BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH DUNIA FASHION

Download bebas melalui kemajuan teknologi komunikasi mengenai perkembangan mode dunia, mau tidak ... para pemakai gaya street fashion mayoritas adal...

0 downloads 351 Views 221KB Size
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia fashion negara Jepang semakin berkembang seiring dengan modernisasi yang terjadi di negara tersebut. Masuknya berbagai informasi secara bebas melalui kemajuan teknologi komunikasi mengenai perkembangan mode dunia, mau tidak mau mempengaruhi perkembangan mode di Jepang. Oleh sebab itu, pada setiap pembagian zaman di negara Jepang memiliki ciri khas mode tersendiri. Pada zaman sebelum negara ini bersentuhan dengan dunia luar, masyarakat Jepang mengenakan pakaian tradisional seperti kimono dan yukata. Kemudian, setelah pembukaan negara dari politik isolasi, Jepang mulai mengenal gaya berpakaian yang berasal dari budaya Barat seperti setelan jas untuk laki-laki dan gaun untuk wanita. Meskipun negara ini mendapat pengaruh dari negara-negara Barat, Jepang memiliki ciri khas tersendiri pada mode pakaiannya. Hal ini disebabkan karena mode-mode pakaian tersebut diciptakan oleh masyarakat Jepang sendiri dengan memadukan unsur budaya yang mereka miliki. Pada akhir 1900-an dan awal tahun 2000-an, street fashion atau mode gaya jalanan menjadi primadona bagi kaum muda di Jepang. Street fashion merupakan mode berpakaian yang lebih ekspresif, dengan model pakaian yang lebih bervariasi, warna-warna yang lebih bermacam-macam dan aksesoris yang lebih beragam. Jepang memiliki street

1

2

fashion yang sangat terkenal, tidak hanya di negara tersebut tetapi juga di dunia, misalnya Harajuku style, lolita, visual-kei, kogal dan ganguro. Street fashion sangat berkaitan dengan anak muda. Hal ini disebabkan karena para pemakai gaya street fashion mayoritas adalah anak muda. Menurut Erikson (1989,10) dalam bukunya Identitas dan Siklus Hidup Manusia anak muda atau kaum muda dapat disebut juga dengan remaja. Batasan usia untuk dapat disebut remaja adalah usia 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Batasan usia tersebut menurut batasan yang diberikan oleh Erikson termasuk dalam kategori tahap adolesen dan usia awal dari tahap dewasa awal. Tahap adolesen adalah tahap usia 12 sampai 20 tahun sedangkan tahap dewasa awal adalah usia 20 sampai 30 tahun. Di antara street fashion yang ada di Jepang, ganguro merupakan gaya fashion yang unik dan mempunyai ciri khas tersendiri. Ganguro dapat dikatakan unik karena dalam mode ini tidak hanya pakaian, tetapi juga warna kulit ikut dimodifikasi. Warna kulit pemakainya diubah menjadi coklat kehitam-hitaman menyerupai orang-orang keturunan Afro-Amerika. Selain itu, gaya berpenampilan seperti ini dilengkapi dengan pemakaian sepatu boot beralas tinggi. Konsep mode berpenampilan seperti ini dianggap bertentangan dengan konsep kawaii yang menyebar di masyarakat Jepang. Konsep kawaii sudah merasuk dalam masyarakat Jepang sejak lama. Dalam kamus Kanji Modern (Nelson, 1994) kata kawaii mempunyai arti „mempesona‟ atau „manis‟. Sejalan dengan itu, Yamame Kazuma (1986) menyatakan bahwa secara esensial kata kawaii memiliki makna yang erat dengan bentuk, sifat, dan

3

penampilan yang kekanak-kanakan seperti: amai atau sweet „manis‟, airashii atau adorable „manis/jelita‟, mujaki atau innocent „tak bersalah‟, junsui atau pure „murni‟, kantan atau simple „sederhana‟, shoujiki atau genuine „jujur‟, yasashii atau gentle „baik‟, kizutsukeyasui atau vulnerable „rapuh‟, kawaiso atau weak „lemah‟, dan mijuku atau inexperinced „tak berpengalaman‟, dalam cara tingkah laku sosial dan penampilan fisik. Hal ini berarti kawaii adalah sesuatu yang memiliki sifat kecil,imut, lucu, cantik, manis, lemah, lembut, kekanak-kanakan, mudah dicintai dan disayangi. Bagi orang Jepang, definisi kawaii pada penampilan adalah sesuatu yang lucu, imut, dan memiliki warna-warna yang lembut dan cerah. Tidak hanya itu, kawaii memiliki nuansa yang dapat membuat orang-orang merasa senang dan bahagia ketika memiliki sesuatu yang mereka sebut kawaii tersebut. Bagi sebagian orang Jepang, memiliki kulit hitam bukanlah sesuatu yang kawaii atau imut, oleh karena itu, tidak jarang mode ganguro ini menjadi salah satu mode yang dianggap bertolak belakang dengan pandangan masyarakat umum. Selain itu orang-orang yang berpenampilan gaya ganguro ini dianggap sebagai orang-orang kaum rebel atau orang-orang pemberontak. Konsep berpenampilan seperti ini menarik dikaji karena pada tahun 2002 orang-orang yang berpenampilan ganguro semakin banyak dan menjadi salah satu pemandangan tersendiri bagi wisatawan yang sedang berkunjung ke daerah Shibuya maupun bagi masyarakat Jepang sendiri. Sepanjang tahun 1998 sampai tahun 2004 ganguro menjadi fenomena tersendiri dalam dunia fashion Jepang.

