Modul I Sejarah Indonesia - Website Staff UI

Data-data yang telah teruji dan terpilih inilah yang kemudian disebut sebagai fakta sejarah. • Interpretasi atau eksplanasi yaitu proses menafsirkan a...

4 downloads 678 Views 390KB Size
Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1

Tim Penyusun Didik Pradjoko, M.Hum (Koordinator)) Kasijanto, M.Hum (Anggota) Dr. Suharto (Anggota) Yuda B. Tangkilisan, M.Hum (Anggota) Sudarini MA (Anggota) Dra. MPB. Manus (Anggota) Raisye Soleh Haghia (Pendukung) Fathul Bari (Pendukung)

Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHK-I) Universitas Indonesia Tahun 2008 DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Nasional

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008

1

Bab 1 BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG SEJARAH

1.1. Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah Kata “sejarah” yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu tidak terlalu dapat dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih banyak mengungkapkan riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata-kata lain yang merupakan kata serapan dari bahasa lain yang dipergunakan untuk mengkaji masa lampau seperti: “silsilah” yang menunjuk pada asalusul keluarga atau nenek moyang; “hikayat” yang banyak dipergunakan untuk mengisahkan seseorang; ”babad” dan “carita” atau “cerita” yang dipergunakan mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang menjadi kebudayaan daerah tertentu seperti “tambo’ (Minangkabau) dan “tutur teteek” (Roti). Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa lampau maupun sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang terkandung pada kata historia - berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu (istor artinya orang pandai); dalam bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti masa lampau manusia, dan dalam bahasa Jerman disebut gesischte yang artinya sudah terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan untuk menunjukkan kajian masa lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan), annals (tarikh), dan epic (kepahlawanan). Jika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang terjadi pada pagi hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti itu dapat dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi bentangan yang tidak terbatasnya– mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati sampai jauh ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya. Apa saja yang harus dimasukkan ke dalam “masa lampau” yang demikian panjang itu?

2

Perampokan? Gempa Bumi? Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi? Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa lagi? Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau dalam arti sejarah, akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal adalah menyangkut dimensi waktu – kapan sampai apabila. Salah satu konsensus yang dicapai adalah bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai manakala bukti-bukti tertulis mengenai bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas dasar kesepakatan itu maka zaman (periode) sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut zaman “prasejarah”, meskipun dari zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia, seperti seni pahat atau seni patung. Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi masih merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu kedokteran misalnya, historiografi Yunani mendapat pengaruh untuk mencari sebabmusabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh ilmu hukum (retorika), seperti dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan pengacara yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan retorika seperti itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan makna atas kebenaran itu. Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah Herodotus (ca. 484-425 SM) dalam karyanya tentang “Perang Yunani-Persia” tahun 478 SM yang dilukiskan sebagai perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa (Timur). Dalam menyusun karyanya itu ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral sehingga dianggap kurang patriotik) dengan menggunakan sumber data dari kedua belah pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak sejarah. Meskipun demikian karyanya masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat dalam menyajikan data, dan masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-musabab supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.

3

Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari sebab-musabab supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang perang antara Athena dan Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404). Dalam karyanya itu, Thucydides sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat ia mempu merekonstruksi perang tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua belah pihak, sekaligus mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena kehendak para dewa, melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh persaingan antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani. Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat didefinisikan di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa lalu manusia. Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah berdasarkan sumber data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu pada dasarnya tidak menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku dalam metode sejarah masa kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak digeluti oleh para ahli naskah atau filolog, yang membanding-bandingkan dua dokumen atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli) dan mana yang tidak otentik (cara kerja ini kemudian dikenal dengan sebutan “kritik ekstern”). Tradisi sejarawan seperti yang dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar abad ke-18. Pada tahun 1776 terbit buku “The History of the Decline and Fall of the Roman Empire” karya Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar pada retorika yang meyakinkan untuk membuktikan “kebenaran sejarah”, melainkan pada dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak saja memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik intern yang dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan sejarawan pertama yang menggunakan cara kerja ilmiah. Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah Gibbon, akan tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak sejarah ilmiah (science historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von

4

Ranke (1795-1886). Dia dinilai sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah yang benar. Metode sejarahnya itu diuraikannya dalam bukunya “History of Romance and Germanic Peoples, 1495-1535 yang terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian sejarah. Ia menganjurkan supaya menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya terjadi, “wie es eigentlich gewesen”, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh semangat zamannya (zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata “eigentlich” diartikan dalam dua kata, “really” (atau essentially) dan “actuality”. Para sejarawan yang menerima “actuality” terjemahan “eigentlich” berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta sejarah seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya. Sementara yang menerima kata “essentially” atau “really” berpendapat bahwa Ranke mengakui bahwa ide-ide tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui pula bahwa ilmu sejarah mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah. Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap kebenaran fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu atau cabang ilmu yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Langkahnya itu kemudian diikuti oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah diakui sebagai salah satu cabang ilmu yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode serta obyek penelitiannya, maka ilmu sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu “metode sejarah” serta obyek penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya. Jika sejarah adalah rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari sejarah dalam arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau terkait dalam sesuatu deskripsi. 1.2. Pembabakan Sejarah (Indonesia) Pada hakekatnya masalah pembabakan atau periodesasi sejarah bukanlah sekedar menentukan batas awal dan batas akhir, atau pembagian babak satu, dua dan tiga; melainkan juga harus menjelaskan alasan-alasan rasional, yang berkaitan erat konsep pemenggalan waktu tersebut, termasuk konsep ruang (spatial) dan waktu (temporal).

5

Artinya harus jelas tempat atau ruang di mana peristiwa itu terjadi dan kapan terjadinya. Kalau konsep serta argumentasinya tidak jelas, maka akan terjadi kerancuan, bahkan kekacauan. Pada awalnya pembabakan Sejarah Indonesia disusun mengikuti pembabakan yang telah dibuat oleh para sejarawan Kolonial Belanda, khususnya buku Geschiedenis van Nederlandsch-Indië (terbit pertama kali tahun 1939) karya Stapel dkk. Ternyata pembabakan “tiruan” itu selain banyak mengundang kritikan karena dinilai tidak cocok dengan semangat “Indonesia Sentris” yang berkembang waktu itu. Masalah pembabakan itu kemudian dibawa ke dalam Kongres Nasional Sejarah pada tahun 1957 yang kemudian dibicarakana lagi pada Seminar Nasional Sejarah ke-2 tahun 1970. Salah satu keputusan dari Seminar Nasional Sejarah yang kedua itu adalah penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang diharapkan nantinya menjadi semacam buku baboon sejarah Indonesia. Berdasarkan keputusan akhirnya pada pertengahan dekade 1970-an terbit buku “Sejarah Nasional Indonesia” terdiri dari enam jilid, yang diterbitkan oleh Balai PustakaDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada cetakan pertama, duduk sebagai editor umum adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Dalam “pemutakhiran yang dilakukan pada tahun 1984, susunan editornya berubah menjadi Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Ada pun susunan pembabakannya berdasarkan cetakan kedelapan tahun 1993 adalah sebagai berikut: Jilid I Jaman Prasejarah di Indonesia Jilid II Jaman Kuno (awal M – 1500 M) Jilid III Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (±1500-1800) Jilid IV Abad Kesembilanbelas (± 1800-1900) Jilid V Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (±1900-1942) Jilid VI Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (±1942-1984

6

Ternyata terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Selain banyak yang pro dan kotra terhadap buku tersebut, juga dalam praktiknya masaih banyak buku ajar sejarah, terutama untuk sekolah-sekolah menengah yang terpengaruh oleh tulisan Stapel dkk, atau tidak jelas dalam pembabakaannya. Sebagai contoh kesalahan dalam membuat pembabakan itu nampak pada buku ajar Sejarah Indonesia untuk SMU yang diterbitkan oleh penerbit Bumi Aksara. Penulis buku itu membagi periodisasi Sejarah Indonesia sebagai berikut: I. Zaman Prasejarah, yaitu zaman ketika orang belum mengenal tulisan yang diakhir pada abad ke-4 Masehi II. Zaman Proto Sejarah yaitu zaman ambang sejarah. Pasa zaman ini sudah ada tulisan-tulisan, tetapi sumber tulisan itu dari luar negeri dan beritanya samarsamar. III. Zaman Sejarah, yaitu zaman di mana orang sudah mengenal tulisan, yang memberi keterangan tetang peristiwa-peristiwa masa lampau. a. Indonesia abad ke-1 s/d abad ke-14 disebut Zaman Kuno yang membicarakan

masa

berkembangnya

kebudayaan Indonesia

yang

dipengaruhi agama Hindu dan Buda b. Indonesia abad ke-15 s/d abad ke -18 disebut Zaman Baru yang membicarakan masa berkembangnya budaya Islam sampai jatuhnya Mataram dan Banten ke tangan imperialis Belanda c. Indonesia sesudah abad18 disebut Zaman Modern Dari contoh ini terlihat penulis buku tidak konsisten dengan konsep yang dibuatnya dalam menentukan periodisasi. Dia menyebutkan bahwa sejarah Indonesia dimulai sejak abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (hal yang sudah menjadi kesepakatan umum). Jadi dasar pembabakannya itu jelas adalah adanya bukti tertulis atau budaya aksara. Pada babak ke-1 “Zaman Prasejarah” konsep itu tercermin cukup jelas. Namun pada babak ke-2 “Zaman Proto Sejarah” konsepnya itu menjadi kabur. Babak kedua ini tidak lagi didasarkan pada keberadaan bukti tertulis itu sendiri melainkan atas dasar asal bukti tertulis tersebut, yaitu dalam negeri (kepulauan Indonesia)

7

dan luar negeri (luar kepulauan Indonesia). Ketidak jelasan itu juga terlihat pada babak ke-3 “Zaman Sejarah”. Meskipun zaman ini disebutkan dimulai sejak abad ke-4 M, namun dalam sub “a” yang diberi nama “Zaman Kuno”, dia menyebutkan bahwa zaman kuno yang nota bene tercakup dalam zaman sejarah, diawali pada abad pertama Masehi (kemungkinan besar kesalahan ini karena dia mengutip begitu saja pembabakan yang ada dalam buku Sejarah Nasional Indonesia). Terlepas dari masih adanya polemic sekitar buku Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid, pembabakan dalam tulisan sejarah pada hakekatnya dapat disusun berdasarkan kronologis atau tematis. Susunan secara kronologis artinya setiap babak disusun berdasarkan penggalan-penggalan waktu kejadian sebenarnya. Pembabakan secara kronologis ini terutama sangat membantu untuk penulisan sejarah yang mencakup kurun waktu yang panjang seperti sejarah umum, sejarah nasional atau sejarah dunia. Misalnya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya M.C. Ricklefs yang diterbitkan oleh Serambi tahun 2005. Struktur tulisannya adalah sebagai berikut: I.

Lahirnya Zaman Modern

II.

Perjuangan Merebut Hegemoni, ± 1630-1800

III.

Pembentukan Negara Jajahan, ± 1800-1910

IV.

Munculnya Konsepsi Indonesia ± 1900-42

V.

Runtuhnya Negara Jajahan ± 1942-50

VI.

Indonesia Merdeka

Sedangkan pembabakan secara tematis akan sangat membantu jika tulisan sejarah itu semacam studi kasus atau kajian khusus yang durasinya relative singkat namun permasalahannya cukup rumit dan mendalam. Contoh tulisan itu antara lain Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1984. Ada pun struktur penulisannya adalah sebagai berikut: Bab I Pengantar Bab II Latar Belakang Sosio-Ekonomis Bab III Perkembangan Politik

8

Bab IV Keresahan Sosial Bab V Kebangunan Agama Bab VI Gerakan Pemberontakan Bab VII Pemberontakan Dimulai Bab VIII Penumpasan Pemberontakan dan Kelanjutannya Bab IX Kelanjutan Pemberontakan Bab X Akhir Kata

1.3. Metodologi Sejarah Pada dasarnya untuk mengetahui masa lampau manusia adalah dengan cara mempelajari peninggalan-peninggalannya, baik berupa dokumen, artefak, maupun keterangan lisan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, diperlukan suatu metode yang baik pula serta (kalau perlu) teori-teori tertentu yang tepat guna. Metode penelitian dalam ilmu sejarah disebut metode sejarah, yang cara kerja mempunyai cirri yang berbeda dengan metode penelitian bidang ilmu lain. Metode Sejarah merupakan suatu cara untuk mengetahui otensitas tidaknya satu dokumen, benar atau tidaknya isi dokumen, serta relevan tidaknya dengan permasalahan yang hendak dituliskan sebagai karya sejarah. Dalam proses kerjanya memperlihatkan tahap-tahap mulai dari yang teoritis sampai pada pelaksanaan teknis yang diterapkan dalam penelitian dan penulisan sejarah. 1.3.1. Metode Sejarah Dalam proses kerjanya, metode sejarah memiliki pentahapan yang sebaiknya diikuti dengan baik. Ada pun tahap-tahap penelitiannya itu adalah sebagai berikut: 

heuristik, yaitu suatu kegiatan yang berkaitan dengan upaya mencari dan menemukan data-data mentah (raw material) sesuai dengan tujuan dari penelitian itu yang tertera dalam proposal atau outline penelitian yang telah disusun sebelumnya. Bentuk sumber sejarah adalah: tekstual (dokumen,

9

Koran, majalah dan bentuk teks lainnya) dan nontekstual (foto, gambar, peta, karikatur sezaman), lisan, kebendaan, dan audiovisual. 

Verifikasi, yaitu mencakup kritik ekstern dan intern sumber sejarah. Dalam tahap ini peneliti melakukan penyeleksian data yang ditemukannya melalui suatu proses pengujian terhadap data-data tersebut, baik dari segi materi maupun isinya. Jika yang diuji itu arsip atau dokumen, maka yang dimaksud materi di sini adalah jenis kertasnya dan tintanya. Apakah benar kertas atau tintanya berasal dari zamannya. Jika sumber sejarah itu merupakan sumber lisan, maka yang diuji adalah orangnya, apakah orang tersebut betul pelaku atau orang yang menyaksikan langsung, serta cukup sehatkah untuk diwawancara. Setelah data-data tersebut teruji, kemudian dinilai apakah datadata itu relevan dengan permasalahan yang hendak ditulis, baik dari segi tema, maupun periodenya. Data-data yang telah teruji dan terpilih inilah yang kemudian disebut sebagai fakta sejarah.



Interpretasi atau eksplanasi yaitu proses menafsirkan atau pemberian makna serta merangkaikan unsur-unsur yang telah diperoleh dari tahap-tahap sebelumnya, dengan tujuan untuk memperoleh kumpulan fakta yang memiliki arti (fact of meaning). Berkaitan dengan masalah interpretasi dan eksplanasi ini ada berbagai metode atau pendekatan yang dapat dipergunakan, seperti metode naratif (history of event), struktural, dan strukturistik. Keberhasilan penggunaan ketiga metode ini pada dasarnya sangat tergantung dari sifat obyek penelitiannya.



Historiografi yaitu proses penulisan sejarah yang bertolak dari fakta-fakta yang telah teruji dan terangkai tadi. Dalam proses penulisan ini, penguasaan sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi mutu karya yang dihasilkannya.

1.3.2. Teori Sejarah Pokok masalah dalam teori sejarah adalah kebenaran dari pengetahuan yang dihasilkan oleh para ahli sejarah yang dilandasi oleh berbagai bentuk eksplanasi. Secara

10

umum teori sejarah dapat dibagi dua bagian, yaitu teori sejarah spekulatif dan kritis. Sejarah spekulatif umumnya dianut oleh para sejarawan yang menyatukan sejarah dengan filsafat. Dalam hal ini sejarah merupakan ungkapan dari suatu pandangan filsafah mengenai perkembangan ummat manusia. Paling tidak ada tiga macam pertanyaan yang umum diajukan oleh para penulis sejarah spekulatif, yaitu : 1. Pola macam apa yang perlu diamati dalam proses sejarah 2. Mana “motor” yang menggerakkan sejarah 3. Apa dan bagaimana sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah. Para sejarawan Marxis dapat dikatakan merupakan salah satu contoh model sejarah spekulatif. Mereka melihat faktor “pertentangan kelas” menjadi “motor” dari proses sejarah. Penganut lainnya adalah Hegel, Spengler, dan Toynbee (Ankersmit, 1987: 17). Bertolak dari tiga pertanyaan itu mereka membahas proses sejarah tidak sekedar apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi seringkali juga mengungkapkan semacam prediksi, apa yang harus terjadi. Seperti tercermin dalam ketiga macam pertanyaan tadi, nampak bahwa sistem sejarah spekulatif sering membicarakan masa depan. Adapun sejarah analitis justru memisahkan antara sejarah dan falsafah. Aliran ini terutama berkembang pada sejarawan empirik. Bagi kalangan ini, ilmu sejarah adalah kaidah-kaidah ilmiah untuk membuktikan adanya masa lampau. Mereka menolak anggapan bahwa tugas sejarawan adalah mengungkapkan masa lampau sesuai dengan falsafah tertentu. Bagaimana membuktikan adanya masa lampau melalui berbagai peninggalan masa yang bersangkutan itulah yang menjadi inti persoalan teori sejarah. Oleh karena banyak cara yang diajukan, maka tidak mengherankan jika sampai sekarang berkembang pula teori-teori sejarah. Salah seorang filsuf sejarah membedakan empat teori pokok yang sampai sekarang muncul di kalangan sejarawan, yaitu “narrativisme”, “hermeneutika”, “kasualitas” dan “covering law model” (Ankersmith, 1987). Meskipun pada dasarnya keempat teori tersebut bersandar pula pada suatu pandangan tertentu, namun keempatnya dapat diterima sebagai patokan kerja. Para sejarawan menyadari pula bahwa dari keempat teori itu telah berkembang berbagai kombinasi, terutama antara teori yang disebut

11

pertama sampai ketiga. Kombinasi-kombinasi itu merupakan terobosan-terobosan yang diupayakan untuk menembus berbagai kendala yang masih menyelimuti masa lampau manusia yang diakibatkan oleh lemahnya atau terbatasnya data-data dari masa lampau. 1.3.3. Subyektivitas dan Obyektivitas Sejarah Salah satu perbedaan pokok yang sering mencuat di kalangan sejarawan, terlepas apakah ia menggunakan teori baku seperti kasualitas, narrative, atau kombinasikombinasinya, adalah masalah obyektivitas dan subyektivitas. Ada yang berpendapat bahwa pengetahuan kita tentang masa lampau adalah subyektif dan ada pula yang menilainya obyektif. Perbedaan ini muncul terutama karena adanya pandangan yang berbada mengenai sifat-sifat peninggalan masa lampau. Kelompok yang berpandangan subyektif adalah yang menganggap bahwa peninggalan itu hanya sekedar lambang atau wakil dari masa lampau, yang tidak mempunyai nilai obyektif sendiri. Artinya peninggalan tersebut tidak dapat mengatakan kepada kita yang hidup di masa kini mengenai apa yang terjadi pada masa lampau. Dengan kata lain fakta-fakta itu hanya terdapat dalam alam pikiran para sejarawan yang menelitinya. Para sejarawanlah yang membuat peninggal-peninggalan masa lampau itu “berbicara”. Sementara itu kelompok sejarawan yang berpandangan obyektif menganggap bahwa peninggalan-peninggalan itu sudah merupakan kenyataan dari masa lampau. Artinya peninggalan-peninggalan itu sudah berbicara tentang masa lampau. Oleh karena itu fakta-fakta yang ditampilkan merupakan evidensi itu sendiri, bukan hasil rekayasa para sejarawan dan selalu mengacu ke masa silam. Dalam praktek, pengertian subyektif dan obyektif dapat disamakan dengan terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh nilai-nilai tertentu dari obyek yang ditelitinya. Bila seorang sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan sehingga terlihat dalam karya sejarahnya, maka pelukisan sejarahnya disebut subyektif. Sebaliknya bila seorang sejarawan mampu menjaga jarak dari obyek yang ditelitinya sehingga nilai-nilai politik dan etisnya tidak larut dalam eksplanasi karyanya, maka pelukisan sejarahnya itu disebut subyektif.

12

Golongan obyektivitas menganut pandangan realis mengenai sejarah dan mengggap peninggalan masa lampau sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan subyektif menganut pandangan idealis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa lampau sebagai evidensi sejarah (barang bukti). Dengan adanya dua sudut pandang ini, ditambah dengan adanya perkembangan teori dan metodologi sejarah, maka penulisan sejarahpun semakin berkembang dan bervariasi pula. Jika pada abad ke-19 dan sebelumnya jenis “sejarah politik” seakan-akan satu-satunya karya sejarah yang absah, maka sejak awal abad ke-20 berbagai tema sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau manusia seperti sejarah sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah mentalitas dll.

1.4. Historiografi 1.4.1. Zaman Yunani-Romawi. Dalam masalah sejarah penulisan sejarah (historiografi), para pakar sejarah umumnya melihat kepada historiografi Eropa karena dari wilayah inilah bermula munculnya tradisi penulisan sejarah, khususnya sejarah sebagai kajian ilmiah. Di Yunani tradisi penulisan itu sudah dimulai yang disusun dalam bentuk puisi, misalnya karya Homer, yaitu Illiad-Odessy yang menceritakan kehancuran kerajaan Troya tahun 1200 SM. Meskipun karya ini bertolak dari suatu kenyataan masa lampau, namun budaya zaman yang hidup waktu itu telah membuat karya lebih menyerupai mitologi daripada karya sejarah. Banyak aspek supernatural dipergunakan sebagai dasar penjelasannya mengenai sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Seperti telah disinggung di atas, penulisan sejarah yang lebih rasional baru muncul sekitar abad ke-5 SM, yaitu dengan terbitnya karya Herodotus yang disusul oleh karya Thucydides. Tradisi Yunani itu kemudian dijadikan model oleh para sejarawan Romawi, antara lain oleh Polybius (orang Yunani yang dibesarkan di Roma). Ia banyak menulis tentang masa akhir Yunani sampai awal berdirinya Romawi. Penulis Romawi sendiri antara lain: Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (ca. 86-34 SM), Titus Livius (59 SM-17 M), dan Pablius Cornelius Tacitus (ca. 55-120 M).

13

Julius Caesar adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi kaisar, menulis Commentaries on Gallic War, yang merupakan memoir tentang suku Gallia, dan civil War yang merupakan penjelasan mengenai sebab-musabab terjadinya perang Gallia, sekaaligus tentang adat-istiadat suku tersebut. Sallustius terkenal dengan monografi dan biografinya. Bentuk karya yang disebut terakhir sekaligus menjadi salah satu 14irri bagi penulisan sejarah era Romawi. Ia menulis history of Rome, Conspiracy of Catiline, Jugurtbine War. Analisanya dinilai cukup netral, namun saying dia ceroboh dalam masalah kronologi dan geografi sehingga mengurangi nilai karyanya itu. Livius merupakan salah satu contoh penulis yang hampir sepenuhnya menggunakan model Yunani. Dalam pembuktiannya ia lebih banyak mengemukakan retorika sehingga mengorbankan kebenaran sejarah. Karyanya tentang berdirinya kota Roma merupakan campuran antara data factual dan fantasi. Tacitus menulis Annals, Histories, dan Germania. Karyanya itu merupakan paduan antara karya Livius yang cenderung pada retorika dan Polybius yang cenderung pada sejarah. Ia tercatat sebagai orang pertama yang melukiskan sebab moral runtuhnya kekaisaran Romawi.

1.4.2. Zaman Abad Pertengahan. Tradisi Yunani yang dilanjutkan oleh Romawi itu kemudian terhenti oleh kemenangan Kristen di Eropa. Kebudayaan Yunani-Romawi yang bertumpu kepada kekuatan akal dianggap sebagai hasil setan karenanya harus ditolak dan digantikan dengan kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan supernatural. Menurut pandangan yang disebut terakhir, sejarah tidak bisa dipisahkan dari teologi atau agama. Sebagai contoh dalam periodisasi atau pembabakan sejarah disesuaikan dengan ajaran yang ada pada kitab Injil (Perjanjian Baru). Sebagai contoh adalah skema periodesasi yang disusun Augustine: --O------- 1 ----0------ 2 -------0------ 3------0------- 4 -----0---- 5 -------0---- 6 ------0-------Adam----------Nuh--------Ibrahim-------- Daud ---------Babylonia ----Jesus----- kedatangan

14

Jesus ke-2 The City of God adalah karya Augustine (ca. 354-430 M) yang merupakan filsafat sejarah Kristen yang cukup berpengaruh, khususnya pada abad pertengahan yang sering dikenal dengan sebutan “Abad Kegelapan” (The Dark Ages) yang melahirkan struktur masyarakat feudal di Eropa. Menurut pandangan Kristen orang harus memilih antara Tuhan dan setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci akan dimenangkan oleh Tuhan. Pada masa ini pusat penulisan sejarah terdapat di gereja dan Negara dengan pendeta dan raja sebagai pelaku utama. Tinjauan kritis dan netral yang didukung oleh data-data faktual tidak terlihat pada zaman Kristen di Abad Pertengahan ini. Karya-karya yang lahir pada abad-abad ini antara lain: Chronographia karya Sextus Julius Africanus (ca. 180-250 M) yang mengungkapkan bahwa dunia diciptakan Tuhan pada 5499 SM; Seven Books Against the Pagan karya Paulus Orosius (ca. 380-420 M) murid Augustine, yang menguangkapkan pembelaannya atas peradaban Kristen yang dituduh sebagai penyebab runtuhnya Romawi (Barat) pada abad ke-5 M. Dalam karyanya itu itu Orosius mengatakan bahwa keruntuhan paganisme sudah menjadi kehendak Tuhan, karena orang-orang kafir itu akan runtuh.

1.4.3. Zaman Renaissance, Reformasi dan Kontra Reformasi. Sejalan dengan semakin pulihnya keamanan dan perdagangan di Eropa, sekaligus sebagai pertanda berakhirnya Abad Pertengahan pada abad ke-15, untuk memasuki era Renaissance. Pada era ini semangat paga dan kebudayaan klasik Yunani-Romawi menjadi model. Corak penulisan sejarah pun kembali mengalami perubahan. Pembuktian kebenaran sejarah tidak lagi bersandar pada wahyu melainkan pada akal, teologi yang dogmatis diganti dengan ilmu. Hal ini antara lain tercermin dari karya Lorenzo Valla (1407-1457) yang menulis The History of Ferdinand I of Aragon, The History of Ferdinand I of Aragon, yang berupaya membuktikan bahwa berita kaisar Konstantinus (memerintah 305-337) telah memberikan hak politik kepada paus adalah tidak palsu. Meskipun kebenaran yang dikemukakannya juga dapat disangkal oleh yang lain, namun keberaniannya dalam melakukan kritik merupakan satu langkah yang maju waktu itu.

15

Dekonstruksi terhadap historiografi Abad Pertengahan berlanjut pada masa “Reformasi”. Hal ini antara lain tercermin dari karya lacich Illyricus (1520-1575), Magdeburg Centuries yang merupakan sejarah polemik. Dalam bukunya itu ia banyak menyerang institusi kepausan dari segi hukum dan konstitusi. Buku ini benyak dikecam oleh gerakan “kontra Reformasi” yang berupaya menegakkan kembali kewibawaan gereja Katholik yang dinilai telah dirusak oleh gerakan Reformasi. Cardinal Caesar Baronius (1538-1607) misalnya menulis buku Ecclesistical Annals yang merupakan jawaban langsung terhadap tuduhan dari buku Magdeburg Centuries. Tulisannya itu jelas merupakan karya yang memihak dan apologetis, yang banyak mengalihkan isu yang penting ke isu sekunder yang tidak relevan. Meskipun demikian nilai buku itu cukup tinggi, terutama dalam penggunaan sumber datanya.

1.4.4. Dari Rasionalisme ke Liberalisme. Seperti telah disinggung di atas, dari segi pengungkapan kebenaran sejarah, model Yunani dengan retorikanya masih cukup Nampak pada abad ke-17 dan ke-18. Abad ini yang sering disebut sebagai Abad Rasionalisme-Pencerahan telah melahirkan banyak karya, misalnya: Essay on the manners and spirit of the Nation karya Voltaire (16971778) yang terbir pada tahun 1756. Buku ini merupakan sejarah umum yang membeberkan sumbangan bangsa-bangsa Timur dan Islam terhadap peradaban dunia dan Eropa; History of England from the Invasion of Julius Caesar to the Revolution of 1698 karya David Hume (1711-1776); dan The History of the Decline and Fall of the Roman Empire karya Edward Gibbon yang terbit pada tahun 1776. Seperti telah disinggung di atas, Gibbon merupakan sejarawan pertama yang menggunakan eviden (dokumen) untuk pembuktian kebenaran sejarah. Selain gayanya yng berbeda, akurasinya dalam penulisan yang didukung dengan bukti-bukti membuat karyanya menjadi penting dan ‘abadi’ dalam historiografi dunia. Meskipun ia tergolong sejarawaan rasionalis, namun dalam menulis tentang kemunculan agama Kristen di dunia Barat cukup obyektif, demikian pula mengenai sumbangan Islam pada peradaban dunia. Historiografi pada abad ke-19 ditandai dengan beberapa cirri yang cukup menonjol, antara lain: (1) penghargaan kembali pada Abad Pertengahan, (2) munculnya

16

liberalism, (3) munculnya filsafat sejarah, dan (4) nasionalisme. Sejarah yang bersifat nasionalistis misalnya Address to the German Nation karya Johann Gottlieb Fitchte (1762-1814). Dalam buku ini ia mengemukakan perbedaan antara orang-orang Jerman yang disebutnya Urvolk alias bangsa yang masih murni dan orang-orang Eropa selatan yang disebutnya Mischvolk alias bangsa campuran yang sedang mengalami keruntuhan. Tulisannya itu telah member dorongan timbulnya nasionalisme Jerman. Abad 19 selain melahirkan Leopold von Ranke yang dianggap sebagai bapak sejarah science, juga melahirkan banyak pemikir-pemikir sejarah (filsafat sejarah) yang berpengaruh pada perkembangan teori dan metode sejarah pada tahun-tahun berikutnya. Misalnya: Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang menulis buku Philosophy of History. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sejarah itu naju dengan cara dialeksis. Diawali dengan tesis yang mendapat perlawanan dari satu kekuatan yang disebut anti-tesis. Dari pertarungannya itu melahirkan sintesis sebagai tujuan akhir. Pada gilirannya nanti sintesis ini akan berubah menjadi tesis baru, yang kemudian berproses sampai menghasilkan sintesa baru, dst. Heinrich Karl Marx (1818-1883) memakai dialektika Hegel, dengan proletariat sebagai sarana pembebasan manusia. Pengaruh filsafat sejarah Hegel ini antara lain nampak pada karya Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man yang terbit pertama kali pada tahun 1992. Dalam karyanya itu Fukuyama menginterpretasikan perkembangan masyarakat dunia (masa kontemporer) didorong oleh dua faktor, yaitu (1) perkembangan ekonomi yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan (2) keinginan untuk diakui, dihargai, dan persamaan hak. Kedua faktor inilah yang sering digugat oleh sistem komunis yang dapat dinilai sebagai kekuatan anti-tesis yang kemudian menghasilkan tujuan akhir sejarah manusia, yaitu masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberalnya. Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranke mulai diragukan, sebab menulis sejarah “sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan dengan psikologi. Sadar atau tidak, setiap orang yang menulis pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang tinggal dipasang saja, melainkan fakta yang dipilih dengan sengaja oleh sejarawan. Seperti dikemukakan oleh Carl L.

17

Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah ilusi. Sementara itu James Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa sejarah kritis kita hanya dapat menangkap “permukaan”, tidak dapat menangkap realitas di bawah dan tidak dapat memahami perilaku manusia. Atas dasar pemikiran itu maka muncul gagasan baru tentang perlunya “sejarah baru” atau “new perpective on historical writing”. Berbeda dengan historiografi modern yang dipelopori Ranke yang menekankan kritik, maka sejarah baru menekankan perlunya penggunaan ilmu-ilmu sosial, sekaligus mendekatkan kembali ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sehingga seringkali sejarah baru itu disebut sebagai “sejarah sosial”.

1.4.5. Historiografi Indonesia. Penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan HinduBuddha

berkembang di kepulauan Indonesia,

misalnya

“Pararaton”,

“Negara

Kertagama”, dan “Carita Parahiyangan”. Demikian pula era kesultanan atau kesunanan yang bercorak Islam, terbit misalnya; “Hikayat Tanah Hitu”, “Tuhfat al Nafis”, “Babad Tanah Jawi”, dan “Babad Kraton”. Akan tetapi karya-karya para “sejarawan” atau tepat para pujangga dinilai kurang bernilai sejarah karena sarat dengan mitos-mitos seperti halnya historiografi Abad Pertengahan di Eropa. Sifatnya primordial atau istana sentries, legitimasi, anakronis, dengan sumber data yang seringkali sulit dilacak serta analisa sebab-musabab supernaturalnya. Oleh karena itu pada awalnya tidak sedikit sejarawan akademik yang menilai karya-karya seperti itu tidak patut dijadikan sebagai referensi penelitian sejarah ilmiah. Salah satu pujangga istana Surakarta, Yasadipura (1729-1805) barangkali dapat disebut sebagai ‘sejarawan’ yang mulai mengkaji kembali karya-karya historiografi tradisional Indonesia. Ia menulis Babad Giyanti yang merupakan penafsiran kembali karya-karya yang lebih tua, yang disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Kemudian pada abad ke-19 beberapa pelaku sejarah juga menuliskan sejarahnya, seperti Pangeran Dipenogoro menulis Babad Dipenogoro, yang ditulisnya pada tahun 1835, semasa dia berada di pengasingan. Mungkin saja masih banyak pujangga dan pelaku sejarah

18

Indonesia yang menulis, namun sejalan dengan perkembangan dunia kolonial, penelitian, pengumpulan data dan komunikasi pemikiran sejarah pada abad ke-19 hampir sepenuhnya berada di tangan orang-orang Belanda/Barat. Selain itu mereka mempunyai tradisi dalam historiografi kolonial yang cukup lama Oleh karena itu pada masa kolonial, sejarah dianggap benar dan penting-bahkan oleh orang-orang Indonesia berpendidikanadalah “babad londo” dengan tokoh-tokohnya yang berkuasa seperti gubernur jenderal dan para residennya, bukan sultan, susuhunan, kiai atau pemimpin Indonesia lainnya. Awal abad ke-20 perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat dapat dikatakan sebagai orang Indonesia pertama yang melakukan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Karyanya, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) sebenarnya merupakan studi filologis yang menggunakan historiografi tradisional sebagai obyeknya. Kemudian pada tahun 1936 giliran saudaranya, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang menerbitkan karya

biografinya,

Kenang-kenangan

Pangran

Aria

Achmad

Djajadiningrat

(Herrineringen van Pangran Aria Achmad Djajadiningrat) dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda. Sejalan dengan berkembangnya metode kritis, perkembangan nasionalisme Indonesia yang berkembang sejak awal tahun 1920-an, membutuhan pula sejarah yang dapat menunjukkan identitas dan simbol keindonesiaan. Semangat inilah yang mendorong penulisan sejarah dengan pendekatan “Indonesia sentries” menggantikan sudut pandang “Eropa sentries” atau “Belanda sentries” yang berkembang waktu itu. Namun seperti dikemukakan oleh Coolhaas bahwa harapan penulisan sejarah Indonesia akan sulit berkembang mengingat orang-orang Indonesia masih sedikit yang terlibat secara aktif dalam politik. Kenyataannya memang demikian, sampai meletusnya Perang Dunia II karya-karya sejarah kolonial masih mendominasi, di antaranya karya FW Stapel dkk, Geschiedenis van Nederlandsch-Indiё, yang mempunyai pengaruh besar terhadap penulisan sejarah Indonesia kemudian, terutama buku-buku ajar sejarah pada tingkat sekolah menengah. Setelah proklamasi kemerdekaan literatur

sejarah Indonesia

mengalami

“booming”. Semangat nasionalisme yang berkobar-kobar dalam periode post kolonial

19

telah mendorong diterbitkannya buku-buku sejarah yang “Indonesia Sentris”. Oleh karena itu pada periode post revolusi ini banyak diterbitkan biografi tokoh-tokoh maupun pahlawan nasional seperti: Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku dan Diponegoro karena obyek-obyek penulisan seperti ini yang mampu menunjukkan identitas dan symbol keindonesiaan. Demikian pula sejarah perlawanan terhadap penjajah, seperti Perang Dipenogoro, Perang Aceh, Perang Padri, pergerakan nasional dan sebagainya menempati posisi yang sama seperti biografi para tokoh tadi. Tidak sedikit politisi aktif yang ikut menulis sejarah seperti Mr. Muhammad Yamin menghasilkan beberapa karya sejarah, antara lain 6000 Tahun Sang Merah Putih, atau menuliskan memoarnya, seperti TB Simatupang menulis Laporan dari Banaran (1960) Semangat patriotisme yang berkobar-kobar namun tidak disertai dengan penguasaan metode sejarah teknis membuat banyak karya sejarah terbit pada periode ini sulit dipertanggungjawabkan dengan metode kritis. Dapat dikatakan sebagian besar karya sejarah waktu itu tidak lebih dari sejarah kolonial yang diputar balik peranan pelakunya, dari “pemberontak” menjadi “pahlawan”, dari “jahat” menjadi “baik”, dari pemberontak Diponegoro menjadi pahlawan Diponeogoro dan seterusnya. Karena itu pula banyak kritik terhadap karya seperti itu. Tidak sedikit pula sejarawan asing yang pesimistis terhadap obyektivitas sejarah yang “Indonesia sentries”. Pesimistis yang sempat berkembang itu kemudian menghilang sejalan dengan dibukanya kembali program studi sejarah di beberapa perguruan tinggi Indonesia. Pada tahun 1966 terbit buku The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel (terjemahannya, Pemberontakan Petani Banten 1888 terbit pada tahun 1984) karya Sartono Kartodirdjo. Dengan karyanya ini, yang disusul oleh karyanya yang lain seperti Protest Movement in Rural Java (1973), Sartono menawarkan alternatife dan perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai sejarah sosial. Meskipun sudah muncul alternatif baru dengan multidimensinya, namun sampai sampai dekade 1970-an, sejarah politik-khususnya masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan- masih cukup dominan. Pada tahun 1977-1979 terbit secara bertahap karya monumental AH Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia yang

20

terdiri dari 11 jilid. Buku ini banyak memberikan informasi tentang jalannya perang pada periode 1945-1949, Namun buku yang cukup tebal ini mempunyai satu kelemahan yang cukup mendasar, yaitu dalam masalah sumber data. Dalam waktu yang hampir sama terbit kumpulan biografi singkat dari berbagai tokoh yaitu Manusia Dalam Kemelut Sejarah (1978). Buku ini semula adalah artikel-artikel yang dimuat dalam majalah Prisma No.8 tahun 1977. Setelah itu pada tahun 1979 terbit buku Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto yang merupakan studi akademik pertama tentang masa pendudukan Jepang yang dikalakukan oleh orang Indonesia. Meskipun ada perkembangan dalam penulisan sejarah Indonesia, namun banyak orang Indonesia yang menilai penulis-penulis asing masih lebih baik dalam tulisan sejarah yang bertema “perang kemerdekaan Indonesia”, misalnya Nationalism and Revolution in Indonesia (1970) karya George Mc T Kahin dan Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (1972) karya BROG Anderson. Demikian pula dengan sejarah sosial Indonesia, sampai akhir dekade 1970-an masih lebih banyak ditulis oleh peneliti asing, di samping beberapa orang Indonesia dalam bentuk disertasi, misalnya Onghokham (1975) yang menulis tentang Madiun pada abad ke-19, yang sampai akhir hayatnya belum sempat diterbitkan. Selain itu, dalam dekade 1970-an, tepatnya tahun 1977 terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh Balai PustakaDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini merupakan karya bersama sejarawan Indonesia waktu itu dalam upaya mewujudkan sejarah nasional. Duduk sebagai editor umumnya adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Di satu pihak kehadiran buku SNI berhasil menjawab kebutuhan akan adanya buku sejarah Indonesia yang “nasionalistis”; namun di pihak lainnya telah mengundang polemik dan keprihatinan dari beberapa sejarawan lainnya. Buku SNI dinilai masih mengandung banyak kelemahan, baik dari segi metode maupun data faktualnya.. Keprihatinan inilah antara lain yang menjadi salah satu faktor untuk menulis buku sejarah nasional sejenis yang lebih baik. Upaya itu mulai dirintis sejak penghujung abad ke-21. Para sejarawan yang dimotori oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr.

21

A.B. Lapian yang bertindak sebagai editor umum, merencanakan untuk menulis sejarah Indonesia yang nantinya terdiri dari 8 jilid (plus satu jilid tambahan). Di luar keprihatinan itu, sebenarnya perkembangan historiografi Indonesia tidaklah sesuram itu. Justru sejak akhir abad ke-20 telah berkembang pula penulisan sejarah dengan pendekatan baru. Namun perkembangan itu luput dari pengamatan para pakar sejarah, karena sebagian besar lebih tertarik untuk mengamati dan mendekonstruksi sejarah politik masa Orde Baru, khususnya yang menyangkut tema sekitar “Gerakan September Tiga Puluh” atau “G-30-S PKI”. Metode baru itu, yaitu metode strukturistik, dapat dikatakan semacam jembatan antara metode naratif dengan metode struktural. Perintis pendekatan strukturistik di Indonesia adalah R.Z. Leirissa dari Universitas Indonesia. Penggunaan metode strukturistik itu terlihat dalam beberapa karyanya seperti Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) dan Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006).

22

1.5. Rangkuman 

Sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.



Penguasaan teori dan metodologi sangat berpengaruh terhadap mutu penulisan sejarah



Historiografi Indonesia modern mulai berkembang sejak awal abad ke-20 yang ditandai dengan terbitnya karya Husein Djajadinigrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) dan semakin berkembang sejalan dengan dibukanya program-program studi sejarah pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia.

1.6.Latihan 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu sejarah 2. Tunjukkan bentuk sejarah tekstual dan nontekstual 3. Buatlah laporan sebuah biografi pahlawan Indonesia 1.6.1.Tes Formatif a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “zeitgeist”? b. Jelaskan bagaimana cara pembuktian kebenaran sejarawan Yunani dibandingkan sejarawan masa kini? c. Mengapa Leopold von Ranke diberi gelar bapak sejarah akademik (father of historical science)? d. Jelaskan bagaimana cara kerja filsafat Hegel dalam membuktikan kebenaran sejarah? e. Jelaskan mengapa historiografi tradisional Indonesia dinilai tidak patut dijadikan sebagai sumber data atau bahan referensi sejarah? f. Coba sebutkan beberapa buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan Indonesia, yang bertemakan perang kemerdekaan atau revolusi Indonesia?

23

Daftar Sumber Abdulah, Taufik, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (red), Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978. Barraclough, Geoffrey, Main Trends in History. New York-London: Holmes & Meier, 1991. Bentley, Michael, Modern Historiography An Introduction. London-New York: Routledge, 2006. Breisach, Ernst, Historiography: Ancient, Medievel, & Modern.Chicago-London: The University of Chicago Press, 1983. Frederick, William H., Soeri Soeroto (peny.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES, 1982. Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Terjemahan oleh H.M. Amarullah) Yogyakarta: Qalam, 2004. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006. Kahin, Goerge Mc T., Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca-London: Cornell University Press, 1970. Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982. ---------------, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. (terjemahan oleh: Hasan Basari) Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. ---------------, Protest Meovement in Rural Java. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 1995. Leirissa, R.Z.,Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. ---------------, Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sejarah, 2006. Lloyd, Christopher, The Structures of History. Oxford-Cambridge: Blacwell, 1993. Notosusanto, Nugroho, Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1979. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

24

BAB II PEMBENTUKAN BANGSA INDONESIA

2 .1. Pendahuluan

2.1.1. Deskripsi Singkat Pertemuan ini akan memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat memahami proses pembentukan bangsa Indonesia. Uraian dimulai sejak pra-Indonesia, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuna pada abad ke-5 Masehi hingga tahun 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan. Di sini juga dikemukakan nama ”Indonesia” yang diciptakan oleh J.R. Logan pada pertengahan abad ke-19 dan nama atau “Indonesia” sebagai konsep ketatanegaraan yang dibuat Perhimpunan Indonesia.

2.1.2. Manfaat Manfaat utama bagi mahasiswa setelah mempelajari bab ini adalah agar mereka memahami bagaimana proses terbentuknya bangsa dan negara

Indonesia yang

memakan waktu panjang.

2.1.3. Tujuan Instruksional Khusus Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: 1. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Indonesia 2. Memahami penciptaan nama “Indonesia” dan konsep ”Indonesia” sebagai konsep ketatanegaraan. 3. Lahir dan perkembangan nasionalisme Indonesia 4. Terbentuknya bangsa dan negara Indonesia

25

2.2. Pra-Indonesia Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa dan negara Indonesia resmi terbentuk sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Pembentukan bangsa dan negara Indonesia melalui suatu proses yang panjang, mulai 1908, sejak bangkitnya nasionalisme Indonesia yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo (BU), organisasi pertama bangsa Indonesia. Sebelum 1908 merupakan masa pra-Indonesia yang sejarahnya dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada Abad ke-5 Masehi. Adanya perang-perang antara raja-raja dan pemimpin rakyat melawan penguasa asing yang berlangsung sejak abad ke17 hingga abad ke-19 menunjukkan adanya proto nasionalisme di kalangan mereka. Walaupun perang-perang itu hanya meliputi suatu wilayah tertentu, namun karena perang itu karena adanya keinginan untuk mengusir penguasa asing dari wilayah mereka, dapat dikatakan bahwa mereka telah mempunyai rasa nasionalisme dalam bentuk awal (proto nasionalisme). Sejarah kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, kemudian Islam yang ada di wilayah Indonesia, berada pada masa pra-Indonesia. Dua kerajaan yaitu Sriwijaya di Sumatra Selatan dan Majapahit di Jawa Timur, oleh Sukarno dan Muhammad Yamin masingmasing kerajaan tersebut merupakan negara kebangsaan (nationale staat) pertama dan kedua. Muhammad Yamin juga menyebut Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Negara Kebangsaan ketiga.

2.2.1. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Masa pra-Indonesia dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan tertua, yaitu Kutai di Kalimantan Timur dan Tarumanagara di Bogor, Jawa Barat, keduanya berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan Hindu Kutai diperintah berturut-turut oleh Kundungga, Aswawarman, dan Mulawarman, sedangkan kerajaan Tarumanagara diperintah oleh Purnawarman. Pada abad ke-7 Masehi, kedua kerajaan tersebut tidak terdengar lagi beritanya. Selanjutnya, pada abad ke-7 Masehi di pantai timur Sumatra bagian selatan berdiri dua kerajaan Buddha yaitu Sriwijaya dan Malayu. Kerajaan Sriwijaya kemudian dapat mengalahkan kerajaan Malayu dan penguasa-penguasa daerah lainnya, sehingga daerah kekuasaannya meliputi seluruh pulau Sumatra dan pulau-pulau di sebelah

26

timurnya,

Semenanjung Malayu, dan sebagian Jawa Barat. Kerajaan Sriwijaya

menguasai jalar lalu lintas perdagangan antara India dan Cina dan menjamin keamanannya dari ancaman bajak laut. Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf internasional. Seorang pendeta agama Buddha yang mau belajar ke India dapat belajar lebih dahulu di Sriwijaya, kemudian baru belajar ke India. Mengenai pusat pemerintahan Sriwijaya, sampai sekarang masih diperdebatkan, namun pendapat yang kuat berada di Palembang. Pada waktu yang relatif bersamaan, di Jawa Tengah berdiri kerajaan Holing atau Kalingga. Salah seorang rajanya yang terkenal adalah Ratu Hsi-mo atau Sima, ratu yang memerintah secara adil. Putra mahkota sendiri yang tidak sengaja telah

menginjak

pundi-pundi berisi emas yang ditaruh di jalan, dihukum dengan memotong jari-jari kakinya untuk pelajaran terhadap rakyatnya. Setelah Kalingga, pada awal abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri kerajaan Mataram yang beribukota di Medang. Raja pertama, Sanjaya, menaklukkan raja-raja di sekitarnya. Penggantinya, Rakai Panangkaran, menamakan dirinya sebagai ”permata wangsa Sailendra”. Ia mendirikan candi Kalasan dan Sewu. Penggantinya lagi, Samarattungga, mendirikan candi Borobudur, Pawon, dan Mendut. Waktu pemerintahan Mpu Sindok, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur. Ada beberapa kemungkinan alasan kepindahannya, antara lain karena bencana alam, mungkin juga karena kerajaan tidak dapat hidup hanya dari hasil pertanian, melainkan perlu juga dari hasil perdagangan, dan Jawa Timur memenuhi tuntutan itu. Mpu Sindok menamakan dirinya Sri Isanawikrama mendirikan wangsa Isana yang menurunkan raja-raja di Jawa Timur sampai tahun 1222. Setelah pemerintahan Mpu Sindok, ada masa yang gelap, kemudian ada seorang raja bernama Dharmawangsa. Pada tahun 1017 ketika ia merayakan pernikahan putrinya dengan Airlangga, istana diserang, dibakar, dan ia terbunuh. Airlangga sebagai menantunya berhak naik tahta menggantikan mertuanya. Tahun 1019 Airlangga naik tahta, kemudian mengalahkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya satu per satu. Wilayah kerajaannya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan beberapa pulau di Nusa Tenggara. Pada masa pemerintahannya ditulis kekawin Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa. Untuk menghindari perang saudara, sebelum

ia meninggal kerajaan dibagi dua.

27

Pembagian kerajaan dilakukan oleh Mpu Barada. Setelah Airlangga meninggal, kerajaan pecah dua, sebelah timur dinamakan kerajaan Jenggala dan sebelah barat kerajaan Panjalu yang kemudian terkenal dengan nama Daha atau Kediri. Kerajaan Jenggala akhirnya lenyap, sedangkan kerajaan Kediri tumbuh dan berkembang. Di antara raja-raja Kediri yang terkenal karena ramalan-ramalannya adalah Jayabaya. Pada masa pemerintahannya ditulis kitab Bhratayuddha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Raja Kediri terakhir, Kertajaya, tahun 1222 dikalahkan oleh Ken Arok, penguasa bawahannya

di Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung. Kediri

dikuasai, dan lahirlah kerajaan baru, Singhasari. Ken Arok naik tahta dan menamakan dirinya Rajasa, mendirikan wangsa Rajasa yang memerintah di kerajaan Singhasari dan Majapahit. Setelah Ken Arok, penggantinya berturut-turut adalah Anusapati, Tohjaya, Ranggawuni, dan raja terakhir adalah Kertanegara. Ia dikalahkan oleh Jayakatwang, raja bawahannya, Kediri. Jayakatwang kemudian dikalahkan oleh pasukan Kubilai Khan yang sesungguhnya datang untuk menyerang Kertanegara yang telah menyakiti utusannya. Pasukan Kubilai Khan kemudian dapat dikalahkan oleh R. Wijaya, keturunan Singhasari. Tahun 1293 berdiri kerajaan Majapahit, R. Wijaya menobatkan diri menjadi raja pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia kemudian digantikan oleh putranya, Jayanegara. Setelah Jayanegara meninggal, penggantinya adalah adiknya perempuan yang bergelar Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Puncak kebesaran atau zaman keemasan Majapahit ada di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk yang didampingi oleh patihnya, Gajah Mada. Ia mengucapkan ”sumpah palapa” di hadapan raja dan para pembesar Majapahit dalam rangka melaksanakan politik nusantaranya. Dalam rangka melaksanakan politik tersebut ia menundukkan daerah-daerah yang belum bernaung di bawah Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit, luas, meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang, meliputi Sumatera di bagian barat sampai daerah Maluku dan Irian di bagian timur, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Politik untuk menguasai seluruh nusantara berakhir tahun 1357

28

sehubungan dengan terjadinya peristiwa di Bubat.1

Pada masa itu ditulis kitab

Negarakertagama oleh Mpu Prapanca. Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang-perang saudara, tidak ada raja yang kuat. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1527 dikalahkan oleh Demak.2 Bagaimana penaklukan Majapahit oleh Demak, dan bagaimana nasib para penguasa Majapahit sesudah penaklukan, tidak diketahui secara pasti.3 Di Bali, pada abad ke-9 terdapat kerajaan Singhamandawa, diperkirakan terletak di sekitar Tampaksiring. Nama raja yang memerintah antara lain Ratu Sri Ugrasena, sesudah itu raja yang memerintah memakai gelar Warmadewa. Salah seorang rajanya bernama Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah pada akhir abad ke-10. Salah seorang putra Udayana adalah Airlangga yang menjadi raja di Jawa Timur. Kerajaan tersebut kemudian dikalahkan oleh Majapahit, selanjutnya kerajaan dikuasai oleh keluarga raja Jawa. Selain itu di Bali berdiri kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Mengwi, Tabanan, Karangasem, dan Buleleng. Di Jawa Barat, setelah Tarumanagara runtuh menjelang akhir abad ke-7, terdapat satu kerajaan Hindu-Buddha bernama Kerajaan Sunda. Menurut sumber asing, pusat pemerintahannya berpindah-pindah. Menurut sumber lokal/asli, di Jawa Barat ada beberapa kerajaan, namanya sesuai dengan pusat pemerintahannya. Kerajaan-kerajaan itu adalah kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan yang sangat terkenal adalah kerajaan Pakwan Pajajaran. Selain itu di Jawa Barat ada kerajaan-kerajaan kecil, yaitu kerajaan Kuningan dan Saunggalah. Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja terakhir, Nusiya Mulya, tahun 1579 dikalahkan oleh kerajaan Islam. 4 1

Peristiwa atau perang di Bubat terjadi ketika Raja Kerajaan Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka, beserta para pembesar kerajaan dan pengiringnya sampai di Majapahit. Rombongan raja Sunda itu datang untuk mengawinkan putrinya dengan Hayam Wuruk sebagai permaisuri. Perselisihan terjadi ketika Gajah Mada tidak menghendaki jika perkawinan itu dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar tidak setuju dengan sikap Gajah Mada, terjadilah perang di Bubat. Semua orang Sunda termasuk Dyah Pitaloka gugur.. Hayam Wuruk kemudian menikah dengan Paduka Sori, anak Bhre Wengker Wijayarajasa. 2 Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. hlm. 26. 3 Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha adalah karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Bali Pustaka, 2008. 4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum), Sejarah Nasional Indonesia, Edisi Pemutakhiran, Jilid II, hlm. 400.

29

Di Kalimantan ada kerajaan-kerajaan Hindu yaitu kerajaan Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai sekarang. Kerajaan Negara Dipa pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit, karena itu pengaruh Majapahit sampai di sana. Di Kalimantan Timur, terutama Kutai, ada kerajaan Kutai yang beragama Hindu. Kerajaan tersebut selalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Salah seorang rajanya, Raja Mahkota, kemudian masuk Islam setelah kalah bertanding kesaktian dengan mubaligh yang menyebarkan Islam ke sana.

2.2.2. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Islam Setelah agama Islam masuk ke Indonesia, muncul kerajaan-kerajaan baru yang menganut agama Islam. Kerajaan-kerajaan itu ada di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Di Sumatra, banyak kerajaan, terutama ada di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat.5 Di Jawa, terdapat kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Banten, dan Cirebon. Di Nusa Tenggara terdapat kerajaan Lombok, Sumbawa, Bima, Tambora, Kalongkong, dan Dompu. Di Kalimantan terdapat kerajaan Banjar, Kutai, dan Pontianak. Di Sulawesi terdapat kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Di Maluku terdapat kerajaan Ternate dan Tidore. Kerajaan Samudra Pasai di Sumatra bagian utara tumbuh pada pertengahan abad ke-13, raja pertama bergelar Sultan Malik As-Shaleh. Kerajaan ini sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas yang disebut dramas. Kerajaan mengadakan hubungan pernikahan dengan kerajaan Malaka di Malaysia. Kerajaan Aceh Darussalam tumbuh dan berkembang pada abad ke-16. Raja pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Di bawah pemerintahannya Aceh menaklukkan Samudra Pasai dan Pedir. Kemudian salah seorang raja penggantinya mengalahkan beberapa kerajaan seperti Batak, Aru, dan Barus. Kerajaan juga pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Timar Tengah. Kerajaan ini mengalami puncak kekuasaan atau zaman keemasan di bawah Sultan Iskandar Muda 5

Kerajaan-kerajaan di Sumatera banyak sekali, yaitu kerajaan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Aru, Pedir, Jambi, Bican, Lambri atau Lamaru atau Tamni, Pirada, Pase, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, Daya, Batak, dan Barus.

30

(1607-1636). Di bawah pemerintahannya Aceh menjadi negara yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Ia menaklukkan kerajaan-kerajaan di pesisir timur dan barat Sumatra, Johor di Malaysia, mengalahkan armada Portugis di Bintan, merebut Pahang, dan Nias. Setelah pemerintahannya, Aceh memasuki masa perpecahan yang panjang. Pada tahun 1873-1904 kerajaan ini berperang melawan Belanda. Para pimpinan perang di antaranya Panglima Polem, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Din. Perang diakhiri dengan kalahnya Aceh pada tahun 1904. Di pantai timur Sumatra ada kerajaan-kerajaan Islam Siak atau Siak Sri Indrapura, Kampar, dan Indragiri yang berdiri pada abad ke-15. Di Jambi kerajaan Islam berdiri pada sekitar tahun 1500 di bawah pemerintahan Sultan Orang Kayo Hitam. Sumatra bagian selatan, Palembang, pada abad ke-16 berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Raja pertama kesultanan Palembang bergelar Abdurrakhman Khalifat al-Mukminan Sayidil Iman atau Pangeran Kusumo Abdurrakhman. Antara tahun 16591706 Kesultanan Palembang diperintah oleh sebelas orang sultan. Pada waktu pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II tahun 1819 kerajaan diserang Belanda. Dalam serangan Belanda kedua, Sultan Mahmud Badaruddin ditangkap lalu dibuang ke Ternate. Sejak 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan, daerahnya langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Sumatra Barat, agama Islam baru masuk pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Sedangkan agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar akhir abad ke-15. Di Minangkabau, raja berkedudukan di Pagaruyung, raja sebagai lambang negara, sedangkan kekuasaan ada di tangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Nagari. Di Minangkabau antara tahun 1821-1838 terjadi perang Paderi, perang antara kaum Paderi melawan kaum Adat yang dibantu oleh Belanda. Perang berlangsung dua babak, pertama antara tahun 1821-1825 dan kedua antara tahun 1830-1938. Kaum Padri akhirnya kalah, akibatnya Belanda berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di Minangkabau atau Sumatra Barat. Pemimpin Kaum Padri antara lain Tuanku Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan ke Cianjur, dari sana dipindahkan ke Ambon, lalu dipindah lagi ke Manado dan meninggal di sana tahun 1864.

31

Di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan baru yang menganut agama Islam yaitu Demak, Pajang, kemudian Mataram di Jawa Tengah, Banten dan Cirebon di Jawa Barat, dan Surabaya di Jawa Timur. Demak didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 oleh seorang asing yang beragama Islam. ”Sultan” Demak pertama, Raden Patah, adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi, raja Majapahit terakhir. Setelah Raden Patah, raja berikutnya adalah Pati Unus (1518-1521), dan berikutnya lagi Sultan Trenggono. Di bawah pemerintahan Sultan Trenggono Demak mengalami zaman keemasan. Wilayah Demak meliputi daerah Jawa Timur dan Jawa Barat. Sultan Trenggono mengalahkan penguasa-penguasa Tuban, Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Panarukan, Madiun, dan Blitar. Demak di bawah Sultan Trenggono merupakan zaman keemasannya. ”Sultan” Trenggono terbunuh ketika melakukan ekspedisi melawan Panarukan tahun 1546. Raja-raja Demak terkenal sebagai pelindung agama. Antara raja-raja dan ulama erat berhubungan, terutama dengan Wali Sanga. Pendirian Mesjid Agung Demak oleh para wali dengan arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para

wali.

Termasuk Wali Sanga adalah: Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Setelah Sultan Trenggono meninggal tahun 1546, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga. Berturut-turut raja-raja yang memerintah sesudahnya adalah Sultan Prawoto, Arya Penangsang, dan kemudian Jaka Tingkir yang menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. 6 Kerajaan Pajang yang ada di pedalaman Jawa Tengah, merupakan pengganti Demak. Kemudian pengganti Kerajaan Pajang adalah kerajaan Mataram yang pusatnya di kota Surakarta dan Yogyakarta. Daerah Mataram yang termasuk wilayah kerajaan Pajang, dihadiahkan Sultan Pajang kepada Kyai Gede (Ageng) Pemanahan yang merupakan keturunan raja Majapahit terakhir. Wilayah itu pertama kali diperintah olehnya pada tahun 1578.

Setelah ia

meninggal, tahun 1484 pemerintahan dipegang oleh anaknya, Senopati ing Alogo Sayidin Panotogomo (1584-1601). Ia menantu Sultan Pajang Hadiwijoyo yang meninggal tahun 1587. (Setelah Hadiwijoyo, pemerintahan Pajang di tangan Pangeran Banowo). Di bawah pemerintahannya, kerajaan Mataram dikembangkan ke daerah pesisir utara Jawa Tengah, 6

Rikleft, hlm. 56.

32

Jawa Timur, dan Jawa Barat. Setelah merasa kuat, Senopati melepaskan diri sebagai vasal kerajaan Pajang dan kemudian mengalahkan Pajang sekitar tahun 1587-1588. Benda-benda kerajaan yang keramat seperti pusaka yang merupakan simbul dan hiasan supra natural, dibawa ke Mataram. Selanjutnya, Senopati meluaskan kekuasaannya, menaklukkan Demak, Kedu, Bagelen, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruhan. Setelah Senopati meninggal, kedudukannya digantikan oleh Raden Mas Jolang (16011613). Mas Jolang tahun 1613 meninggal di Krapyak, tahun 1613, kemudian namanya sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. Ia kemudian digantikan lagi oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram (1613-1646). Sultan Agung kembali menyerang Surabaya tahun 1625, Pati, Giri, dan Blambangan. Sultan Agung mau menusir VOC dari Batavia. Tahun 1628 ia mengirim pasukannya ke Batavia tetapi tapi gagal. Pengiriman pasukan diulangi lagi tahun 1629, juga gagal. Mataram di bawah Sultan Agung selain bersifat agraris juga mengembangkan perdagangan ekspor dan impor melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa seperti Jepara, Kendal, dan Tegal. Mataram di bawah pemerintahannya mengalami puncak kejayaannya.

Tahun 1645 ia sakit dan meninggal. Setelah Sultan Agung

meninggal, digantikan oleh anaknya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I (16471677). Ia memindahkan kraton dari Kota Gede ke Plered. Ia lebih dekat dengan VOC dan mengadakan perjanjian dengan VOC, Mataram mengakui kekuasaan VOC. Waktu mau minta bantuan pada VOC karena pemberontakan Trunajaya, tahun 1677 ia jatuh sakit di Wanayasa. Jenazahnya dimakamkan di Tegal Arum, Tegal.

Ia digantikan oleh

Amangkurat II. Tahun 1755 melalui Perjanjian Gianti, Mataram dibagi dua yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surabarta. Di Jawa Barat berdiri kerajaan Banten. Mula-mula Banten sebelum 1525/1526 merupakan kadipaten dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, berpusat di Banten Girang yang diperintah oleh Pucuk Umun. Banten kemudian dikalahkan oleh Sunan Gunungjati, suami saudara perempuan Sultan Trenggono, pusat kerajaan dipindahkan ke Surasowan di teluk Banten. Banten kemudian diperintah oleh Gunungjati sebagai vasal Demak. Tahun 1552 Sunan Gunungjati pindah ke Cirebon, pemerintahan diserahkan kepada

anaknya

Sultan

Hasanuddin

(1552-1570).

Sultan

meluaskan

wilayah

kekuasaannya ke Lampung. Kemudian Hasanuddin digantikan oleh Molama Yusuf (1570-1580) yang berhasil menaklukkan kerajaan Pajajaran tahun 1579. Kalahnya

33

Pajajaran berarti lenyaplan kerajaan besar yang menganut agama Hindu-Buddha di Jawa. Setelah Pajajaran dikalahkan, kalangan elite Sunda memeluk agama Islam. Kesultanan Banten mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Raja ini melakukan perlawanan dengan putranya, sultan Haji yang dibantu VOC. Sultan Ageng Tirtayasa kalah. Cirebon semula menjadi pelabuhan kerajaan Sunda Pajajaran. Diperkirakan tahun 1470 agama Islam masuk Cirebon dibawa oleh Syarif Hidayatullah salah seorang wali sanga yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Tahun 1513 Cirebon di bawah kekuasaan Lebe Usa dikuasai Raden Patah dari Demak. Tahun 1479 Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon. Ia mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati, sebelah timar Keraton Kasepuhan. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga. Ia menghentikan memberi upeti ke pusat kerajaan Pajajaran di Pakuan. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Islam disebarkan, antara lain ke Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar tahun 1528-1530 dan ke daerah Banten

bersama putranya Maulana

7

Hasanuddin tahun 1525-1526. Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1568 Surabaya merupakan pelabuhan perdagangan yang besar pada awal abad ke-16, tetapi baru pada awal abad ke- 17 Surabaya muncul sebagai kekuatan pantai yang terkemuka. Surabaya dikuasai Sultan Agung tahun 1625. Di Kalimantan ada beberapa kerajaan Islam baik yang besar maupun kecil. Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan adalah kerajaan Banjar atau Banjarmasin di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Pontianak di Kalimantan Barat. Agama Islam masuk ke kerajaan Banjar karena dibawa Demak tahun 1550. Kerajaan Banjar dibawah Sultan Surnyanullah meluaskan kekuasaannya ke Sambas, Batanglawai, Sukadana,

Kotawaringin, Sampit, Madawi,

dan Sambangan.

Kerajaan Banjar

mengirimkan upeti pada keraaan Demak, kemudian Pajang. Ketika diperintah raja Sultan Mustain Billah, awal abad ke-17 ibu kota kerajaan dipindahkan ke Amuntai. Kerajaan dapat menguasai Kalimantan Timur Tenggara, Tengah, dan Barat. Dia juga kemudian memindahkan lagi ibu kotanya ke Kayu Tangi. Sejak pengaruh Belanda

masuk ke

7

Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia diambil dari karangan Marwati Djoened Poesponegooro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indoensia, Jilid III, Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

34

Kalimantan Selatan, perselisihan-perselisihan terjadi baik dengan Belanda maupun lingkungan kerajaan. Setelah Sultan Adam meninggal 1857, terjadi perlawanan terhadap Belanda antara 1859-1863. Perlawanan dari pihak kerajaan Banjar di antaranya dipimpin oleh Pangeran Antasari. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, pada masa pemerintahan Raja Mahkota datang dua mubalig Islam, Dato`ri Bandang dan Tunggang Parangan setelah mengIslamkan makassar. Setelah beadu kesaktian antara mubalig dengan dengan Raja Mahkota, raja kalah dan masuk Islam, waktunya diperkirakan tahun 1575. Selanjutnya kerajaan Kutai menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Di Kalimantan Barat antara lain ada kerajaan Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana). Diperkirakan Islam masuk ke sana pada sekitar abad ke-14-15. Kedua kerajaan itu diperintah oleh Pate atau mungkin Adipati, tunduk pada Pate Unus dari Demak. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu ada di bawah epngaruh kerajaan Mataram. Peng-Islaman di Pontianak dilakukan oleh Habib Husein Al-Gadri pendakwah dari Hadramaut. Setelah meninggal, digantikan oleh outranya, Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam yang mendirikan keraton dan mesjid di Pontianak. Ia memerintah tahun 1773-1808. selanjutnya sultan-sultannya diperintah oleh sultan-sultan keluarga Habib alGadri. Di Sulawesi Selatan terdapat lima kerajaan Islam, yaitu Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Islamisasi di Sulawesi Selatan oleh tiga mubalig yang disebut Dalto Tallu ketiganya bersaudara dan berasal dari Koto Tengah, Minangkabau. Para mubalig itu yang mengislaamkan raja Luwu tahun 1605, raja Tallo tahun 1605, raja tahun 1607. Kerajaan Gowa-Tallo mengalahkan kerajaan Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611. Karena adanya ancaman dari VOC, kerajaan Gowa-Tallo mengadakan hubungan baik dengan Portugis. Sejak tahun 1616 antara kerajaan Gowa dan VOC terjadi permusuhan. Perang besar-besaran terjadi tahun 1654-1655. Tahun 1656 ada perjanjian perdamaian, tetapi kemudian terjadi peperangan antara kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC yang dibantu tentara Bugis di bawah Arung Palaka. Perang berakhir melalui Perjanjian Bongaya tahun 1667, kerajaan Gowa diseahkan kepada VOC. Tahun 1670 kerajaan Wajo diserang VOC bersama tentara Bone. Kerajaan wajo menyerah, kerajaan diserahkan kepada VOC.

35

Di Nusa Tenggara, masuknya agama Islam ke Lombok diperkirakan pada abad ke-16 yang diperkenalkan oleh Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Akan tetapi, Islam masuk ke Sumbawa mungkin melalui Sulawesi, melalui para mubaligh dari Makassar antara tahun 1540-1550. Pusat kerajaan Lombok di Selaparang di bawah pemerintahan prabu Rangkesari mengalami zaman keemasan. Kerajaan Lombok dan kerajaan-kerajaan di Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa. Setelah terjadi perjanjian Bongaya, kerajaankerajaan di Nusa Tenggara ditekan VOC. Kerajaan Lombok dan Sumbawa akhirnya dikuasai VOC. Di Nusa Tenggara ada juga kerajaan Bima dengan raja pertama Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Kerajaan Bima akhirnya dikuasai oleh VOC. Di Maluku, kerajaan Islam yang menonjol adalah kerajaan Ternate dan Tidore. Islam memasuki Maluku antara tahun 1460-1465. Ternate di bawah Sultan Hairun berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara di bawah Ternate.Akan tetapi persatuan itu pecah lagi setelah kedatangan orang Portugis dan Spanyol ke Tidore. Portugia memusatkan perhatiannya ke Ternate, Spanyol ke Tidore. Tahun 1565 Sultan Khairun menyerang Portugis, tahun 1570 sultan ini dibunuh Portugis. Putranya, Sultan Baabullah, meneruskan perlawanan dan dapat mengusir Portugis dari Ternate. Akan tetapi setalah Baabullah meninggal, Ternate diserang orang Spanyol. Rajanya ditangkap dan diasingkan ke Manila. Dari uraian di atas tampak bahwa di Indonesia sebelum berdiri Negara Kesatuan RI tahun 1945, terdapat banyak sekali penguasa-penguasa daerah atau wilayah yang dinamakan kerajaan atau kesultanan atau lainnya. Setiap penguasa bebas untuk melakukan ekspansi ke wilayah penguasa lain dalam rangka untuk memperluas wilayah dan memperbesar kekuasaan mereka, asal mereka kuat. Siapa yang kuat, dia yang mempunyai kekuasaan luas dan besar. Suatu kerajaan atau kesultanan setelah berdiri kemudian tumbuh, berkembang dalam waktu lama, namun bisa juga menjadi kecil kembali bahkan mati karena dikalahkan oleh penguasa lain. Besar kecilnya kerajaan tergantung pada raja yang memerintah. Keadaan seperti itu terjadi terus silih berganti. Waktu itu, di wilayah Indonesia tidak ada satu kekuatan yang tetap yang menjadi super power. Setiap kerajaan atau kesultanan melakukan ekspansi untuk bisa menjadi maharaja

36

atau super power. Ada dua kerajaan yang besar yang oleh Sukarno dan Muhammad yamin sebagai Nationale Staat yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Selain banyaknya kerajaan atau kesultanan, dalam hal pergantian raja atau sultan sering terjadi kericuhan di antara keluarga atau bahkan terjadi pembunuhan terhadap raja yang berkuasa, meskipun telah ada semacam aturan. Pelanggaran terhadap aturan dan adanya ambisi untuk menggantikan raja sebelumnya sering memicu adanya perangperang. Setelah datang bangsa Barat khususnya Belanda dengan VOC-nya, muncul kekuatan baru di Indonesia di samping kerajaan-kerajaan. Kekuatan baru ini pun berusaha untuk mengembangkan usahanya. Dalam rangka itu, sering terjadi bentrokanbentrokan dan peperangan-peperangan dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Politik devide et impera

dilakukan Belanda untuk

memperluas

wilayah dan memperbesar

kekuasaannya. Perang-perang terhadap Belanda selalu diakhiri dengan perjanjian yang selalu merugikan pihak kerajaan. Dalam suatu perjanjian paling sedikit Belanda mendapat hak monopoli dalam perdagangan, lebih dari itu Belanda memperoleh sebagian bahkan bisa seluruh wilayah suatu kerajaan, dan Belanda diakui sebagai penguasa di atasnya. Usaha dari phak kerajaan maupun rakyat untuk mengusir Belanda dari wilayah suatu kerajaan karena dirasa sangat menekan dan merugikan, sering terjadi yang dilakukan oleh seorang raja dan atau keluarga raja. Perang-perang itu dilakukan sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Perlawanan-perlawanan itu antara lain perlawanan oleh Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Diponegoro dari Jawa Tengah, Pangeran Antasari dari Banjar, Imam Bonjol dari Sumatra Barat, dan Teuku Umar dari Aceh. Perang-perang itu yang masih bersifat kedaerahan dapat disebut sebagai rasa proto nasionlisme di kalangan mereka. Mereka bersatu untuk bersama-sama melawan Belanda, bahkan sering terjadi di antara kerajaan-kerajan digunakan oleh Belanda untuk bersamanya melawan suatu kerajaan. Karena kalahnya persenjataan pihak kerajaan, dan karena taktik dan politik devide et impera Belanda, maka kerajaan-kerajaan yang mengadakan perlawanan mengalami kekalahan. Akhirnya semua kerajaan di Indonesia setelah kalahnya Aceh pada tahun 1904 berada di bawah kekuasaan Belanda. Tahun 1905 Belanda

37

mencanangkan Pax Neerlandica, bahwa seluruh wilayah Nusantara sebagai wilayah Hindia Belanda menjadi satu pengawasan keamanan oleh Belanda.

2.3.

Konsep Indonesia Dalam membicarakan “Pembentukan bangsa Indonesia”, perlu

dikemukakan

tentang kata atau nama ”Indonesia”. Kata atau nama tersebut diusulkan oleh J.R. Logan, seorang etnolog Inggris di Pinang yang menjadi redaktur Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Pada tahun 1850 ia melalui artikelnya berjudul ”The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing inquires into the continental relation of the Indo-Pacific Inlanders” mengusulkan istilah atau kata “Indonesia” untuk nama pulaupulau atau kepulauan Hindia dan penduduknya. Akan tetapi sebelumnya, seorang etnolog Inggris lainnya, G. Windsor(?) Winsdor(?) Earl dalam majalah yang sama menulis tentang ciri-ciri utama penduduk Irian, penduduk asli Australia, dan Melayu-Polinesia. Ia mengusulkan digunakannya istilah “Indus-nesians” dan “Melayu-nesians” bagi penduduk kepulauan Hindia. Ia memberi pertimbangan bahwa istilah “penduduk Hindia” sebagai kelompok pulau-pulau, tidak memberikan pengertian tepat dan jelas bagi penduduk pribumi. Earl lebih suka pada pemakaian istilah “Melayu-nesians” karena istilah “Indu-nesians” terlalu luas karena termasuk di dalamnya penduduk Sailon, Kepulauan Maladiva, dan Lakadiva. Adolf Bastian, sarjana Jerman, kemudian menggunakan kata “Indonesien” sebagai judul bukunya yaitu Indonesien onder die Insln des Malayischen Archipels yang terbit tahun 1884. Adapun yang dimaksud oleh A. Bastian dengan istilah tersebut adalah istilah di bidang etnografi. Sejak itu istilah tersebut dipakai dalam ilmu etnologi, hukum adat, dan ilmu bahasa. Para guru besar Universitas Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Horgronye, dan Prof. Van Vollenhoven menyebarluaskan pemakaian iastilah “Indonesië”, Indonesiër”, dan ajektif ”Indonesisch” dalam karya mereka. Kemudian para mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda yang tergabung Perhimpunan Indonesia (PI) mengetahui istilah-istilah tersebut. Pada tahun 1913 Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara ketika menjalani pembuangan di Nederland memberikan nama biro pers yang didirikannya dengan Indonesisch Persbureau. Nama organisasi mahasiswa Indonesia yang semula bernama

38

Indische Vereeniging tahun 1922 diganti menjadi Indonesische Vereeniging dan tahun 1924 nama Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama majalahnya yang semula bernama Hindia Putera pada tahun 1922 diganti dengan Indonesia Merdeka. Perhimpunan Indonesia menggunakan nama Indonesia dalam pengertian politik ketatanegaraan yang artinya sama dengan Nederlandsch-Indië. J.Th. Petrus Blumberger, penulis buku De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indië yang terbit tahun 1931 menyatakan bahwa sekitar tahun 1925 banyak organisasi yang berwawasan nasional memakai nama”Indonesia” sebagai pengganti Nederlandsch-Indië.8

2.4.

Pembentukan Bangsa dan Negara Indonesia Memasuki tahun 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen

Belanda program pemerintah. Ia mengakui bahwa pemerintah Belanda telah mengeruk keuntungan yang besar sekali dari Hindia Belanda, sementara penduduknya semakin miskin. Dikatakan bahwa pada masa datang, pemerintah akan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Diakuinya bahwa Belanda telah ”berhutang budi” kepada rakyat Indonesia, karena itu Pemerintah Belanda akan membalasnya dengan melaksanakan politik etika. Dalam kaitan politik itu pemerintah akan memperluas pendidikan Barat bagi anak Indonesia khususnya anak-anak kalangan atas. Garis politik pemerintah Hindia Belanda yang seperti itu pertama kali dikemukakan oleh anggota Parlemen Belanda Van Dedem tahun 1891. Perjuangan melancarkan politik kolonial yang baru itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, C. Th. Van Deventer, dan P. Brooschooft, pemimpin redaksi surat kabar De Locomotief. Van Deventer, pemimpin kaum liberal, tahun 1899 menulis karangan di Jurnal De Gids berjudul ”Een Eereschuld” (”Hutang Budi”). Dalam karangannya ia mengecam politik pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negera Belanda dengan daerah jajahan, Hindia Belanda. Menurut Kielstra berdasarkan hasil surveinya bahwa sejak tahun 1816 uang yang disedot pemerintah Belanda dari Indonesia sebesar 832 juta gulden. Tulisan Van Deventer tersebut berpengaruh terhadap perubahan politik kolonial di Hindia Belanda.

8

Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Jilid V, Yakarta: Departemen P dan K, 1976, 290.

39

Politik etika yang dilaksanakan mulai tahun 1901 mempunyai dua tujuan yaitu pertama, meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi; dan kedua, berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam kenyataannya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda tidak pernah dilaksanakan, kecuali untuk beberapa tahun pada waktu pecah Perang Dunia I ketika komunikasi antara negeri Belanda dan Hindia Belanda terputus. Sementara itu, di luar Indonesia pada awal abad ke-20 terjadi peristiwa-peristiwa penting yang berdampak terhadap bangsa Asia, khususnya Indonesia.

Peristiwa

kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905 menunjukkan bahwa bangsa Barat dapat dikalahkan oleh bangsa Timur. Kemenangan Jepang tersebut merupakan “Kebangkitan Asia” menimbulkan gelombang antusiasme di Asia. Di Turki muncul gerakan Turki Muda untuk mencapai perbaikan nasib, yang akhirnya tahun 1908 muncul revolusi anti kaum kolot. Kejadian-kejadian tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap munculnya gerakan nasional di Indonesia. Sejalan dengan perubahan politik pemerintah kolonial yang hendak memajukan bidang pendidikan, dokter Wahidin Sudirohusodo yang sejak tahun 1901 menjadi redaktur majalah Retnodhumilah, melalui majalahnya ia mempropagandakan pentingnya pendidikan. Menurut pendapatnya bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan, diperlukan

pendidikan

secukupnya

bagi

kalangan

luas

orang

pribumi.

Ia

mempropagandakan tentang pemberian beasiswa bagi pemuda-pemuda yang pandai tetapi tidak mampu. Kemudian, karena cara tersebut dinilai kurang efektif, ia meletakkan jabatan sebagai redaktur Retnodhumilah karena alasan kesehatan. Selanjutnya sejak bulan November 1906, ia melakukan perjalanan keliling pulau Jawa untuk mempropagandakan cita-citanya. Ia yang didampingi Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam V, mula-mula mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya bupati yang kaya dan berpengaruh. Pada akhir tahun 1907 dalam perjalannya yang jauh, ia berhenti dan beristirahat di Jakarta. Ketika berada di Jakarta, ia diundang Sutomo dan Suraji ke sekolah STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) untuk mendengarkan gagasan-gagasannya. Maksud Wahidin untuk mendirikan ”Dana Belajar” itu dibicarakan oleh Sutomo dengan teman-temannya di STOVIA. Tujuan untuk mendirikan suatu ”Dana Belajar” itu diperluas jangkauannya. Demikianlah pada tanggal 20 Mei 1908 di sekolah

40

STOVIA oleh pelajar-pelajar STOVIA didirikan organisasi bernama Budi Utomo dan Sutomo ditunjuk sebagai ketua. Budi Utomo merupakan organisasi pribumi pertama menurut model Barat, suatu organisasi yang pengurusnya secara periodik dipilih, mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, mempunyai program, mengadakan rapat-rapat, kongres, dan anggotanya mempunyai hak suara. Lahirnya BU oleh Akira Nagazumi sebagai bangkitnya nasionalisme Indonesia. Setelah itu, mahasiswa Indonesia yang belajar di Negeri Belanda pada tahun yang sama mendirikan organisasi bernama Indische Vereeniging (IV) yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan. Pada tahun-tahun belasan, karena mengikuti jejak BU di satu pihak dan karena adanya pengaruh dari luar Indonesia, bermunculan berbagai macam organisasi. 9 Secara khronologis, tahun 1911 di Solo, Jawa Tengah berdiri organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh H. Samanhudi yang bergerak di bidang social ekonomi. Organisasi itu didirikan untuk menghadapi pedagang-pedagang Cina di kota itu yang telah mempermainkan harga bahan batik. Setahun kemudian, namanya diganti menjadi Sarekat Islam (SI) agar lebih banyak orang-orang Islam dapat masuk menjadi anggota. Di Yogyakarta tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyah. Pada tahun 1912 E.F.E. Douwes Dekker di Bandung mendirikan organisasi politik Indische Partij, statu organisasi yang pertama kali memakai nama partai yang mempunyai konsep nasionalisme Hindia (Indisch Nationalism). Organisasi ini yang menerima berbagai etnik yaitu kaum Indo-Eropa dan pribumi, radikal, menuntut kemerdekaan Hindia. H.J.F.M. Sneevliet tahun 1914 di Semarang mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), suatu organisasi yang bersifat internasional menyebarkan ideologi sosialisme. Dalam perkembangannya, karena pengaruh revolusi Rusia, organisasi ini tahun 1923 berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain organisasi politik, berdiri juga sarekat-sarekat sekerja, organisasi pemuda,

perempuan,

dan kepanduan.

Organisasi-organisasi tersebut

9

Kejadian-kejadian di luar Indonesia yang menambah kemauan mendirikan organisasi di Indonesia adalah Revolusi di Tiongkok tahun 1911 yang menggulingkan pemerintahan Dinasti Manchu dan berdirinya Republik Tiongkok; pan-Islamisme, menyebarnya ajaran Marxismo (sosialisme dan sesudah revolusi di Rusia juga komunisme), azas-azas Perjanjian Versailles yang tidak dijalankan (hak bangsa untuk mengatur diri sendiri), berdirinya Volkenbond dan Labour office, gerakan di Irlandia, gerakan di India ; empat belas Pasal Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat, khususnya hak menentukan nasib sendiri bangsabangsa.

41

merupakan organisasi gerakan nasional yang tujuan akhirnya adalah kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa Indonesia di Negri Belanda yang datang ke sana setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak kesadaran politiknya dari pada angkatan-angkatan sebelumnya. Sebabnya karena mereka sebelum berangkat ke Negeri Belanda telah memasuki berbagai gerakan kebangsaan. Mereka terus bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia Indische Vereeniging (IV) yang didirikan tahun 1908. Pada tahun 1920-an peran sosial dan kebudayaan dari IV masih ada, tetapi yang utama adalah bidang politik. Pada tahun 1922 namanya diubah menjadi Indonesische Vereeniging10 dan nama majalahnya yang semula bernama Hindia Poetera diganti menjadi Indonesia Merdeka.11 Pada tahun 1924 keterangan dasar IV adalah sebagai berikut: (1) Hanya Indonesia yang bersatu, dengan menyingkirkan

perbedaan-perbedaan

golongan,

dapat

mematahkan

kekuasaan

penjajahan; (2) Tujuan bersama – memerdekakan Indonesia – menghendaki adanya suatu aksi massa nasional yang insyaf dan berdasar kepada tenaga sendiri; (3) Melihat dua macam penjajahan, politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi kemerdekaan politik dan satu sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan Indonesia. Ketua IV Nazir Pamoncak menegaskan politik nonkoperasi sebagai sendi perjuangan rakyat Indonesia. Kerjasama dengan si penjajah untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, tidak lain dari menipu diri sendiri. Kerjasama hanya mungkin antara dua golongan yang sama hak, kewajibannya, dan kepentingannya. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka kerja sama berarti mempermainkan yang lemah oleh yang kuat, memperlakukan yang lemah sebagai alat untuk kepentingannya sendiri. Sebab itu PI menolak kerjasama dan tetap menuju tujuan sendiri. 12 Sejak 8 Februari 1925 nama organisasi diganti menjadi Perhimpunan Indonesia (PI),13 dan organisasai dikembangkan

10

Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 126. PI adalah organisasi pertama yang pertama kali menggunakan Istilah “Indonesia” sebagai nama organisasinya. 12 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 156 dan 158. 13 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 171. 11

42

menjadi organisasi yang mengutakan masalah-masalah politik sebagai bagian dari identitas nasional yang baru.14 Perkembangan PI menjadi organisasi politik terutama merupakan hasil usaha Mohammad Hatta. Kegiatan PI diarahkan untuk mencapai tiga tujuan, pertama, menyadarkan mahasiswa agar semakin percaya merasa diri sebagai orang Indonesia. Kedua, PI harus berusaha menghapuskan gambaran tentang Indonesia yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Ketiga, yang terpenting adalah mereka harus mengembangkan ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan komunisme.15 Para anggota PI dari Negeri Belanda mengamati gerakan nasional di Indonesia. Mereka kecewa terhadap semangat partai-partai politik dan terhadap kegagalan mereka menciptakan suatu organisasi massa yang kuat untuk melawan Belanda. Oleh karena itu mereka membuat ideologi baru sebagai langkah pertama untuk menyusun gerakan kebangsaan jika mereka kembali ke tanah air. Ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkan sejak tahun 1925. Ideologi PI menempatkan kemerdekaan sebagai tujuan politik yang utama. Pokokpokok pikiran PI adalah sebagai berikut. Kesatuan nasional: perlu mengesampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan perlu dibentuk kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu; Solidaritas: tanpa melihat perbedaan antara sesama orang Indonesia, perlu disadari adanya pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan terjajah. Kaum nasionalis harus mempertajam konflik antara orang kulit putih dan orang kulit sawo matang; Nonkoperasi: keharusan untuk menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda melainkan harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh karena itu tidak perlu mengindahkan dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad;

14

Mereka yang menjadi anggota PI hanya sekelompok kecil dari seluruh mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda. Tahun 1926, puncak aktivitas PI, jumlah anggota PI hanya 38 orang. Akhir tahun 1927 jumlah seluruh mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda diperkirakan 109 orang, hanya 20 orang yang menjadi anggota PI. (Ingleson, hlm. 2). 15 Ingleson, hlm. 4.

43

Swadaya: dengan mengandalkan kekuatan sendiri perlu dikembangkan struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial. 16 PI menekankan bahwa ideologi PI harus dilaksanakan benar-benar oleh suatu partai yang merasa bertanggung jawab kepada rakyat yang berusaha mencapai kemerdekaan melalui jalan aksi massa. Melalui majalahnya dan anggota PI yang kembali ke tanah air, ideologi PI sampai di Indonesia. Para anggota PI yang kembali ke tanah air mencoba memasuki organisasiorganisasi etnis seperti BU dan Pasundan dan berusaha untuk merubah wawasannya dari dalam. Usahanya tidak berhasil, oleh karena itu mereka tetap di luar dan mereka mendirikan kelompok-kelompok studi. Ada kelompok yang penting yaitu Indnosesische Studieclub di Surabaya pimpinan dr. Sutomo dan Algemene Studieclub di Bandung pimpinan Sukarno. Atas usaha Sukarno dan orang-orang yang tergabung dalam Algemene Studieclub pada 4 Juli 1927 didirikan partai baru bernama Perserikatan17 Nasional Indonesia (PNI). Partai ini melaksanakan ideologi PI, yaitu kesatuan nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan swadaya. Kemudian, untuk menyatukan gerakan nasional menjadi lebih besar, pada bulan Desember 1927 didirikan badan federatif partai-partai politik dengan nama Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Beberapa partai politik yaitu PNI, PSI, Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia bergabung dalam satu fron bersama sebagai ”fron sawo matang” melawan ”fron kulit putih” Belanda. Di kalangan pemuda ada hasrat untuk menyatukan organisasi-organisasi pemuda. Untuk itu pada tahun 1926 dan kemudian tahun 1928 diselenggarakan kongres pemuda nasional pertama dan kedua. Kongres nasional pemuda kedua bulan Oktober 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda, satu nusa: Indonesia, satu bangsa: Indonesia,

dan

menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Semangat persatuan itu menyatukan berbagai organisasi pemuda yang berdasarkan etnis/daerah menjadi satu, lahirlah Indonesia Muda pada awal tahun 1931.

16 17

Ingleson, hlm. 5. Dalam kongresnya pertama kata ”Perserikatan” diganti menjadi ”Partai”.

44

Organisasi perempuan pada bulan Desember tahun 1928 menyelenggarakan kongres perempuan pertama, diputuskan didirikan badan persatuan organisasi perempuan bernama Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Di kalangan organisasi kepanduan pada tahun 1931 organisasi kepanduan berfusi lahirlah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Tahun tiga puluhan rasa persatuan nasional telah meliputi berbagai organisasi. Badan-badan federatif yang baru yang mencakup organisasi lebih banyak, kemudian dibentuk.

Pembentukan bangsa dan negara Indonesia dimulai dengan pembentukan nasionalisme Indonesia. Sejak awal abad ke-20 di Indonesia lahir gerakan emansipasi, gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dipelopori dengan lahirnya organisasi Budi Utomo (BU). Tujuan perlawanan itu adalah kemerdekaan bangsa. Gerakan melawan penjajahan bangsa Barat menggunakan senjata dari Barat, berupa organisasi. Sesungguhnya perlawanan terhadap penguasa bangsa lain di Indonesia sudah dimulai sejak adanya kekuasaan bangsa tersebut di Indonesia yaitu sejak awal abad ke17. Sejak itu ada perlawanan orang di Indonesia melawan Belanda kemudian melawan Jepang. Perlawanan itu berupa perang-perang untuk mengusir penguasa bangsa asing itu dari wilayang mereka. Perlawanan itu bersifat lokal, oleh Sartono Katodirdjo disebut sebagai proto nasionlisme. Gerakan rakyat Indonesia adalah usaha untuk perubahan dan pembaruan menuju kemerdekaan.Gerakan itu diorganisasikan menurut model gerakan Barat. Ada keinginan untuk memegang nasib di tangan sendiri. Rakyat terjajah menentang kekuasaan asing. Sifat nasionalisme Indonesia ada dua, yaitu: (1) Usaha nasionalisme lebih dari hanya ditujukan di bidang politik dan budaya, tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, dan keagamaan; (2) Keinginan-keinginan akan pembaruan di bidang sosial dan keagamaan. (Pluvier, hlm. 17-18). Menurut PNI, kemerdekaan nasional merupakan syarat utama pembangunan masyarakat Indonesia. Sedangkan Parindra merumuskannya tidak terlalu tajam, tujuan gerakan adalah penghapusan setiap bentuk kekuasaan kolonial. Mereka ingin mengatur urusannya sendiri, diperintah oleh orang-orangnya sendiri, walaupun nanti keadaan pada umumnya lebih jelek dari pada di bawah kekuasaan asing. Yang disebut belakangan ini

45

disadari oleh kaum nasionlis, dan mereka berani mengambil risiko. Kata-kata klasik dari Quezon: ”We would rather be governed like hell and do it ourselves than like heaven and have it done for us” (”Lebih baik kita hidup seperti di neraka tetapi diperintah oleh orangorang kita sendiri, dari pada hidup seperti di sorga, tetapi diperintah oleh bangsa asing”. (Pluvier, hlm. 18). Bagaimadiirna wujud dari masyarakat baru sesudah merdeka itu merupakan pokok pembicaraan penting, namun yang lebih penting adalah tuntutan agar supaya diutamakan lebih dahulu lenyapnya rezim kolonial. Nasionalisme Indonesia dalam keseluruhannya merupakan gejala yang sama seperti nasionalisme lainnya. Tujuan pertama diarahkan terhadap kekuasaan asing yang dipandangnya sebagai bahaya yang paling besar mengancam masyarakat. Taktik untuk mencapai tujuan ada dua cara, yaitu koperasi dan nonkoperasi. Kaum nonkoperator menyisihkan diri dari pemerintah HB, mereka tidak duduk dalam dewan perwakilan, baik di Dewan Rakyat maupun di dewan-dewan local yaitu Dewan Propinsi atau Dewan Kabupaten. Mereka mempunyai keyakinan, bahwa berhubung dengan dasar perbedaan kepentingan antara yang yang berkuasa dan yang dikuasai, tidak mungkin ada kerjasama untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi nasional. Kerja sama demikian dengan pemerintah hanya berarti memperkuat kekuasaan penjajah. Orang harus melaksanakan politik yang prinsipiil dan yakin, bahwa perubahan-perubahan itu harus dipaksakan dengan jalan selfreliance, kepercayaan kepada kekuatan diri sendiri, tidak dengan mengemis-ngemis (Tilak). (Pluvier, hlm. 19.) Pemerintah Hindia Belanda memandang mereka sebagai kaum ekstremis yang destruktif, tidak loyal. Sebaliknya, kaum koperator dinamakan sebagai kaum sederhana dan loyal. Perbedaan di antara kedua golongan itu adalah pada taktik dan keyakinan mereka. Menurut kaum koperator, kemerdekaan ekonomi harus lebih didahulukan dari keperdekaan politik. Mereka kurang keras dan agresif dan rapat-rapat mereka bukan rapat massa kaum marhaen. Walaupun demikian, mereka tetap kaum nasionalis, karena mereka juga bercita-cita untuk meningkatkan ekonomi dan kemerdekaan. Sikap kaum bangsawan terhadap pergerakan itu bercabang dua. Sebagian karena takut, bahwa gerakan rakyat yang kuat tidak saja merupakan bahaya bagi rezim colonial, tetapi dapat juga membahayakan kekuasaan mereka sendiri, sehingga orang berusaha untuk menahan perkembangannya. Sebagian lain orang berusaha merebut kepemimpinan

46

dalam pergerakan itu untuk mendapatkan sokongan dari rakyat dan dengan demikian pengaruhnya yang lama, walau hanya sebagian, dapat dipulihkan kembali. Kelas kedua dalam masyarakat adalah kaum ambtenaar, kaum intelek atau semi intelek yang bekerja pada gubernemen atau perusahaan-perusahaan, merasa tertelan oleh stelsel kolonial yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat menduduki pos-pos yang lebih tinggi dalam kehidupan politik dan ekonomi. 18 Faktor penting bagi perkembangan nasionalisme ialah sifat dari agama Islam yang mengandung unsur-unsur yang baik. Perluasan agama ini dalam abad ke-15 dan 16 adalah sejajar dengan mendesaknya pengaruh dari Barat. Di zaman VOC mereka merupakan unsur yang paling keras. Di abad ke-19 posisi mereka bertambah kuat setelah rakyat di sebagian besar kepulauan nusantara masuk agama Islam. Raja-raja sering bersekutu dengan mereka melawan pembesar-pembesar Belanda. Politik orang-orang Belanda adalah sebanyak mungkin bekerja sama dengan pembesar-pembesar feodal dan tentang menjalankan agama Islam. Pengaruh agama Islam itu kuat sekali Ia memberikan kepada bangsa rasa senasib sepenangungan. Ia menciptakan semacam ”pra-nasionalisme” yang memberikan sokongan kepada nasionalisme. Reaksi agama Islam dan nasionalisme adalah terhadap pengaruh Barat. Di satu pihak kaum nasionalis melancarkan perlawanan yang aktif dengan cara Barat, reaksi orang-orang Islam memakai cara-cara yang antagonistis yaitu dengan suatu gerakan yang sifatnya reformistis, menentang tradisionalisme dan formalisme. 19 Dalam nasionalisme Indonesia hidup suatu tendensi untuk bersatu. Meski terdiri dari berjenis-jenis rakyat, lama-lama timbul kesadaran untuk bersatu menjadi satu bangsa Indonesia. Belanda telah menempatkan suku-suku dan bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara di bawah satu lingkungan kenegaraan. Persatuan yang sedikit banyak hendak dipertahankan oleh kaum nasionalis. Perbedaan bahasa dan kebiasaan bukan penghalang dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan nasional. Pihak Belanda sering ditunjukkan, berhubung dengan perbedaan besar di antara pelbagai penduduk itu, bahwa tidak akan ada bangsa Indonesia dan bahwa nasionalisme Indonesia itu sama sekali tidak mempunyai hak hidup. Perbedaan itu benar, tapi keliru untuk mengambil kesimpulan 18

J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkwling der Nationalistische Beweging in Indonesie in jaren 19301942, Den Haag-Bandung: W. Van Hoeve, 1953. 19 J.M. Pluvier, op. cit.

47

seperti di atas. ”Untuk terbentuknya suatu nasion itu, dan ini penting, tidak cukup dengan adanya persamaan bahasa, agama, dan kultur, adanya persamaan hal-hal sejarah dan pemerintahan. Yang perlu adalah dalam unsur-unsur yang membentuk masyarakat itu, sedikit banyak berkembang kesadaran untuk bersatu, untuk mempertahankan dan mengorganisir persatuan itu. Soalnya bukan apakah ada persatuan, tapi apakah ada sesuatu yang tumbuh; Yang terakhir ini yang terjadi. Tumbuhnya rasa senasibsepenanggungan, kemauan dari suatu bangsa. Cokroaminoto di tahun 1916 pada kongres nasional menunjukkan bahwa istilah ”nasional” itu berarti bahwa pergerakan rakyat itu bertujuan membentuk suatu persatuan yang kokoh kuat dari seluruh rakyat di kepulauan nusantara yang dengan seia sekata berusaha menjadi satu ”nasion”. Di lain pihak sikap Belanda lebih senang dengan nasionalisme Sunda, Jawa, atau Bali dari pada nasionalisme yang melingkupi seluruh Nusantara. Orang berusaha untuk menyokong nasionalisme lokal supaya lebih kuat menghadapi nasionalisme Indonesia dan orang menunjukkan akan bahaya dari pada ”penjajahan

orang-orang

Jawa”

atas

golongan-golongan

penduduk

lainnya.

Mengadudomba perbedaan-perbedaan dari rakyat itu satu alat politik pemecah belah dari golongan kecil yang memerintah massa berjuta-juta yang harus mereka anut untuk dapat bertahan. Kebanyakan

pembesar-pembesar

feodal

memperlihatkan

nasionalisme

kedaerahan yang didasarkan atas tradisi dan adat yang menjadikan mereka berkuasa. Pemerintah menyokong patriotisme lokal membuat kaum nasionalis curiga. Sebelum tahun 1927 pergerakan politik berada pada taraf kedaerahan. Satu-satunya pergerakan yang semua nasional adalah SI. Baru sesudah PNI, ide persatuan Indonesia dengan sadar maju kemuka. Kemudian ide ini diambil oleh partai-partai lain, juga oleh partai-partai lokal. 20 Gerakan nasional di India banyak memberi isi kepada perkembangan nasionalisme di Indonesia. Tilak, Gokhale, Gandhi, dan Nehru mempunyai arti lebih besar. Partai Kongres contoh yang ditiru kaum nasionalis Indonesia dalam organisasiorganisasi mereka. Politik nonkoperasi ditiru, suatu usaha swadesi, boikot ekonomi, juga dilancarkan. (Pluvier, hlm. 26). Kebangkitan dari negeri Cina membawa pengaruh besar. 20

J.M. Pluvier, op. cit.

48

Nasionalisme merupakan hasil dari pengaruh kekuasaan Barat di negara-negara Asia. Nasionalisme sebagai jawaban yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Banyak sebab yang dapat menimbulkan nasionalisme. Nasionalisme dan kolonialisme tidak terlepas satu sama lain, ada pengaruh satu sama lain. Kebangunan nasional di Indonesia berhubungan erat dengan kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905. Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, dan gerakan nasional di negara-negara tetangga seperti India dan Filipina memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme, memperbesar kesadaran nasional dan menyebabkan bangsa Indonesia memiliki rasa harga diri kembali. 21 Gerakan emansipasi mencapai titik-titik terang pada ongres BU pertama tahun 1908, kongres kebudayaan tahun 1916, kongres nasional pemuda kedua tahun 1928 yang menghasilkan ”satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” yaitu indonesia.

2.5. Daftar Pustaka Hatta, Mohammad, Memoir, Yakarta: Tintamas, 1979. Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Terj. Zamakhsyari Dhofier), Jakarta: LP3ES, 1983. Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid 2, Jakarta: Gramedia, 1990. Miert, Hans Van, Dengan Semangat Berkobat: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930), (Terj. Sudewo Satiman), Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, KITLV, 2003. Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo, 1908-1918, (Terj. Grafiti dan KITLV), Yakarta: Grafiti, 1989. Poesponegoro, Marwati, Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia,Jilid II, III, IV, V, dn VI, (Edisi Pemutakhiran), Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Pluvier, J.M. Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische beweging in 21

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta: PT Gramedia, hlm. 59.

49

Indonesie, in de jaren 1930 tot 1942, Den Haag – Bandung: W. van Hoeve, 1953 Pringgodigdo, A.K., Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta: Pustaka Rakjat, Cetakan ke-4, 1960. Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Sukarno di hadapan Hakim Colonial Tahun 1930.

50

Bab 3 Ekonomi dan Perdagangan di Indonesia

Perdagangan dan Pelayaran di Nusantara Masa Awal sampai Abad ke-19 Letak geografis kepulauan Indonesia yang berada dalam jalur pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Asia Timur dengan Asia Selatan dan Asia Barat membuat laut, selat, dan pulau-pulau yang berada di sekitar Selat Karimata dan Selat Malaka menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru tempat. Selain itu hasil produk yang terkenal sebagai mata dagangan ekspor yang sangat laris di pasaran adalah cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, lada, dan lain sebagainya merupakan produk lokal Nusantara. Sehingga sudah sejak masa sebelum abad ke-10, banyak kapalkapal dagang dari Cina, India, Arab, Malaka, Jawa, Bugis, Makasar, dan berbagai suku di Nusantara yang menjadi pedagang dengan mengunjungi wilayah-wilayah yang menjadi penghasil produk yang diinginkan. Cengkeh dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, dan Ambon, sementara pala dan bunga pala banyak dihasilkan di kepulauan Banda. Kayu cendana banyak dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan lada banyak dihasilkan dari Banten, Lampung, dan pesisir timur dan utara Pulau Sumatra. Adanya perbedaan produk dari masing-masing daerah, kemudian memunculkan sistem pertukaran dan jual beli di banyak pelabuhan di Nusantara, di mana kapal-kapal asing dan lokal saling menukarkan barang-barangnya, seperti tekstil, porselain, sutera, alat-alat logam, beras, dan lain-lain dengan produk-produk setempat. Sejak itulah wilayah Nusantara bagian tengah dan timur kemudian menjadi jalur pelayaran dan perdagangan yang cukup ramai. Dalam dunia pelayaran selama abad ke-16 sampai abad ke-18, pengetahuan tentang sistem angin dan musim menjadi pengetahuan yang penting untuk dimiliki para pelaut. Karena bagaimanapun juga kapal layar mereka sangat membutuhkan tiupan angin yang secara berkala berubah sesuai dengan musimnya. Dengan mengikuti sistem angin ini maka para pedagang dapat memperkirakan keberangkatan atau kepulangan perahuperahu mereka. Bahkan beberapa nama angin diberi nama sesuai dengan arah angin yang datang ketika kapal sedang berlayar, seperti angin buritan atau angin haluan, nama yang

51

lain misalnya angin turutan yang mendorong keras dari arah buritan, angin sakal yang menghambat pelayaran karena bertiup dari depan, dan angin paksa yang membuat kapalkapal terpaksa membuang sauh di pelabuhan atau di teluk demi keamanan dari ancaman badai. 22 Letak kepulauan Nusantara di tengah-tengah garis katulistiwa (equator) menyebabkan di sebelah selatan katulistiwa bertiup Angin Pasat Tenggara dan di sebelah utara katulistiwa bertiup Angin Pasat Timur Laut yang bertiup sepanjang tahun. Namun karena letak Nusantara adalah di antara benua-benua yang berbeda tekanan udaranya dan posisi peredaran bumi terhadap matahari, membuat angin yang bertiup berubah arah ketika melintasi katulistiwa. Angin tenggara berubah menjadi angin barat daya sedangkan angin timur laut berubah menjadi angin barat laut. Pada bulan-bulan Desember sampai Pebruari bertiup angin barat dan pada bulan September sampai Nopember bertiup angin timur. Pada saat-saat itu kapal-kapal dapat berlayar dari Aceh, Malaka, Jawa, dan Makasar berangkat ke arah Maluku dengan angin barat, sedangkan mereka pulang dengan dorongan angin timur kembali ke tempat asal kapal-kapal dagang tersebut.23 Dengan mengikuti pola angin yang sama kapal-kapal dari India dapat berangkat ke arah Malaka dan sebaliknya. Untuk perjalanan ke arah Campa, Cina, Vietnam, dan negeri-negeri di Asia Timur, kapal-kapal dagang dapat berlayar pada bulan Juni sampai Agustus ketika angin bertiup ke arah utara. Kemudian kapal-kapal tersebut dapat kembali ke selatan pada bulan September sampai Desember dengan mengikuti angin yang bertiup ke selatan. 24 Dalam satu contoh, adanya hubungan pelayaran dan perdagangan awal antara India dengan Nusantara, dapat kita lihat dari ditemukannya sebuah prasasti berbahasa Tamil (India Selatan) yang berangka tahun 1088 M. Prasasti ini menggambarkan adanya hubungan dagang antara Sumatra dan India sejak 1088 M, karena ternyata isi dari prasasti ditulis oleh perkumpulan pedagang asal Tamil di Barus, Sumatera Utara. Dalam ulasan lain digambarkan bagaimana komoditi kapur Barus telah dikenal luas di kalangan pedagang Arab dan India bahkan produk ini juga diperdagangkan sampai Eropa. Kapur 22

Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Balai Pustaka, Depdikbud, Jakarta, hal.101-102 23 Ibid., hal. 102 24 Ibid.,, hal. 103

52

barus ini merupakan bahan wewangian dan obat-obatan yang dipergunakan di Arab dan India. Selain itu ditemukannya keramik-keramik Cina di Barus menunjukkan sudah adanya hubungan perdagangan antara Cina dengan Barus di pantai barat Sumatera Utara.25 Dengan demikian sudah sejak lama hubungan perdagangan antara Nusantara dengan daerah-daerah di Asia Barat, Asia Selatan, dan Cina berlangsung. Dari beberapa keterangan pelaut Portugis, mereka mengatakan bahwa para pelaut di Asia dan juga di Nusantara sudah menggunakan peta dan alat-alat navigasi seperti yang dimiliki oleh Portugis. Tambahan lagi banyak kapal-kapal Portugis ataupun Belanda yang melakukan pelayaran menuju kepulauan Nusantara menyewa tenaga navigator dari masyarakat setempat.26 Kondisi geografis kepulauan Nusantara yang dilingkupi laut dan selat, menjadikan wilayah pantai di Nusantara sangat panjang dan luas, sehingga mata pencaharian penduduk juga sangat tergantung dari mengolah laut. Kegiatan ini sudah tentu membutuhkan alat transportasi yang dapat dipakai untuk berlayar ke tengah laut mencari ikan atau menyeberangi laut dan selat untuk berdagang dengan daerah seberang selat atau laut. Namun penduduk di Asia Tenggara dan Indonesia sejak abad ke-16 mampu membuat kapal dengan konstruksi badan kapal terbuat dari papan. Dalam penelitian Antony Reid disebutkan bahwa kapal-kapal yang berlayar di Asia Tenggara dan Indonesia jauh lebih besar dengan dua atau tiga tiang, lambung yang berpasak, dan kemudi kembar. Selain itu kapal-kapal dengan berat ratusan ton juga dibuat di galangan kapal di pantai utara Jawa. 27 Dalam kebudayaan Nusantara kemampuan membuat perahu sudah mereka miliki sejak lama. Perkembangan perahu-perahu bercadik yang dibuat secara sederhana dari kayu yang dilubangi tengahnya seperti lesung dan diberikan kayu penyeimbang di kiri dan kanan badan kapal. Gambar Relief kapal besar bercadik pada candi Borobudur memperlihatkan kemampuan bahari masyarakat terutama yang dipergunakan di pantai 25

Y. Subbarayalu, “ Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus: Suatu Peninjauan Kembali”, dalam Claude Guillot, ed., Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, EFEO-Pusat Penelitian Arkeologi-Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002. 26 27

Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit., hal. 104-107 Antony Reid, op. cit., hal. 48-55

53

utara Jawa pada abad ke-9 M. Pantai utara Jawa dalam laporan Portugis merupakan pusat penghasil kapal-kapal berbadan besar selain yang di datangkan dari Pegu, Burma. Kapal jenis jukung, mayang janggolan, golekan, lambo, padewakang, pinisi, peledang, korakora, Ternate, Tidore, dan sebagainya menunjukkan keanekaragaman jenis kapal di Nusantara. Banyaknya jenis kapal tersebut menunjukkan pula kemampuan masyarakat mampu membuat kapal yang baik untuk pelayaran jarak jauh maupun jarak dekat. Barang-barang yang diperdagangkan dalam pelayaran dan perdagangan di Nusantara itu sangat banyak dan bervariasi. Beberapa daerah menjual produk setempat yang tidak diproduksi di tempat lain seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu manis, kayu cendana, kayu sapan, sagu, beras, dan sebagianya. Mereka menjualnya kepada para pedagang yang datang dengan menukarkannya dengan barang-barang dari Cina, Asia Barat, dan India, seperti sutera, kain yang halus, kain yang kasar, porselain, alat-alat logam, batu permata, senjata api, dan sebagainya. Barang-barang ini seringkali dipertukarkan secara barter atau dengan mata uang perak atau emas.28

Ramainya

perdagangan dan pelayaran tidak terlepas dari peran bandar atau pelabuhan yang menyediakan bermacam fasilitas bagi para pedagang yang hendak menjual atau membeli barang dagangan. Pelabuhan-pelabuhan ini menyebar mulai dari bagian utara, timur, dan selatan Pulau Sumatra, Semenanjung Malayu, sepanjang pantai utara Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, dan begitu banyak yang lainnya di pulaupulau besar dan kecil. Namun perdagangan yang paling utama pada abad ke-16 sampai 18 adalah rempah-rempah. Rempah-rempah inilah yang menarik perhatian bangsa Eropa berdatangan ke Nusantara dengan melakukan pelayaran samudera

menyusuri pantai

Afrika menuju ke India dan Selat Malaka. Sepertinya rempah-rempah yang produksinya lebih sedikit dibandingkan produksi beras, tekstil, tuak, dan ikan asin ini telah menjadi produk yang sangat dicari karena harganya yang mahal. Di samping itu rempah-rempah yang terdiri dari cengkeh, pala, dan bunga pala hanya tumbuh di kepulauan Maluku. Cengkeh hanya dihasilkan di Ternate, Tidore, Makian, dan Motir. Kemudian pada abad ke-16 pohon cengkeh juga ditanam di Pulau Bacan, Ambon, dan Seram. Sedangkan bunga pala hanya tumbuh di kepulauan Banda dan Seram Selatan. Sementara itu hasil 28

Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit., hal. 144-148

54

hutan berupa kayu cendana juga merupakan mata dagangan yang laku di pasaran Cina dan India sehinga kayu cendana yang berasal dari Timor tersebut memiliki nilai jual yang tinggi. Tome Pires dalam pelayarannya tahun 1515 di Maluku, menuliskan pendapatnya tentang tanaman rempah-rempah dan kayu cendana, sebagai berikut: Pedagang Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk bunga pala (fuli) dan Maluku untuk cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia kecuali di tempat itu.29 Laporan Tome Pires di atas menunjukkan bahwa produk rempah-rempah dan kayu cendana merupakan mata dagangan ekspor yang menjanjikan keuntungan besar bagi para pedagang. Para pedagang dari Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, dan lain-lain berbondong-bondong berdatangan ke Maluku dan Nusa Tenggara bagian timur untuk membeli rempah-rempah dan kayu cendana. Di sana para pedagang menukarkan barangbarang yang mereka bawa dari tempat asalnya atau dari Cina dan India, seperti beras, tekstil, benda logam, sutera, porselain, dan lain sebagainya. Armada Portugis pertama kali melakukan pelayaran ke Nusantara di bawah pimpinan Affonso de Albuquerque, sekaligus menaklukkan Bandar Malaka pada tahun 1511 yang dikenal sebagai pasar rempah-rempah di Asia Tenggara. Namun kenyataannya Malaka hanyalah gudang rempah-rempah, sedangkan penghasil rempah-rempah ada di kepulauan Maluku. Dengan demikian maka segera dikirim armada kapal ke Maluku, terutama ke Ternate dan Tidore. Selama hampir setengah abad kekuatan Portugis mendominasi Maluku, sampai kemudian mengalami kemerosotan dan puncaknya adalah ketika kekuatan Portugis berhasil diusir dari Ternate. 30 Tetapi

kelemahan

Portugis

diakibatkan

tidak

mampunya

armadanya

mengamankan jalur pelayaran di Selat Malaka dan juga Goa di India Selatan, sehingga banyak kapal-kapal dagang yang membawa rempah-rempah dan produk lain dari Indonesia bagian tengah dan timur tidak singgah ke Malaka namun melalui jalur pantai barat Sumatra, Aceh, dan kepulauan Maladewa, menyeberangi Lautan Hindia dan langsung menuju ke Laut Merah. Jalur baru ini membuat Portugis tidak lagi menjadi

29

Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 2, 4 30

Anthony Reid, op. cit., hal. 17-18, 27

55

pusat bagi pasaran Eropa, karena produk rempah-rempah mengalir melalui Mesir dan Laut Tengah. 31 Pada akhir abad ke-16 orang-orang Belanda mulai berdatangan ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah langsung ke tempat produksinya di Maluku. Kegairahan para pelaut dan kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi Nusantara disebabkan antara lain karena pecahnya perang kemerdekaan Belanda terhadap Spanyol selama 1560 sampai 1648. Sementara orang-orang Belanda adalah pedagang yang melayari rute Lisabon, Portugal,

dan Eropa Utara. Tetapi pemerintah Spanyol yang menguasai

Portugal melarang kapal-kapal dagang Belanda membeli rempah-rempah dari Lisabon. Pelayaran pertama kapal-kapal Belanda dipimpin oleh

Cornelis de Houtman, yang

berangkat tahun 1595 dan tiba di Pelabuhan Banten, Jawa Barat pada tahun 1596.32 Penyebab lain dari pelayaran orang Belanda dipengaruhi oleh penerbitan buku Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia Portugis) karya Jan Huygen van Linschoten. Van Linschoten adalah seorang pelaut Belanda yang bekerja pada armada Portugis yang melakukan pelayaran perdagangan di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam bukunya tersebut dia menuliskan dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rampah dan keajaiban buah itu, yang memiliki khasiat penyembuh bermacam penyakit. Daya tarik rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan para pedagang pribumi dengan membawanya ke pusat-pusat pasar perdagangan di Jawa dan di Malaka. Dari Bandar Malaka inilah rempah-rempah menyebar ke Cina, India, Asia Barat, dan Eropa. Laporan Van Lindsshchotten di atas membawa pengaruh bagi pelayaran kapal-kapal Belanda ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Perjalanan kapal-kapal dagang asing dan pribumi terutama dari arah barat ke Maluku menjadikan rute laut yang menyusuri Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda menjadi sangat ramai. Sudah barang tentu kapal-kapal tersebut akan menyinggahi daerah-daerah di Nusa Tenggara sebagai tempat transit. Di samping itu daerah Nusa Tenggara juga menghasilkan produk-produk

31

Anthony Reid, op. cit, hal. 27

32

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1998, hal. 36-38

56

yang laku di kalangan pedagang asing terutama hasil kayu cendana, madu, lilin, dan kayu sapan. Ramainya perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk lainnya menjadikan India Timur (East Indies) bukan hanya menjadi kutub yang menarik namun juga menjadi jalur persilangan yang sibuk bagi pelayaran dan perdagangan. Posisi Selat Malaka menjadi sangat strategis bagi lalu lintas pelayaran, terutama bagi kota Malaka yang berdiri sejak awal abad ke-15. Adanya hubungan pelayaran antara Malaka dan Maluku, menjadikan pelabuhan Malaka menjadi pasar rempah-rempah

asal Maluku, yaitu

cengkeh dan pala. Pelabuhan Malaka terus berkembang sebagai penyedia sarana pelabuhan, peralatan rumah tangga, membentuk lembaga perlindungan bagi keamanan kapal-kapal asing, penyediaan komoditi dari berbagai wilayah. Di antara orang asing yang menjadi pedagang dalam jumlah besar adalah penduduk muslim asal Gujarat dan Calicut. Pedagang Hindu asal Coromandel yang dikenal dengan Keling juga banyak yang menjadi pedagang yang melayari rute India-Malaka. Menurut Tome Pires, antara empat sampai lima ribu pelaut datang dan pergi dari Pelabuhan Malaka. Para pedagang asal Gujarat inilah yang membawa lada dan rempah-rempah

sampai ke wilayah Timur

Tengah dan sekitar Laut Mediterania. 33 Ramainya Bandar Malaka membuat banyak para pedagang dari Jawa, Bugis, Makasar, dan dari daerah lain di Indonesia bagian timur, membawa komoditi asal Maluku yang sangat laku di pasaran India dan Cina. Namun jangan lupa bahwa pelayaran ke Maluku mau tidak mau melewati Laut Flores di mana berhimpun beberapa pulau besar dan kecil, seperti Flores, Alor, Pantar, Timor, dan lain-lain. Dalam beberapa laporan, produk kayu cendana asal Timor dan juga Sumba sangat laku di pasaran Cina. Dengan demikian wilayah tersebut sudah tersentuh dinamika pelayaran dan perdagangan yang sangat ramai. Kejatuhan Malaka pada tahun 1511 akibat serangan Armada Portugis yang dipimpin Afonso d’albuquerque, membawa kemunduran bagi Malaka. Banyak para pedagang Muslim yang mencari persinggahan di tempat lain terutama di pantai timur dan barat Sumatra dan juga di pesisir utara Jawa. Masuknya bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16 (1596) di Nusantara membawa perubahan yang besar. Pedagang Belanda dengan 33

Fernand Braudel, op. cit., hal. 526-528

57

segera mendirikan Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 untuk mengkonsolidasikan kekuatan menghadapi para pedagang Eropa lainnya terutama Inggris dan Portugis. 34 Untuk memantapkan kedudukannya di Hindia Timur, VOC merebut Jayakarta dan menggantikannya dengan Batavia pada tahun 1619. Batavia kemudian dijadikan pusat administrasi bagi jaringan pelayaran dan perdagangannya di Asia. Sejak itu, VOC terus memperluas kekuasaan politik dan ekonominya di wilayah Hindia Timur. Beberapa wilayah direbut dari Portugis, seperti Ambon (tahun 1605) dan Pelabuhan Malaka (tahun 1640). Selain itu beberapa kerajaan lokal seperti Kesultanan Makasar dipaksa untuk menerima monopoli perdagangan rempah-rempah, sehingga menimbulkan perang Makasar 1660-1667. Kesultanan Ternate dan Tidore dipaksa menerima pertuanan VOC, hal ini berakibat VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah di pusat produksinya dan bahkan mengatur penanaman dan pengaturan panen untuk mengendalikan harga. VOC memberlakukan pengawasan terhadap sentra-sentra produksi rempah-rempah dengan pelayaran Hongi (Hongi Tochten), pelanggaran atas kuota produksi akan menghadapi penangkapan dan penghancuran kebun rempah-rempah milik penduduk. Banten direbut, Priangan, Cirebon, dan pantai utara Jawa diambil alih dari Mataram sampai pertengahan abad ke-18. Kekuatan laut VOC sejak abad ke-16 belum ada yang menandinginya di Nusantara. Penaklukkan benteng-benteng Portugis di Ambon, Malaka, penaklukkan Makasar, Banten, dan juga sebagian wilayah Mataram di pantai utara Jawa membuktikan kekuatan laut yang dimiliki oleh VOC. Hal ini mengakibatkan VOC menguasai hegemoni politik dan ekonomi di Nusantara. Perebutan hegemoni pelayaran dan perdagangan di Nusantara yang dilakukan VOC menghadapi tantangan dari pelaut-pelaut Makasar dan juga Sultan Makasar. Makasar merupakan pelabuhan yang ramai sejak abad ke-16. Berbagai macam komoditi dari berbagai daerah dapat dibeli dari Pelabuhan Makasar, seperti barangbarang dari Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Irian, Jawa, Kalimantan, dan Philipina Selatan. Budak, rempah-rempah, produk dari laut, dan juga 34

Untuk melihat sejarah singkat VOC lihat C.R. Boxer, Jan Kompeni: Sejarah VOC Dalam Perang dan Damai 1602-1799, sebuah Sejarah Singkat tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda, Sinar Harapan, Jakarta, 1983

58

kayu cendana merupakan produk utama dari daerah timur. Selain itu Makasar juga memperdagangkan produk-produk dari India dan Cina yang didapat dari kehadiran kapalkapal asing di Malaka, atau para pedagang Makasar yang membelinya dari Pelabuhan Malaka. Penguasaan VOC atas Makasar membuat perubahan yang mendasar bagi Makasar. VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah dan yang lainnya. Barang-barang dari India dan Cina dikenakan pajak dan barang-barang komoditi ekspor dijual dengan harga yang tinggi. 35 Kebijakan ini menjadikan VOC melakukan ekspansi perdagangan dengan kapalkapal sendiri, menggunakan gudang-gudang sendiri, termasuk menjualnya melalui tokotokonya sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlawanan dari kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa dan daerah di Nusantara yang kemudian melakukan perdagangan ilegal atau penyelundupan. Hal ini terutama dilakukan oleh Inggris sampai abad ke-18. Para pedagang swasta Inggris

dalam melakukan perdagangan dengan Asia, juga

melakukan ekspansi dengan menjual tekstil India, opium, dan senjata untuk dipertukarkan dengan berbagai mata dagangan dari berbagai pelabuhan di Asia, termasuk juga di Nusantara. Di samping itu para pedagang Cina dengan kapal-kapalnya yang besar sangat aktif berlayar dan memperdagangkan komoditi dari Cina ke Nusantara. Pelayaran kapal-kapal Cina yang mendatangkan banyak keuntungan ini sangat menarik perhatian VOC. Namun peristiwa pembantaian Cina di Batavia, Jawa tahun 1740, VOC mulai membatasi kedatangan Jung Cina ke Nusantara, kapal-kapal Cina hanya diijinkan berdagang di Banjarmasin dan Makasar. Di samping itu banyak para pelaut dan pedagang Makasar yang juga melakukan perdagangan ilegal dengan menjual berbagai macam komoditi dari seluruh Nusantara. Dengan mengunakan perahu-perahunya orang-orang Makasar mengangkut berbagai komoditas dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. 36 Tetapi sejak kejatuhan pelabuhan Makasar, perdagangan bebas di Nusantara mengalami kemerosotan. VOC melakukan praktek monopoli perdagangan yang 35

Heather A. Sutherland dan David S. Bree, ”Quantitative and Qualitative Approaches to The Sudy of Indonesia Trade: The Case of Makasar”, dalam T. Ibrahim Alfian, eds., Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 372-374 36

T. Ibrahim Alfian, eds., op. cit., hal. 375-377

59

kemudian menjadikan perdagangan rempah-rempah menjadi kurang menarik. Eksploitasi Pulau Jawa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda selama abad ke-19 juga menelantarkan daerah luar Jawa terutama di Indonesia bagian timur. Namun munculnya pelabuhan bebas Singapura yang dibangun oleh Inggris tahun 1819, menyadarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melakukan usaha-usaha untuk menyaingi ramainya perdagangan di Singapura. Tarif bea yang rendah yang diberlakukan Inggris di Pelabuhan Singapura membuat banyak pedagang dari Cina, Arab, India, dan bahkan kapal-kapal dari Bugis dan Makasar secara rutin berkunjung ke Singapura untuk menjual barang-barang yang dibawanya dari kepulauan Indonesia bagian timur. Kapal-kapal pinisi dan padewakang milik orang Bugis-Makasar membawa produk-produk seperti lilin lebah, sarang burung, kayu cendana, beras, dan lain-lain. Dibangunnya Singapura sebagai pelabuhan membuat pengaruh Inggris dalam perdagangan di Asia Tenggara meningkat pesat. Antara tahun 1830 sampai akhir 1860-an pelayaran dagang antara Singapura dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara juga meningkat pesat. Mulai dari perahu-perahu kecil berbobot 20 ton sampai kapal-kapal yang bermuatan 200 ton terutama dari Makasar, hilir

mudik antara Singapura dan

pelabuhan-pelabuahn di luar Pulau Jawa. Rata-rata ada 2000 kapal yang singgah di Singapura per tahunnya, atau 6 kapal per hari. Dalam periode tersebut jumlah barang yang diangkut lebih dari 200.000 metrik ton. Pelayaran yang menyinggahi Singapura itu terdiri atas tiga jenis, yaitu pelayaran jarak jauh dengan wilayah Eropa, kedua, pelayaran regional Asia Tenggara, dan terakhir pelayaran lokal. 37 Pelabuhan Singapura merupakan pelabuhan yang dipersiapkan secara matang oleh para pembangunnya sejak 1819, ketika Inggris dan Belanda saling bertukar wilayah, Inggris melepas Bengkulu dan Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pelabuhan Singapura betul-betul dipersiapkan sebagai bandar besar, atau pelabuhan laut dalam. Kondisi alam pulau yang pantainya berlumpur menjadikan pekerjaan menggali atau mengorek lumpur dan menghilangkan batu karang menjadi penting untuk mendapatkan

37

J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 97.

60

pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal besar, terutama setelah banyaknya kapalkapal uap yang berlayar ke Singapura.38 Pelayaran perahu-perahu Cina juga makin meningkat pada awal abad ke-19, mereka juga mengganti kapal tradisional mereka, jung, dengan kapal yang bermuatan lebih besar. Kapal-kapal Cina berdagang di banyak wilayah di Nusantara, terlebih lagi orang Ciuna sudah sejak berabad yang lampau menjadi pendatang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan di kota-kota pelabuhan di Nusantara, jumlah mereka sekitar 135.000 orang atau sepersepuluh dari jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada tahun 1880. Selain itu perahu-perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan juga ikut meramaikan perdagangan interregional, meski muatan yang dibawanya kecil namun jika ditotal sangat besar volume perdagangannya. Mereka melalui jalur pelayaran

dari

daerah pinggirann menuju jalur utama pelayaran. Pelayaran perahu ini masih memainkan peranan yang penting di perairan Indonesia sampai abad ke-20.39 Selain itu peran pedagang Bugis yang berdagang ke Singapura sangat besar, bahkan mereka memiliki kampung yang bernama kallang di Singapura. Para pedagang lokal Singapura secara berkala bertransaksi dengan para pedagang Bugis dalam jumlah yang besar pada saat-saat tertentu yang mereka beri nama ‘Bugis Season’ , atau musim Bugis. Kedatangan perahu-perahu Bugis ini merupakan panen besar bagi para pedagang lokal, karena mereka membawa sejumlah besar barang yang bisa mereka beli. 40 Sementara itu sejak tahun 1824, pemerintah Belanda mendirikan Nederlansch Handel-Maatschappij (NHM) atau Perusahaan Perdagangan Belanda. Perusahaan ini menjadi perusahaan yang memiliki armada kapal yang mengangkut hasil-hasil dari Hindia Belanda ke Eropa. Kapal-kapal Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama, terutama kapal-kapal Inggris. Perkembangan Pelabuhan Singapura membuat Pelabuhan Makasar merosot perannya dalam perdagangan interregional dan regional. Karena Belanda melarang perdagangan bebas di sini.

