17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyakit Kulit Akibat Kerja Definisi penyakit kulit akibat kerja menurut American Medical
Assosiation (1939) adalah penyakit kulit dimana
paparan bahan-bahan pada
tempat kerja merupakan penyebab utama timbulnya kelainan kulit (Kenerva dan Diepgen, 2003). Di banyak jenis pekerjaan, kulit dapat terpapar oleh dengan bahan-bahan yang bersifat iritan atau alergen seperti : bahan-bahan kimia, bahan biologi, dan tekanan fisik serta mekanik. Sensitivitas kulit terhadap bahan-bahan tersebut dan kemampuan untuk sembuh kembali berbeda setiap individu. Penyakit kulit akibat kerja dapat bertambah parah jika keseimbangan antara pertahanan kulit dan bahan-bahan iritan atau alergen terganggu. Keparahan gangguan kulit diukur dari kualitas kulit, jenis bahan iritan atau alergen, usaha pencegahan, dan pengobatannya. Kerusakan yang ditimbulkan dari bahan-bahan tersebut dapat berupa : sensasi terbakar, gatal, serta eksema kronis, dengan gambaran yang memiliki pola polimorfik seperti makula atau papul, eritema, vesikel, dan skuama. Pada kasus yang kronis didapati fisura, hiperkeratosis, dan likenifikasi (Kenerva dan Diepgen, 2003). Penyakit kulit akibat kerja berdampak pada seluruh pekerja di segala usia dengan variasi tempat kerja. Industri-industri yang pekerjanya memiliki resiko paling tinggi adalah manufaktur, produksi makanan, konstruksi, pengoperasian mesin dan barang, percetakan, tukang bengkel, pekerja kehutanan (Peate, 2002). Karena bahan-bahan pada tempat bekerja dapat menyebabkan kelainan kulit, sangat bermanfaat untuk melakukan screening kulit pada semua pasien penyakit kulit akibat kerja. Jika penyakit kulit akibat kerja terdeteksi maka pertanyaan yang harus ditanyakan adalah kapan pertama kali tanda atau gejala muncul, kapan terjadi peningkatan gejala, dan bagaimana terjadi rekurensi gejala. Termasuk bagaimana gejala jika pekerja berhenti bekerja dan atau kembali bekerja (Peate, 2002).
Universitas Sumatera Utara
18
Tabel 2.1. Bahan- bahan paparan pada pekerja yang paling sering berhubungan dengan penyakit kulit (Peate, 2002). Paparan
Pekerja yang Beresiko
Penyakit Kulit
Bahan
Semua pekerja
Dermatitis kontak iritan,
Kimia
dermatitis kontak alergi Bekerja di konstruksi, getah karet, Keloid, logam, dan masonry workers
perubahan
pigmen pascainflamasi, penyebaran lesi dengan adanya lichen planus dan
psoriasis
(Koebner’s phenomenon) Sinar
Pekerja lapangan (kerja telekomunikasi, Actinic
Matahari
nelayan, perkerja pos, dan pekerja karsinoma (sel basal, sel konstruksi)
keratosis,
squamous), melanoma, kulit terbakar, dermatitis fotoalergik, melanosis, lupus
eritomatus
sistemik,
granuloma
anulare, rosasea Panas
Penggali tambang, pekerja lapangan
Miliaria,
folikulitis,
tinea pedis Dingin
Pelaut dan nelayan, pekerja lapangan
Reynaud’s
disease,
urtikaria, xerosis Moisture
Koki, bartender, tukang cuci, penata Dermatitis kontak iritan, rambut
paronychia
Rhusgenus
Pekerja lapangan, pemadam kebakaran, Dermatitis
(poison
pekerja lading
kontak
alergi, urtikaria
oak, poison ivy)
Universitas Sumatera Utara
19
Listrik
Tukang listrik, pekerja telekomunikasi, Terbakar, nekrosis kulit pekerja konstruksi
Radiasi
Pekerja
radiografi,
ion
industri energi nuklir
pekerja
pada Kanker kulit, dermatitis radiasi kronik dan akut, alopesia,
kerusakan
kuku.
2.2.