4

Penelitian ini perlu dilakukan karena masih sedikit penelitian mengenai ganguro dengan pendekatan posmodernisme. Pendekatan posmodernisme dipilih karena pendekatan ini berhubungan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat. Banyak peneliti yang meneliti fenomena ganguro dengan sudut pandang yang berbeda. Selain itu, banyak orang yang belum mengetahui secara mendalam mengenai mode ganguro ini. Penelitian ini diharapkan akan memberi banyak gambaran dan pemahaman mengenai mode ganguro. 1.2 Rumusan masalah 1. Faktor apa sajakah yang melatarbelakangi diminatinya mode ganguro di kalangan anak muda? 2. Unsur posmodernisme apa saja yang muncul dalam penampilan ganguro? 3. Apa pengaruh ganguro terhadap produk budaya populer Jepang? 1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi diminatinya mode ganguro di kalangan anak muda. 2. Menjelaskan unsur-unsur posmodernisme yang muncul dalam penampilan ganguro. 3. Menjelaskan pengaruh ganguro terhadap produk budaya populer Jepang. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh perkembangan fashion mode Ganguro di kalangan anak muda Jepang pada tahun 1998 sampai 2004 karena

5

pada tahun tersebut mode ini sangat berkembang di masyarakat Jepang. Batasan ruang lingkup penelitan ini juga terdapat pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan mode ini. 1.5 Landasan Teori Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan budaya populer dan posmodernisme. Kedua pendekatan tersebut digunakan karena masing-masing saling berkaitan dengan apa yang akan diteliti. Barker mengungkapkan bahwa budaya pop adalah budaya yang bersifat umum dan tersebar luas. Makna dan praktik budaya tersebut dibuat oleh masyarakat (Barker, 2005:46). Sejalan dengan itu, Fiske dalam bukunya Memahami Budaya Populer juga mengungkapkan bahwa budaya populer dalam masyarakat yang kompleks adalah budaya kaum tertindas yang membenci penindasan, menolak menyetujui oposisi ketertindasan mereka. Budaya populer juga bersifat singkat dan sementara, oleh karena itu budaya populer dapat diproduksi dan direproduksi (Fiske, 1995:198). Walaupun budaya populer dicela dan diremehkan, namun perkembangannya justru tidak dapat dibendung. Budaya populer seringkali dianggap sebagai salah satu bentuk penentangan terhadap budaya kaum elit dan terdidik. Sifat budaya populer yang cenderung disukai banyak orang dan mudah ditemui di masyarakat menyebabkan budaya ini rentan dikendalikan dan dikomersialisasikan oleh kaum kapitalis. Menurut Dennis McQuail ciri utama kebudayaan pop adalah orisinalitas yang spontan, eksistensinya berlangsung terus dalam kehidupan sosial dengan

6

perniknya yang beraneka ragam dalam wujud bahasa, busana, musik, tata cara dan sebagainya (via Ibrahim, 2004: xxi). Budaya populer adalah budaya massa yang digerakan oleh kepentingan pasar karena mengambil nilai dari dunia iklan, industri hiburan dan dunia massa. Menurut Strinati budaya massa yang menggeser masyarakat yang berbasis tradisi sehingga budaya populer sering disebut dengan

budaya massa. Kebudayaan

populer memiliki dua karakter, yaitu bersifat instan, memberikan pemuasaan sesaat dan cenderung dangkal dan bersifat massa sehingga penyebarannya di tengah masyarakat sedemikian cepat. Keberadaan budaya populer tidak terlepas dari dampak posmodern, yaitu kebebasan berekspresi. Budaya populer merupakan budaya yang disukai oleh banyak orang. Strinati juga mengungkapkan bahwa budaya massa adalah suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, dan lebih cenderung pada pengembangan fantasi tanpa beban dan pelarian (Strinati, 2007:16). Dalam kebudayaan massa tidak ada lagi elitisme karena semua bersifat massal, yang artinya semua orang mengkonsumsi. Kebudayaan massa memiliki sifat-sifat komersial, menghibur, populer, modern merupakan paket, mempunyai penonton yang luas dan dapat diperoleh secara demokratis (Kayam, 2004:28). Selain budaya populer, penelitian ini juga menggunakan pendekatan posmodernisme. Menurut Jameson, posmodernisme didasarkan pada peran sentral reproduksi “jaringan global yang telah mengalami desentralisasi” dari kapitalisme multinasional yang ada sekarang ini yang mengarah pada ekspansi budaya yang luar biasa dalam bidang sosial (Jameson melalui Featherstone, 2001:19).

