CHAPTER LL.PDF - USU INSTITUTIONAL REPOSITORY

Download Dalam jurnal Epidemiology and Natural History of Prostatic Diseases (2004) dinyatakan .... TURP merupakan gold standart dan operasi yang pa...

0 downloads 719 Views 627KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kelenjar Prostat Prostat merupakan organ yang terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang tersembunyi di bawah kandung kemih. Dalam keadaan normal, prostat mempunyai berat 20 gram dan panjang 2,5 cm yang terletak pada uretra posterior. Di bagian depan prostat disokong oleh ligamentum prostatik dan di bagian belakang oleh diafragma urogenital. Dalam klasifikasi of Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus yaitu anterior, posterior, median, lateral kanan, dan lateral kiri. Sedangkan menurut McNeal, prostat terbagi atas zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona anterior, dan zona preprostatik sfingter (Tanagho, 2004).

Gambar 2.1. Kelenjar Prostat Normal (Deters, 2011) Vaskularisasi pada prostat berasal dari arteri dan vena. Arteri vesikal inferior, arteri pudendal interna, dan arteri hemoroid menyuplai darah ke prostat. Sedangkan vena dari prostat akan berlanjut ke pleksus periprostatik yang terhubung dengan vena dorsal dalam dari penis dan vena iliaka interna (Tanagho, 2004). Persarafan pada prostat didapat dari inervasi simpatis dan parasimpatis dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut simpatis dari nervus hipogastrikus (T10-L2) dan parasimpatis dari korda spinalis (S2-4). Stimulasi simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke uretra posterior seperti saat

Universitas Sumatera Utara

ejakulasi, sedangkan rangsangan parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat (Purnomo, 2009). Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menyerupai susu untuk menetralisir keasaman vagina selama senggama dan meningkatkan motilitas sperma yang optimum pada pH 6,0 sampai 6,5 (Setiadi, 2007). Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat (Purnomo, 2009).

2.2. Histologi Kelenjar Prostat Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50 kelenjar tubuloalveolar yang bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika. Prostat mempunyai tiga zona yang berbeda. Pertama adalah zona sentral yang meliputi 25% dari volume kelenjar. Kedua adalah zona perifer yang meliputi 70% dari volume kelenjar dan merupakan tempat predileksi timbulnya kanker prostat. Ketiga adalah zona transisional yang merupakan tempat asal sebagian besar hiperplasia prostat jinak (Junqueira, 2007). Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas pada orang dewasa (Junqueira, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Histologi Kelenjar Prostat Normal (School of Anatomy and Human Biology, 2009) 2.3. Tumor Jinak Prostat 2.3.1. Epidemiologi BPH adalah tumor jinak prostat yang sering dialami pada pria. Pada BPH terjadi proliferasi elemen epitel dan stroma yang menyebabkan prostat membesar (Kumar, 2007). Frekuensi kejadian BPH meningkat secara progresif seiring usia mulai dari umur 41-50 tahun (20%), 51-60 tahun (50%), hingga mencapai 90% pada usia 80 tahun ke atas (Presti, 2004). 2.3.2. Faktor Resiko Faktor resiko kejadian BPH masih belum diketahui. Dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa predisposisi genetik dan perbedaan ras memungkinkan untuk terjadinya BPH. Tetapi yang pasti jenis kelamin pria, usia, testosteron, dan faktor pertumbuhan merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan BPH (Presti, 2004). 2.3.3. Etiopatogenesis Etiologi BPH masih belum sepenuhnya dipahami, namun bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa androgen dan estrogen berperan sinergis dalam

Universitas Sumatera Utara

pembentukannya (Presti, 2004; Purnomo, 2009). Ada beberapa teori yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain : 1.

Teori dihidrotestosteron Dihidrotestosteron (DHT) suatu androgen yang berasal dari testosterone

melalui kerja 5α-reduktase dan metabolitnya 3α-androstanediol merupakan hormon pemicu utama terjadinya proliferasi kelenjar dan stroma pada pasien BPH. DHT berikatan dengan reseptor pada nukleus dan pada gilirannya merangsang sintesis DNA, RNA, faktor pertumbuhan, dan protein sitoplasma lainnya yang kemudian menyebabkan hiperplasia (Purnomo, 2009). 2.

Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron Pada usia lanjut, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen

relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen-testosteron relatif meningkat. Estrogen pada prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat. Akibatnya sel-sel prostat mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar (Purnomo, 2009). 3.

Interaksi stroma-epitel Sel-sel stroma mendapat stimulasi dari DHT dan estradiol yang kemudian

akan menstimulasi faktor pertumbuhan sehingga mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri dan sel epitel. Stimulasi itu menyebabkan proliferasi sel-sel stroma maupun epitel yang mengakibatkan hiperplasia prostat (Purnomo, 2009). 4.

Berkurangnya kematian sel prostat Sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti. Tapi diduga

hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel (apoptosis), estrogen mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, dan faktor

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses ini. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat (Purnomo, 2009). 5.

Teori sel stem Sel stem mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif sehingga

mampu mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis. Kehidupan sel ini dipengaruhi oleh keberadaan hormon androgen. Kadar androgen yang meningkat menyebabkan ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi sel stroma maupun epitel yang berlebihan (Purnomo, 2009). Dari beberapa teori di atas, ada juga teori yang menyatakan bahwa hormon testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat sedangkan estrogen mempengaruhi bagian tengah prostat. Ketidakseimbangan hormon ini membuat pertumbuhan yang abnormal pada salah satu bagian dari lobus prostat (Aritonang, 2007). Akibat dari hiperplasia prostat, resistensi pada uretra akan meningkat sehingga menyebabkan aliran urin menjadi lebih lambat (Presti, 2004). 2.3.4. Gejala Klinis Gejala klinis BPH terjadi pada hanya sekitar 10% pria yang mengalami kelainan ini. Karena hiperplasia nodular terutama mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang tersering adalah gejala saluran kemih bawah atau Lower Urinary Track Syndrome (LUTS). Gejala tersebut terdiri atas obstruksi dan iritasi. Sulit memulai aliran urine (hesitancy), pancaran kencing yang lemah (weak stream), kencing tidak lampias (incomplete emptying), mengedan saat kencing (straining), dan kencing terputus-putus (intermittency) termasuk dalam gejala obstruktif. Sedangkan tidak dapat menunda kencing (urgency), sering kencing (frequency), dan kencing di malam hari (nocturia) tergolong dalam gejala iritasi (Kumar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis BPH diperlukan beberapa tindakan seperti : 1.

Anamnesis Hal yang perlu ditanyakan pada pasien adalah usia dan gejala-gejala yang

dialami pasien seperti pada gejala klinis. Sistem skoring diperlukan untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pasien yg diisi secara subjektif. Sistem skoring yang digunakan adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau International Prostate Symptom Score (IPSS) (Presti, 2004; Purnomo, 2009).

Gambar 2.3. Skor IPSS (Tanagho, 2004) 2.

Pemeriksaan fisik

Universitas Sumatera Utara

a. Kandung kemih Pada pemeriksaan didapati kandung kemih terisi penuh dan teraba massa akibat retensi urin (Purnomo, 2009). b. Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) Pada pemeriksaan DRE didapati prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, menonjol ke dalam rektum (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 3.

Pemeriksaan laboratorium a. Darah lengkap Komponen yang diperiksa antara lain ureum, kreatinin, elektrolit, BUN, dan gula darah (Presti, 2004; Purnomo, 2009). b. Urin Dilakukan kultur urin dan sensitivitas untuk melihat kemungkinan infeksi (Presti, 2004; Purnomo, 2009). c. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) Pemeriksaan PSA ditujukan pada pasien yang memiliki resiko BPH. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai skreening untuk deteksi dini kanker prostat (Presti, 2004; Deters, 2011).

4.

Pemeriksaan pencitraan a. Foto polos abdomen (Buik Nier Overzich, BNO) Foto polos abdomen digunakan untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu atau kalkulosa prostat, dan kadang dapat menunjukkan bayangan kandung kemih yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari suatu retensi urin (Purnomo, 2009). b. Intravenous Pyelography (IVP) IVP digunakan untuk melihat kemungkinan adanya hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan kandung kemih oleh kelenjar

Universitas Sumatera Utara

prostat), dan penyulit-penyulit yang lain. Pemeriksaan IVP sekarang tidak direkomendasikan pada BPH (Presti, 2004; Purnomo, 2009). c. Transrectal Ultrasound (TRUS) TRUS digunakan untuk mengetahui volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residu urin, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam kandung kemih (Purnomo, 2009). d. Ultrasonografi transabdominal Ultrasonografi transabdominal digunakan untuk mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama (Purnomo, 2009). e. Sistografi Sistografi digunakan bila terdapat hematuria atau kemungkinan terdapat tumor (Presti, 2004; Purnomo, 2009). f. CT-scan / MRI jarang digunakan (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 5.

Pemeriksaan lain a. Uroflowmetri Uroflowmetri digunakan untuk pemeriksaan derajat obstruksi prostat. Dari uroflowmetri dapat diketahui lawa waktu miksi (voiding time), lama pancaran (flow time), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum (time to max flow), pancaran maksimum (max flow rate), ratarata pancaran (average flow rate), dan volume urin yang keluar sewaktu miksi (voided volume) (Purnomo, 2009). b. Pemeriksaan volume residu urin Tindakan ini dilakukan dengan memasang kateter dengan batas indikasi 100 cc (Purnomo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dalam jurnal Epidemiology and Natural History of Prostatic Diseases (2004) dinyatakan bahwa untuk mendiagnosis BPH pada saat ini tidaklah mudah. Banyak pasien mengalami gejala sedang LUTS, tapi tidak diikuti dengan pembesaran prostat yang bermakna dan kondisi miksi normal sewaktu dilakukan pemeriksaan uroflowmetri. Ini dibuktikan oleh hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di Hokaido. Persentase pria dengan gejala LUTS sedang atau berat pada usia 50-59 tahun (40%), 60-69 tahun (52%), 70-79 tahun (63%). Persentase pria dengan pancaran maksimum (Qmax) 10 ml/detik atau kurang pada usia 50-59 tahun (6%), 60-69 tahun (19%), 70-79 tahun (42%). Persentase pria dengan pembesaran prostat (volume prostat > 20 cc) pada 50-59 tahun (34%), 60-69 tahun (39%), 70-79 tahun (38%). Dengan parameter di atas, maka persentase pria yang mengalami ketiga kriteria tersebut pada 50-59 tahun (6%), 60-69 tahun (6%), 70-79 tahun (12%) (Tsukamoto, 2004). Di sisi lain, pasien yang mengalami BPH akan mengalami penurunan kualitas hidup. Umumnya disebabkan karena tidak mampu menahan miksi dan miksi di malam hari. Dalam jurnal Epidemiology of Prostate Cancer and Benign Prostatic Hyperplasia (2009) disebutkan sekitar 12,5 % dari pria memiliki frekuensi miksi 11 kali atau lebih per hari dan 16,7 % terbangun untuk miksi 3 kali atau lebih saat malam hari (Suzuki, 2009).

2.3.6. Penatalaksanaan Tujuan terapi pada pasien BPH adalah untuk memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan mencegah progresifitas penyakit. Pilihan terapi tergantung dari hasil skor IPSS pasien (Presti, 2004; Purnomo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

1. Watchful waiting Pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS di bawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi apapun karena dapat sembuh sendiri dan diberi penjelasan mengenai semua hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, seperti jangan mengkomsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi komsumsi kopi atau coklat (mengiritasi kandung kemih), batasi penggunaan obat flu yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin, serta jangan menahan kencing terlalu lama. Selain itu pasien juga diminta untuk datang kontrol secara periodik setelah 6 bulan untuk mengevaluasi keluhannya sambil dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dan volume residu urin (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 2. Medikamentosa Pilihan terapi medikamentosa ditujukan untuk pasien dengan skor IPSS 819. Obat-obatan yang dapat digunakan antara lain : a. Penghambat reseptor adrenergik-α1 (α1 adrenergic blocker) Tujuannya adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat. Awalnya

obat

yang

digunakan

adalah

golongan

non

selektif

(fenoksibenzamine) yang mampu memperbaiki laju pancaran dan mengurangi keluhan miksi. Tetapi obat ini menyebabkan komplikasi sistemik sehingga tidak disenangi oleh pasien. Kemudian ditemukan obat penghambat adrenergik α1 yang punya waktu paruh pendek (prazosin) dan panjang (tetrazosin, doxazosin). Golongan penghambat adrenergik α1a (tamsulosin) sangat selektif terhadap otot polos prostat (Presti, 2004; Purnomo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Klasifikasi terapi medikamentosa beserta dosisnya Klasifikasi

Dosis Oral

Alpha blockers Nonselektif Phenoxybenzamine

10 mg 2 x sehari

Alpha-1, short-acting Prazosin

2 mg 2 x sehari

Alpha-1, long-acting Terazosin

5 atau 10 mg sehari

Doxazosin

4 or 8 mg sehari

Alpha-1a selectif Tamsulosin

0,4 atau 0,8 mg sehari

(Presti, 2004) b. Penghambat 5α-reduktase Tujuannya adalah untuk mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan

kadar

DHT.

Obat

ini

(finasteride)

menghambat

pembentukan DHT dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5α – reduktase di dalam sel-sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Pemberian obat ini 5 mg sehari selama 6 bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28% dan memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Finasteride mempunyai efek samping antara lain penurunan libido, penurunan volume ejakulasi, dan impotensi. Kombinasi finasteride dengan penghambat reseptor adrenergik α lebih baik daripada obat tunggal (Presti, 2004; Purnomo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

c. Fitoterapi Terapi ini menggunakan beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, namun data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, dan masih banyak lainnya (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 3. Operasi Pilihan operasi ditujukan untuk pasien dengan skor IPSS 20-35. Penyelesaian masalah hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah pembedahan. Indikasi pembedahan ditujukan pada pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami retensi urin, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal, dan timbul batu saluran kemih atau penyulit lainnya akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah. (Presti, 2004; Purnomo, 2009). Tindakan pembedahan tersebut antara lain : a. Transuretral Resection of the Prostate (TURP) TURP merupakan gold standart dan operasi yang paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat menggunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang sering dipakai adalah H2O steril (aquades) karena tidak menyebabkan hantaran listrik saat operasi dan harganya cukup murah (Presti, 2004; Purnomo, 2009). b. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan dua insisi dengan pisau Collins pada posisi jam 5 dan 7. Insisi diawali dari distal ke orificium uretra dan keluar melalui verumontanum (Presti, 2004; Purnomo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

c. Prostatektomi terbuka Prostatektomi terbuka dilakukan pada keadaan prostat yang sangat besar (>100 gram). Tindakan ini dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin) (Presti, 2004; Purnomo, 2009). d. Laser prostatektomi Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi antikoagulan dalam jangka waktu lama dan tidak mungkin dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya. Tindakan ini lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, dan penyembuhan lebih cepat. Akan tetapi terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% tiap tahunnya. Selain itu tidak

diperolehnya

jaringan

untuk

pemeriksaan

patologi,

sering

menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP merupakan komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan ini (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 4. Tindakan invasif minimal Tindakan ini terutama ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan tersebut antara lain : a.

Termoterapi Teknik ini direkomendasikan untuk pasien yang memliki prostat

ukuran kecil. Pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 9151296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan dalam uretra menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional karena nekrosis koagulasi (Presti, 2004; Purnomo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

b.

Transurethral Needle Ablation of the prostate (TUNA) Teknik ini menggunakan kateter yang dimasukkan ke dalam uretra

melalui sistokopi dengan pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Kateter ini dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energy panas sampai 100ºC sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat (Presti, 2004; Purnomo, 2009). c.

High Intensity Focused Ultrasound (HIFU) Teknik ini menggunakan alat yang diletakkan transrektal dan

difokuskan ke kelenjar prostat. Energi panas yang berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik dengan frekuensi 0,5-10 Mhz akan dipancarkan melalui alat ini sehingga menimbukan nekrosis pada prostat (Presti, 2004; Purnomo, 2009). d.

Stent Alat ini ditujukan untuk pasien yang tidak mungkin menjalani operasi

karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Stent ini dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat dan dapat dipasang selama 6-36 bulan. Pemasangan stent ini tidak menyebabkan reaksi dengan jaringan karena terbuat dari bahan yang tidak diserap serta dapat dipasang atau dilepas kembali secara endoskopi (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 2.3.7. Prognosis Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH yang tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan pasien itu sendiri seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, dan hematuria (Deters, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.4. Tumor Ganas Prostat 2.4.1. Epidemiologi Kanker prostat menempati peringkat kedua sebagai penyebab tersering kematian terkait kanker pada laki-laki berusia lebih dari 50 tahun, di bawah kanker paru. Seperti halnya pada BPH, insidensi kanker prostat meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Kanker prostat yang laten lebih sering terjadi daripada yang menimbulkan gejala klinis, dengan frekuensi keseluruhan lebih dari 50% pada lakilaki berusia lebih dari 80 tahun. Kanker ini jarang menyerang pria sebelum berusia 45 tahun (Presti, 2004; Elatar, 2008; Purnomo, 2009). 2.4.2. Faktor Resiko Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kanker prostat antara lain : 1. Usia Usia terjadinya kanker prostat dimulai dengan frekuensi kecil pada usia dewasa muda dan meningkat > 90% pada usia 90 tahun (Presti, 2004; Vulfovich, 2008). 2. Ras Kanker prostat lebih sering terjadi pada ras afrika amerika yang berkulit hitam (65%) daripada ras kaukasoid yang berkulit putih (Presti, 2004; Vulfovich, 2008). 3. Riwayat keluarga Kemungkinan untuk menderita kanker prostat menjadi dua kali jika saudara laki-laki menderita penyakit ini. Kemungkinannya naik menjadi lima kali lipat jika ayah dan saudaranya juga menderita. Ini menunjukkan adanya faktor genetika yang melandasi terjadinya kanker prostat (Vulfovich, 2008; Purnomo, 2009). 4. Pengaruh hormon Peningkatan kadar testosteron bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker prostat dan sebaliknya hormon androgen atau pemberian estrogen bisa menghambat timbulnya penyakit ini. Namun peran pasti hormon ini dalam

Universitas Sumatera Utara

patogenesis kanker prostat masih belum dipahami sepenuhnya (Kumar, 2007; Vulfovich, 2008).

5. Lingkungan Peningkatan frekuensi kanker prostat terjadi di lingkungan industri tertentu dan perbedaan geografik insidensi penyakit yang signifikan. Kanker prostat cukup sering ditemukan di negara Skandinavia dan relatif jarang di negara Asia tertentu. Laki-laki yang bermigrasi dari daerah beresiko rendah ke daerah beresiko tinggi tetap kurang beresiko mengidap kanker prostat, sedanglkan generasi berikutnya memiliki resiko sedang (Kumar, 2007). 6. Diet Diet tinggi lemak diduga meningkatkan kejadian kanker prostat. Kebiasaan merokok dan paparan bahan kimia cadmium (Cd) yang banyak terdapat pada alat listrik dan baterei berhubungan erat dengan timbulnya kanker prostat (Presti, 2004; Kumar, 2007; Purnomo, 2009). 2.4.3. Patologi Jenis histopatologis kanker prostat sebagian besar adalah adenokarsinoma. Sekitar 60-70% terdapat pada zona perifer, 10-20% pada zona transisional, dan 510% pada zona sentral (Presti, 2004; Purnomo, 2009). Karena letaknya di perifer, kemungkinan kanker prostat menyebabkan obstruksi uretra pada tahap awal biasanya lebih kecil daripada hiperplasia nodular. Lesi awal biasanya tampak sebagai massa berbatas tidak jelas tepat di bawah kapsul prostat. Pada permukaan potongan, fokus kanker muncul sebagai lesi padat, abu-abu putih sampai kuning, yang menginfiltrasi kelenjar di sekitarnya dengan lesi kabur. Penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfe pada daerah pelvis menuju kelenjar limfe retroperitoneal dapat terjadi terjadi sejak awal dan penyebaran secara hematogen melalui vena vertrebalis menuju tulang-tulang pelvis, femur sebelah proksimal, vertebra lumbalis, kosta, paru, hati, dan otak terjadi pada kanker tahap lanjut. Invasi ke rektum lebih jarang terjadi karena adanya fasia denonviliers, yaitu

Universitas Sumatera Utara

lapisan jaringan ikat yang memisahkan struktur genitourinaria bawah dari rektum yang menghambat pertumbuhan tumor ke arah posterior (Kumar, 2007; Purnomo, 2009). Kelenjar pada kanker prostat tidak dikelilingi oleh sel stroma atau kolagen tetapi terletak berdempetan dan tampak menyalip secara tajam menembus stroma di sekitarnya. Kelenjar di sekitar karker prostat invasif sering mengandung fokus atipia sel atau neoplasia intraepitel prostat (Prostatic Intraepithelial Neoplasia, PIN). PIN diperkirakan merupakan prekursor kanker prostat karena sering terdapat bersamaan dengan kanker infiltratif. PIN dapat dibagi menjadi PIN derajat tinggi (HGPIN) dan PIN derajat rendah (LGPIN). HGPIN sering memperlihatkan perubahan molekuler yang sama dengan kanker invasif (50-80% dari kasus), sedangkan LGPIN dianggap sebagai bentuk intermediate antara jaringan normal dan jaringan ganas (20% dari kasus). HGPIN merupakan temuan patologis yang paling sering dijumpai dan insidensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Oleh karena itu jika pada hasil biopsi pasien menunjukkan hanya HGPIN, maka dilakukan biopsi ulang untuk memastikan ada atau tidaknya kanker invasif tersebut (Presti, 2004; Kumar, 2007; Nieder, 2008). 2.4.4. Gejala Klinis Pasien kanker prostat stadium dini seringkali tidak menunjukkan gejala atau tanda klinis. Tanda-tanda itu biasanya muncul setelah kanker berada pada stadium lanjut. Keluhan sulit miksi, nyeri saat miksi, atau hematuria menandakan bahwa kanker telah menekan uretra. Kanker prostat yang sudah bermetastasis ke tulang dapat memberikan gejala nyeri tulang, fraktur pada tempat metastase, atau kelainan neurologis jika metastasis pada tulang vertebra (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 2.4.5. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis kanker prostat diperlukan beberapa pemeriksaan seperti :

Universitas Sumatera Utara

1. Digital Rectal Examination (DRE) Pada pemeriksaan DRE dapat diraba nodul yang keras dan ireguler. Pada stadium dini sulit mendeteksi kanker prostat melalui DRE sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan TRUS (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 2. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan hasil azotemia (obstuksi bilateral ureter), anemia (metastase), peningkatan serum amilase (metastase tulang), dan serum asam phosphatase (Kumar, 2007; Purnomo, 2009). 3. Penanda tumor Penanda tumor yang sering digunakan adalah PSA yaitu suatu enzim proteolitik 33-kD yang dihasilkan oleh sitoplasma sel prostat dan berperan dalam meningkatkan motilitas sperma dengan mempertahankan sekresi seminalis dalam keadaan cair. PSA berguna untuk melakukan deteksi dini adanya kanker prostat dan evaluasi lanjutan setelah terapi kanker prostat. Range standar PSA 0,0-4,0 ng/ml. Walaupun sel kanker menghasilkan lebih banyak PSA, tetapi makna diagnostiknya dapat sangat meningkat jika digunakan bersama prosedur lain (Kumar, 2007; Ayyathurai, 2008; Purnomo, 2009). 4. Pemeriksaan pencitraan Sekitar 60-70% kanker prostat terdeteksi melalui pemeriksaan TRUS dengan gambaran hypoechoic. CT-scan digunakan jika dicurigai adanya metastase pada limfanodi. MRI digunakan dalam menentukan luas ekstensi tumor ke ekstakapsuler atau ke vesikula seminalis (Purnomo, 2009; Amendola, 2008). 5. Biopsi prostat Indikasi tindakan ini adalah pada peningkatan serum PSA atau DRE abnormal. Pengambilan contoh jaringan pada area yang dicurigai keganasan melalui biopsi aspirasi dengan jarum halus (BAJAH) dengan bantuan TRUS (Presti, 2004; Purnomo, 2009; Kava, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.4.6. Derajat Diferensiasi Sel dan Stadium Derajat diferensiasi sel yang sering digunakan adalah sistem Gleason. Sistem ini didasarkan atas pola perubahan arsitektur dari kelenjar prostat yang dilihat secara makroskopik dengan pembesaran rendah (60-100 kali). Dari pengamatan dibedakan dua jenis pola tumor, yaitu pola ekstensif (primary pattern) dan pola tidak ekstensif (secondary pattern). Kedua tingkat itu dijumlahkan sehingga menjadi grading dari Gleason (Presti, 2004; Purnomo, 2009). Tabel 2.2. Derajat Diferensiasi Kanker Prostat Menurut Gleason Grade

Tingkat Histopatologi

2-4

Diferensiasi baik

5-7

Diferensiasi sedang

8-10

Diferensiasi buruk

(Purnomo, 2009) Tingkat infiltrasi dan penyebaran tumor disusun berdasarkan sistem TNM (hasil dari DRE dan TRUS). Tabel 2.3. Sistem Staging TNM Untuk Kanker Prostat T—Tumor Primer Tx

Tidak dapat dinilai

T0

Tidak ada tanda tumor primer

Tis

Karsinoma in situ (PIN)

T1a

Keterlibatan ≤5% jaringan TURP, DRE normal

T1b

Keterlibatan >5% jaringan TURP, DRE normal

T1c

Terdeteksi dari pemeriksaan PSA, DRE dan TRUS normal

T2a

Tumor teraba melalui DRE atau terlihat melalui TRUS pada satu lobus, terbatas di prostat

T2b

Tumor teraba melalui DRE atau terlihat melalui TRUS pada dua lobus, terbatas di prostat

T3a

Perluasan ekstrakapsular pada satu atau kedua lobus

Universitas Sumatera Utara

T3b

Invasi ke vesikula seminalis

T4

Tumor meluas ke leher kandung kemih, sfingter, rektum, otot levator, atau dasar panggul

N—Kelenjar getah bening regional (obrurator, iliaka interna, iliaka eksterna, kelenjar getah bening presakral) Nx

Tidak dapat dinilai

N0

Tidak ada metastasis ke kelenjar getah bening regional

N1

Metastasis ke kelenjar getah bening regional atau nodul

M—Distant metastasis Mx

Tidak dapat dinilai

M0

Tidak ada metastasis jauh

M1a Metastasis ke kelenjar getah bening jauh M1b Metastasis ke tulang M1c Metastasis jauh lainnya (Presti, 2004)

Tabel 2.4. Stadium Untuk Kanker Prostat Stadium I

Stadium II

Stadium III

Stadium IV

T1a

N0

M0

G1

T1a

N0

M0

G2,3,4

T1b

N0

M0

Semua G

T1c

N0

M0

Semua G

T1

N0

M0

Semua G

T2

N0

M0

Semua G

T3

N0

M0

Semua G

T4

N0

M0

Semua G

Semua T

N1

M0

Semua G

Semua T

Semua N

M1

Semua G

(Akins, 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.4.7. Penatalaksanaan Tindakan yang dilakukan terhadap pasien kanker prostat tergantung pada stadium, umur harapan hidup, dan derajat diferensiasi (Presti, 2004; Purnomo, 2009). 1. Observasi Ditujukan untuk pasien dalam stadium T1 dengan umur harapan hidup kurang dari 10 tahun. 2. Prostatektomi radikal Ditujukan untuk pasien yang berada dalam stadium T1-2 N0 M0. Tindakan ini berupa pengangkatan kelenjar prostat bersama dengan vesikula seminalis. Beberapa penyulitnya antara lain perdarahan, disfungsi ereksi, dan inkontinensia. 3. Radiasi Ditujukan untuk pasien tua atau pasien dengan tumor loko-invasif dan tumor yang telah mengalami metastasis. Pemberian radiasi eksterna biasanya didahului dengan limfadenektomi. 4. Terapi hormonal Jenis obat untuk terapi hormonal antara lain estrogen (anti androgen), LHRH agonis (kompetisi dengan LHRH), antiandrogen non steroid (menghambat sintesis dan aktivitas androgen), dan blokade androgen total (menghilangkan

sumber

androgen

dari

testis

maupun

dari

kelenjar

suprasternal). 2.4.8. Prognosis Indikator yang paling penting untuk prognosis kanker prostat adalah sistem Gleason, tingkat volume tumor, dan adanya penetrasi kapsul atau positif marjin pada saat prostatektomi. HGPIN dan grading Gleason 4 dan 5 berkaitan dengan temuan patologi yang merugikan pasien. Sebaliknya LGPIN bisa juga menyebabkan prognosis yang buruk (Krupski, 2012). Lebih dari 90% pasien dengan lesi stadium T1 atau T2 bertahan hidup 10 tahun atau lebih (Kumar, 2007).

Universitas Sumatera Utara