Dermatitis Kontak Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelaianan klinis berupa efloresensi yang polimorfik berupa eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi dan disertai keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan
mungkin hanya beberapa (oligomorfik)
(Sularsito dan Djuanda, 2007). Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (National Occupational Health and Safety Comission, 2006). Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan, keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.2.1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
2.2.1.1. Definisi Dermatitis kontak alergi adalah hipersensitivitas tipe lambat, hasil dari kontak kulit dengan alergen yang spesifik pada orang-orang yang mempunyai sensitivitas yang spesifik terhadap alergen tersebut. Reaksi alergi tersebut menyebabkan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi eritema, edema, dan vesikel (Hogan D.J, 2011).
Universitas Sumatera Utara
20
2.2.1.2. Epidemiologi Tercatat 31 persen kasus dermatitis kontak alergi dari seluruh kasus dermatitis (Goh.C.L,1995).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian dermatitis
kontak iritan akibat kerja sebanyak 80% dan dermatitis kontak akibat alergi 20%, tetapi data terbaru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi cukup tinggi berkisar 50% dan 60% (Sularsito dan Djuanda, 2007). The National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES)
memperkirakan prevalensi dari dermatitis kontak alergi 13,6 kasus per 1000 populasi. The National Ambulatory Medical Care Survey (1995) memperkirakan 8,4 juta pasien yang berobat ke dokter untuk dermatitis kontak.
2.2.1.3. Etiologi Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaaan stratum korneum, ketebalan epidermis), dan status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Universitas Sumatera Utara
21
Tabel 2.2. Alergen-alergen pada dermatitis akibat kerja menurut profesinya : Artis
Acrylic, vinyl acrylic resins, epoxy dan polyester resins, benzene, toluene, astone, turpentine, nikel, cromium, clay, plester
Tukang
Qunine,
resorcin,
merkuri,
Pangkas
capsicum, arsenic, sulfur
nikel,
paraphenylendiamine,
Tukang Kayu Mahogany, rosewood, nichel, rubber, polishes, turphentine, plastics Tukang
Sabun, deterjen, sayur-sayuran (bawang putih, bawang merah,
masak
wortel, kentang)
Dokter gigi
Benzalconium klorida, sabun, deterjen, acrylic monomer, anastesi (procain), eucalyptol, mentol, formaldehyde
Tukang
Tanaman, arsenik, insektisida, tungau debu, formaldehid, tulip,
Kebun
narcissus, primula, manure
Penata
Paraphenylendiamine,
Rambut
thioglycolate, parfum, nikel, plastic
Pelukis
Turpentine, arsenik, cat warna, benzen, tiner, formaldehid,
sabun,
peroksida,
amonium,
polyester Ahli Bedah
Antiseptik, iodin, merkuri, hexaklorophen, lateks, prokain, formaldehid, polimer
2.3.1.4. Patogenesis Menurut Sularsito dan Djuanda, 2007, mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cellmediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA (Sularsito dan Djuanda, 2007). Biasanya disebabkan oleh bahan dengan berat molekul rendah yang disebut hapten. Kelainan kulit terjadi melalui proses hipersensitivitas tipe IV atau
Universitas Sumatera Utara
22
proses alergi tipe lambat (Gell & Coombs). Hapten bergabung dengan protein pembawa menjadi alergen lengkap. Alergen Iengkap difagosit oleh makrofag dan merangsang limfosit yang ada di kulit yang mengeluarkan limfosit aktivasi faktor (LAF). Sel limfosit kemudian berdiferensiasi membentuk subset sel limfosit T memori (sel Tdh) dan sel limfosit T helper dan sel T suppresor. Sel T memori ini bila menerima informasi alergen yang sudah dikenal masuk ke dalam kulit, maka sel Tdh akan mengeluarkan limfokin (faktor sitotoksis, faktor inhibisi migrasi, faktor kemotaktik dan faktor aktivasi makrofag (SAINT-MEZARD, 2004).
Gambar 2.1. Patofisiologi dermatitis kontak alergi (SAINT-MEZARD, 2004).
Dengan dilepaskannya berbagai faktor m maka akan terjadi pengaliran sel mas dan sel basofil, ke arah lesi, dan timbullah proses radang yang merupakan manifestasi reaksi dermatitis kontak alergis (Siregar, 1996). Gambaran klinis umumnya berupa papul, vesikel dengan dasar eritem dan edema, disertai rasa gatal. Dalam perusahaan sering ditemukan beberapa bahan kimia yang mempunyai gugusan rumus kimia yang sama. Apabila pekerja sudah sensitif terhadap suatu zat kimia, maka ia akan mudah menjadi sensitif terhadap zat-zat lain yang mempunyai rumus kimia yang bersamaan, misalnyaprokain, benzokain, para aminobensen mempunyai gugus benzen yang sama. Apabila seseorang sensitif terhadap prokain maka akan lebih mudah sensitif terhadap benzokain atau PABA; ini disebut sensitisasi silang (Siregar, 1996).
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.1.5. Gejala Klinis Manifestasi klinis pada dermatitis kontak alergi sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan. DKA biasanya dimulai dengan rasa gatal lalu timbulnya eritema, diikuti dengan edema, papula, vesikel, dan eksudasi. Tanda-tanda klinis yang ada bergantung pada, etiologi, lokasi, dan durasi. Pada permukaan kulit telapak tangan dan telapak kaki, serta pada sela-sela jari tangan dan kaki, gejala klinis yang pertama kali muncul adalah vesikel-vesikel yang terasa sangat gatal (Adams Robert, 1983). Apabila terpapar oleh antigen, individu dengan sensitivitas yang tinggi akan menunjukkan reaksi perubahan pada kulit yang cepat, seperti urtikaria atau eritema multiformis, atau dapat pula dermatitis (eksema). Pada fase yang kronis ditandai dengan epidermis yang menebal, garis-garis permukaan kulit menjadi lebih jelas (likenifikasi). Dan pada tangan dan kaki dapat dijumpai adanya fisura yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Graham-Brown dan Burns, 2005). Sebuah fenomena yang tampak pada dermatitis akut, khususnya dermatitis kontak alergi, adalah penyebaran sekunder eksema ke tempat-tempat yang jauh dari asal terjadinya kontak (eksematisasi). Kadang-kadang hampir seluruh permukaan tubuh terkena, sehingga eksema/dermatitis kontak alergi merupakan salah satu penyebab terjadinya dermatitis eksfoliatif generalisata (Graham-Brown dan Burns, 2005). Sebagai contoh alergen pada dermatitis kontak alergi yang manifestasi klinisnya tidak terbatas di tempat di mana bagian tubuh terpapar alergen adalah cat kuku. Gejala yang timbul akibat pemakaian cat kuku sangat jarang terjadi di daerah kuku tangan atau kuku kaki sendiri. Bahkan gejala dermatitis kontak alerginya sering timbul si daerah leher, kelopak mata, dan daerah genitalia (Veien Niels, 2006).
2.2.1.6. Diagnosis Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan didasarkan pada kelainan kulit dan lokasi kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berukuran
Universitas Sumatera Utara
24
numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu dicurigai apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat alergi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito dan Djuanda, 2007). 2.2.1.7. Penatalaksanaan Tindakan pertama ialah memutuskan mata rantai kontak dengan penderita, selanjutnya dapat diberikan pengobatan yang sesuai dengan jenis penyakitnya. Bila kelainan kulit akut dapat diberi obat kompres, sampai eksudasi kering. Sesudah itu dapat dilanjutkan dengan diberi salep yang mengandung kortikosteroid. Bila ada infeksi sekunder dapat diberi antibiotika seperti tetrasiklin atau eritromisin. Bila ada infeksi jamur diberi obat anti jamur. (Siregar,1996)
2.2.1.8. Prognosis Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.2.2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
2.2.2.1. Definisi Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dengaan patofisiologi yang kompleks dan kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Dermatitis kontak iritan sangat
Universitas Sumatera Utara
25
berbeda dengan dermatitis kontak alergi dari proses terjadinya (Sularsito dan Djuanda, 2007 ; Chowdhury dan Maibach, 2007).
2.2.2.2. Epidemiologi Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Sularsito dan Djuanda, 2007). Menurut Hunter (2002), jumlah kejadian dermatitis kontak iritan melebiuhi 80% dari semua kasus dermatitis kontak.
2.2.2.3. Etiologi Penyakit kulit yang sering timbul akibat paparan bahan-bahan di tempat kerja yaitu dermatitis kontak. Bahan-bahan yang menyebabkan dermatitis kontak dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Etiologi dermatitis kontak iritan dan gejala klinis yang ditimbulkannya menurut Adams Robert, 1983. Etiologi (Bahan Iritan) Asam
kuat
(kromat,
Gejala Klinis hidroflourat,
nitrat, Ulserasi
hidroklorat, sulfur) (Samitz,1955) ; basa kuat (kalsium oksida) (Pinkus, 1957) ; kalsium hidroksida, sodium hidroksida, potassium sianida, trisodium fosfat, arsenic trioksida, dikromat, karbon bisulfida, etilen oksida (Radimer et al., 1974). Arsenic trioksida, serat kaca, minyak pelumas, Folikulitis dan akneformis tar, aspal, naftalen klorinat (Taylor, 1979).
Universitas Sumatera Utara
26
Bahan kain, plester yang ketat, sinar UV, Milaria infrared,
aluminium
klorida
(Shelley
dan
Horvath, 1960). Metal (inorganic arsenic, perak, emas, bismuth, Hiperpigmentasi merkuri), radiasi (sinar UV, infrared, microwave), tar, aspal. Amylphenol,
butylphenol,
hydroquinone, Hipopigmentasi
cathecol (Gellin et al., 1970). Borax (Tan, 1970) ; chloropreme dimmers (Irish, Alopesia 1963). Bahan
kimia,
kosmetik,
hewan,
makanan, Urtikaria
tumbuhan, tekstil, kayu (Daman et al., 1978). Keratin (Meneghini dan Gianotti, 1964) ; silica Granuloma (Epstein, 1950) ; beryllium (Grier et al., 1948) ; bakteri, jamur, parasit.
Tabel 2.4. Bahan iritan yang sering menimbulkan DKI menurut Keefner, 2004 : Asam kuat (hidroklorida, hidroflorida, asam nitrat, asam sulfat) Basa kuat (Kalsium Hidroksida, Natrium Hidroksida, Kalium Hidroksida) Detergen Resin epoksi Etilen oksida Fiberglass Minyak (lubrikan) Pelarut-pelarut organik
Universitas Sumatera Utara
27
Agen oksidator Plasticizier Serpihan kayu
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas ; usia (anak usia di bawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi) ; ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih) ; jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada wanita) ; penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.
2.3.2.4. Patogenesis Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air di kulit (Sularsito dan Djuanda, 2007). Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membrane lemak keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran akan mengaktifkan enzim fosfolipase yang akan merubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas
vaskular
sehingga
mempermudah
transudasi
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel mast melepaskan histamin, PG dan LT lain, sehingga memperkuat perubahan vaskular (Sularsito dan Djuanda, 2007). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit yang berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila
Universitas Sumatera Utara
28
iritannya kuat. Dan apabila iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.2.2.5. Gejala Klinis Gejala klinis yang ditimbulkan pada dermatitis kontak iritan, sangat bergantung kepada konsentrasi bahan iritannya apakah kuat atau lemah dan durasi terpaparnya penderita terhadap bahan iritannya. Bahan-bahan iritan seperti minyak, alcohol, glycol hanya menyebabkan iritasi pada sebagian kecil orang, yang memang dikarenakan reaksi lokal pada kulit penderita. Namun bahan iritan seperti sodium hidroksida dan asam hidroflurat yang merupakan asam kuat dengan konsentrasi 100%, akan membakar kulit siapapun yang terkena, yang terkadang berakhir dengan kondisi yang fatal (Adams Robert, 1983). Selain faktor di atas, banyak faktor yang menimbulkan kelainan kulit pada dermatitis kontak iritan, seperti faktor individu (misalnya, ras, usia, lokasi, atopi, penyakit kulit lain), faktor lingkungan (misalnya, suhu, kelembaban, udara, oklusi). Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor di atas , maka DKI diklasifikasikan menjadi 10 macam, yaitu DKI akut, DKI lambat akut, DKI kumulatif, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI noneritematosa, dan DKI subyektif, DKI akneformis atau pustular, DKI friksi, dan DKI eksema (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.3.2.6. Diagnosis Diagnosis DKI didasarkan pada anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah dikenali karena munculnya lebih cepat sehingga penderita umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga ada kalanya sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Universitas Sumatera Utara
29
Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi makula eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol, kulit seperti terbakar. Kriteria objektif minor meliputi batas tegas pada dermatitis, dan kecenderungan untuk menyebar lebih rendah dibanding DKA (Hogan, 2009).
2.3.2.7. Penatalaksanaan Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanis, fisis, maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor-faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan secara sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal. Kalaupun memakai obat topikal, cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Sularsito dan Djuanda, 2007). Untuk mengatasi peradangan, dapat diberikan kortikosteroid topikal, seperti hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat. Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.3. Keluhan Kulit Akibat Kerja pada Pekerja Bengkel Penyebab munculnya keluhan kulit pada pekerja-pekerja adalah akibat dermatitis kontak iritan oleh bahan-bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, besi, baja, nikel, dan juga serbuk kayu (Sularsito dan Djuanda, 2007). Kelainan kulit yang terjadi, ditentukan oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah faktor yang berasal dari bahan iritannya, berupa ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, serta pH. Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari lingkungan berupa lama kontak, kekerapan (terus-menerus terpapar atau berselang), temperatur, tekanan, dan trauma fisik. Dan faktor yang ketiga adalah faktor yang berasal dari masing-masing individu berupa usia, jenis
Universitas Sumatera Utara
30
kelamin, ras, penyakit kulit yang sedang diderita, dan daerah kulit yang terpapar (Chowdhury dan Maibach, 2004). Pada pekerja bengkel, faktor -faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap kesehatan kulit selain faktor suhu dan kelembaban. Bahan-bahan iritan yang sering terpapar pada pekeja bengkel berupa minyak pelumas (oli), gas, cat, plastik, pembersih radiator, pembersih baja, dan nikel (Adams Robert, 1983). Keluhan gangguan kulit pada pekerja bengkel dapat berupa dermatitis kontak iritan kumulatif. Hal ini terjadi karena kontak yang berulang-ulang dengan bahan iritan lemah serta adanya kerjasama dengan faktor-faktor lainnya seperti yang telah disebutkan di atas. Bahan iritan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis kontak iritan, tetapi kuat apabila bergabung dengan faktor tersebut (Sularsito dan Djuanda, 2007). Pada pekerja bengkel sendiri, bahan iritan yang paling sering terpapar adalah minyak pelumas (oli) di samping bahan-bahan iritan yang telah disebut di atas. Minyak pelumas sendiri merupakan zat yang dipakai dalam pemeliharaan mesin untuk melumasi mesin kendaraan bermotor, kendaraan diesel, mesin industri, kapal, dan lain-lain. Fungsi utamanya adalah untuk melumasi dan mengurangi gesekan, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi keausan mesin, sebagai pendingin mesin dari panas yang timbul akibat gesekan, dan sebagai deterjen untuk melarutkan kotoran hasil pembakaran sehingga turut membantu perawatan mesin (Pertamina Lubricant Guide, 2010). Apabila pelumas terkena kulit, paparan akut berupa kerusakan kulit, iritasi, dan rambut kulit mudah rontok karena kerusakan akar. Reaksinya diawali pada permukaan punggung tangan, jari, kaki, dan dapat berkembang menjadi gangguan kulit yang disebut dengan perifoliculate papules. Paparan kronik terjadi apabila paparan yang berulang atau dalam jangka waktu yang lama (Pertamina Lubricant Guide, 2010). Selain pelumas, pekerja bengkel juga sering terpapar bensin yang merupakan senyawa benzena yang digunkan bahan bakar mobil atau motor. Jika terjadi paparan akut, bensin dapat mengiritasi kulit dan menyebabkan kulit melepuh. Paparan berulang atau berkepanjangan (kronik) dapat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
31
kulit kering akibat hilangnya lemak dari kulit, iritasi, dan dermatitis (CCOHS, 1997).
2.4.
Bentuk Kelainan Kulit (Ruam) Menurut Satiti Retno Pudjiati, bentuk kelainan kulit atau patologi kulit
terdiri atas: 2.4.1. Makula Makula adalah perubahan warna kulit tanpa disertai perubahan konsistensi dan permukaannya. Makula berukuran < 1 cm, sedangkan jika >1cm disebut patch. Beberapa contoh makula : • Makula hitam pada freckles • Makula putih pada vitiligo • Makula merah (eritem) pada dermatitis
2.4.2. Papula Papula adalah penonjolan kulit yang solid dengan diameter < 0,5 cm. Terjadinya papula karena adanya proses: • Infiltrat pada papilla dermis: -
Proses inflitrasi selular pada kasus lichen nitidus
-
Proses non-selular pada kasus lichen amiloidosis
• Hiperplasia epidermis: -
Veruka-molluscum contagiosum
2.4.3. Plak Plak adalah kelaianan kulit seperti papula dengan pemukaan datar dan diameter > 0,5cm. Plak dapat terjadi karena perluasan suatu papula, tetapi juga karena gabungan atau konfluensi dari beberapa papula, misalnya: - Lichen simplex - Psoriasis
Universitas Sumatera Utara
32
2.4.4. Urtika Penonjolan
kulit
dengan
batas
tegas,
timbulnya
cepat,
tetapi
hilangnya juga cepat; biasanya berwana kemerahan dan pucat di bagian tengah,sering terdapat pseudopodia (kaki semu). Urtika timbul disebabkan karena adanya
edema
interselular
yang
biasanya
merupakan
kelanjutan
dari
meningkatnya permeabilitas kapiler dan hampir tidak pernah dijumpai adanya infiltrat radang. Biasanya urtika timbul akibat adanya reaksi alergi, atau reaksi hipersensitifitas. Urtika yang timbul di jaringan yang longgar, seperti dikelopak mata, bibir, dan scrotum biasanya berukuran besar (luas) dan dinamakan angioedema.
2.4.5. Vesikel Vesikel merupakan gelembung berisi cairan sebum, beratap, berukuran kurang dari 0,5 cm, dan memmpunyai dasar, vesikel berisi darah disebut vesikel hemoragik.
2.4.6. Kista Kista merupakan ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel. Kista terbentuk bukan akibat peradangan, walaupun kemudian dapat meradang. Dinding kista merupakan selaput yang terdiri atas jaringan ikat yang dilapisi oleh sel epitel dan endotel. Kista terbentuk dari kelenjar yang melebar dan tertutup, saluran kelenjar, pembuluh darah, saluran getah bening, atau lapisan epidermis.
2.4.7. Abses Abses merupakan kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit berate di dalam kutis atau subkutis. Abses biasanya terbentuk terbentuk dari infiltrate radang. Sel dan jaringan yang hancur membentuk nanah.
Universitas Sumatera Utara
33
2.4.8. Nodus Nodus merupakan massa subkutan padat sirkumskrip terletak dikutan atau subkutan, dapat menonjol, jika diameter lebih dari 1 cm disebut nodulus.
2.4.9. Tumor Tumor istilah untuk benjolan yang berdasarkan pertumbuhan sel maupun jaringan
2.4.10. Sikatriks Sikartriks terdiri atas jaringan tak utuh, relief kulit tidak normal, permukaan kulit licin dan tidak terdapat adneksa kulit. Sikatriks dapat atrofi, kulit mencekung dan dapat hipertropik, yang sacara klinis terlihat menonjol karena kelebihan jaringan ikat.Bila sikatriks hipertrofik menjadi patologik, pertumbuhan melampaui batas luka disebut keloid.
2.4.11. Anetoderma Anetoderma bila kutis kehilangan elastsitas tanpa perubahan berarti pada bagian kulit yang lain, dapat dilihat bagian-bagian yang lain ditekan dengan jari seakan-akan berlubang.
2.4.12. Erosi Erosi merupakan kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui stratum basal.
2.4.13. Ekskoriasi Jika garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai ujung papil, maka akan terlihat darah yang keluar selain serum. Kelainan kulit disebabkan oleh jaringan sampai stratum papilare disebut ekskoriasis.
2.4.14. Ulkus Ulkus adalah hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasis. Ulkus dengan demikian mempunyai tepi, dinding, dasar, dan isi. Termasuk erosi atau
Universitas Sumatera Utara
34
ekskoriasis dengan bentuk liniar ialah fisura atau rhagades, yakni belahan kulit yang terjadi oleh tarikan jaringan disekitarnya.
2.4.15. Skuama Skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama dapat halus sebagai taburan tepung, maupun lapisan tebal dan luas sebagai lembara kertas.
2.4.16. Krusta Krusta adalah cairan badan yang mengering yang dapat bercampur dengan jaringan nekrotik maupun benda asing (kotoran, obat, dan sebagainya).
Universitas Sumatera Utara