7

Kapitalisme multinasional memandang atau menganggap budaya bukan sebagai hal yang sakral namun budaya telah menjadi komoditi umum. Budaya tidak lagi ideologis, aktivis ekonomi bersembunyi dibalik masyarakat kapitalis (Storey, 2003:256). Posmodernisme juga meragukan sesuatu yang mutlak, absolut dan universal serta mencakup semua yang berkenaan dengan pengetahuan dan kebenaran (Strinati, 2007:261). Menurut Featherstone, awalan pos dalam posmodernisme mengandung makna sesuatu yang datang setelahnya, namun istilah posmodernisme itu sendiri lebih kuat didasarkan pada suatu pembebasan, pergeseran dan perpecahan gambaran

definitif

modern

(Featherstone,

2001:5).

Featherstone

juga

mengungkapkan bahwa posmodernisme merupakan sandi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat kontemporer. Perubahan-perubahan budaya tersebut melibatkan cara-cara produksi dan konsumsi (Featherstone:2001,26). Ciri posmodernisme menurut Featherstone adalah penghapusan antara seni dengan kehidupan sehari-hari dan runtuhnya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya umum (Featherstone:2001,17). 1.6 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian tentang dunia fashion di Jepang telah dilakukan oleh mahasiswa Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian Novietasari dan Mahasiswa Universitas Indonesia, Izumi Diana Nur. Penelitian lainnya yang dijadikan tinjauan pustaka dalam penulisan ini adalah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Spelman College Atlanta, Xuexin Liu pada tahun 2004.

8

Penelitian Dian Novietasari yang berjudul “Fenomena Mode Lolita dalam Budaya Populer Jepang dan Alasan Anak Muda Jepang Memakainya” tahun 2008. Penelitian tersebut lebih menitikberatkan kepada fenomena gaya berpakaian gaya lolita dalam masyarakat dan alasan-alasan anak muda memakainya serta apakah mode berpakaian gaya lolita termasuk ke dalam produk budaya populer negara Jepang. Hasil penelitiannya adalah bahwa mode lolita merupakan produk budaya populer dalam bidang fashion yang menyentuh kalangan anak muda untuk terus mengenakan mode tersebut dan telah menjadi salah satu ciri identitas suatu masyarakat. Skripsi lainnya yang dijadikan bahan tinjauan pustaka yang sesuai dengan apa yang akan diteliti penulis antara lain adalah “Trend Fashion di Kalangan Remaja Putri Jepang” oleh Izumi Diana Nur pada tahun 2003. Penelitian dalam skripsi tersebut membahas tentang trend mode berpakaian remaja putri Jepang pada awal tahun 2000-an. Dalam skripsi tersebut penelitian berfokus pada perkembangan mode berpakaian sedang trend pada saat itu. Mode kogal dan ganguro menjadi fokus pembahasan dalam penelitian tersebut. Peneliti melihat ganguro dari sudut pandang fashion secara umum dan sejarah perkembangan fashion negara Jepang pada awal tahun 2000-an. Penelitian yang dilakukan oleh Xuexin Liu pada tahun 2004 berjudul “The Hip Hop Impact on Japanese Youth Culture” atau ‘Pengaruh Musik Hip Hop dalam Kehidupan Remaja Jepang’. Penelitian tersebut membahas tentang pengaruh musik hip-hop dalam dalam fenomena ganguro yang terjadi pada

9

remaja di Jepang. Hasil penelitian tersebut adalah musik hip-hop mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan pengikut gaya ganguro karena musik hip hop juga merupakan bentuk protes sosial dengan tatanan sosial yang ada dalam masyarakat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah penelitian ini secara khusus akan membahas tentang fenomena gaya berpenampilan mode ganguro dan akan meneliti faktor-faktor apa sajakah yang yang melatarbelakangi diminatinya mode ganguro di kalangan anak muda dan unsur posmodernisme yang terdapat pada mode ganguro serta pengaruhnya terhadap produk budaya populer Jepang. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dan deskriptif. Penelitian kualitatif ditandai dengan jenis-jenis pertanyaan yang diajukan, yakni: apa yang berlangsung di sini? Bagaimana bentuk fenomena ini? Lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan tesebut secara terperinci (Mulyana, 2003:149). Pendekatan ini dipilih karena pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang sejalan dengan penelitian budaya yang akan dilakukan oleh penyusun. Penelitian ini juga bersifat deskriptif yang akan memberikan gambaran yang jelas mengenai masalahmasalah yang terkait dengan penelitian. Metode pengumpulan data untuk rumusan masalah nomor satu sampai nomor tiga adalah studi pustaka. Data-data diperoleh dari

buku-buku, majalah, jurnal, dan situs-situs di internet. Metode tersebut

digunakan karena keterbatasan peneliti untuk meninjau secara langsung.

10

Kemudian data tersebut akan diolah menggunakan teori yang telah dipilih, yang pada akhirnya diharapkan akan dapat menemukan tujuan dari penelitian ini. 1.8 Sistematika Penyajian Skripsi ini terdiri dari 5 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II berisi tentang gambaran umum fashion Jepang. Bab III berisi tentang penjelasan definisi, sejarah, dan perkembangan ganguro di Jepang. Bab IV berisi analisis posmodernisme dalam ganguro. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan.