BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Universal Precaution

kewaspadaan universal ... semua pedoman dan kebijakan mereka cocok diterapkan dilokasi ... Pembentukan kelompok pengevaluasi pelaksanaan kewaspadaan s...

136 downloads 492 Views 607KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Universal Precaution (Kewaspadaan Universal) 2.1.1. Pengertian Kewaspadaan standar merupakan kewaspadaan yang terpenting, dirancang untuk diterapkan dalam perawatan seluruh pasien dalam rumah sakit, baik yang terdiagnosis infeksi, diduga terinfeksi atau kolonisasi (Maryunani, 2011). Kewaspadaan

standar

merupakan

strategi

utama

pencegahan

dan

pengendalian infeksi, yang menyatukan ‘UP (Universal Precaution/Kewaspadaan Universal) dan BSI (kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh) (Maryunani, 2011). Kewaspadaan

standar

merupakan

kombinasi

segi-segi

utama

dari

kewaspadaan universal (dirancang untuk mengurangi risiko penularan patogen melalui darah dari darah dan cairan tubuh) dan isolasi zat tubuh (dirancang untuk mengurangi risiko penularan penyakit dari zat tubuh yang lembab) (Maryunani, 2011). Diberlakukan terhadap setiap pasien, tidak tergantung terinfekksi atau terkolonisasi. Disusun untuk mencegah kontaminasi silang, sebelum ddiagnosis diketahui beberapa merupakan praktek rutin (Maryunani, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Tujuan Universal Precaution (Kewaspadaan Universal) Kewaspadaan standar diciptakan untuk mencegah transmisi silang sebelum diagnosis ditegakkan atau hasil pemeriksaan laboratorium belum ada. Kewaspadaan standar dimaksudkan untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme dari kedua sumber dari infeksi dirumah sakit yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Dalam prinsip kewaspadaan standar, semua darah dan cairan tubuh harus dipertimbangkan secara potensial terinfeksi dengan penyakit menular termasuk TB Paru, HIV dan hepatitis B dan C, tanpa terkait dengan status ataupun faktor-faktor risiko seseorang (Maryunani, 2011). Kewaspadaan standar diciptakan untuk menurunkan risiko transmisi mikroba dari sumber infeksi di sarana pelayanan kesehatan baik yang disadari maupun yang tidak (Maryunani, 2011). Tujuan kewaspadaan isolasi yaitu menurunkan transmisi mikroba infeksius diantara petugas dan pasien: mencegah terjadinya transmisi mikroorganisme patogen dari satu pasien ke pasien lain dan dari pasien ke petugas kesehatan, dan sebaliknya (Maryunani, 2011). 2.1.3. Ruang Lingkup Universal Precaution (Kewaspadaan Universal) Menurut

Maryunani

(2011),

ruang

lingkup

universal

precaution

(kewaspadaan universal) melingkupi : a. Ruang lingkup kewaspadaan universal terdiri dari: 1. Kebersihan tangan. 2. Sarung tangan.

Universitas Sumatera Utara

3. Masker. 4. Pelindung mata/wajah. 5. Gaun/apron. 6. Peralatan perawatan pasien. 7. Pengendalian lingkungan (tata rumah tangga, sprei/selimut yang kotor). 8. Penanganan Linen. 9. Penanganan Limbah. 10. Kesehatan karyawan. 11. Penempatan pasien. 12. Hygiene respirasi/etika batuk. 13. Praktek menyuntik aman. 14. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi. b. Peralatan Perawatan Pasien 1. Buat aturan dan prosedur untung menampung, trransportasi, peralatan yang mungkin terkontaminasi darah atau cairan tubuh. 2. Lepaskan bahan organik dari peralatan kritikal, semi kritikal dengan bahan pembersih sesuai dengan sebelum di DTT atau sterilisasi. 3. Tangani peralatan pasien yang terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dengan benar sehingga kulit dan mukus membran terlindungi, cegah baju terkontaminasi, cegah transfer mikroba kepasien lain dan lungkungan. Pastikan peralatan yang telah dipakai untuk pasien infeksius telah dibersihkan dan tidak dipakai untuk pasien lain. Pastika peralatan sekali pakai dibuang dan

