Mam
MAKALAH ISLAM Maaf, Saya Muslim
29 Desember 2014
Makalah Islam Maaf, Saya Muslim
M. Fuad Nasar (Wakil Sekretaris BAZNAS)
Bagaimana sikap elegan seorang pejabat beragama Islam dalam kapasitas sebagai penyelenggara negara ketika harus menghadiri perayaan Natal lalu diminta ikut menyalakan lilin. Prof. Dr. Faisal Ismail, mantan Duta Besar RI untuk Negara Kuwait merangkap Kerajaan Bahrain sewaktu menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Agama punya pengalaman yang menarik. Dengan sangat halus saya tolak lilin itu seraya berkata, “Maaf, saya muslim. Saya pasif saja dan tidak menyalakan lilin. Tak terlintas dalam hati dan pikiran saya untuk mengakui dan memercayai ketuhanan Yesus Kristus. Saya juga tidak merasa menentang dan melanggar fatwa MUI yang mengharamkan orang Islam menghadiri perayaan Natal.” Faisal Ismail menuturkan dalam bukunya Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama (2014). Menurut Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu toleransi dan kerukunan antarumat beragama tidak harus merusak akidah dan mencampuradukkan ibadah. Islam meletakkan dasar-dasar toleransi, keragaman hidup antaragama dan kemerdekaan beragama. Dalam Al Quran surat Al Mumtahanah ayat 8 dan 9, umat Islam tidak dilarang hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Umat Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan umat lain yang tidak memerangi dan mendesak umat Islam keluar dari Tanah Airnya sendiri. Seorang muslim seharusnya menjaga kerukunan dan kedamaian antarumat beragama demi terpeliharanya persatuan
bangsa tanpa menanggalkan jatidiri keislamannya. Dalam surat Ali Imran ayat 64 diungkapkan, “Isyhadu bi-anna muslimun.” artinya, saksikanlah (akuilah) kami adalah orang-orang yang telah memeluk agama Islam. Dalam konteks Hari Natal di negeri kita seringkali samar-samar batas antara perayaan dan upacara yang bersifat ritual (doa). Umat Islam yang awam dapat terjerumus kepada syubhat dan larangan agama. Hal itulah yang mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1981 mengeluarkan fatwa tentang Perayaan Natal Bersama. MUI menyatakan bahwa “mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram”. Fatwa MUI tentang hukum menghadiri perayaan Natal Bersama adalah demi menjaga kerukunan hidup beragama dan memelihara kemurnian akidah islamiyah. MUI mengeluarkan fatwa sebagai tanggungjawab ulama memberikan pegangan kepada umat Islam dalam soalsoal agama dan kemasyarakatan. Tersebar luasnya fatwa MUI tentang perayaan Natal Bersama pada waktu itu menimbulkan kesalahpahaman antara pimpinan MUI dengan Menteri Agama. Dalam fatwa MUI tersebut tidak mencakup larangan mengucapkan selamat hari Natal, tetapi hanya menyangkut hukum menghadiri perayaan Natal yang notabene merupakan kegiatan ibadah bagi umat Kristiani. Namun akibat tekanan dari pemerintah Orde Baru, MUI
memutuskan mencabut perayaan Natal.
kembali
beredarnya
fatwa
Buya Prof. Dr. Hamka (allahu yarham) akhirnya meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI pada 18 Mei 1981. Dalam surat pengunduran diri Buya Hamka menegaskan, “Nilai Fatwa itu sendiri tetap shah sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.” Dalam tulisannya di rubrik Dari Hati ke Hati majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981 dengan judul “Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” Hamka menegaskan, “Apakah demi kerukunan orang Islam harus menghadiri hari-hari besar agama lain. Orang disuruh rukun, tapi imannya jadi goncang, sebab perbuatannya itu bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri.” Setelah wafatnya Buya Hamka (24 Juli 1981), masalah peringatan hari-hari besar keagamaan dibahas dalam Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antarumat Beragama, dihadiri semua pimpinan majelismajelis agama (MUI, DGI, MAWI, PHDP, dan WALUBI) pada 25 Agustus 1981. Pertemuan itu menghasilkan keputusan, antara lain; peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan, namun wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya. Pejabat pemerintah yang hadir dalam upacara keagamaan
dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dalam sikap pasif namun khidmat. Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tanggal 2 September 1981 mengeluarkan surat edaran tentang penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan. Surat edaran itu menerangkan, dalam hal peribadatan atau adanya unsur peribadatan, maka hanya pemeluk agama yang bersangkutan yang menghadirinya. Dalam perayaan yang di dalamnya tidak ada unsur ibadat, dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain. Pada waktu belakangan ini ramai diperbincangkan pemakaian atribut topi santa dan sinterklas bagi karyawan/wati di mall-mall dalam rangka menghormati Natal. Di negara-negara Barat dengan kultur masyarakat sekuler, atribut topi santa dan sinterklas tidak memiliki makna agamawi, tapi dipandang sebagai hiburan saja. Tetapi di negeri kita yang mayoritas masyarakatnya muslim, ketentuan pemilik perusahaan di pusat-pusat perbelanjaan (mall-mall) yang “mewajibkan” atribut sejenis bagi karyawan/wati muslim demi kebersamaan menghormati Natal dapat menyinggung “rasa keagamaan” di masyarakat. Polemik penggunaan atribut Natal ditanggapi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Menteri Agama menengahi lewat pernyataannya, seorang muslim tidak usah dituntut menggunakan kalung salib atau topi sinterklas demi menghormati Hari Natal. Juga perempuan
nonmuslim tidak perlu dipaksa berjilbab demi menghormati Idul Fitri. Toleransi bukanlah saling meleburkan dan mencampurbaurkan identitas masingmasing atribut dan simbol keagamaan yang berbeda. Mari kita mengambil pembelajaran dari pengalaman berharga di masa lalu akibat makna kerukunan yang disalahartikan. Sebagaimana dikatakan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Menteri Agama RI tahun 19711978 yang dikenang sebagai peletak dasar pengembangan ilmu perbandingan agama di Indonesia, masalah agama bukan seluruhnya persoalan akademis dimana seseorang secara netral dan polos mendekati, membahas dan mengambil kesimpulan secara ilmiah. Pembinaan kerukunan hidup umat beragama harus ditangani dengan sungguh-sungguh dan hati-hati, agar jangan sampai berbalik arah, bukan menimbulkan kerukunan melainkan perbenturan antarumat berbagai agama. Dalam membicarakan masalah agama, orang akan selalu terlibat, berpihak dan tidak mudah untuk sepenuhnya bersikap rasional dan obyektif.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini