendidikan si perantau, pekerjaanpekerjaan si perantau, tempat-tempat merantau yang dituju, dan tujuan merantau. 1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian Adat yang sangat mempengaruhi terhadap perkembangan cerita adalah tentang kebiasaan, yaitu perkawinan/perceraian. Di Minangkabau kepentingan keluarga atau urusan keluarga diurus oleh ninik mamak. Ninik mamak adalah laki-laki dewasa pada satu kaum di Minangkabau yang dituakan berfungsi sebagai salah satu unsur penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pembangunan masyarakat Minangkabau. Begitu pula dengan adat dalam perkawinan, seorang anak atau kemenakan harus kawin dengan anak dari mamaknya. Hal ini yang mengambil keputusan adalah dari keluarga ibu, diwakilkan oleh ninik mamak yang melakukan negoisasi dengan keluarga calon pengantin untuk memutuskan persyaratan pernikahan. Pada novel Tenggelamnya kapal Van Der Wijck tidak terjadi perkawinan pada tokoh utama laki-lakinya karena penceritaan awalnya tokoh utama laki-laki yaitu Zainuddin ditolak oleh keluarga tokoh utama perempuan yaitu Hayati. Hal ini dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.

119

“.... sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun temurun, yang belum lekang dipanas dan belum lapuk dihujan, supaya engkau surut.” “Mengapa engkau berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?” “Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, bukan dia sembarang orang.”135 Perkawinan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena perkawinan hanya dijalankan satu kali dalam seumur hidup. Maka perkawinan merupakan persoalan yang sangat penting dalam hukum adat di Minangkabau. Seorang wanita yang kawin dengan laki-laki yang di luar adatnya maka akan diusir dari desanya. Berdasarkan kutipan di atas adalah sebuah teknik cakapan antara ninik mamak dan Zainuddin yang membahas tentang penolakan dari keluarga Hayati kepada Zainuddin untuk menikahi Hayati. Jelas sekali hukum adat perkawinan sangat mengikat sekali sehingga Zainuddin tidak jadi menikah dengan Hayati karena terbenturnya adat istiadat. Jika dilihat dari segi sosialnya yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat nilai sosial yang ada pada adat Minangkabau yaitu perundingan yang terjadi interkasi sosial atau tradisi berunding dalam budaya masyarakatnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Setelah hadir semuanya, mulailah Dt ..... membuka kata : “Demikianlah maka tuan-tuan saya hadirkan dalam rumah nan gedang ini, yaitu elok kata dengan mufakat buruk kata di luar mufakat, tahi mata tak dapat dibuangkan dengan empu kaki. Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah ada orang yang meminta buat menjadi pasangannya.”136

135

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 58.

136

Ibid. h. 110.

120

Berdasarkan kutipan di atas adalah budaya berunding atau musyawarat antara ninik mamak. Budaya runding dalam masyarakat Minangkabau dalam novel ini untuk memecahkan suatu perkawinan tokoh utama perempuan, yaitu Hayati. Dalam permusyawaratan ini harus melahirkan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi. Jika ada pihak yang melanggarnya makan akan dihadapkan sanksi adat dan sanksi sosial. Sedangkan pada novel Merantau ke Deli, tokoh utama lakilakinya yaitu Leman mengalamai dua hal adat kebiasaan tersebut perkawinan dan perceraian. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Mereka telah berangkat ke Medan pada hari itu juga dan terus ke rumah tuan Qadhi. Mereka telah dinikahkan dengan sah, secara Islam.137 Langkah Leman sejak meninggalkan rumah, sampai tiba di rumah Mariatun, sampai mengadakan ijab dan kabul, semuanya itu seakan-akan terdengar di telinganya. Tiap-tiap diingatnya air matapun timbul pula kembali.138 “Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun! Sebelah mata saya tak bisa pandang pada kau lagi. Pergilah dari sini, mulai sekarang saya jatuhkan kepada kau talak tiga sekali. Pergilah!”139 Berdasarkan tiga kutipan yang di atas, pada kutipan pertama terjadinya pernikahan antara Leman dan Poniem si gadis Jawa. Pertemuan mereka di Deli, yaitu Leman jatuh hati kepada “piaraan mandor besar” yang niat hati ingin menikahinya karena jatuh cinta dan ingin melindungi Poniem dari kuli-kuli mandor di Deli. Pernihakan mereka pada bulan-bulan awal sangat romantis dan selalu diberikan keberuntungan pada perniagaannya. Kemudian pada kutipan yang kedua adalah Leman yang menikah untuk yang kedua 137

138 139

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 26. Ibid. h. 99. Ibid. h. 131.

121

kalinya dengan gadis Minang yang bernama Mariatun. Setelah Leman berpoligami hidupnya tidak setentram dulu, hidupnya kian sulit dan perniagaannya pun jatuh. Pada akhirnya pernikahan yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi, Leman menceraikan Poniem karena dia menganggap Poniem gadis Jawa yang tidak seadat dengannya. Simpulannya pada adat kebiasaan ini yang dialami tokoh utama laki-laki pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli masing-masing berbeda jika Zainuddin tidak mengalami pernikahan dan perceraian sebaliknya dengan Leman, dia mengalami pernikahan hingga poligami dan bercerai dengan istri pertamanya. 2) Pendidikan Perantau Budaya Minangkabau mendukung masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Orang Minangkabau haruslah bisa menyesuaikan diri dan mengembangkan dirinya di manapun ia berada, baik di kampung maupun di rantau. Pengetahuan atau ilmu dalam pengertian adat Minangkabau juga diartikan sebagai prinsip yang melekat pada seseorang. Di Minangkabau dikenal filosofi ilmu nan ampek (ilmu yang empat) adalah empat prinsip yang harus dianut oleh seseorang, yaitu: a. Tahu pado diri artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang diri sendiri, tahu status dan kedudukan diri sendiri yang diiringi dengan melaksanakan tugas, kewajiban, hak, dan tanggung jawab. b. Tahu pado urang artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang orang-orang di sekitarnya dan masyarakat serta peduli dan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar.

122

c. Tahu pado alam artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang alam di sekitarnya serta peduli dengan lingkungan dan alam sekitarnya. d. Tahu pado Allah artinya memiliki ilmu pengetahuan agama dan melaksanakan syariat agama dengan baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Apabila dikaitkan dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang diambil dari prinsip tahu pada diri sendiri ditunjukan oleh tokoh Zainuddin. Hal ini dapat dibuktikan kutipan sebagai berikut. “Mamak jangan panjang was-was. Pepatah orangMengkasar sudah cukup : “Anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah : biarkan layar robek, itu lebih mulia dari pada membalik haluan pulang”140 Berdasarkan kutipan di atas adalah kutipan percakapan Zainuddin kepada Mak Base untuk menenangkan hati dan pikiran Mak Base ketika akan ditinggal merantau Zainuddin ke padang. Zainuddin memiliki semangat dan kemauan yang tinggi untuk merantau dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, menggapai citacita ayah dan ibunya serta mencari ilmu agama dan akhirat. Ini membuktikan bahwa Zainuddin seorang pemuda Minang walaupun bukan keturunan langsung dari ibunya tetapi dia sedikit mengalir jiwa pemuda yang semangat. Dia berkata bahwa rintangan dan cobaan yang akan dihadapinya akan terus dia usahakan semampunya dan tidak akan menyerah. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan pengetahuan pada orang-orang yaitu ketika Zainuddin tinggal di dusun Batipuh dia mampu menyesuaikan dimana dia berada, tidak 140

Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 24.

123

menyusahkan orang lain ataupun merepotkan. Bila ada waktu senggang dia selalu membantu orang-orang yang disekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Untuk pehindarkan muka yang kurang jernih, maka bilamana orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, bila orang ke ladang, diapun ikut ke ladang.141 Prinsip yang ketiga yaitu tentang tahu pada alam, disini tidak terlalu nampak bahwa tokoh Zainuddin bersosialisasi dengan alam di sekitarnya. Sedangkan prinsip yang keempat adalah tahu pada Allah. Prinsip

ini sangat

jelas sekali

adat

kebiasaan masyarakat

Minangkabau, masyarakat Minangkabau sangat taat sekali jika permasalahan beribadah, misalnya menjalankan shalat lima waktu, shalat berjamaah, mengaji di surau, dan hal-hal lain yang mengatasnamakan peribadahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Tengah Hayati masih bingung berdiri, memegang bulibuli yang ada dalam tangannya, Zainuddin berangkat dari tempat itu secepat-cepatnya. Hayati segera pulang. Sehabis sembahyang dan makan malam, segera dia naik ke atas anjungan ketidurannya, membaca di dekat sebuah lampu dinding!142 Berdasarkan kutipan di atas menerangkan tokoh utama perempuan, yaitu Hayati digambarkan waktu malamnya dihabiskan dengan bersembahyang dan makan malam. Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan atau ilmu tidak hanya didapatkan di lembaga pendidikan saja melainkan dari diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan Sang Pencipta Alam yang bisa didaparkan pengetahuan yang dijadikan pelajaran dalam kehidupan di dunia. Sedangkan pada novel Merantau ke Deli sistem pengetahuan atau pendidikan pada tahu diri dapat dibuktikan dengan Leman yang 141 142

Ibid. h. 26. Ibid. h. 40.

124

sedang mengalami kesulitan pada perniagaannya tetapi dia tidak ingin istrinya mengetahuinya, cukup dia saja yang merasakan dan bekerja mencari nafkah. Kutipannya sebagai berikut. “Mengapa tidak sedari dulu abang terangkan sebabsebab itu kepadaku?” “Abang takut nanti engkau akan menderita pula lantaran kesusahan itu.” “Bukankah itu kesusahan kita bersama?” “Tidak Poniem, itu Cuma kesusahan seorang laki-laki, orang perempuan tidak boleh memikul susah pula.”143 Berdasarkan kutipan di atas melalui teknik cakapan antara Leman dan Poniem, menurut Leman sebagai seorang suami yang harus mencari nafkah tidak perlu diketahui jika dia dalam kesulitan di perniagaannya. Istri hanya tau jika pulang membawa hasil yang banyak, dia tidak mau istrinya tau jika dia dalam masa kesulitan sehingga dia selalu terus bersemangat dan giat dalam bekerja. Kemudian pada pengetahuan pada urang adalah pada saat Leman menolong Suyono. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Ya, bekerjalah di sini, tinggalah dengan kami, bersungguh-sungguhlah, tolonglah mbak ayumu bekerja, baik di muka atau di belakang. Kalau engkau setia, saya tidak akan lupa membalas jasamu dengan setimpal”.144 Selain orangnya yang bijaksana, Leman pun sangat baik hati kepada sesama tidak pandang bahwa dia berbeda adat dengannya. Suyono laki-laki yang lusuh sedang mencari pekerjaan dan lewat di depan kedainya Leman. Dengan kebaikkan hati Leman, akhirnya Suyono dapat bekerja di kedainya. Kemudian pada pengetahuan tahu pada alam, tidak begitu ditampakan sama halnya seperti di novel Merantau ke Deli. Selanjutnya tahu pada Allah, selain Leman orang yang sangat bijaksana dan baik hati tak lupa juga Leman senantiasa

143 144

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 33. Ibid. h. 42.

125

untuk berjanji dihapadan Allah untuk meyakinkan, menjaga, dan melindungi calon istrinya Poniem. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. “Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untungku kalau saya berbicara main-main!”145 3) Pekerjaan Perantau Mengenai pekerjaan, kegiatan berdaganglah yang biasanya dikaitkan dengan perantauan Minangkabau. Teristimewa pedagang seolah-olah menjadi identik dengan perantau Minagkabau.146 Harta pencaharian adalah harta kekayaan yang diperoleh seluruhnya dengan usaha sendiri. Akan tetapi tidak hanya berdagang, pekerjaan yang melekat pada perantau adalah petani/buruh, perajin, pegawai, dan lain-lainnya. Selain itu, di masyarakat Minangkabau sastra seni pun berkembang. Banyak sastrawan dan penyair yang terkenal berasal dari Minangkabau, seperti Taufiq Ismal, A.A Navis, Hamka dan sebagainya. Begitu juga dengan tokoh Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Zainuddin pada awalnya bukan seorang penyair, hanya saja dia selalu termenung di tempat-tempat tenang dan sunyi. Sampaisampai sahabatnya berkata kepadanya dan memberikan nasihat, berikut penggalannya. “Di mana-mana diterbitkan orang surat-surat kabar, penuntun ummat kepada kecerdasan, memuat perkabaran, pengetahuan, syair dan madah, ceritera dan hikayat. Buku roman yang tinggi harganya telah mulai dikeluarkan orang. Kalau guru ambil kesanggupan menumpahkan pikiran yang tinggi-tinggi itu dengan mengarang, tentu akan berhasil. Apalagi pengalaman telah banyak, jiwa telah kerap kali menanggung, hati kerap kali menempuh duka. Kalau guru segan dibawah takluk orang, dengan wang yang ada di tangan 145

Ibid. h. 14. Tsuyoshi Kato. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 135. 146

126

guru bolehlah menerbitkan sendiri. Dengan demikian guru kan mengecap bagaimana nikmat kebahagiaan dan keberuntungan.”147 Berdasarkan penggalan di atas adalah kutipan teknik cakapan yang disampaikan Muluk seorang sahabat yang senantiasa selalu menemani

Zainuddin

yang

selalu

bersedih,

Muluk

selalu

memberikan nasihat dan wejangan kepada Zainuddin. Kutipan tersebut jelas sekali sebuah nasihat dan semangat yang diberikan kepada Zainuddin untuk segera bangkit dan jadilah seorang penyair yang hebat. Hal ini dapat dibuktikan lagi dengan kutipan sebagai berikut. Rupanya karangan-karangannya itu mendapat tempat yang baik, karena halus susun bahasanya dan diberi orang honorarium meskipun kecil. Lantaran penerimaan orang yang demikian, hatinya bertambah giat dan semangatnya makin bangun. Sehingga di dalam masa yang belum cukup setahun, karangan-karangannya telah banyak tersiar.148 Berdasarkan kutipan tersebut, menerangkan bahwa tokoh Zainuddin memiliki pekerjaan atau mata pencaharian sebagai penyair dan sukses dalam karirnya. Karangan-karangannya banyak disukai orang karena mempunyai bahasa yang bagus sehingga dia mampu untuk berdiri sehingga dia sekarang tak lagi kerja di bawah tangan orang melainkan bekerja sendiri dan membuka perusahaan sendiri. Sedangkan pada novel Merantau ke Deli tokoh utama lakilaki bekerja sebagai pedagang di kedai miliknya. Seorang pedagang yang sukses dan terkenal. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Kedainya yang tadinya hanya kecil saja, sekarang telah besar, sudah banyak saudagar besar di Medan yang suka

147 148

Hamka, Op.Cit., h. 150. Ibid., h. 150.

127

melepaskan barang kepadirnya dan sudah banyak pula langganan yang datang membeli.149

4) Tempat-tempat Merantau yang Dituju Masyarakat Minangkabau memilih kota-kota yang dituju tidak sembarangan memilihnya. Dalam hal ini merantau dianggap memberikan harapan yang lebih baik di tempat yang akan ditujunya. Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Zainuddin mengalami perantauan ke beberapa daerah atau kota-kota yang masih di lingkungan pulau Jawa, seperti Padang (Sumatera), Jakarta, dan Surabaya (Jawa). Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata mak Base masih membasahi pipinya. Dan tidak berapa lama kemudian, rengganglah kapal dari pelabuhan Mengkasar, hanya lenso (saputangan) saja yang tak berhenti dikibarkan orang, baik dari darat maupun dari laut. Meskipun kapal renggang, Zainuddin masih berdiri melihat pelabuhan, melihat pengasuhnya yang telah membesarkannya bertahuntahun, tegak sebagai batu di tepi anggar, walaupun orang lain telah berangsur pulang.150 Berdasarkan kutipan penggalan di atas adalah menerangkan bahwa Zainuddin akan segera berangkat ke perantauan, yaitu Padang. Latar tempat yang berada di pelabuhan, tokoh Zainuddin pergi dan meminta izin ke ibu angkatnya. Kota ini sangat mempengaruhi cerita karena lebih banyak penceritaannya, misalnya pada tahap penyituasian, tahap peristiwa terjadi ketika Zainuddin bertemu dengan Hayati, tahap pemunculan konflik, hingga tahap klimaks ketika Zainuddin ditolak untuk menikah dengan Hayati.

149 150

Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 39. Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 25.

128

Kota selanjutnya yang dituju oleh Zainuddin adalah kota Jakarta. Kota Jakarta adalah kota rantauan kedua Zainuddin. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke Tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampainya di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi bersama sahabatnya Muluk151 Tempat dituju yang kedua adalah kota Jakarta. Jakarta tempat Zainuddin menjadi seorang penyair terkenal dengan karya-karyanya. Tetapi tidak hanya mencari pekerjaan, Zainuddin merantau ke Jakarta ingin menghindar dari Hayati, untuk melupakan semua kenangan antara Hayati dengannya. Kehidupan barunya di Jakarta bersama sahabatnya Muluk. Tempat selanjutnya kota rantauan ketiga adalah kota Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut. Oleh karena kota Surabaya lebih dekat Mengkasar dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka bermaksudlah dia hendak pindah ke Surabaya, akan mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia.152 Berdasarkan kutipan tersebut di Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur. Alasan Zainuddin merantau lagi ke Surabaya adalah untuk membuka perusahaan sendiri tanpa bergantung kepada orang lain dan lebih dekat dengan kota pertamanya di Mengkasar. Sedangkan pada novel Merantau ke Deli, tokoh utama laki-laki hanya satu kota tujuan merantaunya, yaitu Deli. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggalan cerita sebagai berikut. Meskipun ketika dia akan meninggalkan kampungnya dahulu telah diberi ingat benar-benar oleh orang tua supaya hati-hati di tanah Deli, supaya ingat bahwasannya laut sakti dan rantau bertuah.153

151

Ibid., h. 155. Ibid., h. 156. 153 Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 6. 152

129

Berdasarkan penggalan di atas bahwa Leman merantau ke Deli, jangan melupakan tanah asalnya di negeri Minangkabau, Padang yang telah melahirkannya. Banyak sanak saudara yang menunggu kehadirannya untuk pulang kembali ke kampung halamannya. 5) Tujuan Merantau Para perantau tidak semata-mata merantau hanya untuk kepentingan pribadinya saja. Melainkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Pada umumnya tujuan merantau masyarakat Minangkabau adalah untuk mencari kekayaan, mencari pekerjaan yang layak, dan mencari ilmu pengetahuan. Sedangkan pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka tokoh Zainuddin mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk memuliakan cita-cita ayahnya untuk menemui dan bersilahturahmi dengan sanak saudaranya yang berada di Padang, untuk mencari pekerjaan yang lebih baik yaitu menjadi seorang penyair, untuk mendapatkan ilmu dunia dan akhirat supaya kelak dia menjadi seorang yang berguna. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang.154 Namanya kian lama kian harum, pencahariannyapun maju. Dia termahsyur dengan nama samaran letter “Z” pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan sandiwara “Andalas.”155 Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan yang baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi orang alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya

154 155

Ibid., h. 22. Ibid., h. 158.

130

membawa ilmu. Kadang-kadang hapus perasaan demikian dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik.....156 Untuk novel Merantau ke Deli tujuan utama yang dicari oleh tokoh laki-laki adalah untuk mencari pekerjaan atau lahan perniagaan serta untuk mencari istri. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut. Hatinya amat tertarik datang ke kebun itu, bukan tertarik berdagang karena lebih banyak orang lain berdagang dari padanya, lebih banyak barang kawannya yang laku dari pada barangnya. Yang menarik hatinya ke kebun iadlah seorang perempuan yang cantik, masih muda.157 Dari beberapa analisis yang telah dijabarkan dapat disimpulkan terdapat perbedaan dan persamaan antara kedua tokoh utama laki-laki pada masing-masing novel. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu Zainuddin dan novel Merantau ke Deli yaitu Leman. Lebih mudahnya dapat dilihat pada tabel perbedaan dan persamaan pada masing-masing tokoh.

Tabel 1.1 Novel/Unsur

Merantau

Merantau

Merantau

Pemekaran Nagari

Keliling

Cino

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

-



-

Merantau ke Deli

-

-



Tabel 1.2 Novel/Unsur

Adat

Pekerjaan

Pendidikan

Kebiasaan 156

157

Ibid., h. 69. Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 7.

Tempat

Tujuan

131

Tenggelamnya

Tidak

Penyair

Seorang

Padang,

Jakarta, Untuk

Kapal Van Der Menikah

yang pandai dan Surabaya

memuliakan

Wijck

berkarya

cita-cita

ayah

dan

ibunya,

Untuk

mencari

ilmu pengetahuan dan ilmu

akhirat,

Untuk

mencari

pekerjaan yang layak

Merantau Deli

ke Menikah

Pedagang

Seorang

Deli

Untuk

mencari

dua kali,

yang pandai

pekerjaan

Istri

berbisnis

mencari istri

pertama diceraikan.

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Strategi guru dalam pengajaran sastra memainkan peran penting untuk merealisasikan idealitas pengajaran sastra. Suatu strategi terapan yang mungkin bisa diadopsi dalam pengajaran sastra dengan cara diskusi, bermain peran, dramatisasi adegan, menelaah nilai sastra, menulis kreatif, dan tinjauan kesusastraan. Strategi pengajaran sastra itu memang berat untuk bisa direalisasikan oleh guru tapi mungkin dilakukan dengan niat bahwa ada proses pembaruan dalam pengajaran dengan perhitungan gagal dan berhasil. Secara garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian selanjutnya adalah memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra mencakup

serta

132

pengetahuan tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Sedangkan pengalaman bersastra mencakup kegiatan berapresiasi atau reseptip dan berekspresi atau produktif. Cakupan pengetahuan tentang sastra adalah tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi siswa. Pengajaran sastra secara langsung ataupun tidak akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa. Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah. Selama ini pengajaran sastra (dan juga bahasa) Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk memproduksi atau mengahayati karya yang diajarkan. Tampaknya guru harus kembali melihat dan memahami tujuan pengajaran sastra di sekolah sehingga konsep pengajaran yang apresiatif benar-benar dapat diwujudkan pada masa yang akan datang. Kita

133

memang menayadari adanya kesukaran dalam mengajarkan apresiasi sastra pada siswa yang tingkat keakraban mereka dengan karya sastra relatif kurang. Kita juga menyadari bahwa tidak semua guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang relatif memadai. Namun demikian, guru harus berusaha secara bertahap untuk melatih kemampuan apresiasinya dan berusaha pula mengajarkan apresiasi kesastraan kepada siswa. Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Novel-novel yang mengandung aspek budaya Minangkabau merupakan salah satu bentuk prosa yang dapat memudahkan siswa dalam memahami budaya Minangkabau lewat sastra. Namun, bentuk prosa seperti ini dianggap serius dan berat untuk dianalisis, karena menceritakan tentang adat istiadat, unsur religi, bahasa, pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial, dan sistem ekonomi suku Minangkabau. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dapat mempelajari tentang sastra bahkan tentang aspek budaya yang terdapat di dalamnya. Selain dari pembelajaran tentang sastra, peserta didik pun harus memiliki sebuah karakter. Karakter lahir dari sebuah didikan seorang guru serta pembelajaran yang telah didapatkannya. Dalam pendidikan karakter versi Kemendiknas, pendidikan ini harus dituntut untuk dapat mengubah peserta didik ke arah yang lebih baik. Pada pembelajaran sastra kali ini terutama pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli mengajarkan sebuah karakter yang dimiliki peserta didik, antara lain religius, kerja keras, mandiri, dan tanggung jawab. Karakter yang terdapat pada kedua novel tersebut tergambar jelas pada masing-masing tokoh utama. Religius yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut. Kerja keras yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaiknya. Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas

134

dan tanggung jawab kepada orang lain, dan yang terakhir adalah tanggung jawab, tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama.158 Keempat karakter itulah yang tertanam pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli, sebagai contoh karakter yang akan diterapkan kepada peserta didik. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa analisis tersebut diperuntukkan agar siswa mengetahui bahwa novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka merupakan salah satu novel berlatar Minangkabau yang sarat akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa terhadap budaya Indonesia khususnya Minangkabau. Dan pembelajaran diperuntukan bagi siswa tingkat SMA. Dengan demikian pembelajaran apresiasi sastra pada novel dapat dipadukan dengan pelajaran lainnya khususnya ilmu sosial dan budaya.

158

Suyadi. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter dalam http://layananguru.blogspot.co.id/2013/05/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter.html?m=1# diunduh pada hari Rabu tanggal 22 Februari 2017 pukul 12.14 WIB.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua novel, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini menggunakan jenis merantau keliling karena Zainuddin hanya merantau untuk keperluan sementara dengan bertujuan untuk mencari ilmu pendidikan dan ilmu agama, serta mencari pekerjaan yang lebih layak lagi. Pekerjaan si perantau adalah sebagai pengarang atau penyair. Jika ditinjau dari pada latar sosial di Padang, memang pekerjaan yang cukup diminati adalah sebagai penyair. Sedangkan tempat-tempat yang dituju oleh Zainuddin adalah Padang Panjang tepatnya di dusun Batipuh, kemudian ke Tanah Jawa yaitu Jakarta dimana dia menemukan pekerjaan yang amat disenanginya yaitu sebagai penyair, tujuan kota akhir adalah Surabaya sampai pada akhirnya dia meninggal dunia. Jika adat (yakni kebiasaan) menikah/bercerai, Zainuddin tidak mengalaminya karena Zainuddin diceritakan meninggal dunia. Sedangkan novel Merantau ke Deli karya Hamka menggunakan jenis merantau cino, hal ini dapat dibuktikan dengan awal seorang tokoh utama laki-laki yang bernama Leman, dia adalah laki-laki perantau yang berasal dari daerah Padang kemudian dia merantau ke sebuah kota yaitu kota Deli, disanalah pertemuan Leman dengan gadis Jawa yaitu Poniem. Tujuan si perantau untuk merantau hal pertama adalah untuk menjadi keuntungan yang layak/laba serta ingin sekali mencari istri yang bukan dari suku aslinya. Pekerjaan Leman adalah seorang pedagang, sama halnya pekerjaan sebagai penyair di

135

136

daerah Padang banyak masyarakatnya yang bekerja menjadi pedagang, penyair, penghulu, atau berdasi putih apabila ingin merantau. Jika pekerjaan sebagai petani saja, maka tidak usahlah si laki-laki merantau. Tempat yang dituju oleh Leman hanya ke Deli saja. Kemudian adat yang kebiasaannya adalah menikah, Leman menikah tetapi bukan dari daerah Padang melainkan dari Jawa dikarenakan adat Padang sangat mendiskriminasi maka Leman bercerai dengan Poniem. 2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek keterampilan berbahasa khususnya pada aspek membaca. Dalam pembelajaran sastra ini, siswa harus mampu untuk membaca, mereview, dan menganalisis mengenai struktur atau unsur intrinsik novel serta menemukan nilai-nilai pendidikan dan kebudayaannya. Dalam ketiga novel ini siswa dapat mempelajari nilai pendidikan dan kebudayaan tentang adat istiadat Minangkabau terutama pada sistem matrilineal dan tradisi merantau. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah, maka penulis menyarankan : 1. Guru diharapkan lebih jelas lagi dalam pembelajaran untuk menjelaskan tentang pengertian novel dan unsur-unsur pembangun karya sastra dan disertai dengan contoh yang sesuai dengan kemampuan siswa. 2. Guru diharapkan memberikan penjelasan dengan inovati dan kreatif agar siswa lebih tertarik lagi dalam keterampilan membaca, sebab siswa sangat lemah dalam kegiatan aspek membaca terutama membaca karya sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. 2010. Budianta, Melanie, dkk., Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera. 2003. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Tim Redaksi CAPS. 2011. Fitri, Rahma. Kitab Super Lengkap EYD dan Tata Bahasa Indonesia. (Jakarta : PT Serambi Semesta Distribusi) Friedman, Howard S. dan Miriam W. Schustack. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga. 2006. Hamka. Ayahku. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1982. ----------. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani. 2014. ----------. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976. ----------. Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977. Hindun. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar. Depok: Nufa Citra Mandiri. 2013. Ida, Rachmah. Metodologi Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada Media Group. 2014. Kato, Tsuyoshi. Adat Minagkabau dan Merantau. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1991. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1985. ----------. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002. Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Mahdi, Rahmat Subakti. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. 1984. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.

137

138

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2004. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002. Rachmawati, Lia. Hakikat Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat, dan Peraturan. Jakarta: Intimedia Ciptanusantara. 2011. Rahman, Jamal D. dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2014. Rasyad, Zubir. Ranah dan Adat Minangkabau. Jakarta: Agra Wirasanda. 2009. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008. Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: CAPS. 2012. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009. Tumanggor, Rusmin dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012). Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006. Anonim, Menyelami Pemikiran Buya Hamka dalam http://unissula.ac.id/menyelamipemikiran-buya-hamka/ Suyadi. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter dalam http://layanan guru.blogspot.co.id/2013/05/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter.html?m=1#

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah : SMA IT ANNUR CIKARANG TIMUR Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/I Aspek Pembelajaran : Aspek Mendengarkan Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ terjemahan. Kompetensi Dasar : 1. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel Indonesia. 2. Menemukan nilai-nilai positif dalam novel. Indikator : 1. Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema, amanat, dan latar novel yang dibaca). 2. Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik (aspek budaya Minangkabau dalam novel). 3. Peserta didik mampu mengidentifikasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli menggunakan pendekatan objektif. 4. Peserta didik mampu menemukan nilai positif dalam novel Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (1 kali pertemuan) A. Tujuan Pembelajaran 1. Setelah membaca dan memahami novel, diharapkan peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema, amanat, dan latar novel). 2. Setelah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel, diharapkan peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik novel, dalam hal ini ditekankan pada aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel (salah satunya adalah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka). 3. Setelah dapat mengidentifikasi novel dengan menggunakan pendekatan objektif, diharapkan peserta didik mampu mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia. 4. Setelah mempelajari budaya Indonesia, diharapkan peserta didik mampu mencintai dan menghargai budaya Indonesia. 5. Peserta didik diharapkan memiliki karakter yang bertanggungjawab, bekerja keras dan jujur.

B. Materi pokok 1. Pembacaan novel 2. Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta memahami pendekatan objektif. 3. Menjelaskan budaya Minangkabau khususnya tentang merantau. C. Metode dan skenario pembelajaran 1. Ceramah 2. Tanya jawab 3. Diskusi 4. Berkelompok 5. Penugasan D. Kegiatan Belajar Mengajar 1. Kegiatan awal Apersepsi: a) Guru mengucapkan salam b) Guru mengkondisikan kelas c) Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah novel. Motivasi: a) Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan disampaikan. b) Guru menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran. 2. Kegiatan inti Eksplorasi: a) Guru mampu menjelaskan tentang unsur intrinsik dan ektrinsik dalam novel serta pendekatan objektif, termasuk di dalamnya aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut. b) Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas terkait dengan materi yang akan dipelajari. c) Guru menggunakan sumber belajar berupa modul buku Bahasa Indonesia yang diharapkan dapat membantu peserta didik dalam memahami materi yang dipelajari. d) Guru memfasilitasi terjadinya interaksi baik antar siswa dengan guru, maupun siswa dengan siswa. Elaborasi:

a) Guru memfasilitasi peserta didik melalukan tanya jawab, diskusi, dll. untuk memunculkan gagasan baru baik seara lisan maupun tertulis. b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan unsur-unsur intrinsik dan eksrinsik novel Indonesia (dengan mencari aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel). c) Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik lain untuk memberikan gagasan/komentar terhadap jawaban peserta didik dalam menentukan unsurunsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia. Konfirmasi: a) Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik. b) Guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. 3. Kegiatan akhir a) Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan tentang materi yang disampaikan. b) Guru merefleksi materi tersebut untuk kehidupan sehari-hari. c) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. E. Sumber Belajar 1. Pustaka rujukan dengan menggunakan buku Bahasa Indonesia untuk SMA kelas XII. 2. Berbagai novel Indonesia (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka). 3. Buku tentang budaya Minangkabau yang relevan dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli. 4. Alat tulis seperti bolpoint dan buku F. Penilaian Indikator

Teknik

Bentuk

Pencapaian

Penilaian

Instrumen

Siswa mampu menjelaskan unsurunsur intrinsik dalam novel.

Contoh Instrumen Tentukan unsur-unsur

Tes Tulis

Lembar Penilaian

intrinsik dalam novel tersebut. Sertakan bukti pendukung yang telah

dibaca. Siswa mampu menjelaskan nilai-nilai Tes Tulis

Lembar Penilaian

budaya Minangkabau

Tentukan nilai budaya dalam novel tersebut

Rubrik Penilaian No 1

Aspek Penilaian

Bobot

Nilai

Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel. a. Baik (3) b. Cukup baik (2) c. Kurang baik (1)

2

Menggunakan bukti pendukung unsur intrinsik. a. Baik (3) b. Cukup baik (2) c. Kurang baik (1)

3

Menjelaskan nilai-nilai budaya dalam novel. a. Baik (3) b. Cukup baik (2) c. Kurang baik (1)

Keterangan : Skor maksimal Nilai akhir

: Skor yang diperoleh x 100 Skor maks.

Mengetahui,

Cikarang, Februari 2017

Kepala Sekolah SMA IT ANNUR

Guru Mata Pelajaran

Devit Taslim, S.T. M.Pd

( ......................................)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

INTAN

RAMADYLA

EKA

PUTRI,

lahir

di

Tangerang pada tanggal 12 Maret 1994. Anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Dadang Heryawan dan

Lia

Amalia.

Ia

menyelesaikan

pendidikan dasarnya di SDN Sukaresmi 06, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP 1 Cibarusah. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di tingkat atas yaitu SMAN 1 Cikarang Selatan. Setelah lulus masa SMA nya ia melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu peruguruan tinggi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia memiliki hobi memasak dan mendengarkan musik. Cita-citanya memang dari awal ingin menjadi guru dan akhirnya tercapai sebelum ia lulus mendapat gelar sarjananya. Saat ini ia aktif dalam dunia pengajaran, yaitu mengajar di SMPIT ANNUR Cikarang Timur dengan bidang studi bahasa Indonesia. Memang menjalankan tugas akhir (skripsi) dan mengajar baginya tidak mudah tapi diniatkan dengan ikhlas sehingga terasa ringan. Maka dari itu ia ingin menjadi guru yang profesional yang mampu melahirkan generasi bangsa yang cerdas dan mempunyai karakter serta akhlak yang baik.