BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG ORGANISASI

Download Kasus LC yang menimpa Bank BNI di tahun 2004 (dapat juga disebut krisis) memaksa manajemen untuk melakukan transformasi secara menyeluruh, ...

0 downloads 451 Views 151KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Organisasi perlu menganalisis dan mengelola dengan cara-cara baru agar kelangsungan bisnis tetap berjalan, sehingga tingkah laku, struktur dan proses organisasi merupakan hal yang kritis bagi suksesnya operasional suatu organisasi (Gibson, Ivancevich dan Donely 2006). Hal ini dimungkinkan terjadi karena karateristik organisasi itu sendiri dari waktu ke waktu mengalami dinamika. Menurut Adler dan Ghader dalam Gibson, Ivancevich dan Donely (2006) menyatakan bahwa evolusi antar budaya dan evolusi perusahaan (corporate and cross cultural evolution) dari fase I (fase lokal/domestic) menjadi fase IV (fase global) menunjukkan bahwa kontribusi sensitivitas budaya organisasi bergeser dari cukup penting (marginally important) pada fase lokal menjadi sangat kritis (crucial important) pada fase global. Untuk itu perusahaan di era saat ini perlu mengadopsi cara-cara berpikir yang baru yang memungkinkan organisasi hidup dan bertahan di dalam perubahan, karena yang akan terjadi di masa datang adalah perubahan yang tidak dapat diprediksi dan akan berlangsung dengan sangat cepat. Kemampuan untuk berubah menjadi faktor yang kritis. Sebagai salah satu perusahaan besar di Indonesia, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (selanjutnya disebut Bank BNI) menyadari kondisi tersebut. Bank BNI sebagai perusahaan jasa keuangan perbankan sejak tahun 1986

1

telah memiliki budaya perusahaan. Dari tahun 1986 tersebut hingga saat ini, budaya perusahaan beberapa kali mengalami revitalisasi sesuai dengan tantangan akan kondisi yang dihadapi Bank BNI saat itu. Gambar 1.1 Perkembangan Budaya Perusahaan Bank BNI 1986

1998

1994

Lima Pilar

12 Perilaku

12 Perilaku*

2007 Prinsip 46

Tabel 1.1 Budaya Perusahaan Bank BNI 2007 (Prinsip 46) 4 NILAI BUDAYA Profesionalisme Integritas

6 NILAI PERILAKU UTAMA 

Meningkatkan Kompetensi dan Memberikan Hasil Terbaik



Jujur, Tulus dan Ikhlas Disiplin, Konsisten dan Bertanggungjawab



Orientasi Pelanggan Perbaikan Tiada Henti



Memberikan Layanan Terbaik Melalui Kemitraan yang Sinergis



Senantiasa Melakukan Penyempurnaan Kreatif dan Inovatif



Sumber : Bank BNI

Prinsip 46 tersebut merupakan tuntunan perilaku insan Bank BNI, mencakup seluruh insan yang berkarya dan mengabdi di Bank BNI baik Komisaris, Direksi maupun seluruh tingkatan pegawai dari tertinggi hingga terendah. Dari laporan kinerja keuangan, kinerja Bank BNI relatif baik tercermin dari beberapa indikator (tabel 1.2). Dalam kurun enam tahun telah terjadi peningkatan dalam indikator kinerja Bank BNI.

2

Tabel 1.2. Kinerja Bank BNI tahun 2008-2012 Indikator Asset (Rp T) Laba (Rp T) ROA (%) NPL (%) BOPO (%) LDR (%) Dana (Rp T) Kredit (Rp T)

Bank BNI 2008 200,39 1,22 1,12 4,96 90,16 68,61 163,33 112,06

2012 321,53 6,79 2,92 2,84 70,99 73,5 248,99 193,02

Sumber : Lap. Keuangan Bank BNI (bank only)

Revitalisasi budaya organisasi Bank BNI yang dilakukan di tahun 2007, tampaknya telah sejalan dengan kinerja perusahaan. Perubahan perilaku dari setiap unsur pegawai untuk mendukung pencapaian target perusahaan telah terjadi dengan walaupun lamban. Setelah mengalami perubahan atau krisis, pada umumnya perusahaan melakukan perubahan budaya perusahaan. Kasali (2005) menyatakan bahwa setiap perubahan selalu membawa nilai-nilai baru. Nilai baru tersebut dapat dibawa oleh generasi baru yang masuk belakangan dalam organisasi atau juga dibentuk oleh keadaan. Seringkali nilai tersebut tidak sama dengan apa yang dikehendaki oleh perusahaan atau organisasi. Ia bisa masuk tanpa disadari oleh kebanyakan orang dalam organisasi. Manajemen perubahan pada umunya menyentuh transformasi nilai-nilai. Tanpa menyentuh transformasi nilai individu dalam organisasi akan tetap melakukan hal-hal yang dengan cara-cara yang dilakukan masa lalu. Kasali juga

3

menyatakan ada budaya negatif terkait dengan transformasi ini yaitu budaya menyangkal, budaya mencela, budaya tidak percaya, budaya mengutamakan kepentingan pribadi serta budaya mengedepankan kepentingan kelompok. Kasus LC yang menimpa Bank BNI di tahun 2004 (dapat juga disebut krisis) memaksa manajemen untuk melakukan transformasi secara menyeluruh, tak terkecuali dengan budaya perusahaan. Di tahun 2007, terjadi revitalisasi budaya organisasi Bank BNI menjadi Prinsip 46. Proses perumusan budaya tersebut melalui proses top down dan bottom up. Dimulai dengan diskusi dengan segenap Direksi dan Pemimpin Divisi. Selain itu juga dilakukan focus group discussion di segenap unit baik kantor besar, kantor cabang dan kantor wilayah. Hingga saat ini 8 tahun setelah krisis, dengan budaya organisasi yang ada, Bank BNI menunjukkan kinerja yang relatif baik. Namun kinerja keuangan Bank BNI masih kurang menggembirakan dibandingkan pesaing terdekat walaupun cenderung terus membaik. Salah satu sebabnya antara lain budaya organisasi di Bank BNI kurang didukung oleh organisasi dan keputusan manajemen. Unit yang bertanggung jawab dalan pengelolaan budaya organisasi yaitu Culture Specialist di bawah penyeliaan Divisi Human Capital dan dikelola oleh 1 orang assistant vice president (AVP), 2 orang manager dan 1 orang assistant manager. Namun, unit tersebut hanya diisi dengan 1 orang manager dan 1 assitant manager. Sementara tugasnya tidak ringan yaitu memastikan proses budaya organisasi sudah terimplementasi dengan baik di seluruh Bank BNI. Walaupun PRINSIP 46 sebagai budaya organisasi sejak tahun 2011 lalu selalu dimunculkan pada setiap arahan Direktur Utama atau Direksi yang lain,

4

peran budaya organisasi Bank BNI kelihatannya hanya sebagai ”hiasan dinding saja”. Hal ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan Bank BNI oleh manajemen dianggap sebagai bukan sesuatu yang penting dan strategis. Organizational alignment model versi Tostsi dan Jackson yang dikutip dalam Damanik (2003) menunjukkan bahwa fokus utama perdebatan adalah bagaimana menyatukan tiga komponen di dalam organisasi yang saling terkait dan saling melengkapi yaitu proses strategi (terdiri dari tujuan, sasaran dan tugas-tugas strategi), proses budaya (terdiri dari nilai, praktek dan tingkah laku) serta infrastruktur (terdiri dari struktur, sistem, proses dan kebijakan-kebijakan) untuk mencapai dan mempertahankan keunggulan bersaing dalam lingkungan bisnis global yang cepat berubah. Ketidakcocokan budaya dapat berdampak pada kegagalan pencapaian kinerja dan hasil organisasi. Dapat disimpulkan bahwa organizational alignment terjadi apabila proses strategi dan proses budaya saling mendukung secara mutual dan perlu adanya keseimbangan antara kedua kompenen dalam mencapai hasil optimal. Perubahan yang dinamik membawa dunia bisnis ke dalam fenomena menarik yang perlu dicermati. Hal tersebut mengisyaratkan perlunya memikirkan kembali budaya perusahaan. Berbagai perubahan dan pembaharuan stratejik yang perlu dilakukan para manajer perusahaan akan menjadi suatu pekerjaan yang siasia bila tidak diimbangi dengan merancang kembali impelementasi visi, misi, dan strategi seperti budaya, struktur dan berbagai sistem organisasi yang memfasilitasi tingkat pembaharuan dan adaptasi perusahaan terhadap perubahan lingkungan eksternal secara berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan Kotter dan Hesket

5

dalam Karim (2010) dimana budaya organisasi yang adaptif harus selaras dengan strategi yang baru karena keyakinan dan praktik-praktik yang diperlukan dalam penerapan suatu strategi perlu sesuai. Bila tidak, perusahaan akan mengalami kesulitan dalam penerapan strategi. Perdebatan yang panjang tentang apakah budaya perusahaan di organisasi mempunyai dampak yang nyata terhadap kinerja organisasi, menemukan jawabannya pada investigasi Kotter dan Hesket dalam Karim (2010) yang memberikan telaah sebagai berikut: 1. Budaya perusahaan memiliki dampak yang berarti pada kinerja ekonomi perusahaan jangka panjang. Ditemukan bahwa perusahaan-perusahaan dengan budaya yang mementingkan komponen utama (pelanggan, pemegang saham dan karyawan) dan kepemimpinan manajerial pada semua tingkat

berkinerja melebihi perusahaan yang tidak memiliki

karateristik budaya tersebut dengan perbedaan yang sangat besar. 2. Budaya perusahaan mungkin akan menjadi suatu faktor yang lebih penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam dasawarsa mendatang. Budaya yang memerosotkan kinerja mengakibatkan dampak keuangan negatif dengan berbagai alasan. Namun alasan utama adalah

kecenderungan

menghambat

perusahaan

dalam

menerima

perubahan taktik dan strategi yang dibutuhkan. Dalam suatu lingkungan yang cepat berubah, budaya yang tidak adaptif akan semakin membawa dampak keuangan negatif dalam dasawarsa mendatang.

6

3. Budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangan jangka panjang cukup banyak, budaya tersebut mudah berkembang bahkan dalam perusahan yang penuh dengan orang pandai. Budaya yang mendorong perilaku yang tidak tepat dan menghambat perubahan ke arah strategi yang lebih cepat cenderung muncul perlahan-lahan dan tanpa disadari dalam waktu bertahun-tahun dan biasanya muncul pada saat perusahaan berkinerja baik. Begitu muncul, budaya tersebut sulit untuk berubah karena seringkali tidak terlihat orang yang terlibat, karena membantu kekuasaan yang sudah ada dalam perusahaan dan berbagai alasan lainnya. 4.

Walaupun sulit untuk diubah, budaya perusahaan dapat dibuat agar bersifat lebih meningkatkan kinerja. Perubahan semacam itu memang rumit, membutuhkan waktu dan menuntut kepemipinan yang berbeda dibandingkan dengan manajemen unggul sekalipun. Kepemimpinan perlu dipandu oleh suatu visi yang realistis terhadap jenis budaya yang dapat meningkatkan kinerja. Ukuran sukses suatu organisasi dapat dilihat dengan mengukur tingkat

pencapaian sasaran dan tujuan. Hal ini akan menggambarkan tingkat produktivitasnya. Definisi produktivitas tidak hanya merujuk pada produksi fisik yang merubah berbagai input menjadi output, melainkan juga terhadap berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses pencapaian produktivitas itu sendiri. Sasaran merupakan salah satu aspek yang digunakan dalam mengukur efektivitas organisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi

7

diantaranya adalah strategi organisasi, struktur dan sistem organisasi, kekuasaan di dalam organisasi dan budaya organisasi (Quinn dalam Damanik 2003). Budaya

organisasi

merupakan

komponen

penting

yang

dapat

menyebabkan mengapa suatu strategi dapat sukses diimplemementasikan pada suatu perusahaan, sementara strategi yang sama untuk perusahaan dalam industri sejenis mungkin saja gagal. Sehingga dapat disimpulkan tidak ada satupun budaya organisasi yang relevan untuk semua organisasi (Saunders dalam Damanik, 2003). Organisasi yang sukses adalah yang dapat mengadaptasikan budaya organisasi kepada lingkungannya, sementara lingkungan tempat organisasi pada beberapa tahun terakhir sangat turbulent dan cepat berubah sehingga untuk mengelola perubahan

tersebut

setiap

anggota

organisasi

perlu

mengenal

budaya

organisasinya dan dapat melihat organisasinya merupakan sistem yang dinamis dan fleksibel sehingga mereka dapat membangun visi ke depan dan menghargai arah dan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai visi tersebut. Di dalam meningkatkan efektivitas perusahaan, top management mempunyai tanggung jawab untuk mengelola perusahaan. Perubahan harus mengarah kepada visi yang akan dicapai di masa depan, dengan perencanaan dan pelaksanaan program tindakan untuk mentransformasikan organisasi menuju apa yang dicita-citakan di masa depan (Ouchi dalam Karim 2010). Menurut Hanna dalam Damanik (2003), untuk mengembangkan organisasi agar berkinerja tinggi, organisasi perlu mempertimbangkan situasi bisnis yang ada, budaya dan kepemimpinan seperti apa yang diinginkan agar karyawan dapat merespon sesuai tujuan organisasi. Desain dan sistem organisasi

8

yang dibuat berdampak pada budaya organisasi yaitu nilai-nilai karyawan, bagaimana karyawan bertingkah laku dan bagaimana mereka memfokuskan usaha dalam mencapai bisnis yang diinginkan. Selain itu, budaya ada dimana saja dan menyertai setiap sisi organisasi, yang menjadi sebab sekaligus akibat dari tingkah laku organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku dan nilai-nilai merupakan hal yang paling kritis mempengaruhi hasil organisasi. Hasil penelitian terhadap 43 perusahaan yang berkinerja memuaskan oleh Peter dan Waterman dalam Karim (2010), menyatakan bahwa perusahaanperusahaan dalam kurun waktu 20 tahun berhasil mewujudkan dirinya sebagai perusahaan dengan

kinerja yang excellence

menyimpulkan perusahaan-

perusahaan tersebut mempunyai dalam konsep 7S yaitu strategi, struktur, gaya manajemen, sistem, pegawai, keahlian, dan sistem nilai. Peter dan Waterman menempatkan sistem nilai (shared value) sebagai pusat dari sistem lainnya atau pengendali sistem lainnya. Mereka juga menyatakan bahwa ciri organisasi yang sukses didominasi oleh nilai kunci (dominant key values) seperti servis, kualitas dan inovasi yang memberikan keunggulan kompetitif dimana nilai-nilai kunci tersebut menyatu dengan budaya organisasi. Dapat disimpulkan bahwa tingkah laku yang dominan itulah yang memicu hasil finansial dan bukan cara lain. Selain itu, juga sebagai penggerak utama

yang

mempengaruhi

keseluruhan

rantai

dalam

memotivasi

manusia/karyawan yaitu keahlian dan tingkah laku dari manajer dalam menciptakan dan memacu pengelolaan SDM pada praktek manajemen yang akan menghasilkan keuntungan.

9

Oleh karena itu, penulis melihat kuatnya pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja organisasi. Yang perlu diteliti lebih dalam adalah karakter budaya organisasi yang dominan dan berhubungan erat atau berdampak terhadap kinerja perusahaan. Denison

Organizational

Culture

model

adalah

model

yang

mengindetifikasi 4 (empat) karakter kunci dan 2 (dua) karakter paradoks dari budaya

organisasi

(keterlibatan/involvement,

konsistensi/concistency,

daya

adaptasi/adaptability, dan misi/mission) yang berdampak dominan pada kinerja organisasi. Model ini punya keunikan dimana memasukkan beberapa karakter secara komprehensif dan disajikan dalam hubungan antar tindakan manajerial, karakter budaya serta asumsi dan keyakinan yang berdampak pada kinerja. Model ini menurut Denison, berbeda dengan konsep budaya Schein dalam mengoperasionalisasikan konsep budaya dimana Schein menyatakan ada 3 (tiga) tingkatan budaya yaitu artefak, nilai dan asumsi sementara. Denison menempatkan budaya dan iklim pada 3 (tiga) level utama yaitu (Purba, 2006): 1. nilai dan keyakinan yang mendasari tindakan 2. pola-pola tingkah laku yang mencerminkan dan menguatkan nilai-nilai 3. kondisi yang diciptakan agar pola-pola tingkah laku anggota organisasi dapat berfungsi. Perbedaan mendasar dari kedua konsep ini adalah Schein menempatkan dan menekankan elemen dan budaya pada tingkat yang tidak disadari dan abstrak,

10

sementara Denison lebih fokus pada tindakan, kondisi dan praktek yang disadari yang bersumber dari sistem organisasi.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah sebelumnya, salah satu faktor yang sangat penting yang mempengaruhi kinerja dan efektivitas suatu organisasi adalah budaya perusahaan sehingga perlu diadakan studi yang menganalisa budaya organisasi dengan kinerja organisasi di Bank BNI. Oleh karena itu, yang menjadi masalah dalam tesis ini adalah : 1. Bagaimana cara mengukur budaya organisasi Bank BNI dengan menggunakan Model Survey Budaya Organisasi Denison? 2. Bagaimana hubungan karakter yang dominan pada budaya organisasi Bank BNI dengan ukuran kinerja menggunakan Model Survey Budaya Organisasi Denison? 3. Bagaimana konsistensi hasil dari dimensi budaya dan ukuran kinerja Bank BNI?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1.

Mengukur budaya organisasi Bank BNI dengan menggunakan Model Survey Budaya Organisasi Denison.

11

2.

Menganalisa hubungan karakter yang dominan pada budaya organisasi Bank BNI dengan ukuran kinerja menggunakan Model Survey Budaya Organisasi Denison.

3.

Melihat konsistensi hasil dari dimensi budaya dan ukuran kinerja Bank BNI.

1.4 Manfaat Penelitian Dengan mengetahui hubungan karakter budaya organisasi dengan indikator kinerja pada obyek penelitian maka dapat diperkirakan dampak masingmasing budaya terhadap kinerja organisasi sehingga dapat dimanfaatkan dalam implementasi aksi strategi pengelolaan budaya perusahaan dan praktek manajemennya, guna perbaikan dan peningkatan kinerja. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih detail dan mendapat gambaran bagaimana konsep hubungan budaya organisasi dan ukuran kinerja dapat digambarkan melalui model dan dihadirkan dalam konteks organisasi perbankan di Indonesia.

1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini hanya meneliti 4 (empat) elemen budaya model Denison yang diduga berperan dominan dan berdampak pada kinerja Bank BNI.

12

1.6 Keaslian Penelitian Di Indonesia, studi mengenai budaya perusahaan terhadap efektivitas kinerja dilakukan oleh Supomo dan Indriartono (1998) terhadap 79 manager dari berbagai

departemen

dalam

perusahaan

manufaktur

Indonesia.

Mereka

menemukan bukti bahwa ada pengaruh positif dari budaya perusahaan yang berorientasi pada pegawai terhadap efektivitas anggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja managerial. Penelitian yang dilakukan Putra (2000) juga menemukan bahwa budaya perusahaan dapat berperan meningkatkan intensitas peran manajemen. Penelitian yang dilakukan oleh Damanik (2003) yang menganalisa hubungan budaya organisasi dengan kinerja organisasi pada industri asuransi kerugian dengan kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antar praktek manajemen dengan kinerja perusahaan. Penelitian ini bertujuan mengukur budaya organisasi Bank BNI dengan menggunakan model budaya Denison yang berdampak pada kinerja perusahaan. Alasan penggunaan model budaya Denison disebabkan model budaya ini dibangun berdasarkan pengamatan atas tingkah laku, didesain dan diciptakan dalam lingkungan bisnis, menggunakan bahasa bisnis untuk menggali isu-isu pada level bisnis, berkorelasi dengan hasil bisnis, cepat dan mudah diaplikasikan pada semua tingkat organisasi.

13