11 BAB I I TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ASMA 2.1.1 DEFINISI ASMA

Download mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (noktu...

0 downloads 436 Views 244KB Size
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma 2.1.1 Definisi Asma Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2006 mendefinisikan asma sebagai ganggguan inflamasi kronik saluran napas yang disertai oleh peranan berbagai sel, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas, tapi bervariasi, yang sebagian bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas jalan napas terhadap berbagai stimuli (Rahajoe dkk, 2008). Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004 definisi asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan /atau keluarganya (Rahajoe dkk, 2008). 2.1.2 Epidemiologi Asma Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025 (Ratnawati, 2011) Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi

11

12

menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju. Studi di Australia, New Zealand dan Inggris menunjukkan bahwa pervalensi asma anak meningkat dua kali lipat pada dua dekade terakhir. Di Amerika, National Health Survey tahun 2001 hingga 2009 mendapat prevalensi asma meningkat dari 7,3% (20,3 juta orang) di tahun 2001 menjadi 8.2% (24,6 juta) di tahun 2009 (Ratnawati, 2011). Di Indonesia prevalensi asma diperkirakan 2-5%, dan mengalami peningkatan dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 5,4% pada tahun 2003. DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu 7,5% pada tahun 2007. Anak dan bayi memiliki angka kejadian yang lebih tingi yaitu sekitar 10-85% dibandingkan pada pada orang dewasa (10-45%) (Oemiati dkk, 2007). 2.1.3 Faktor Resiko Asma Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, secara umum faktor resiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok, faktor genetik dan faktor lingkungan. a. Faktor Genetik 1) Atopi/allergi Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris,pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi atau eksema. Menurut Buffum dan Settipane dalam Rahajoe dkk, (2008) anak dengan eksema dan uji kulit positif menderita asma berat. Terdapat juga laporan bahwa anak dengan

13

mengi persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. 2) Hiperaktifitas Bronkus Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. 3) Jenis Kelamin Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi asma pada anak laki laki sampai usia 10 tahun adalah1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Hal ini dihubungkan dengan karakter biologis, semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara dan terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas. Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki laki dan perempuan pada usia 30 tahun (Rahajoe dkk, 2008). 4) Ras Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalensi asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada ras kulit putih (Rahajoe dkk, 2008). b. Faktor Lingkungan 1) Alergen di Dalam dan di Luar Ruangan Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asma.Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang, tungau, debu rumah dan kecoa (Rahajoe dkk, 2008). 2) Makanan, aditif makanan(bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan)

14

Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal:tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamate-MSG) juga bisa memicu asma (Purnomo, 2008). Mengkonsumsi makanan berpengawet menyebabkan turunnya daya tahan tubuh dan dapat memicu reaksi alergi. 3) Obat obatan tertentu misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker dan lainlain. Aspirin mempunyai efek samping bronkospasme (penyempitan pada saluran pernapasan) yang dapat memperburuk kondisi asma, sehingga sebaiknya aspirin dihindari. 4) Bahan yang mengiritasi misalnya parfum,household spray dan lain-lain Produk beraroma telah ditemukan mengandung campuran alkohol alergen. Bahan kimia alergen umum adalah nikel sulfat, neomisin sulfat, alkohol benzil, kobalt klorida, zat, dll dan minyak aromatik alami seperti minyak mawar dan cengkeh dan minyak kayu manis juga dapat menyebabkan alergi. Produk-produk yang mengandung bahan kimia yang memiliki aroma tinggi harus dibatasi penggunaannya. Bisa berbahaya bagi orang yang sensitif atau alergi aroma 5) Ekspresi emosi berlebih. Kondisi emosional yang berlebih seperti stress dapat memicu serangan karena mengganggu keseimbangan hormon dan kimia otak. Depresi dan rasa khawatir berlebihan juga memperlemah sistem kekebalan, mengakibatkan sangat rentan timbulnya serangan asma.

15

6) Asap rokok dari perokok pasif maupun aktif. Prevalensi asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya resiko. Pada anak yang terpajan asap rokok kejadian eksaserbasi lebih tinggi, dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak terpajan Steyer et al, (2003) dalam Rahajoe dkk, (2008). 7) Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan. 8) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas tertentu. 9) Perubahan cuaca Kondisi cuaca yang berlawanan seperti tempratur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergik. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi , hujan, badai, selama musim dingin. 2.1.4 Patofisiologi Asma Asma timbul karena sesorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk immunoglubolin E (IgE). Alergen yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan, dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah allergen diproses dalam dalam sel APC, selanjutnya oleh sel tersebut, allergen dipresentasikan ke sel th. Sel th memberikan signal kepada sel

16

B dengan dilepaskannya Interleukin 2 (IL-2) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk immunoglubolin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang maka orang itu sudah desentisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan ini terpapar kedua kali atau lebih dengan allergen yang sama, allergen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada dalam permukaan mastosit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan perubahan di dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Penurunan kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel yang menyebabkan dilepaskannya mediator-mediator kimia yang meliputi: histamin, Slow Releasing Suptance of Anaphylaksis (SRS-A), Eosinophilik Chomotetik Faktor of Anaphylaksis (ECF-A), trypase dan kinin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama yaitu: kontraksi otot-otot polos baik yang besar maupun yang kecil, yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permiabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran napas, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mucus. Proses ini akan menimbulkan sesak, napas berbunyi (wheezing), dan batuk yang produktif. Asma non alergik terjadi bukan karena pemaparan allergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat dan tekanan jiwa atau stress psikologi. Serangan asma ini terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blockade adrenergik beta

17

dan hiperaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. aktifitas

adrenergik

alfa

diduga

Pada sebagian penderita asma

meningkat

sehingga

mengakibatkan

bronkokonstriksi dan menimbulkan sesak napas (Muttaqin, A.2008).

2.1.5 Manifestasi Klinis Asma Menurut Shofyan, M. 2008, manifestasi klinis asma pada anak ditentukan berdasarkan derajat serangan, sebagai berikut Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Asma Berdasarkan Derajat Serangan Parameter klinis, fungsi faal paru 1 Sesak

Ringan

Sedang

Berat

2 Saat berjalan Bayi: Menangis keras

3 Saat berbicara

4 Saat istirahat

Bayi: Tangis pendek dan lemah Kesulitan menetek/makan

Bayi: Tidak mau makan/minum

Posisi

Bisa berbaring

Lebih duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara

Kalimat

Penggal kalimat

Kata-kata

Kesadaran

Mungkin irritabel

Biasanya irritable

Biasanya irritabel

Kebingungan

Sianosis Wheeing

Tidak ada Sedang,seri ng hanya pada akhir ekspirasi Biasanya tidak

Tidak ada Nyaring sepanjang ekspirasi+inspir asi Biasanya ya

Ada Sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop

Nyata Sulit/tidak terdengar

Ya

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Dalam, ditambah napas cuping hidung

Frekuensi napas

Takipnu

Sedang ditambah retraksi suprasternal Takipnu

Gerakan Paradoktorako abdominal Dangkal/hilang

Takipnu

Bradipnu

Frekuensi nadi

Normal

Takikardi

Takikardi

Bradikardi

Pengggunaan otot bantu napas

suka

Ancaman Henti Napas 5

18

1 Pulsus Paradoksus

2

3

4

Tidak ada (<10 mmHg>

Ada (10-20 mmHg>

Ada (>20mmHg)

>60%

40-60%

>80%

60-80%

<40% <60%, respon<2jam

SaO2%

>95%

91-95%

≤90%

PaO2

Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) <45 mmHg

>60 mmHg

<60 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

PEFR atau FEV1(% nilai dugaan/% nilai terbaik) Prabronkodilator Pasca Bronkodilator

PaCO2

5 Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

2.1.6 Klasifikasi Asma Dalam GINA 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien (Rahajoe dkk, 2008). Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis –β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien.

