bab 2 tinjauan pustaka - USU Institutional Repository

Luka yang disebabkan oleh panas api atau cairan yang dapat membakar merupakan jenis yang lazim kita jumpai dari luka bakar yang parah. Luka bakar meru...

8 downloads 967 Views 567KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Luka bakar adalah luka karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, listrik, dan bahan kimia. Luka yang disebabkan oleh panas api atau cairan yang dapat membakar merupakan jenis yang lazim kita jumpai dari luka bakar yang parah. Luka bakar merupakan jenis trauma dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan suatu penatalaksanaan sebaik-baiknya sejak fase awal hingga fase lanjut.. Luka bakar dapat terjadi pada setiap orang muda maupun orang tua dan baik laki-laki maupun perempuan. Luka bakar dapat bervariasi dari cedera ringan yang dapat dengan mudah dikelola di klinik rawat jalan, untuk luka yang luas dapat mengakibatkan kegagalan sistem organ dan perawatan yang berkepanjangan di rumah sakit. Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi

2.2 Epidemiologi

Menurut the National Institutes of General Medical Sciences, sekitar 1,1 juta luka-luka bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di Amerika Serikat. Di antara mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat inap dan sekitar 4.500 meninggal setiap tahun dari luka bakar. Ketahanan hidup setelah cedera luka bakar telah meningkat pesat selama abad kedua puluh. Perbaikan resusitasi, pengenalan agen antimikroba topikal dan, yang lebih penting, praktek eksisi dini luka bakar memberikan kontribusi terhadap hasil yang lebih baik.Namun, cedera tetap mengancam jiwa. Di India, sekitar 2,4 juta luka bakar dilaporkan per tahun. Sekitar 650.000 dari cedera ditangani oleh pusat-pusat perawatan luka bakar, 75.000 dirawat di rumah sakit. Dari mereka yang dirawat di rumah sakit, 20.000 yang mengalami luka bakar besar telah melibatkan

Universitas Sumatera Utara

paling sedikit 25% dari total permukaan tubuh mereka. Antara 8.000 dan 12.000 pasien dengan luka bakar meninggal, dan sekitar satu juta akan mempertahankan cacat substansial atau permanen yang dihasilkan dari luka bakar mereka. Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 27,6% (2012) di RSCM dan 26,41% (2012) di RS Dr. Soetomo (Martina & Wardhana, 2013). Data epidemiologi dari unit luka bakar RSCM pada tahun 2011-2012 melaporkan jumlah pasien luka bakar sebanyak 257 pasien. Dengan rerata usia adalah 28 tahun ( range : 2,5 bulan – 76 tahun), dengan rasio laki- laki : perempuan adalah 2,7 : 1. Luka bakar api adalah etiologi terbanyak (54,9 %), diikuti air panas (29,2%), luka bakar listrik (12,8%), dan luka bakar kimia (3,1%). Rerata luas luka bakar adalah 26% (range 1-98%). Dan rerata lama rawatan adalah 13,2 hari. Angka mortalitas sebanyak 36,6% pada pasien dengan rerata luas luka bakar 44,5%, dengan luas luka bakar > 60 % semuanya mengalami kematian.

2.3. Insidensi

Kelompok terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak kelompok usia dibawah 6 tahun bahkan sebagian besar berusia kurang dari 2 tahun. Puncak insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja yaitu pada usia 25-35 tahun. Kendatipun jumlah pasien lanjut usia dengan luka bakar cukup kecil, tetapi kelompok ini sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas khusus luka bakar. Dalam tahun tahun terakhir ini daya tahan hidup dimana penderita dapat kembali pada keadaan sebelum cedera pada penderita lanjut usia mengalami perbaikan yang lebih cepat dibandingkan dengan populasi umum luka bakar lainnya. Insiden luka bakar terutama terjadi pada pria oleh karena dominasi pekerja pria pada industri berat dan kehidupan pria yang lebih beresiko tinggi. Cedera luka bakar lebih sering melibatkan sosio ekonomi yang kurang-rendah. Insiden puncak luka bakar pada orang dewasa muda terdapat pada umur 20-29 tahun. Diikuti oleh anak umur 9 tahun atau lebih muda, luka bakar jarang terjadi pada umur 80 tahun ke atas. Sekitar 80% luka bakar dapat terjadi di rumah. Pada anak dibawah umur 3 tahun penyebab luka bakar paling umum adalah cedera lepuh (scald burn). Luka ini dapat terjadi bila bayi dan balita yang tak terurus dengan baik, dimasukkan kedalam bak mandi yang berisi air yang sangat panas dan anak tak mampu keluar dari bak mandi tersebut. Selain itu kulit balita lebih tipis daripada kulit anak yang lebih besar dan orang dewasa, karena nya lebih rentan cedera. Pada anak umur 3-14 tahun, penyebab luka bakar paling sering karena nyala api yang membakar baju. Dari umur ini sampai 60 tahun luka bakar paling sering disebabkan

Universitas Sumatera Utara

oleh kecelakaan industri.

2.4. Etiologi

Sumber dari luka bakar harus ditentukan terlebih dahulu sebelum dilakukan evaluasi dan penanganan. Luka bakar dapat dibedakan atas : 1. Paparan api o

Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh

o

atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak.

Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.

2. Scald (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu

kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus

kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan

oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan

keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.

3. Luka bakar karena bahan kimia seperti berbagai macam zat asam, basa, dan bahan tajam lainnya. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer 4. Luka bakar karena listrik, baik Alternatif Current (AC) maupun Direct Current (DC). Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai

mengenai tubuh.

Universitas Sumatera Utara

2.5. Mortalitas dan Morbiditas pada pasien luka bakar

Mortalitas pada luka bakar Harapan hidup setelah luka bakar sangat erat kaitannya dengan usia penderita, ukuran luka bakar, dan ada tidak nya cedera inhalasi. Karena banyaknya variabel pada luka bakar termasuk cedera penyerta, penyakit kronik, lamaya waktu pasca luka bakar sebelum dirawat dirumah sakit dan kejadian kejadian disekitar luka bakar maka mortalitas secara kasar hanya sedikit bernilai dan sering kali menyesatkan dalam usaha untuk menilai prognosis pengobatan. Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan. Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur. a. Luka Bakar Akibat Arus Listrik Cedera trauma listrik dapat dibagi menjadi eksposur tegangan tinggi (>1000 voltase), sedang (120-1000 voltase), dan rendah (<120 voltase). Tingkat kerusakan luka trauma listrik biasanya diasosiasikan dengan voltase, jenis arus, resistensi jaringan tertinggi, terendah pada saraf dan pembuluh darah sehingga mudah terjadi kerusakan. Lihat apakah ada luka masuk dan luka keluar. Komplikasi

berupa

sindroma

kompartmen,

aritmia,

kehilangan

kesadaran,

mioglobinuria sering dijumpai pada cedera luka listrik bertegangan tinggi dan harus diperhatikan dimana dapat diikuti pula dengan trauma tumpul yang diasosiasikan dengan jatuh. Energi listrik diubah menjadi panas menyebabkan cedera termal. Pembangkit panas tergantung pada kekuatan arus, durasi aliran, dan ketahanan jaringan. Panas yang meningkat dihasilkan ketika salah satu dari tiga meningkat. Tulang memiliki ketahanan tertinggi dibandingkan jaringan lain, dan sedikit menimbulkan kerusakan akibat panas. Saraf dan pembuluh darah menghasilkan lebih sedikit panas tetapi mudah terjadi kerusakan. Perubahan warna mioglobin atau hemoglobin harus tercatat, peningkatan keluaran urin penting untuk mencegah gagal ginjal. Jika terdapat myoglobinuria di urin maka berikan terapi mannitol 0,5 mg/kg intravena diikuti oleh 1 ampul bikarbonat intravena. Cairan

Universitas Sumatera Utara

intravena ditingkatkan hingga urin bersih.

Kelainan jantung adalah komplikasi umum lainnya dari cedera tegangan tinggi. Penyebab paling umum kematian di tempat kejadian adalah fibrilasi ventrikel. Kondisi pasien berikut memerlukan pemantauan jantung : -

Henti jantung

-

Aritmia jantung

-

Kelainan 12 lead EKG selain bradikardia dan takikardia

-

Kehilangan kesadaran

-

Keparahan luka bakar usia butuh

b. Luka Akibat Bahan Kimia. Derajat keparahan luka bakar kimia ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kekuatan (konsentrasi), kuantitas dari agen kimianya, durasi kontak kulit dengan bahan kimia (progresifitas), dan mekanisme luka tersebut. Terdapat ^ mekanisme agen kimia pada system biologis tubuh yaitu reduksi, oksidasi, agen korosif, keracunan protoplasmic, Vesicants dan Dessicants. Prinsip penanganan luka bakar kimia meliputi pembebasan dari pakaian, sepatu, perhiasan yang terkontaminasi. Irigasi dalam volume besar dengan air mengalir selama 30 menit. Substansi alkalin kurang solute dalam air sehingga butuh waktu irigasi yang lebih lama. Lavasi copious telah terbukti dapat menurunkan luas dan kedalaman dari full thickness injury.

2.6. faktor – faktor yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada luka bakar Tingginya angka mortalitas dan morbiditas akibat luka bakar dilakukan pengamatan dengan permasalahan terletak pada beberapa faktor yang sangat kompleks, dapat dikelompokkan antara lain:

Faktor Pasien Penyebab kematian pada luka bakar : a. Sepsis Jaringan yang mengalami koagulasi pada suhu tubuh merupakan media kultur yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Hal ini menyebabkan berkurangnya sirkulasi ke jaringan yang berfungsi membawa produk darah yang merupakan bagian dari

Universitas Sumatera Utara

mekanisme pertahanan humoral. b. Usia. Luka bakar yang bagaimanapun dalamnya luasnya menyebabkan kematian yang lebih tinggi pada anak dan orang dewasa diatas usia 60 tahun. Kematian pada anak-anak oleh karena daya kekebalan belum sempurna. Orang dewasa yang lebih tua sering kali menderita penyakit sampingan yang memperbesar kematian.

Faktor Pelayanan, termasuk disini adalah petugas dan fasilitas pelayanan yang ada. a. Petugas Pengetahuan, khususnya mengenai patofisiologi luka bakar dan penatalaksanaan luka bakar baik pada penatalaksanaan awal maupun penatalaksanaan lanjut (indikasi, kontraindikasi, timing, prosedur yang disiapkan dan yang penting mengetahui permasalahan yang ada). b. Fasilitas pelayanan yang kurang atau tidak memadai. Pada penatalaksanaan luka bakar yang berpengaruh pada Mortalitas dan Morbiditas dimana sering kali terjadi kondisi-kondisi dimana kasus luka bakar datang dengan kondisi syok dikirim oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan, tanpa tindakan pertolongan sebelumnya, khususnya tindakan resusitasi cairan pada fase syok yang sangat menentukan kondisi maupun tindak lanjut.

Faktor Cedera a. Jenis-jenis luka bakar dan luasnya lokasi luka bakar. Penderita dengan luka bakar khusus harus selalu dilakukan penanganan khusus seperti luka yang disebabkan oleh listrik atau bahan kimia mungkin nampak tidak begitu berat, seakanakan luka tersebut hanya ringan tetapi sering kali mengenai struktur yang dalam dan sulit ditangani. Luas dan lokasi luka bakar juga merupakan suatu penentu keparahan luka misalnya, luka bakar pada tangan, walaupun hanya derajat II dapat menunjukkan bekas atau kontraktur yang Menyebabkan tangan tidak dapat digunakan kecuali kalau pengobatan khusus diberikan sedini mungkin selanjutnya bahkan luka bakar yang tidak parahpun pada kedua tangan menyebabkan penderita tidak dapat merawat dirinya sendiri diluar rumah sakit. Penderita dengan luka bakar perineal harus dirawat di rumah sakit karena besarnya kemungkinan terjadi peradangan. b. Lama kontak dengan sumber panas Semakin lama kontak dengan sumber panas, kerusakan jaringan semakin dalam dan luas.

Universitas Sumatera Utara

anak-anak oleh karena daya kekebalan belum sempurna. Orang dewasa yang lebih tua sering kali menderita penyakit sampingan yang memperbesar kematian.

Keadaan yang memperberat luka bakar 1. Syok hipovolemik Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan nekrosis jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ, tergantung pada ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas kapiler sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan tidak akan bertahan lama. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik. Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini digunakan cairan isotonik (RL); dengan cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga dapat mengurangi kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer (AR) juga dapat digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya). Jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang. Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi jaringan, proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar laktat plasma yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan mortalitas. Dalam kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan membahayakan. Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik sama dengan RL , tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera di metabolisme dengan cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan asambasa.

2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika terdapat kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering terjadi pada pasien dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari 30% permukaan tubuhnya. Resiko terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena komorbiditas.

Universitas Sumatera Utara

SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan MODS menyebabkan kematian sebesar 81% pasca trauma.

SIRS SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF). SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS. Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu: -

Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)

-

Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

-

Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO 2 < 32 mmHg)

-

Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band). Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur

darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.

Patofisiologi Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap. Tahap I Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator proinflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL 1 , IL 6 ), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi. Tahap II Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL 4 , IL 10 , IL 11 , reseptor terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.

Universitas Sumatera Utara

Tahap III Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian. MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan. Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan. Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.

Universitas Sumatera Utara

Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik. Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif. Tatalaksana Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis. Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus. Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme. Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat pemberian serta efek sampingnya.

Universitas Sumatera Utara

Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA 2 ) yang bersifat maligna. Komplikasi Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation (DIC)

3. Cedera Inhalasi Konsekuensi klinis dapat berupa edema saluran nafas atas, bronospasm, oklusi saluran nafas, hilangnya klirens silier, peningkatan ruang rugi, intrapulmonary shunting. Menurunnya komplaiens dindng dada, tracheobronkitis, dan pneumonia. Tanda – tanda dari keracunan karbondioksida adalah sakit kepala, bingung, koma dan aritmia.

a. indikasi trauma inhalasi : adanya riwayat trauma pada ruangan tertutup, luka bakar wajah, bulu hidung/mata terbakar, jelaga pada lubang hidung atau rongga mulut, suara serak (hoarseness), konjungtivitis, takipnea, sputum berjelaga, meningkatnya level CO dalam darah ( tampak darah lebih merah cerah) b. Tersangka trauma inhalasi membutuhkan intubasi segera akibat edema jalan napas yang progresif. Kegagalan dalam mendiagnosis trauma inhalasi dapat berakibat obstruksi jalan nafas, jika tidak tertatalaksana dapat menyebabkan kematian. c. X-ray dada dan analisa gas darah dapat digunakan untuk mengeksklusikan trauma inhalasi. d. Direk bronchoscopi saat ini digunakan sebagai alat untuk diagnose

Standar prosedur trauma inhalasi di unit luka bakar Anamnesis -

Riwayat terbakar dalam ruang tertutup

-

Riwayat pingsan dalam ruang tertutup yang terbakar

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan fisik -

Luka bakar diwajah

-

Rambut / alis/ bulu hidung terbakar

-

Jelaga pada rambut / alis/ bulu hidung

-

Lidah dan mukosa intraoral bengkak

-

Suara serak

-

Sesak napas

-

Konfirmasi dengan pemeriksaan laringoskop : terdapat hiperemis / edema

-

pemasangan ETT disesuaikan dengan usia (dewasa/anak)

-

bila ditemukan salah satu atau lebih dari pemeriksaan fisik poin 4,5,6,7

Tindakan

(seperti tertera diatas) lakukan intubasi segera. -

Bila ditemukan salah satu atau lebih dari pemeriksaan fisik poin 1.2.3 (seperti tertera diatas) lakukan observasi ketat tanda klinis dan laboratorium , bila observasi ketat tidak dapat dilakukan maka lakukan intubasi

-

Bila usaha intubasi 1 kali gagal dilakukan harus dikonversi ke Trakeostomi

-

Bila ditemukan edema massif pada wajah dan leher disertai tanda klinis trauma inhalasi lakukan Trakeostomi segera.

-

Bila timbul keraguan sebaiknya dilakukan intubasi sebelum semuanya terlambat.

4. Stress Ulcer Stres ulcer tercatat sebagai penyulit pada kasus luka bakar berat dan dikenal dengan sebutan Curling Ulcer. Enam puluh lima persen kasus luka bakar dengan luas lebih dari 35% mengalami erosi mukosa usus dan 74% kasus berkembang menjadi stress ulcer. Stress ulcer ini biasanya terjadi dalam 96 jam pasca cedera termis sedangkan lokasi anatomic tersering adalah gaster (daerah fundus dan korpus) dan dinding posterior duodenum. Stress ulcer ini memberikan gejala perdarahan gastrointestinal masif dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat cedera disertai adanya klinik hematemesis, cairan hitam pada pipa nasogastrik. Pada pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

endoskopik dijumpai keseluruhan mukosa pucat, erosi mukosa akut tanpa indurasi disekitarnya, dijumpai peteki eritematous dan makula disertai fokus hemoragik pada mukosa. Pemberian nutrisi parenteral dini ternyata merupakan cara yang efektif dalam mencegah terjadinya stress ulcer meskipun belum dapat menurunkan angka mortalitas luka bakar secara keseluruhan. Pemberian antasida sebagai upaya menetralisir asam lambung yang dicurigai terjadi pada kondisi stress. Pemberian H2 antagonis reseptor seperti ranitidin dan simetidin dilaporkan memiliki efektifitas yang sama dengan antasida. Pemberian inhibitor HK ATP ase seperti omeperazol dan lozoperazol memiliki efektifitas yang baik pada kondisi terjadinya perdarahan.

Universitas Sumatera Utara