bab ii tinjauan pustaka - USU Institutional Repository - Universitas

umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal. (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan. Sistem ...

14 downloads 696 Views 566KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispersi Padat 2.1.1 Latar Belakang Sejarah Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabitas ditinjau ulang secara komprehensif memperlihatkan bahwa obat-obat yang laju absorpsi pada saluran pencernaan dibatasi oleh disolusi, pengurangan ukuran partikelnya umumnya meningkatkan laju absorpsi dan bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, dosis terapi griseofulvin menurun sampai 50% dengan mikronisasi (Chiou dan Riegelman, 1971), dan juga menghasilkan level darah yang lebih konstan dan tepat. Dosis komersial spironolakton juga menurun sampai setengahnya hanya dengan sedikit pengurangan ukuran partikel (Levy, 1963). Menurut Chiou dan Riegelman (1971) pengurangan ukuran partikel dapat dilakukan dengan: a) triturasi konvensional dan pengerusan, b) bola-bola penggiling (balmilling), c) mikronisasi energi cairan, d) pengendapan terkontrol dengan perubahan pelarut atau suhu, aplikasi gelombang ultrasonik, dan semprot kering (spray drying), e) pemberian cairan ketika dilusi dengan cairan lambung, dan f) pemberian garam yang larut air dari senyawa yang sukar larut sehingga bentuk netral akan mengendap dalam bentuk yang sangat halus dalam cairan saluran pencernaan.

2.1.2 Definisi dan Metode Persiapan Dispersi Padat 2.1.2.1 Definisi

Universitas Sumatera Utara

Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau matris pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau pelelehan-pelarutan (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2 Metode Persiapan Dispersi Padat 2.1.2.2.1 Metode Pelelehan Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Masa padat dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963). Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi

Dibawah

kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus dari sistem campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2.2 Metode Pelarutan Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965), sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Salah satu syarat penting untuk pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan adalah bahwa obat dan pembawa cukup larut dalam pelarut. Suhu yang digunakan untuk penguapan pelarut biasanya terletak pada kisaran 23-65º C (Leuner dan Dressman, 2000). Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal, kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut (Chiou dan Riegelman, 1971).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Klasifikasi dan Mekanisme Lepas Cepat Sistem dispersi padat dapat digolongkan berdasarkan mekanisme lepas cepatnya. Sistem ini dapat digolongkan menjadi enam kelompok sebagai berikut (Chiou dan Riegelman, 1971; Leuner dan Dressman, 2000); 1. Campuran eutetik sederhana. 2. Larutan padat. 3. Larutan kaca dan suspensi kaca. 4. Endapat amorf obat dalam pembawa kristal. 5. Pembentukan senyawa atau kompleks antara obat dan pembawa. 6. Berbagai kombinasi dari kelompok 1 sampai 5.

Campuran Eutetik Sederhana Campuran ini dibuat dengan pemadatan cepat dari cairan yang melebur dari dua komponen yang menunjukkan ketercampuran cairan sempurna dan kelarutan padatpadat yang dapat diabaikan (Chiou dan Riegelman, 1971). Sifat ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. Ketika eutetis yang terdiri dari obat yang sukar larut terpapar pada air atau cairan saluran pencernaan, obat dapat dilepas ke dalam medium cairan dalam bentuk kristal halus (Sekiguchi dan Obi, 1961). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kedua komponen dapat terkristalisasi menjadi ukuran partikel kecil secara bersamaan (Chiou dan Riegelman, 1971). Peningkatan area spesifik karena pengurangan ukuran partikel ini, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi oral dari obat yang sukar larut. Sebagai tambahan atas pengurangan ukuran partikel, faktor berikut dapat membantu meningkatkan laju disolusi obat yang terdispersi dalam eutetik:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Fase Diagram Sistem Eutetik

1. Peningkatan kelarutan obat dapat terjadi jika sebagian obat kristalnya sangat kecil (Martin, et al., 1969). 2. Efek pelarutan oleh pembawa mungkin terjadi pada lapisan difusi yang menyelubungi partikel obat pada tahap awal disolusi karena pembawa larut sempurna dalam waktu yang singkat (Goldberg, et al., 1966) 3. Tidak adanya agregasi dan aglomerasi antara kristal halus obat hidrofobik murni, memainkan peranan penting dalam peningkatan laju disolusi dan absorpsi (Chiou dan Riegelman, 1971). 4. Keterbasahan dan dispersibilitas obat dari sistem eutetik atau sistem dispersi padat lain yang dibuat dari matriks yang larut air menghasilkan peningkatan laju disolusi obat dalam media cair. Hal ini dikarenakan setiap kristal obat dikelilingi oleh pembawa larut yang siap larut dan menyebabkan air bersentuhan dan membasahi partikel obat (Sekiguchi dan Obi, 1961). 5. Peningkatan laju disolusi dan juga dapat terjadi jika obat terkristalisasi dalam bentuk metastabil setelah pemadatan larutan. Bentuk metastabil memiliki kelarutan yang lebih tinggi sehingga laju disolusi menjadi lebih cepat (Chiou dan Riegelman, 1971).

Universitas Sumatera Utara

Eutetik dibentuk oleh interaksi atom atau molekuler yang longgar yang tidak terlibat dalam pembentukan ikatan kimia.

2.1.4 Pembawa Dispersi Padat Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG), polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000). Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer tambahan dari etilen oksida dengan rumus struktur H(OCH 2 CH 2 )nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata gusus oksietilen (Ditjen POM, 1995). PEG umumnya mempunyai bobot melekul antara 200-300.000, konsistensinya sangat dipengaruhi oleh berat molekulnya. PEG dengan bobot molekul 200-600 berbentuk cair, PEG dengan bobot molekul 800-1500 konsistensinya seperti vaselin, PEG dengan bobot molekul 20006000 menyerupai lilin dan bobot molekul diatas 20.000 berbentuk kristal keras dan kaku pada temperatur kamar (Leuner dan Dressman, 2000). Umumnya PEG dengan bobot molekul 1500-20.000 digunakan untuk pembuatan dispersi padat. PEG dengan bobot molekul 4000-6000 paling sering digunakan untuk pembuatan sistem dispersi padat. Titik lebur PEG untuk setiap tipenya dibawah 65º C (misalnya PEG 1000 mempunyai titik lebur 30-40º C, PEG 4000 mempunyai titik lebur 50-58º C dan PEG 20.000 mempunyai titik lebur 60-63º C). Titik lebur yang relatif rendah menguntungkan untuk pembuatan dispersi padat dengan metode peleburan (Price, 1994).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Metode Pembuatan Tablet Secara umum cara pembuatan tablet adalah dengan metode granulasi basah, granulasi kering dan cetak langsung (Ditjen POM, 1995). Sistem dispersi padat dengan obat ibuprofen digunakan untuk pengembangan formula tablet. Tablet diformulasi dengan metode cetak langsung karena metode ini lebih mudah dan murah (Lieberman, et al., 1990). Metode cetak langsung juga merupakan pilihan utama untuk membuat tablet dengan kandungan zat aktif yang termolabil dan sensitif terhadap kelembaban (Goel, et al., 2008). Cara ini hanya dilakukan untuk bahanbahan tertentu saja, yang berbentuk kristal/butir-butir granul yang mempunyai sifatsifat yang diperlukan untuk membuat tablet yang baik, dan dapat mengalami peristiwa deformasi plastis pada saat pencetakan. Bahan-bahan ini mempunyai sifat free-flowing, sehingga memungkinkan untuk dicetak langsung dan mempunyai kohesifitas dan kekompakan yang baik (Lachman, et al., 1994). Tablet yang dibuat cetak langsung mempunyai waktu hancur tablet yang relatif lebih cepat. Bahan tambahan yang digunakan agar tablet cepat hancur adalah bahan penghancur (desintegrant). Menurut Dobetti (2000) beberapa non-effervescent desintegrant yang dapat digunakan antara lain: a. Amilum dan amilum termodifikasi (modified amylum). Kelompok ini meliputi amilum alamiah (seperti amilum jagung dan amilum kentang), amilum cetak langsung

(seperti

starch

1500),

amilum

termodifikasi

(seperti

carboxymethylstarches dan natrium amilum glikolat/sodium starch glokolate) dan turunan amilum (seperti amilosa) b. Polivinilpirolidon terkait silang (cross-linked polyvinyl pyrrolidone).

Universitas Sumatera Utara

c. Selulosa termodifikasi seperti natrium CMC serkait silang (cross-linked sodium carboxymethylcellulose) d. Asam alginat dan natrium alginat e. Selulosa mikrokristal (microcrystaline cellulose) f.

Garam

kopolimer

asam

metakrilat-divinilbenzene

(methacrylic

acid-

devinylbenzene copolymer salts). Selulose termodifikasi (modified cellulose) merupakan bahan yang sangat penting dalam sistem disintegrasi oral karena bahan ini menghasilkan desintegrasi yang cepat sehingga disebut juga superdesintegrant (Goel, et al., 2008). Natrium kroskarmelosa merupakan garam natrium terkait silang dari karboksimetil selulosa, yang memiliki kapasitas mengembang yang besar serta digunakan pada konsentrasi antara 0,5 – 5,0% (Rowe, et al., 2003). Krospovidon merupakan turunan polivinilpirolidon yang tak larut dalam air, menunjukkan aktivitas kapiler yang tinggi dan meningkatkan kapasitas hidrasi, dengan kecenderungan yang kecil untuk membentuk gel. Konsentrasi efektifnya dicapai pada 2,0 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).

2.2 Ibuprofen 2.2.1 Sifat Fisikokimia Ibuprofen

((±)-2-(p-isobutilfenil)

asam propionat) dengan rumus molekul

C 13 H 18 O 2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Rumus Bangun Ibuprofen Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM, 1995). Larut dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat (Reynolds, 1989). Senyawa ini mempunyai titik lebur 75-77º C dengan pKa 4,4 ; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0 (Moffat, et al., 2005).

2.2.2 Farmakokinetik Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2-4 jam. Kirakira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Stoelting, 2006; Katzung, 1995; Sinatra, et al., 1992).

2.2.3 Farmakodinamik Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan menghambat siklooksigenase -I (COX I) dan siklooksigenase -II (COX II). Namun

Universitas Sumatera Utara

tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).

2.2.4 Indikasi dan Dosis Terapi Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg, untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk demam pada anak-anak 5 mg/ kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10 mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson, et al., 2002).

2.3 Absorpsi Yang dimaksud dengan

absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah

masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik. Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab itu laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan tubuh (saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut: Zat aktif

Penyerapan

Universitas Sumatera Utara

Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip yang diungkapkan oleh Bennet : sebelum melintasi membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam cairan disekitar membran. Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut tahapan sebagai berikut;

Obat (Zat aktif + pembawa)

Pelepasan

Zat Aktif terlepas

Pelarutan

Zat Aktif terlarut

Difusi

Zat Aktif terserap

Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan zat aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif sediaan obat didalam tubuh merupakan tahap penentu. Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain) (Aiache, 1982).

2.3.1 Membran Sel Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari komponenkomponen yang terorganisasi, yaitu: 1. Lapisan lemak bimolekul. Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin, fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus gliserilfosfat fosfolipid. 2. Protein Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus hidrofil dan hidrofob. 3. Mukopolisakarida Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.

2.3.2 Transpor Molekul melalui Membran Proses transpor melewati membran terjadi melalui beberapa mekanisme (Simanjuntak, 1991; Shargel dan Yu, 2005) yaitu;

1. Transpor Pasif Transpor pasif terdiri dari : a) Difusi Sederhana (difusi non ionik)

Universitas Sumatera Utara

Dimana proses difusi dapat berlangsung apabila ada perbedaan konsentrasi antara kedua sisi membran. Molekul berdifusi dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. b) Teori pH – Partisi Hipotesis Hipotesa ini berdasarkan pemikiran bahwa elektrolit lemah akan terpermeasi melalui membran hanya dalam bentuk tidak terionkan. c) Difusi Ionik Pada proses ini, molekul berpindah dalam bentuk ion dan kecepatan transpor melalui membran ditentukan oleh perbedaan potensial kimia atau listrik. d) Difusi yang difasilitasi Berbeda dengan difusi sederhana, difusi yang difasilitasi berlangsung melalui pembawa (carrier) protein yang mempunyai kemampuan berikatan dengan bahan yang spesifik dan sistem ini dapat mengalami penjenuhan. 2. Transpor Aktif Molekul dipindahkan melawan perbedaan konsentrasi misal, dari daerah konsentrasi rendah ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, proses ini memerlukan energi. Transpor aktif memerlukan pembawa atau carrier yang mengikat obat membentuk kompleks obat – pembawa.

3. Pinositosis Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran. Mekanisme ini mirip dengan fagositosis bakteri oleh leukosit.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Metode Absorpsi In Situ Banyak variasi metode perfusi usus yang digunakan sebagai model . Metode insitu memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro. Walaupun hewan percobaan sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris, neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro (Griffin dan Driscol, 2006).

2.3.3.1 Metode Perfusi Intestinal Pengembangan preparat usus halus yang diperfusi secara vaskular dan stabil merupakan alat penelitian untuk melihat transpor dan metabolisme obat intestinal. Metode ini telah digunakan secara luas karena relatif sederhana, teknik pembedahan yang relatif mudah dan murah (Schanker, et al., 1958). Pada pendekatan ini rongga perut hewan yang telah dibius dibuka dengan laparotomy. Sejumlah modifikasi metode ini telah dikembangkan, pada eksperimen loop tertutup oleh Doluisio, et al., (1969) larutan obat diletakkan pada bagian usus yang diisolasi, sedangkan pada metode perfusi loop terbuka dipertahankan aliran cairan secara terus menerus menuruni usus, dan permiabilitas intestinal diperkirakan melalui perbedaan konsentrasi perfusat masuk dan keluar pada keadaan steady (Ho dan Higuchi, 1974). Pertimbangan tambahan jika menggunakan teknik in situ adalah volume laruran obat seiring absorpsi selama perfusi mungkin menyebabkan kesalahan pada perhitungan absorpsi. Berbagai metode koreksi fluks air telah dikemukakan termasuk penanda yang tidak terabsorpsi seperti fenol merah, inulin, atau 14C PEG 4000 yang

Universitas Sumatera Utara

dapat

diaplikasikan

dengan

persamaan

yaitu

:

\

Dimana

2.3.3.2

adalah konsentrasi keluar yang dikoreksi

Metode Perfusi Intestinal Loop Terbuka atau Teknik Perfusi Usus Single Pass

Untuk perkiraan kuantitatif parameter absorpsi, metode Doluisio memiliki kelemahan, yaitu obat menyebar luas ke seluruh permukaan usus sehingga tidak mencerminkan in vivo yang sebenarnya. Model perfusi single pass yang diusulkan oleh Higuchi (1974) dirancang untuk memperkirakan sifat dengan aliran cairan secara terus menerus melalui usus. Metode ini lebih baik daripada metode Doluisio karena menghasilkan kontrol hidrodinamik yang lebih baik dan meningkatkan luas permukaan (Ho, et al., 1983a ; Stewart, et al., 1997). Metode single pass memberikan laju

yang lebih reproduksibel dan variasi yang lebih kecil dalam penelitian

(Schurger, et al., 1986). Pada penelitian ini larutan obat diperfusi terus menerus menuruni panjang usus yang telah diatur melalui kanula duodenum dan perfusat dikumpulkan dari kanula ileum dengan laju alir antara 0,1 dan 0,3 ml/menit. Sampel yang dikumpulkan dari aliran keluar diuji kandungan obatnya. Perkiraan permiabilitas usus efektif dilakukan dengan menghitung perbedaan antara cairan yang masuk dan keluar, ketika keadaan steady telah tercapai (ketika konsentrasi keluar telah stabil).

2.4 Usus Halus Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu; duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam tergantung pada letaknya yaitu 2 – 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.

Universitas Sumatera Utara

Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari peritonium (Aiache, et al., 1982). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian bawah rongga (Fawcett, 1994). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes. Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m2. Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 46, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, 1982).

Universitas Sumatera Utara