19

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA 2006 adalah sebagai berikut : Tabel 2.2 Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan) Derajat Asma I. Intermiten

Gejala

Bulanan Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala di luar serangan Serangan singkat

Gejala Malam

 2 kali sebulan

Faal paru

APE  80% VEP1  80% nilai prediksi APE  80% nilai terbaik Variabiliti APE < 20%

II. Persisten Ringan Mingguan Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/ hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur

> 2 kali sebulan

APE > 80% VEP1  80% nilai prediksi APE  80% nilai terbaik Variabiliti APE 2030%

III. Persisten Sedang Harian Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari

1x / seminggu

APE 60 – 80% VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik Variabiliti APE > 30%

IV. Persisten Berat Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas

Sumber: Rahajoe dkk, 2008

Sering

APE  60% VEP1  60% nilai prediksi APE  60% nilai terbaik Variabiliti APE > 30%

20

Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut : a. Asma episodik jarang Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode ˂ satu kali tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktifitas berat, tidak terdapat gejala diantara episode serangan, dan fungsi peru normal diantara serangan. Tetapi profilaksis tidak dibutuhkan pada kelompok ini. b. Asam episodik sering Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering dan timbulnya mengi pada aktifitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemberian agonis-β2. Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru diantara serangan normal atau hampir normal. Tetapi profilaksis biasanya dibutuhkan. c. Asma persisten Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada aktifitas ringan dan diantara interval gejala dibutuhkan agonis-β2 lebih dari 3 kali/minggu karena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia 2004 membagi asma menjadi 3 derajat penyakit.

21

Tabel 2.3 Klasifikasi Derajat Asma pada Anak Menurut PNAA 2004 NNo

Parameter klinis, Kebutuhan obat, dan Faal Paru

Asma jarang

episodik

Asma sering

episodik

Asma Persisten

1 1

2 Frekuensi serangan

3 <1x/bulan

4 >1x/bulan

2

Lama serangan

<1 minggu

≥ 1 minggu

Hampir sepanjang tahun tidak ada remisi

3

Diantara serangan

Tanpa gejala

Sering ada gejala

Gejala siang dan malam

4

Tidur dan aktifitas

Tidak terganggu

Sering terganggu

Sangat terganggu

5

Pemeriksaan fisik di luar serangan

Normal (tidak ada kelainan)

Mungkin terganggu kelainan)

Tidak normal

6

Obat pengendali (anti inflamasi)

Tidak perlu

Nonsteroid/steroid hirupan dosis rendah

Steroid hirupan/oral

7

Uji faal paru (di luar serangan)*

PEF/FEV1 >80%

PEF/FEV1 80%

8

Variabilitas faal paru (bila ada serangan)*

Variabilitas15%

Variabilitas>30%

PEF/FEV1<60% Variabilitas 2030% Variabilitas >50%

5 Sering

(ada

60-

pernah

*Jika fasilitas tersedia Sumber: Rahajoe,dkk, 2008

2.1.7 Penatalaksanaan Asma Menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma tahun 2008 tata laksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Tujuan dari penatalaksanaan asma antara lain: a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma b. Mencegah eksaserbasi asma

22

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin d. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise e. Menghindari efek samping obat f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara g. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya. Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif. Hal ini dapat tercipta adanya komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien. Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma yaitu: a. KIE dan hubungan dokter-pasien b. Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor resiko c. Penilaian, pengobatan dan monitor asma d. Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut e. Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes mellitus dan lain - lain. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi penatalaksanaan asma akut/saat serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang. a. Penatalaksanan asma akut (saat serangan) Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan bila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus

23

cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan terrmasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Pada saat serangan asma obat yang digunakan adalah 1) Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) 2) Kortikosteroid sistemik Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.Pada serangan tertentu seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya kortitikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromide inhalasi, aminofilin iv atau drip. Pada anak belum diberikan ipratropium bromide inhalasi maupun aminofilin iv. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan cairan intravena. Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan iv, β2 agonis kerja cepat, ipratropium bromide inhalasi, kortikosteroid iv, dan aminofilin iv (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ruang intensif

24

a. Penatalaksaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: pemberian edukasi, pemberian obat asma dan menjaga kebugaran. 1) Edukasi Edukasi yang diberikan mencangkup: a) Obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya b) Mengenali kapan pasien berobat/mencari pertolongan c) Mengenali gejala serangan asma secara dini d) Mengetahui dan menghindari faktor pencetus e) Kontrol teratur 2) Obat asma Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus.

25

Tabel 2.4 Jenis Obat Asma Jenis obat Pengontrol (anti inflamasi)

Golongan Steroid inhalasi

Flutikason propionate Budesonid

Bentuk/kemasan Obat IDT IDT
Antileukotrin Kortikosteroid Sitemik Agonis beta-2 Kerja lama

Zafirlukast Metilprednisolon Prednison Prokaterol Formoterol Salmeterol Flukitason+salmeterol Budesonide+formoterol

Oral (tablet) Oral (injeksi) Oral Oral Turbuhaler IDT IDT Turbuhaler

Salbutamol

Oral,IDT,rotacap solution

Terbutalin Prokaterol

Oral, IDT,turbuhaler, Solution, injeksi IDT

Antikolinergik

Fenoterol Ipratropium bromide

IDT, solution IDT, solution

Metilsantin

Teofilin Aminofilin Teofilin lepas lambat

Oral Oral, injeksi Oral

Kombinasi steroid dan agonis beta-2 kerja lama Pelega (Bronkodilator)

Agonis beta-2 kerja cepat

Nama generik

Kortikosteroid Metilprednisolon sistemik Prednison IDT : Inhalasi dosis terukur=Metered dose inhaler/MDI Solution : Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebulizer Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

Oral, inhaler Oral

Sumber: Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, 2008

Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma. 2.1.8 Komplikasi Asma Berbagai komplikasi yang mungkin timbul diantaranya: a. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadiberat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau

26

aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif b. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasanyang sangat dangkal c. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen d. Pneumotorak adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas

2.2 Makanan Jajanan 2.2.1 Definisi Makanan Jajanan Makanan jajanan menurut FAO didefisinikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di

tempat- tempat keramaian umum yang langsung dimakan atau dikonsumsi

tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (Judarwanto, 2008). Menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran, dan hotel. Konsumsi pangan jajanan termasuk dalam kategori mengkonsumsi pangan siap saji yaitu makanan dan minuman yang dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses pengolahan lebih lanjut. Ragam pangan jajanan antara lain: bakso, mie

27

goreng, nasi goreng, ayam goreng, burger, cakue, cireng, cilok, cimol, tahu, gulali, es jepit, es lilin

dan ragam pangan jajanan lainnya (Direktorat

Perlindungan Konsumen, 2006). 2.2.2 Jenis Makanan Jajanan Jenis makanan

jajanan menurut

Widya

Karya

Nasional

Pangan

dan

Gizi dalam Mariana (2006) dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: a. Makanan jajanan yang berbentuk panganan, seperti kue kecil-kecil, pisang goreng dan sebagainya. b. Makanan jajanan yang diporsikan (menu utama), seperti pecel, mie bakso, nasi goreng dan sebagainya. c. Makanan jajanan yang berbentuk minuman, seperti es krim, es campur, jus buah dan sebagainya 2.2.3 Dampak Makanan Jajanan Makanan jajanan dapat berdampak positif maupun negatif. Kebiasaan jajan sangat bermanfaat jika makanan yang dibeli itu sudah memenuhi syarat kesehatan sehingga dapat melengkapi kebutuhan gizi anak. Disamping itu juga untuk mengisi kekosongan lambung, karena setiap 3-4 jam sesudah makan lambung mulai kosong. Melalui makanan jajanan anak bisa mengenal berbagai makanan yang ada sehingga membantu anak untuk membentuk selera makan yang beragam, sehingga saat dewasa anak dapat menikmati aneka ragam makanan. Manfaat atau keuntungan dari kebiasaan jajanan bagi anak yakni (Khomsan, 2003):

28

a. Memenuhi kebutuhan energi. b. Mengenalkan diversifikasi (keanekaragaman) jenis makanan. c. Meningkatkan gengsi dengan teman-teman. Selain memberikan dampak positif, kebiasaan jajan juga dapat berdampak negatif. Makanan jajanan berisiko terhadap kesehatan karena penanganannya sering tidak baik yang memungkinkan makanan jajanan terkontaminasi mikroba beracun dan menggunakan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak diizinkan (Mudjajanto, 2006). Menurut Kus dan Kusno (2007) terlalu sering dan menjadikan konsumsi makanan jajanan menjadi kebiasaan akan berakibat negatif, antara lain: a. Nafsu makan menurun. b. Makanan yang tidak higienis dan aman, akan menimbulkan berbagai penyakit. Sejumlah ahli sudah meneliti bahaya beberapa jenis bahan tambahan pangan, termasuk yang digunakan dalam makanan jajanan ringan. Misalnya pewarna Erythrosin, tartazine dan sunset yellow bisa menimbulkan alergi saluran pernapasan, membuat anak menjadi hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Ratnawati, 2001). c. Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan tidak terjamin. d. Salah satu penyebab terjadin,ya obesitas pada anak. e. Pemborosan.

29

2.2.4 Makanan Jajanan Yang Aman Makanan jajanan yang sehat dan aman adalah makanan jajanan yang bebas dari bahaya fisik,cemaran bahan kimia dan bahaya biologis (Direktorat Perlindungan Konsumen, 2006) a. Bahaya fisik dapat berupa benda asing yang masuk ke dalam pangan, seperti isi stapler, batu/kerikil, rambut, kaca. b. Bahaya kimia dapat berupa cemaran bahan kimia yang masuk ke dalam pangan atau karena racun yang sudah terkandung di dalam bahan pangan, seperti: cairan pembersih, pestisida, cat, jamur beracun, jengkol. c. Bahaya biologis dapat disebabkan oleh bahaya pathogen penyebab keracunan pangan, seperti: virus, parasit, kapang, dan bakteri.

2.2.5 Jajanan Tidak Sehat Jajanan dikatakan tidak sehat atau berbahaya dikonsumsi apabila telah dicemari. Pencemaran ini dapat ditinjau dari beberapa segi: a. Segi gizi Jika kandungan gizinya berlebihan (lema, gula, garam natrium) dapat menyebabkan berbagai penyakit generative seperti jantung, kanker, dan diabetes. b. Segi kontaminasi Jajanan sering terkontaminasi oleh mikroorganisme ataupun bahan-bahan kimiawi. Kontaminasi bahan kimia dapat menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, antara lain:

30

a. Residu peptisida Residu peptisida pada pangan dapat berasal dri penyemprotan tanaman pertanian, salah pemakaian, dan kecerobohan (Anwar, 2004 dalam Bintaria, 2011) Keracunan peptisida dapat mengganggu system reproduksi (jumlah sperma berkurang, kemandulan, dan abortus) hingga perubahan perilaku (Arisman, 2004) b. Kemasan Penggunaan kertas bekas untuk membungkus makanan dapat menyebabkan gangguan kesehatan karena mengandung logam-logam berat seperti timah hitam (Pb), tembaga (Cu), mangan (Mn), Kobalt (Co) yang dapat menimbulkan reaksi tertentu pada kulit dan paru-paruserta kemasan polisentiren brsifat karsinogenik dan berpengareuh pada sitem saraf pusat (Khomsan, 2004) c. Bahan tambahan pada makanan Bahan tambahan pada makanan dapat berdampak buruk pada kesehatan apabila dikonsumsi secara terus menerus dan melebihi ambang batas pemakaian. Bahan tambahan makanan yang sering ditemukan pada makanan adalah: 1) Pengawet (preservative) Bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama dengan bahan pangan yang dikonsumsi. Pemakaian bahan pangan dengan dosis yang tidak tepat dan diawasi akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan maupun yang bersifat tidak langsungatau kumulatif, misalnya dapat bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008)

31

2) Pewarna bahan pangan (Colour) Banyak terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan pangan, seperti pewarna tekstil. Zat yang sering digunakan adalah Metahnil Yellow dan Rhodamin B. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut (Cahyadi, 2008). Zat ini akan berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, mengenai mata dan tertelan. Akibat yang ditimbulkan bisa iritasi pada saluran napas, gangguan pada mata dan bahaya kanker pada kandung dan saluran kemih. 3) Pemanis buatan (artificial sweeterner) Pemanis buatan merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk produk olahan pangan, industry, serta minuman dan makanan kesehatan. Penggunaan pemanis sintetis dapat menimbulkan gangguan kesehatan apabila dikonsumsi secara berlebihan. Adapun dampak yang dapat ditimbulkan bagi kesehatan manusia adalah: migraine dan sakit kepala, kehilangan daya ingat, iritasi saluran napas, alergi, diare,dan kanker kandung kemih (Cahyadi, 2008) 4) Penyedap rasa dan aroma (flavour enhancer) Penyedap rasa yang paling sering digunakan adalah monosodium glutamate (MSG). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan MSG berlebih dapat membuat iritasi pada saluran pernapasan. (Cahyadi, 2008) Adapun kiat memilih pangan jajanan yang yang sehat dan aman yaitu: (Direktorat Perlindungan Konsumen, 2006) a. Hindari pangan yang dijual di tempat terbuka, kotor dan tercemar, tanpa penutup dan tanpa kemasan

32

b. Beli pangan yang dijual ditempat bersih dan terlindung dari matahari, debu, hujan, angin dan asap kendaraan bermotor. Pilih tempat yang bebas dari serangga dan sampah. c. Hindari pangan yang dibungkus dengan kertas bekas atau koran. Belilah pangan yang dikemas dengan kertas, plastik atau kemasan lain yang bersih dan aman. d. Hindari pangan yang mengandung bahan pangan sintetis berlebihan atau bahan tambahan pangan terlarang dan berbahaya. Biasanya pangan seperti

itu

dijual dengan harga yang sangat murah. Amati komposisinya, bacalah dengan teliti kandungan bahan tambahan makanan berbahaya dan bisa merusak kesehatan. e. Hindari makan makanan yang menggunakan pewarna bukan untuk pewarna makanan. Warna makanan atau minuman yang terlalu menyolok atau jauh berbeda dari warna aslinya, besar kemungkinan mengandung pewarna sintetis. Snack, krupuk, mi, es krim, es sirup, minuman gelas, berwarna terlalu mencolok ada kemungkinan telah ditambah zat pewarna tidak aman. f. Untuk rasa, jika terdapat rasa yang menyimpang,ada kemungkinan makanan mengandung bahan berbahaya atau bahan tambahan pangan yang berlebihan. Makanan tidak sehat umumnya berasa tajam, misalnya sangat gurih, membuat lidah bergetar dan tenggorokan gatal. Makanan ringan seperti mi, snack yang dijual murah dengan rasa yang enak dan gurih sering ditambahkan vetsin/MSG yang berlebihan. g. Cium aromanya. Bau apek atau tengik, pertanda makanan sudah rusak.

33

h. Perhatikan kualitasnya, apakah masih segar atau berjamur. i. Terdafatar di Badan POM. Pada tahun 2005, Badan POM RI telah melakukan pengujian terhadap 861 contoh/responden makanan jajanan anak di sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji menunjukkan bahwa 39.9% (344 contoh/responden) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Misalnya, es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan (62.5%) yang banyak dikonsumsi anak-anak mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus dan sambal (61.5%) serta kerupuk (56.3%). Dari total contoh/responden tersebut, 10.5% mengandung pewarna yang dilarang, yaitu Rhodamin B, Methanil Yellow dan Amaranth (BPOM 2005). 2.3 Hubungan Konsumsi Jajanan Tidak Sehat dengan Derajat Serangan Asma Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of Auckland,s Departemen of Paediatrics, Amerika Serikat menyatakan bahwa makanan cepat saji dapat memicu asma dan penyakit eksim. Sebanyak 15 jenis makanan yang diteliti menggunakan kuesioner kepada responden, menunjukkan makanan cepat saji ada hubungannya dengan resiko asma dan eksim pada dua kelompok usia yaitu anak-anak dan remaja. Peneliti menemukan fakta tiga porsi atau lebih makanan cepat saji yang dikonsumsi selama sepekan mampu meningkatkan gejala asma sampai 39% di kalangan remaja, dan 27% resiko asma meningkat di

34

kalangan anak-anak. Makanan cepat saji merupakan makanan tidak sehat karena dapat memicu berbagai penyakit berbahaya (Prawira, E.A 2013) Pada tahun 2011 sebuah penelitian tentang hubungan makanan cepat saji dan asma dipublikasikan dalam Nutrition Research and Practice. Penelitian ini menyimpulkan bahwa zat aditif dalam makanan olahan bisa memicu reaksi alergi pada beberapa anak (Syarifah, 2013). Sebuah penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit asma di Indonesia oleh (Oemiatih dkk, 2007), menemukan fakta bahwa kelompok yang mengkonsumsi makanan pengawet satu kali/hari memiliki resiko 1,2 kali terkena asma dibandingkan dengan yang tidak pernah mengkonsumsi. Pada tahun yang sama sebuah penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit asma pada usia ≥ 10 tahun di Indonesia oleh Sihombing,M. dkk. menyatakan variabel independent yang diduga kuat memiliki hubungan dengan penyakit asma antara lain karakteristik responden [tempat tinggal, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, indek massa tubuh, perilaku (merokok, aktifitas fisik, konsumsi makanan yang diawetkan, konsumsi bumbu penyedap yaitu vetsin, kecap, terasi) dan status ekonomi]. Dari analisis pada kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diawetkan memperlihatkan bahwa responden yang sering mengkonsumsi makanan yang diawetkan berisiko 0,9 kali mendapat serangan asma. Makanan jajanan yang tidak sehat sering mengandung bahan pengawet yang bisa memicu penyakit asma. Zat yang bisa memperburuk kondisi asma meliputi Benzoat, Tartrazine, Monozodium Glutamate (MSG) dan Sulfit. Zat tambahan

35

dalam makanan jajanan bisa memicu reaksi alergi pada beberapa anak dan menyebabkan turunnya daya tahan tubuh. Zat tambahan yang paling sering terlibat adalah Sulfit dan Monosodium Glutamate (Primadyastuti, 2013). Sebuah penelitian dilakukan di New England untuk melihat peran sulfit pada penderita asma, dilaporkan 3,9% prevalensi asma karena sulfit.

FASEB

(federation of American Sociaties for Experimental) melaporkan bahwa ada dua kelompok yang menunjukkan reaksi akibat konsumsi MSG. Kelompok pertama adalah kelompok yang sensitif terhadap MSG, yang mengakibatkan muncul keluhan rasa panas, dan kaku di wajah diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual sampai muntah. Kelompok kedua adalah penderita asma yang mengeluh meningkatnya

serangan setelah

mengkonsumsi

MSG,

mengkonsumsi 0,5-2,5 gr MSG (Bird and Burks, 2009).

terutama

setelah