BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG GAGAL GINJAL KRONIS

Download 1. BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fata...

0 downloads 579 Views 151KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal bagi tubuh, sehingga tubuh tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme cairan dan elektrolit (Nursalam, 2006). Gagal ginjal kronis merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang cukup tinggi angka kejadiannya. Berdasarkan International Comparisons, pada tahun 2011 terdapat 527 per juta penduduk Mexsico yang dilaporkan menderita gagal ginjal kronis. Angka kejadian tersebut diikuti oleh negara-negara maju maupun berkembang lainnya seperti United State (362 per juta penduduk), Jepang (295 per juta penduduk), dan Singapore (279 per juta penduduk) (USRDS, 2013). Di Indonesia sendiri, gagal ginjal kronis merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki angka kejadian yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR), pada tahun 2007 terdapat sekitar 6.862 orang yang menderita gagal ginjal kronis dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 15.353 orang (IRR, 2011). Menurut Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008, angka kejadian gagal ginjal kronis di Yogyakarta tergolong cukup tinggi, yaitu sebesar 87 (2,54%) untuk pasien yang menjalani rawat inap pada tahun 2007.

1

2

Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan ginjal pada pasien gagal ginjal kronis adalah melalui terapi hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi untuk transplantasi ginjal dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis (Iskandarsyah, 2006). Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat lebih dari 2 juta pasien yang menjalani terapi hemodialisis di seluruh dunia. Populasi ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan sebesar 7% setiap tahunnya. Berdasarkan survey dari berbagai pusat hemodialisis, di Indonesia terdapat 30,7% pasien per juta penduduk yang memerlukan hemodialisis (Dharmeizar, 2012). Hemodialisis merupakan terapi yang lazim bagi pasien gagal ginjal kronis sehingga pasien harus menjalani terapi hemodialisis seumur hidupnya. Terapi hemodialisis biasanya dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dalam seminggu dengan waktu 3 sampai 4 jam setiap kali terapi (Brunner & Suddarth, 2002). Ketergantungan terhadap terapi hemodialisis dapat meningkatkan morbiditas serta komplikasi yang membuat beban ekonomi pasien menjadi signifikan. Biaya yang harus dikeluarkan pasien selama setahun dalam menjalani terapi hemodialisis kurang lebih sekitar 60 juta rupiah (Mukti, 2012). Tidak hanya berdampak pada ekonomi, sebagian besar pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis tidak pernah kembali padaaktifitas atau pekerjaan seperti biasanya, hal ini menyebabkan pasien kehilangan pekerjaan, penurunan penghasilan, kehilangan kebebasan, harapan, gangguan pada harga diri dan identitas diri. Terdapatnya rasa kehilangan, perasaan yang tidak adekuat ketakutan

3

dan kekhawatiran menimbulkan gangguan mental berupa depresi (Suryaningsih, 2013). Angka kejadian depresi dikalangan masyarakat cenderung meningkat dari waktu ke waktu, dan hal tersebut menjadi masalah dan tantangan bagi tenaga medis (Zuhrina, 2012). Menurut WHO, terdapat 350 juta penduduk dunia yang terdeteksi mengalami depresi (WHO, 2012). Di Indonesia menurut survei Riskedas tahun 2013, prevalensi nasional gangguan mental adalah 6,0% dari 37.728 subyek yang dianalisis (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Keadaan depresi memiliki hubungan dengan peningkatan prevalensi dari penyakit kronis dan menjadi faktor pencetus maupun faktor yang dapat memicu kekambuhan dari penyakit kronis. Depresi yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi kronis dan mengarah kepada gangguan substansial pada individu untuk bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari (Chapman, 2005). Depresi pada pasien gagal ginjal kronis dapat berdampak dalam aksi bunuh diri, ketidakpatuhan dalam menjalankan terapi, dan dapat menyebabkan adanya pengunduran diri dalam terapi. Aksi bunuh diri yang didasari atas depresi pada pasien gagal ginjal kronis dapat berupa tindakan yang nyata melakukan bunuh diri atau tindakan berupa penolakan terhadap kegiatan hemodialisis yang sudah terjadwal dan adanya ketidakpatuhan dalam menjalankan diet yang telah disarankan, misalnya diet rendah potasium (Andri, 2013). Depresi disebabkan karena multifaktor yang terkait satu sama lainnya. Secara garis besar faktor – faktor penyebab terjadinya depresi dapat digolongkan menjadi 3 golongan yaitu: 1) faktor psikologis: kesepian, rasa kurang berguna, kurang

4

kebersamaan, 2) faktor biologis: genetik, penyakit kronik yang disebabkan karena keabnormalan biologikal, kesakitan karena penyakit kronik, 3) faktor psikososial: berkurangnya interaksi sosial, berkurangnya dukungan sosial, lingkungan yang penuh tekanan dan sosiodemografi atau sosioekonomi (Sadock, 2007). Penelitian lain menyebutkan bahwa faktor sosiodemografi yang menyebabkan adanya kejadian depresi adalah usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pendapatan (Akhter-Danesh, 2007). Faktor sosiodemografi diatas adalah faktor yang umum ditanyakan kepada pasien saat dilakukan anamnesis. Hal ini memudahkan dalam penggalian serta upaya deteksi dini penyebab gangguan mental. Tingkat pendidikan memiliki pengaruh dalam hal perubahan pola pikir, pola tingkah laku dan pola pengambilan keputusan. Pendidikan yang cukup memberikan kesempatan kepada individu untuk mampu mengidentifkasi stressor yang merugikan kesehatan sehingga individu dapat memelihara kesehatannya (Notoatmodjo, 2012). Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang mereka miliki (Ningsih, 2011). Kurang pengetahuan tentang pentingnya hemodialisis akan mempengaruhi sikap pasien dalam melaksanakan hemodialisis. Sikap merupakan hasil belajar dari pengalaman yang biasanya memberi penilaian menerima atau menolak terhadap obyek yang telah dilakukan (Notoatmodjo, 2012). Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien dan menyebabkan

5

perubahan sikap yang terjadi pada pasien. Perubahan sikap ini menyebabkan kecenderungan untuk mengikuti peraturan pengobatan yang telah ditetapkan menjadi sangat rendah karena peraturan tersebut sangat mengikat. Menurut Setiyowati (2014) meningkatnya pengetahuan seseorang tentang hemodialisis dapat mengatasi keadaan psikologis seseorang. Berdasarkan Laporan tahunan RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2013 terdapat peningkatan untuk kunjungan bagi pasien rawat jalan setiap tahunnya. Rata-rata perhari pada tahun 2013, di RSUD Panembahan Senopati Bantul terdapat 679 pasien dari semua poliklinik. Jumlah pasien rawat jalan yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada tahun 2012 yaitu 10.997 pasien dan 12.708 pada tahun 2013. RSUD Panembahan Senopati Bantul merupakan rumah sakit rujukan dari beberapa puskesmas. Pasien hemodialisis merupakan kasus rujukan yang cukup tinggi di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Hal ini dapat terlihat bahwa 8% pasien yang dirujuk ke RSUD Panembahan Senopati merupakan pasien yang menjalani hemodialisis yaitu sebanyak 12.543 kasus (Laporan Tahunan RSUD Panembahan Senopati, 2013). Hasil studi pendahuluan yang sudah diakukan peneliti pada tanggal 10 Juli 2014, di RSUD Panembahan Senopati Bantul memiliki pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 160 pasien. Ruang hemodialisis melayani hemodialisis setiap hari kecuali hari minggu dan dalam satu hari terdapat dua shift. Kebanyakan pasien menjalani hemodialisis selama kurang lebih 4 jam sampai 5 jam. Rentang usia pasien yang menjalani hemodialisis adalah 16 tahun sampai 75 tahun. Peneliti juga sempat mewawancarai beberapa pasien yang menjalani

6

hemodialisis terkait dengan tanda dan gejala depresi. Dalam proses wawancara pasien mengatakan bahwa mereka sering merasakan takut,stres, dan perasaan yang tidak nyaman seperti nyeri. Mereka juga sering merasakan keluhan seperti cepat merasa lelah dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berdasarkan uraian fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti dan mempelajari lebih lanjut tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul?

C. Tujuan 1.

Tujuan Umum : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

2.

Tujuan Khusus : a. Mengetahui keeratan hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

7

b. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul. c. Mengetahui gambaran tingkat depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

D. Manfaat Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitin ini antara lain : 1. Manfaat teoritis : Bagi dunia pendidikan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis. 2. Manfaat Praktis : a. Bagi Institusi Pendidikan: penelitian diharapkan sebagai bahan masukan untuk dilakukan pengembangan dan penelitian lebih lanjut tentang besarnya pengaruh tingkat pengetahuan terhadap tingkat depresi. b. Kesehatan (perawat): penelitian diharapkan akan memberikan gambaran tentang karakteristik sosiodemografi, tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien hemodialisis, sehingga mempermudah dalam menetapkan sasaran program kegiatan, melakukan tindakan pencegahan serta penanganan yang lebih komprehensif sesuai dengan karakteristik sosiodemografi pasien, sehingga pasien terhindar dari gangguan mental. c. Bagi Pasien: penelitian diharapkan dapat memperkecil resiko morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani hemodialisis akibat kejadian depresi.

8

E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan dari penulis belum pernah dilakukan penelitian dengan judul hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul, namun terdapat penelitian terkait yang pernah dilakukan yaitu : 1. Setiyowati, A., (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Kecemasan Pasien Hemodialisis Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi yang menggunakan rancangan Crosssectional. Pengambilan sampel menggunakan metode Total Sampling. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kecemasan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada rancangan penelitin, variabel independent, dan responden penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sedang dilakukan terletak pada variabel dependent. 2. Brian T., A., et al., (2010). Depression and Cognitive Function in Maintenance Hemodialisys Patients. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan rancangan Cross sectional cohort. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pasien yang memiliki gejala depresi menunjukkan angka signifikansi yang buruk pada penilaian fungsi kognitif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang sedang dilakukan terletak pada responden yang digunakan dan salah satu variabel yaitu depresi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah pada rancangan penelitian dan salah satu variabel yaitu fungsi kognitif.

9

3. Fahrizal, Y., (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Perubahan Fisik Lansia Karena Proses Menua Dengan Tingkat Depresi Lansia di Desa Sendangadi Sleman. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi yang menggunakan rancangan Crosssectional. Pengambilan sampel menggunakan metode two simple cluster sampling. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat depresi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada rancangan

penelitin,

variabel

independent,

dandependent.

Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang sedang dilakukan terletak pada responden penelitian dan lokasi penelitian. 4. Rustina, (2012). Gambaran Tingkat Depresi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif yang menggunakan rancangan Crosssectional. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa prevalensi tingkat depresi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah tingkat depresi ringan. Karakteristik responden terbanyak pada pasien yang mengalami depresi adalah umur 51-56 tahun, laki-laki, sudah menikah, berpendidikan terakhir SMA, dan pekerjaan ibu rumah tangga. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang sedang dilakukan terletak pada responden yang digunakan dan rancangan penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah pada rancangan penelitian, metode penelitian dan variabel penelitian.