BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Tukak ... - USU Repository

2.1.1. Definisi Tukak Peptik. Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau duodenum yang ... Sekitar 90% dari tukak duoden...

10 downloads 689 Views 632KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Tukak Peptik 2.1.1. Definisi Tukak Peptik Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi lokal (Valle, 2005). Disebut tukak apabila robekan mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai submukosa dan muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan mukosa < 5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan submukosa. Tukak peptik merujuk kepada penyakit di salur pencernaan bagian atas yang disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektum penyakit tukak peptik adalah luas meliputi kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan ulkus.

Gambar 2.1. Esofagus, Lambung & Duodenum

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Patogenesis Tukak Peptik Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpunca daripada ketidakseimbangan antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi apabila mekanisme proteksi mukosa gagal. Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel serta regenerasi epitel.

Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor

predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria agresif. Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin (terutamanya pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak (Silbernagl, 2000). 2.1.3. Etiologi Tukak Peptik 1. Infeksi Helicobacter Pylori Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3µm dan diameter 0,5µm, punya ≥ 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan epitel antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.

Universitas Sumatera Utara

Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan memproduksi toksik yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan fospolipase menekan sekresi mukus sehingga daya tahan mukosa menurun menyebabkan asam lambung berdifusi balik. Hal ini menyebabkan nekrosis jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik. Kedua mekanisme terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukos sehingga terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya, peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung yang masuk ke duodenum lalu menjadi tukak duodenum. 2. Sekresi asam lambung Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. 3. Pertahanan Mukosal Lambung NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama, penurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun. Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa. Hal demikian terjadi akibat hambatan COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel. Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen berakibat kerusakan epitel dan endotel

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan statis aliran mikrovaskular sehingga terjadinya iskemia dan akhirnya terjadi tukak peptik. Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu : Tipe 1, yang paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau proximal insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral. Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum. Tipe 3, terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer). Tipe 4, terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia. 2.1.4. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Sekitar 90% dari penderita mengeluh nyeri pada epigastrium, seperti terbakar disertai mual, muntah, perut kembung, berat badan menurun, hematemesis, melena dan anemia disebabkan erosi yg superficial atau erosi dalam pada mukosa gastrointestinal (McPhee, 1997). Pemeriksaan Penunjang Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas ( UGIE-Upper Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa tumor, kondisi mukosa lambung) 1. Pemeriksaan Radiologi. Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tukak peptik. Gambaran berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran tukak. Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas. 2. Pemeriksaan Endoskopi Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak. Gambaran tukak akibat keganasan adalah :Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika (scirrhus)

Universitas Sumatera Utara

.Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi eradikasi. Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak ganas atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai penyebab tukak. 3. Invasive Test : Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat, membuat suasana menjadi basa, yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna. Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin 4. Non Invasive Test. Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14) produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test juga mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen H.Pylori dalam faeces.

2.1.5. Terapi Tukak Peptik 1. Terapi non medikamentosa a) Dianjurkan rawat jalan, apabila gagal atau adanya komplikasi dianjurkan rawat inap.

Universitas Sumatera Utara

b) Untuk kontrol diet, air jeruk yang asam, minuman coca cola, bir, kopi dikatakan tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam lambung. c) Penderita dianjurkan untuk berhenti merokok oleh karena dapat mengganggu penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi bikarbonat pancreas, menambah keasaman duodeni, menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pylorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak. 2. Terapi medikamentosa a) Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin dapat bekerja pada pH lebih tinggi dari 4, maka penggunaan antacida juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin. b)

Antagonis Reseptor H2/ARH2. Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi asam lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam nocturnal. Strukturnya homolog dengan histamine. Mekanisme kerjanya secara kompetitif memblokir perlekatan histamine pada reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat reversible. Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg, Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg, Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg, Famotidine : 1 x 40 mg malam hari, Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg malam hari.

c) Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin

Universitas Sumatera Utara

dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs, Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg, Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60 mg. d) Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS) Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek bakterisidal terhadap H.Pylori. e) Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif melekul proteinàlapisan fisikokemikal pada dasar tukakàmelindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin, kerjasama dengan EGF ,menambah sekresi bikarbonat &mukus, peningkatan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. f)

Prostaglandin: Mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi mukus, bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa. Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi NSAIDs.

g) Penatalaksanaan infeksi H.Pylori. Tujuan eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan tukak dan mencegah kekambuhan. Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2 minggu,untuk kesembuhan tukak,bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3 – 4 minggu lagi ( Finkel R., 2009)

3. Tindakan Operasi Indikasi untuk melakukan tindakan operasi apabila terapi medik gagal atau terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan vagotomy yaitu dengan melakukan pemotongan cabang saraf vagus yang menuju lambung menghilangkan fase sefalik sekresi lambung. Tindakan operasi lain seperti antrektomi dan gastrektomi juga dapat dilakukan apabila adanya indikasi dilakukan operasi.

Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Komplikasi Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku pada 15-20% pasien tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik yaitu pada dinding posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada kematian akibat tukak peptik adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini (Kumar, 2005). Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung sehingga menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5% pasien tukak peptik. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma. Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi obstruksi. Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis atau oedem dan spasme. Mual,kembung setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering timbul. Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan muntah (Kumar, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.2. Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) 2.2.1. Definisi Obat antiinflamasi non steroid, atau yang dikenal dengan NSAID (Non Steroidal Antiinflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika. Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim COX ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Prostaglandin berperan dalam proses inflamasi (Finkel, 2009). NSAID dibagi lagi menjadi beberapa golongan, yaitu : a) Golongan

salisilat (diantaranya

aspirin/asam

asetilsalisilat,

metil

salisilat,

magnesium salisilat, salisil salisilat, dan salisilamid), b) Golongan asam arilalkanoat (diantaranya diklofenak, indometasin, proglumetasin, dan oksametasin), c) Golongan profen/asam 2-arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen, fenbufen, indoprofen, naproxen, dan ketorolac), d) Golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat, asam flufenamat, dan asam tolfenamat), e) Golongan turunan pirazolidin (diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan fenazon), f)

Golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam),

g) Golongan penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib), h) Golongan sulfonanilida (nimesulide), serta i)

Golongan lain (licofelone dan asam lemak omega 3).

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat kehadiran rasa nyeri dan radang. Secara umum, NSAID diindikasikan untuk merawat gejala penyakit seperti rheumatoid arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain dan sakit kepala, nyeri setelah operasi, nyeri ringan hingga sedang pada luka jaringan, demam, ileus, dan renal colic . Sebagian besar NSAID adalah asam lemah, dengan pKa 3-5, diserap baik pada lambung dan usus halus. NSAID juga terikat dengan baik pada protein plasma (lebih dari 95%), pada umumnya dengan albumin. Hal ini menyebabkan volume distribusinya bergantung pada volume plasma. NSAID termetabolisme di hati oleh proses oksidasi dan konjugasi sehingga menjadi zat metabolit yang tidak aktif, dan dikeluarkan melalui urin atau cairan empedu. 2.2.2. Penggunaan NSAIDs dalam pengobatan NSAIDs umunya diberikan secara dini dimaksudkan untuk mengatasi rematik akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain itu, NSAIDs juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. NSAIDs terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasi sehingga menekan sintesis prostaglandin. NSAIDs bekerja dengan cara; 

Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal



Menghambat pembebasan dan aktivasi mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal, dan enzim lainnya)



Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan



Menghambat proliferasi selular



Menetralisasi radikal oksigen



Menekan rasa nyeri

(Sudoyo, dkk, 2007).

2.2.3. Efek samping NSAIDs pada pengobatan

Universitas Sumatera Utara

Semua NSAIDs secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas NSAIDs yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika NSAIDs digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat NSAIDs. Pada pasien sensitif dapat digunakan preparat NSAIDs yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidi. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan NSAIDs antara lain adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan system hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007). Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan NSAIDs antara lain; 1. Efek terhadap saluran cerna Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung (intoleransi). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin disebabkan oleh iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena penghambatan prostaglandin pelindung. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan penggunaan NSAIDs biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin serta peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin berhubungan dengan konsumsi NSAIDs ; kira-kira 1 mL darah normal yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai kira-kira 4 mL per hari pada penderita yang minum NSAIDs dosis biasa dan pada dosis lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun

diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi

sebagai akibat rangsangan susunan saraf pusat setelah absorbsi dosis besar NSAIDs.

2. Efek susunan saraf pusat Dengan dosis yang lebih tinggi, penderita bisa mengalami ”salisilisme”-tinitus, penurunan pendengaran, dan vertigo-yang reversibel dengan pengurangan dosis. Dosis salisilat yang lebih besar lain dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung terhadap

Universitas Sumatera Utara

medula oblongata. Pada kadar salisilat toksik yang rendah, bisa timbul respirasi alkalosis sebagai akibat peningkatan ventilasi. Kemudian asidosis akibat pengumpulan turunan asam salisilat dan depresi pusat pernapasan. 3. Efek samping lainnya Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan kadar asam urat serum. Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik, terutama pada penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus sistemik serta artritis rematoid juvenilis dan dewasa. Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang reversibel pada penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi dapat pula (meskipun jarang) tejadi pada ginjal normal. Pada dosis biasa mempunyai efek yang dapat diabaikan terhadap toleransi glukosa. Sejumlah dosis toksik akan mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung serta dapat menekan fungsi jantung dan melebarkan pembuluh darah perifer. Dosis besar akan mempengaruhi otot polos secara langsung. Reaksi hipersensitifitas bisa timbul setelah konsumsi pada penderita asma dan polip hidung serta bisa disertai dengan bronkokonstruksi dan syok. Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita hamil dan anak-anak.

Universitas Sumatera Utara