Universitas Sumatera Utara

dihancurkan melalui cara yang benar dan peralatan pakai ulang diproses dengan benar. 4. Peralatan nonkritikal terkontaminasi didisinfeksi setelah dipakai. Peralatan semikritikal didisinfeksi atau disterilisasi. Peralatan kritikal harus didisinfesi kemudian desterilkan. Peralatan makan pasien dibersihkan dengan air panas dan detergen. c. Pengendalian Lingkungan Pastikan bahwa rumah sakit membuat dan melaksanakan prosedur rutin untuk pembersihan, disinfeksi permukaan lingkungan, tempat tidur, peralatan disamping tempat tidur dan pinggirannya, permukaan yang sering tersentuh dan pastikan kegiatan ini dimonitor. d. Penanganan Linen Penanganan, transport dan proses linen yang terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dengan prosedur yang benar untuk mencegah kulit, mukus membran terekspos dan terkontaminasi linen, sehingga mencegah transfer mikroba kepasien lain, petugas dan lingkungan. e. Penanganan Limbah Benda Tajam 1.

Jangan menekuk atau mematahkan benda tajam.

2.

Jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat.

3.

Segera buang limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia.

4.

Selalu buang sendiri oleh si pemakai.

5.

Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai.

Universitas Sumatera Utara

6.

Kontainer benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.

f. Penanganan Pecahan/Benda Tajam 1.

Gunakan sarung tangan tebal.

2.

Gunakan kertas koran untuk mengumpulkan pecahan benda tajam tersebut, kemudian bungkus dengan kertas.

3.

Masukkan dalam kontainer tahan tusukan, beri label.

g. Kesehatan Karyawan 1.

Berhati-hati dalam bekerja untuk mencegah trauma saat menangani jarum, scalpel dan alat tajam lain yang dipakai setelah prosedur, saat membersihkan instrumen dan saat membuang jarum.

2.

Jangan ‘recap’ jarum yang telah dipakai, memanipulasi jarum dengan tangan, menekuk jarum, mematahkan, melepas jarum dari spuit.

3.

Buang jarum, spuit, pisau scalpel, dan peralatan tajam habis pakai kedalam wadah tahan tusukan sebelu dibuang ke insenerator.

4.

Pakai mouthpiece, resusitasi bag atau peralatan ventilasi lain pengganti metoda mulut ke mulut.

5.

Jangan mengarahkan bagian tajam jarum kebagian tubuh, selain akan menyuntik.

h. Penempatan Pasien Tempatkan pasien yang potensial mengkontaminasi lingkungan atau yang tidak dapat diharapkan menjaga kebersihan atau kontrol lingkungan kedalam ruang rawat yang terpisah.

Universitas Sumatera Utara

Bila ruang isolasi tidak memungkinkan, konsultasikan dengan petugas pencegahan dan pengendalian infeksi mengenai cara penempatan sesuai jenis kewaspadaan terhadap transmisi infeksi. i.

Etika Batuk/Hygiene Respirasi 1. Edukasi petugas akan pentingnya pengendalian sekresi respirasi untuk mencegah transmisi petogen dalam droplet terutama selama musim/kejadian luar biasa virus respiratorik di masyarakat. 2. Beri poster pada pintu masuk dan tempat strategis bahwa pasien rawat jalan atau pengunjung dengan gejala klinis infeksi saluran nafas harus menutup mulut dan hidung dengan tisue, kemudian membuangnya dan mencuci tangan. 3. Sediakan tissu dan wadah untuk limbahnya. 4. Sediakan sabun, wastafel dan cara mencuci tangan pada ruang tunggu pasien rawat jalan, atau alcohol handruc. 5. Pada musim infeksi saluran nafas, anjurkan masker digunakan pada pasien dengan gejala infeksi saluran nafas, juga pendampingnya. Anjurkan untuk duduk berjarak > 1 meter dari yang lain. 6. Lakukan sebagai standar praktek. 7. Kunci pencegahan pengendalian infeksi adalah mengendalikan penyebaran patogen dari pasien yang terinfeksi untuk transmisi kepada kontak yang tidak terlindungi. Untuk penyakit yang ditransmisikan melalui droplet besar atau droplet nuklei, maka etika batuk harus diterapkan kepada semua individu dengan gejala gangguan pada saluran nafas.

Universitas Sumatera Utara

8. Pasien, petugas, pengunjung dengan gejala infeksi saluran nafas harus: a) Menutup mulut dan hidung saat batuk atau bersin. b) Pakai tissue, saputangan, masker kain/medis bila tersedia, buang ketempat sampah. c) Lakukan cuci tangan. j.

Praktek Menyuntik Aman 1. Pakai jarum yang steril, sekali pakai, pada tiap suntikan untuk mencegah kontaminasi pada peralatan injeksi dan terapi. 2. Bila memungkinkan sekali pakai vial walaupun multidose. Jarum atau spuit yang dipakai ulang mengambil obat dalam vial multidose dapat menimbulkan kontaminasi mikroba yang dapat menyebar saat obat dipakai untuk pasien lain.

k. Praktek Pencegahan untuk Prosedur Lumbal Pungsi Pemakaian masker pada insersi kateter atau injeksi suatu obat kedalam area spinal/epidural melalui prosedur lumbal pungsi. Misalnya, saat melakukan anestesi spinal dan epidural, myeologram, untuk mencegah transmisi droplet flora orafaring. 2.1.4. Pentingnya Universal Precaution (Kewaspadaan Universal) Kewaspadaan standar merupakan hal yang penting oleh karena hal-hal dibawah ini: a.

Terpajan darah dan cairan tubuh dapat menyebarkan infeksi seperti hepatitis B dan C, bakteri, virus dan HIV.

Universitas Sumatera Utara

b.

Pajanan ini dapat terlihat dengan jelas (seperti ketika menggunakan spuit untuk menusuk kulit) atau tidak kentara (saat darah atau cairan tubuh dari orang yang terinfeksi kontak dengan lecet keci pada petugas kesehatan, termasuk bidan).

c.

Infeksi dapat ditularkan dari pasien kepasien yang lain, dari pasien ke tenaga kesehatan atau dari tenaga kesehatan kepada pasiennya (meskipun hal ini jarang terjadi). Tidak mengikuti kewaspadaan standar dapat meningkatkan kemungkinan

terjadinya penularan infeksi yang sebenarnya dapat dihindari. 2.1.5. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan agar Universal (Kewaspadaan Universal) dapat Terjamin Pelaksanaannya 1.

Precaution

Sebelum tenaga kesehatan dapat mematuhi prosedur kewaspadaan standar, otoritas nasional dan lembaga pelayanan kesehatan harus menjamin bahwa semua pedoman dan kebijakan mereka cocok diterapkan dilokasi dan bahwa peralatan dan persediannya mencukupi.

2.

Untuk memudahkan tenaga kesehatan mematuhi praktek pengendalian infeksi, kebijakan dan pedoman tingkat nasional dan lembaga pemerintah harus: a. Pendidikan Staf 1) Memastikan bahwa stafnya telah di didik untuk memperlakukan semua zat/substansi tubuh sebagai bahan yang infeksius. 2) Tenaga kesehatan harus dididik mengenai risiko pekerjaannya dan harus memahami kebutuhan menggunakan kewaspadaan standar bagi semua orang, di setiap waktu, tanpa memandang diagnosisnya.

Universitas Sumatera Utara

3) Pendidikan selama pelayanan secara reguler harus disediakan bagi semua tenaga medis maupun nonmedis di lingkungan perawatan kesehatan. Sebagai tambahan, pendidikan pra-pelayanan untuk semua tenaga kesehatan harus juga mengagendakan aspek kewaspadaan standar. b.

Tersedianya sarana dan prasarana kewaspadaan standar 1) Memastikan bahwa tersedia para staf, pasokan dan saran yang memadai. Sementara pendidikan bagi tenaga kesehatan adalah esensial, hal itu tidak cukup untuk menjamin bahwa kewaspadaan standar telah diperhatikan dengan baik. 2) Untuk mencegah bahaya dan infeksi kepada pasien dan karyawan, sarana kesehatan harus menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk perawatan klinis. Sebagai contoh, pasokan yang steril dan bersih, harus tersedia dengan cukup, walau dilingkungan dengan sumber daya yang terbatas.

c.

Tersedianya barang alat injeksi disposible dan bahan-bahan cuci tangan 1) Penggunaan peralatan injeksi sekali pakai, yang langsung dibuang harus tersedia dalam jumlah yang cukup bagi setiap obat-obat injeksi yang ada dalam persediaan. 2) Air, sarung tangan, bahan-bahan pencuci, alat-alat untuk disinfeksi dan sterilisasi termasuk alat-alat untuk memantau dan mengawasi proses ulang yang harus dilakukan hendaknya tersedia.

Universitas Sumatera Utara

3) Persediaan air yang cukup dan mudah didapat adalah kunci bagi upaya pencegahan infeksi yang berkaitan dengan tempat pelayanan kesehatan. (walaupun air mengalir tidak tersedia disemua tempat, tetapi semua cara untuk mendapatkan air yang cukup harus terjamin). 4) Alat-alat untuk pembuangan yang aman bagi limbah medis dan laboraturium, dan tinja harus tersedia. d.

Adopsi standar lokal demi patient safety dan keselamatan petugas 1) Mengadopsi

standar-standar

lokal

yang

cocok

untuk

menjamin

keselamatan pasien dan karyawan, merupakan upaya yang berdasarkan bukti dan efektif. 2) Penggunaan yang tepat dari persediaan, kebutuhan pendidikan dan pengawasan staf, harus digambarkan dengan jelas dalam kebijakan dan pedoman lembaga. 3) Lebih lanjut, kebijakan dan pedoman harus didukung oleh ketersediaan pasokan dan standar untuk memantau dan mengawasi upaya yang telah ditetapkan. e.

Pengawasan terhadap kewaspadaan standar 1) Pengawasan reguler pada lingkungan perawatan kesehatan dapat membantu

menghambat

atau

mengurangi

risiko

bahaya

yang

berhubungan dengan parawatan kesehatan ditempat kerja.

Universitas Sumatera Utara

2) Jika terjadi cidera atau kontaminasi yang mengakibatkan terpajan dengan bahan yang telah terinfeksi HIV, konseling, pengobatan, tindak lanjut dan perawatan pasca pajanan harus tersedia. f.

Meminimalkan prosedur yang tidak penting 1) Mencari upaya untuk mengurangi prosedur-prosedur yang tidak digunakan lagi. 2) Sarana kesehatan harus menentukan kapan prosedur berisiko telah terlihat, dan tenaga kesehatan butuh untuk dilatih untuk menjalankan prosedur yang hanya dilakukan saat benar-benar diperlukan. 3) Sebagai contoh, pekerja harus menghindari transfusi darah saat tidak diperlukan dan harus mengganti dengan prosedur yang lebih aman jika memungkinkan (seperti penggunaan larutan pengganti). 4) Injeksi yang tidak perlu harus juga dihilangkan. Bilamana pengobatan dibutuhkan, pedoman harus merekomendasikan penggunaan obat oral bila sesuai.

g.

Kepatuhan terhadap pedoman ini tetap harus dipantau 1) Pembentukan kelompok pengevaluasi pelaksanaan kewaspadaan standar. 2) Membentuk

suatu

kelompok

multidisiplin

untuk

menilat

dan

mengagendakan penggunaan kewaspadaan standar. 3) Sebuah kelompok multidisiplin harus disusun untuk menyampaikan maslah pencegahan, menilai cara dan sumber daya yang ada sekarang untuk pencegahan, membangun sistem surveilen untuk mendeteksi pasien

Universitas Sumatera Utara

dan tenaga kesehatan dari akuisisi infeksi, membangun kebijakan dan prosedur, mendidik personil dan memantau kepatuhan. h. Perhatian terhadap tuntutan konsumen 1) Menciptakan tuntutan konsumen terhadap praktek perawatan kesehatan yang lebih aman. 2) Tuntutan untuk prosedur kerja yang aman, seperti penggunaan peralatan injeksi yang baru, langsung dibuang, sekali pakai dan pengobatan oral, dapat membantu mempercepat pelembagaan kewaspadaan standar (Maryunani, 2011).

2.2. Tuberculosis Paru 2.2.1. Definisi Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobakterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi, diantaranya adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajad rendah, nyeri dada dan batuk darah (Guyton & Hall. 2007). Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkin paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Brunner dan Suddath, 2003). Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Sylvia, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Din Kes, PB4, 2010). Berdasarkan defenisi diatas, maka bahwa Tuberculosis

Penulis dapat mengambil kesimpulan

Paru adalah penyakit

yang disebabkan oleh kuman

“Mycobakterium Tuberculosis” dengan gejala khasnya berupa batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum. 2.2.2. Etiologi Penyebabnya adalah kuman Mycobacterium Tuberculosis yaitu kuman batang aerobik dan tahan asam yang merupakan organisme patogen maupun saprofit.Ada beberapa mikobakteri patogen,tetapi hanya strain bovin yang patogenik terhadap manusia.basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil dari pada sel darah merah (Wilson,2006). 2.2.3. Patogenesis Tuberkulosis TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer. Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak (Silbernagl dan Lang, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening (limfadenitis regional). Efek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami salah satu nasib berikut: 1.

Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)

2.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus)

3.

Menyebar dengan cara: a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis TB, dll. (PDPI, 2006)

Universitas Sumatera Utara

TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. (Depkes, 2005) Gejala penting TB paru post primer adalah : 1. Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya ringan dan semakin lama semakin berat. 2. Batuk darah atau bercak saja. 3. Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal. 4. Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya parenkim paru yang luas 5. Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial. 6. Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun 2.2.4. Patofisiologi Menurut Guyton & Hall (2007) penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana

Universitas Sumatera Utara

lembab dan gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter. Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul geja pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih

Universitas Sumatera Utara

panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari. Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru dinamakan fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingga menjadi peradangan aktif.

Universitas Sumatera Utara

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada organ lain. Jenis penyebaran ini disebut limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya. 2.2.5. Tanda dan Gejala Klinis Tanda dan gejala TB Paru menurut Depkes RI (2009), yaitu : 1.

Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau pada anak berat badan tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.

2.

Tidak nafsu makan dan pada anak terlihat gagal tumbuh serta penambahan berat badan tidak memadai sesuai umur.

3.

Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifoid, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai adanya keringat pada malam hari.

4.

Adanya pembesaran kelenjar seperti di leher atau ketiak.

5.

Batuk lama lebih 30 hari dengan atau tanpa dahak atau dapat juga berupa batuk darah.

6.

Demam meriang berkepanjangan.

7.

Berkeringat dimalam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.

Universitas Sumatera Utara

2.2.6. Cara Penularan TB Paru Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Putra, 2008). Saat Mycobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Putra, 2008). Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam

Universitas Sumatera Utara

paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC (Putra, 2008). Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC (Putra, 2008). 2.2.7. Diagnosis Menurut Hudoyo (2008), menegakkan diagnosis TB Paru, dapat dilakukan dengan cara berikut : 1.

Anamnesis (Tanya jawab dokter dan pasien tentang keluhan dan riwayat).

2.

Pemeriksaan jasmani.

3.

Pemeriksaan dahak/sputum BTA (Basil Tahan Asam = nama lain kuman Mycobacterium Tuberculosis) : 3 x

4.

Pemeriksaan penunjang dan laboratorium, yaitu: a) Pemeriksaan foto rontgen dada b) Pemeriksaan darah (terutama Laju Endap Darah). c) Tes kulit Uji Tuberkulin atau Mantoux test d) Uji serologi lain, misalnya PCR – TB, Mycodot dll.

Universitas Sumatera Utara

2.2.8. Komplikasi TB Paru 1.

TB Tulang Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari focus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering terjadi pada anakanak.

2.

Pott’s Disease (rusaknya tulang belakang). Tulang belakang paling sering diserang tuberkulosis rangka dan yang paling berbahaya. Di seluruh dunia kini diperkirakan 2 juta orang menderita tuberkulosis tulang belakang yang aktif.

3.

Efusi Pleura Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-200 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

4.

TB Milier Tuberkulosis milier merupakan hasil dari penyebaran hematogenik generalisata akut dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan dari proses ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal

Universitas Sumatera Utara

dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomi lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm yang tersebar merata (difus) pada paru. 5.

Meningitis TB Meningitis TBC adalah infeksi mycobacterium tuberculosis yang mengenai arachnoid, piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel. (Mubin, 2007).

2.2.9. Pengobatan TB Paru Pengobatan pada tuberculosis paru menurut Mubin (2007), yaitu: 1.

Istirahat Tidak perlu rawat inap

2.

Diet Bebas, tetapi TKTP

3.

Medikamentosa Dasar terapi medikamentosa TB : a. Kombinasi: minimal dua macam tuberculosis. b. Kontinue: makan obat setiap hari. c. Lama : berbulan-bulan/ tahun. d. Bila obat pertama sudah diganti, dianggap telah resisten terhadap obat tersebut. e. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal (kecuali pirazinamid) f. obat pertama : tuberkulostatika yang dipakai adalah:

Universitas Sumatera Utara

Diberikan obat – obatan spesifik yaitu : 1) INH

: Dewasa 10 – 15 mg / kgBB / hari

Efek sampingnya mengalami mual, muntah, anoreksia, letih, malaise, lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus, reaksi hipersensitivitas, demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik, ginekomastia, gejala reumatik, gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus. Anak 20 mg / kgBB / hari 2) Rifampisin : 450 – 600mg/ kgBB / hari Efek sampingnya gangguan saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, diare (dilaporkan terjadi kolitis karena penggunaan antibiotika); sakit kepala, drowsiness; gejala berikut terjadi terutama pada terapi intermitten termasuk gelala mirip influenza (dengan chills, demam, dizziness, nyeri tulang), gejala pada respirasi (termasuk sesak nafas). 3) Etambutol : 65 mg / kgBB / hari Efek sampingnya neuritis optik, buta warna merah/hijau , neuritis perifer, ruam (jarang terjadi) , pruritus, urtikaria dan trombositopenia. 4) Pirazinamid : 1500 mg / kgBB / hari Efek sampingnya kolaps dan shock, anemia hemolitik, gagal ginjal akut, dan trombositopenia purpura; gangguan fungsi liver, jaundice (penyakit kuning); flushing, urtikaria dan rash; efek samping lain dilaporkan : edema, muscular

Universitas Sumatera Utara

weakness dan myopathy, dermatitis exfoliative, toxic epidermal necrolysis, reaksi pemphigoid, leucopenia, eosinophilia, gangguan menstruasi; urin, saliva dan sekresi tubuh yang lain berwarna orange-merah; tromboflebitis dilaporkan pada penggunaan secara infus pada periode yang lama. 5) Streptomisin: 1 gram Efek sampingnya tuli dan gangguan keseimbangan Regimen yang diberikan dalam 2 bulan pertama : a) INH

: 300 mg / hari

b) Rifampisin : 450 mg / hari c) Etambuthol : 1000 mg / hari d) Pirazinamid : 1500 mg / hari Bila terdapat induced hepatitis, pemberian rifampisin dan pirazinamid dihentikan dan diganti dengan streptomisin 1 gram Regimen yang diberikan 10 bulan berikutnya : a) Rifampisin 600 mg / hari b) INH 400 mg / hari 2.2.10. Upaya Pencegahan TB Paru Upaya pencegahan TB paru menurut Jack (2010), Yaitu: 1. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan. a.

Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.

Universitas Sumatera Utara

b.

Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus diberikan vaksinasi BCG.

c.

Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.

d.

Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC.

e.

Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.

f.

Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.

g.

Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat. Keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain yang terindikasi dengan Vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.

h.

Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang.

i.

Pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.

j.

Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

k.

Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

2. Tindakan Pencegahan menurut Jack (2010), yaitu a.

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.

b.

Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.

c.

Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.

d.

BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluar hanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.

e.

Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi.

f.

Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.

g.

Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc paru.

h.

Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok berisiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.

Universitas Sumatera Utara

i.

Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test.

2.3. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui pasca indera manusia yakni indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Rongers (1974) dalam buku Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi prilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : a.

Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b.

Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

c.

Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d.

Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e.

Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian dari penelitian Rongers ini menyimpulkan bahwa perubahan

perilaku tidak selalu melewati tahap –tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Notoatmodjo (2007) Pengetahuan yang dicukupi dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : a.

Tahu (Know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

b.

Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara

benar

tentang

objek

yang

diketahui,dan

dapat

menginsterpretasikan materi tersebut secara benar. c.

Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d.

Analisa (Analiysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e.

Sintesis (Syntesis), menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian –bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f.

Evaluasi(Evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mahardini (2010) dengan judul “Faktor-

faktor yang memengaruhi kepatuhan perawat menerapkan universal precaution ketika melakukan kemoterapi pasien kanker di RSUD dr. Moewardi Surakarta”. Variabel yang diteliti adalah Pengetahuan, sikap dan pendidikan. Jenis penelitian explanatory

research

dengan

rancangan

cross

sectional.

Hasil

penelitian

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan hubungan yang signifikan pengetahuan, sikap dan pendidikan dengan perawat menerapkan universal precaution.

2.4. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variable disposisi lain untuk memberi respons terhadap objek social dalam interaksi dengan situasi dan mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka. Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesediaan dan kesiapan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, akan tetapi sebagai salah satu predisposisi tindakan untuk perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional. Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative. Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu kecendrungan jiwa atau perasaan yang relative terhadap kategori tertentu dari objek, orang atau situasi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Yusran (2010) dengan judul Kepatuhan penerapan prinsip - prinsip pencegahan infeksi (universal precautions)

Universitas Sumatera Utara

pada perawat di RSUD Abdoel Muluk Bandar Lampung. Variabel yang diteliti adalah faktor demografi (jenis kelamin, usia, lama bekerja, dan pendidikan), tingkat pengetahuan, keselamatan lingkungan kerja di rumah sakit, dan sikap perawat. Penelitian menggunakan metode Deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian dianalisis menggunakan regresi logistik multipel menunjukkan bahwa perawat yang menganggap lingkungan kerja yang aman enam kali lebih patuh terhadap pelaksanaan UP (p<,001).

2.5. Pemakaian APD Alat pelindung diri merupakan suatu alat yang digunakan seseorang dalam melakukan pekerjaannya, yang dimaksud untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan kerja (sugeng budiono,2003). Menurut OSHA atau Occupational Safety and Health Administration, personal protective equipment atau alat pelindung diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazards) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik,elektrik, mekanik dan lainnya. Alat pelindung pribadi merupakan alat yang digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko paparan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, dan selaput lendir pasien. Pemakaian alat pelindung pribadi merupakan bagian

Universitas Sumatera Utara

penting dari pelaksanaan prosedur tindakan pencegahan universal di ruangan (Wahyono, 2004). Peralatan pelindung diri pribadi meliputi sarung tangan, masker, pelindung mata, kap, gaun, apron, dan barang lainnya (Tietjen,2004). Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah bicara, batuk, atau bersin dan juga untuk mencegah cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi masuk ke dalam hidung atau mulut (Tietjen, 2004). Masker harus menutupi hidung dan mulut dan satu masker hanya dipakai oleh satu orang. Jika menjadi lembab, masker seharusnya diganti karena daerah yang lembab kuman dapat cepat berkembang biak, atau masker yang sudah dipakai harus direndam dengan larutan desinfektan atau sekali pakai saja (Kusyati, 2006: 165). Gaun (skort) diwajibkan bila kontak dalam ruang isolasi untuk menghindari penyebaran dan penularan penyakit. Skort tidak boleh dipakai di luar kamar isolasi atau dibawah dari satu kamar ke kamar lain. Perawat harus mengajarkan pengunjung cara penggunaan skort dan harus mematuhi peraturan yang ada (Perry dan Potter, 2005; Kusyati, 2006: 167). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kusmiyati (2009), dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku universal precautions di Ruang ICU Rumah Sakit Telogorejo Semarang. Variabel yang diteliti adalah pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana alat pelindung pribadi dan motivasi perawat. Jenis penelitian menggunakan metode deskriptif correlation dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap,

Universitas Sumatera Utara

ketersediaan sarana alat pelindung pribadi dan motivasi dengan perilaku perawat dalam menjalankan universal precautions di ruang ICU Rumah Sakit Telogorejo Semarang.

2.6. Landasan Teori Perilaku merupakan suatu respon individu akibat adanya pengaruh sebelumnya. Perilaku terbentuk akibat adanya penyebab yang melatarbelakanginya. Perilaku dalam KBBI (2007) didefenisikan sebagai suatu reaksi individu terhadap rangsangan. Perilaku individu terbentuk dengan melibatkan serangkaian proses yang ada pada dirinya. Pada teori perilaku dalam keperawatan komunitas, pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan memanipulasi stimulus. Stimulus tersebut dapat dimanipulasi dengan cara memberikan positif reinforcement atau punishment kepada individu sehingga stimulus tersebut akan di internalisasi dan menghasilkan perilaku yang diharapkan (Allender, 2001). Perilaku individu tentang penerapan universal precaution pada dasarnya adalah hasil dari interaksi sekelompok stimulus. Terdapat beberapa kelompok stimulus yang dikelompokkan dalam beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku penerapan universal precaution. Bloom dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan perilaku dipengaruhi oleh faktor redisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi yang berupa pengetahuan dan sikap tentang penerapan universal precaution. Sedangkan faktor pendukung mengacu pada daya dukung lingkungan

Universitas Sumatera Utara

secara fisik meliputi ketersediaan alat pelindung diri yang menunjang penerapan universal precaution. Faktor yang terakhir, faktor pendukung, yaitu daya dukung sumber daya manusia di sekitar individu yang selalu melakukan pengawasan penerapan universal precaution.

2.7. Kerangka Konsep Berdasarkan teori-teori yang telah di bahas dalam tinjauan kepustakaan , maka kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :

- Pengetahuan - Sikap - Pemakaian APD

Penerapan Universal Precautions pada Perawat dalam Upaya Pengurangan Risiko TB Paru

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka diatas, maka dapat dijelaskan bahwa dapat dijelaskan bahwa definisi konsep dalam penelitian ini adalah variable independen (variable bebas) penerapan universal precaution pada perawat di RSUD Panyabungan yaitu yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan pemakaian APD diasumsikan dapat memengaruhi penerapan universal precaution pada perawat di RSUD Panyabungan dalam upaya pengurangan risiko TB Paru pada perawat.

Universitas Sumatera Utara