38

Hanizah Idris, Pelabuhan Singapura ‘A Port By Design’, 1819-1941, Jati, Jurnal Jabatan asia Tenggara, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya No.1, 1995, hal.23-25 39 40

Howard Dick, eds., op. cit.., hal. 98. Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 99

61

Selain itu

Inggris juga mendirikan perusahaan pelayaran dengan bendera

Belanda, yaitu Nederlandsch Indie Stoomvaart-Maatschappij (NISM), dan menjadi perusahaan pelayaran yang disewa pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1865 sampai 1890. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak ingin tergantung dengan perusahaan tersebut, dan mendirikan perusahaan pelayaraan kerajaan, yaitu Koninlijk Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan ini kemudian mengambil alih pengiriman paket pelayaran dari NISM yang telah habis masa kontraknya. KPM ini kemudian mendapat keistimewaan dari pemerintah, seperti memonopoli pengiriman barang-barang milik pemerintah, pengiriman surat, dan perjalanan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu KPM telah mendominasi pelayaran di Hindia Belanda dengan menyinggahi 225 pelabuhan di seluruh kepulauan Hindia Belanda. 41 Kondisi tersebut yang membuat pemerintah Belanda berusaha menyaingi Singapura dengan membuka pelabuhan bebas di Riau (1829), Pontianak, dan Sambas (1834), Sukadana (1837), Makasar (1847), Manado (1848), Ambon, Banda, serta Ternate (1852).42 Usaha ini sedikit berhasil seperti dapat kita lihat dari tulisan Sutherland tentang kedatangan kapal-kapal Cina langsung ke Pelabuhan Makasar selama pertengahan abad ke-19. Kedatangan kapal-kapal Eropa membawa pengaruh yang cukup penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Kekuatan armada kapal yang diperlengkapi dengan meriam yang canggih menjadikan kapal-kapal Portugis dan terutama Belanda mempunyai kekuatan memaksakan perdagangan monopolinya. Peran para pedagang Eropa pada bad ke-16 sampai 18, seringkali dijadikan studi sejarah oleh sejarawan kolonial yang seringkali tidak menuliskan peran para pedagang lokal dan Asia dalam pelayaran dan perdagangan pada masa itu. Kajian yang menggambarkan dinamika perdagangan masyarakat lokal di Nusantara dilakukan oleh J.C. van Leur. Dia dianggap sejarawan yang mempelopori kajian sejarah maritim yang mengkritik cara penulisan historiografi kolonial tentang sejarah ekonomi di Nusantara. Dalam kumpulan tulisan yang dibukukan setelah dia 41

Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 111-112

42

Howard W. Dick, “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya suatu Perekonomian Nasional”, dalam Anne Booth, et.al. eds., Sejarah Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1988, hal. 404-407

62

meninggal kita dapat membacanya dalam “Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History”.43 Dalam bukunya itu, dia melihat perkembangan dari pelayaran dan perdagangan pribumi yang marak selama kekuasaan VOC berkuasa di Nusantara. Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi berekembang secara terbatas. Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan motivasi ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peddling trade (perdagangan penjaja). Peddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciri-ciri tertentu. Pertama-tama perdagangan dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke pulau, dan dari benua ke benua dengan membawa sejumlah barang dagangan tertentu yang tidak besar volumenya. Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain sampai barang dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu investasi modal dari keuntungan. Perbedaan lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak banyak dibandingkan dengan kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalam jumlah massal. Sebab itu tidak mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang mahal dan mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum bangsawan (merchant gentlement.) 44 Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina sekitar 600 ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara diperkirakan 50.000 ton.45 Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik para sejarawan kolonial yang tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga di Nusantara sebagai sesuatu yang otonom yang ada sejak dahulu.

43

Van Leur, J.C., Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History, Bandung, Sumur Bandung, Bandung, 1960. 44

RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, PPKB-LP UI, Depok, 1997, hal. 191 45 Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 192

63

Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan Asia sentrisnya itu, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia yang dia tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari India yaitu Dr. K. N. Chauduri46 mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan emporium. Penelitian Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan tidak adanya perubahan selama ribuan tahun dalam pelayaran niaga di Asia. Menurutnya sejak abad ke-10 M sudah muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran niaga melalui beberapa kota pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka, Kanton, dan sebagainya. Para pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain tanpa harus mengarungi seluruh rute perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina.47 Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-bandar besar yang memiliki fasilitas yang memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar. Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk dipakai memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para pedagang besar atau yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlement merupakan kategori pedagang yang terpenting dan menentukan dalam pelayaran emporia. Namun demikian kita berhutang budi kepada Van Leur karena telah berjasa membuka cakrawala baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.

3.1. Pelayaran Perahu Bugis- Makasar di Nusantara Peran

orang-orang Bugis-Makasar dalam pelayaran di Nusantara sudah

berlangsung sejak abad ke-16. Pada waktu itu kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti Gowa dengan pelabuhannya di Makasar, Bone, Wajo, Luwu, dan lain-lainnya merupakan kerajaan dagang yang kuat. Kekuatan perdagangan laut ini didukung oleh penduduk yang mayoritas hidup dari hasil laut dan perniagaan di laut. Sudah sejak 46

K. N. Chauduri, op. cit., Lihat artikel RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 201-202 47

64

sebelum abad ke-16, mereka memperdagangkan produk-produk rempah-rempah dari Maluku untuk dipertukarkan dengan membawa barang-barang yang dibeli dari Jawa dan Malaka, seperti beras, tekstil, barang-barang logam, sutera, porselain, dan lain lain. Namun persebaran orang Makasar dan Bugis secara besar-besaran dan tidak hanya sekedar berdagang, tetapi juga berpindah tempat, mengakibatkan orang Bugis dan Makasar

menetap di kepulauan Riau, Jawa Timur, dan kepulauan Nusa Tenggara.

Keadaan ini dipicu oleh penaklukkan kerajaan Gowa-Tallo yang bersuku Makasar terhadap kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Wajo, Bone, Luwu, dan lain-lainnya. Penaklukkan oleh orang-orang Makasar ini membuat banyak orang-orang Bugis yang pindah dan menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah sekitar Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya. Sementara itu pengungsian besar-besaran dilakukan oleh orang-orang Makasar pasca penaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo oleh kekuatan militer VOC dalam Perang Makasar 1666-1669. Dalam catatan sumber-sumber Belanda, sejak perjanjian Bongaya, 1667, yang menandai kekalahan Kerajaan Gowa,

membuat

bangsawan Makasar dan para pengikutnya merasa terhina dan pergi meninggalkan tanah Makasar. Pengungsian besar-besaran terjadi pada tahun 1669 ketika secara final VOC mengalahkan pemberontakan orang Makasar, terlebih lagi ketika Arung Palakka, penguasa Bone, menjadi pemimpin utama di wilayah Sulawesi Selatan.48 Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC untuk mengontrol jalur

perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam

kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh melayarinya. Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

48

Leonard Y. Andaya,”The Bugis-Makasar Diaspora”, Journal of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society, Vol. LXVIII, part I, 1995, hal. 119-120

65

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”49 Jawaban ini meneguhkan

semangat orang-orang Makasar untuk melawan

tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapalkapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan Nusantara. Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke-18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.50 Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari Sultan

49

A.B. lapian,”Perebutan Samudera: Laut Sulawesi pada Abad XVI dan XVII”, Prisma, No.11 tahun 1984, hal. 37 50

Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 120-121

66

Banten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun 1680.51 Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom

di

kepulauan Riau. 52 Dampak lain yang terjadi pada abad ke-18 adalah munculnya jaringan perdagangan laut antara kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. Perniagaan ini menjadikan Riau sebagai daerah yang menjanjikan keuntungan besar karena lalu-lalangnya kapalkapal dagang Bugis yang berdatangan dari Jawa dan Sulawesi Selatan, tanah air orang Bugis. Selain itu pada abad ke-18, orang-orang Makasar sudah mulai beralih sikap hanya menjadi pelaut dan pedagang, dan bersama-sama orang Bugis mengarungi lautan di Nusantara dengan kapal-kapal padewakang dan pinisinya yang besar dan kuat. Kegiatan dagang dan perantauan orang Bugis dan Makasar menyebar ke banyak wilayah di kepulauan Nusantara. Kepulauan Maluku yang banyak menghasilkan rempahrempah merupakan tujuan utama pelayaran mereka. Kehadiran pelaut dan pedagang Bugis-Makasar pun tidak ketinggalan. Sejak abad ke-16, di Pelabuhan Ternate terdapat komunitas pedagang Makasar yang menetap di sana, sebuah tempat di tepi pantai dekat Benteng Oranje milik Belanda, yang bernama kampung Makasar. Kampung ini sampai abad ke-19 merupakan kampung yang tidak hanya didiami oleh orang Makasar tetapi juga dari para pedagang Jawa dan Melayu. Selain di Ternate pelaut Bugis-Makasar juga menetap di Ambon, sampai abad ke-19. Kampung-kampung muslim ini juga didiami oleh

51 52

Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 121-125 Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 125-128

67

pelaut dari Mandar, Melayu, dan Jawa. Pelayaran kapal-kapal padewakang itu juga menyinggahi pulau-pulau di Banda, Kei dan Aru.53 Dalam peta yang dibuat oleh orang Bugis, kita dapat melihat begitu luasnya pelayaran yang dilakukan oleh perahu-perahu Bugis. Kajian Le Roux atas peta yang ditemukan di perkampungan bajak laut di Santhel yang terletak di Teluk Sekana di Pulau Singkep tahun 1854, menggambarkan peta-peta wilayah di seluruh Nusantara, sebagian Asia Tenggara, Australia Utara, dan wilayah Cina. Nama-nama daerah seperti Kalantang (Kelantan), Djoro’ (Johor), Atje (Aceh), Palimbang (Palembang), Sibiro’ (Siberut), Ballitong (Belitung), Poelo Lao’ (Pulau Laut), Tjinabaloe (Kinabalu),

Koetaringang

(Kotawaringin), Taranate (Ternate), Koeantong (Kanton), Saiang (Siam), Pigo (Pegu), Maladiwa (Maladewa), Tana Palawang (Pulau Palawan), Mangindano (Mindanao), Marege’ (Australia Utara), dan lain-lain. Dari Nama-nama tempat yang terdapat dalam peta Bugis ini menunjukkan luasnya pengetahuan tentang daerah-daerah di Asia Tenggara, Pilipina Selatan, Australia Utara, dan Cina. Peta itu juga menunjukkan rute dan tujuan pelayaran kapal-kapal Bugis sebelum pertengahan abad ke-19.54

3.2. Perdagangan Penjaja (Peddler-Trade)

Pelayaran kapal-kapal Belanda pada akhir abad ke-16 dipengaruhi oleh terbitnya buku Itinerario yang ditulis oleh Jan Huygen van Linschoten, dia adalah seorang pelaut Belanda yang bekerja pada armada Portugis yang melakukan pelayaran perdagangan di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam bukunya tersebut dia menuliskan dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rampah dan keajaiban buah itu, yang memiliki khasiat penyembuh bermacam penyakit. Tulisannya tentang pala, bunga pala dan cengkeh diuraikan sebagai berikut:

53

R.Z. Leirissa, “The Bugis-Makasarese in the Port Town:Ambon and Ternate Through the Nineteenth Century”, Bijdragen Tot de Taal-land-En Volkenkunde, Deel 156, 2000, hal. 619-633 54 Le Roux, C.C.F.M., A.A. Cense, ‘Boegineesche Zeekaarten van den Indischen Archipel’, Tijdschrift van het Koninlijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Tweede Serie, Deel LII, Leiden, E. Brill, 1935, hal. 706-714

68

Pohon-pohon yang membuahkan pala dan bunga pala itu tidak berbeda dengan pohon buah pir, tetapi daunnya lebih pendek dan bundar, baik untuk peneyembuh sakit kepala, untuk ibu dan untuk syaraf. Pala terbalut oleh tiga jenis kulit. Yang paling utama dan paling luar seperti daging kelapa, yang membalut buahnya, adalah bunga pala, yang berguna bagi obat-obatan. Buah pala menenangkan otak, menajamkan daya ingat, menghangatkan dan menguatkan tenggorokan, mengusir angin dari tubuh, menyegarkan nafas, melancarkan kencing dan menghentikan mencret. …bunga pala terutama baik untuk selesma dan untuk pria yang lemah, menghilangkan rasa marah dan memudahkan buang angin….Pohon cengkeh banyak dahannya dan bunganya tidak sedikit, yang kemudian menjadibuah-buah yang dinamakan ‘cloves’ karena bentunya mirip cakar atau ’claws’. Cengkeh banyak digunakan untuk memasak daging maupun meramu obat. Air cengkeh hijau yang disuling harum baunya, dan menguatkan jantung, yang sakit cacar menjadi berkeringat dengan cengkih, bunga pala, dan cabe hitam….Cengkeh memperkuat hati, tenggorokan, jantung, melancarkan pencernaan, memudahkan ke luarnya kencing, dan bila ditaruh di mata dapat memelihara penglihatan.55 Daya tarik rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan para pedagang pribumi dengan membawanya ke pusat-pusat pasar perdagangan di Jawa yang terutama di Malaka. Dari Bandar Malaka inilah rempah-rempah menyebar ke Cina, India, Asia Barat, dan Eropa. Laporan Van lindsshchotten di atas membawa pengaruh bagi pelayaran kapal-kapal Belanda ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Perjalanan kapal-kapal dagang asing dan pribumi terutama dari arah barat ke Maluku menjadikan rute laut yang menyususri Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda menjadi sangat ramai. Sudah barang tentu kapal-kapal tersebut akan menyinggahi daerah-daerah di Nusa Tenggara sebagai tempat transit. Di samping itu daerah Nusa tenggara juga menghasilkan produk-produk yang laku di kalangan pedagang asing terutama hasil kayu cendana, madu, lilin, dan kayu sapan.

3.2.1. Sejarah Ekonomi menurut J.C. Van Leur

Sumbangan van Leur dalam penulisan sejarah Indonesia cukup besar artinya, terutama kritikannya terdapat

penulisan sejarah Hindia Belanda yang lebih banyak

bercorak Eropa sentris. Dalam kajiannya tentang sejarah perekonomian di Asia dan juga 55

Laporan Van Lindschotten dalam bukunya, Titinerario, Amsterdam, 1595, kutipan di atas merupakan terjemahan langsung oleh Wilard A. Hanna dan Des Alwi, dalam Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 9-10

69

di Indonesia, van Leur mengemukakan bahwa selalam ini sejarawan Belanda lebih memfokuskan peran orang-orang Belanda sendiri. Sehingga kekuasaan dan dominasi VOC atas berbagai wilayah di Nusantara dianggap mewakili dinamika pelayaran dan perdagangan di wilayah tersebut. Padahal dalam kajian van Leur, dia mengungkapkan bahwa pelayaran dan perdagangan pribumi juga berkembang dengan pesat.56 Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi berekembang secara terbatas. Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan motivasi ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peeddling trade (perdagangan penjaja). Peeddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciriciri tertentu. Pertama-tama perdagangan dilkukan dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke pulau, dari benua ke benua, dengan membawa sejumlah barang dagangan tertentu yang tidak besar volumenya. Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain sampai barang dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu investasi modal dari keuntungan. Perbedaan lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak banyak dibandingkan dengan kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalam jumlah massal. Sebab itu tidak mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang mahal dan mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum bangsawan (merchant gentlement.) 57 Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina sekitar 600 ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara diperkirakan 50.000 ton.58 Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik

56

Dalam buku yang ditulis oleh Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, Jilid I, Yayasan Obor Indonesia, jakarta, 1992 dan Jilid II Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indoensia, Jakarta, 1999, membuktikan tentang ramainya perdagangan di Nusantara sejak abad ke-15 sampai abad ke-17 57 RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, PPKB-LP UI, Depok, 1997, hal. 191 58 Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 192

70

para sejarawan kolonial yang tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga di Nusantara sebagai sesuatu yang otonom yang ada sejak dahulu. Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan Asia sentrisnya, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia yang dia tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari India yaitu Dr. K. N. Chauduri59 mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan emporium. Penelitian Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan tidak adanya perubahan selama ribuan tahun dalam pelayaran niaga di Asia. Menurutnya sejak abad ke-10 M sudah muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran niaga melalui beberapa kota pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka, Kanton, dan sebagainya.Para pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain tanpa harus mengarungi seluruh rute perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina.60 Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-bandar besar yang memiliki fasilitas yang memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar. Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk dipakai memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para pedagang besar atau yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlement merupakan kategori pedagang yang terpenting dan menentukan dalam pelayaran emporia. Namun demikian kita berhutang budi kepada Van Leur karena telah berjasa membuka cakrawala baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.

59

K. N. Chauduri, Trade and Civilisation in The Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750 , Cambritge, Univercity Press, Cambritge, 1989 60 Lihat artikel RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 201-202

71

3.2.2. Ekonomi dan perdagangan Maritim Periode Hindia Belanda

Dibangunnya Singapura sebagai pelabuhan membuat pengaruh Inggris dalam perdagangan di Asia Tenggara meningkat pesat. Antara tahun 1830 sampai akhir 1860-an pelayaran dagang antara Singapura dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara meningkat pesat. Mulai dari

perahu-perahu keci berbobot 20 ton sampai kapal-kapal yang

bermuatan 200 ton terutama dari Makasar, hilir mudik antara Singapura dan pelabuhanpelabuahn di luar pulau Jawa. Rata-rata ada 2000 kapal yang singgah di Singapura pertahunnya, atau 6 kapal perhari. Dalam periode tersebut jumlah barang yang diangkut lebih dari 200.000 metrik ton. Pelayaran yang menyinggahi Singapura terdiri atas tiga jenis, yaitu pelayaran jarak jauh dengan wilayah Eropa, kedua, pelayaran regional Asia Tenggara dan terakhir pelayaran lokal. 61 Pelabuhan Singapura merupakan yang dipersiapkan secara matang oleh para pembangunnya sejak 1819, ketika Inggris dan Belanda saling bertukar wilayah. Inggris melepas Bengkulu dan Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pelabuhan Singapura betul-betul dipersiapkan sebagai bandar besar, atau pelabuhan laut dalam. Kondisi alam pulau yang pantainya berlumpur menjadikan pekerjaan mengali atau mengorek lumpur dan menghilangkan batu karang menjadi penting untuk mendapatkan pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal besar, terutama setelah banyaknya kapal-kapal uap yang berlayar ke Singapura.62 Pelayaran perahu-perahu Cina juga makin meningkat pada awal abad ke-19, mereka juga mengganti kapal tradisional mereka, jung, dengan kapal yang bermuatan lebih besar. Kapal-kapal Cina berdagang dengfan bayak wilayah di Nusantara, terlebih lagi orang Ciuna sudah sejak berabad yang lampau menjadi pendatang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan dikota-kota pelabuhan di Nusantara, jumlah mereka sekitar 135.000 orang atau sepersepuluh dari jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada tahun 61

J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 18002000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 97. 62

Hanizah Idris, Pelabuhan Singapura ‘A Port By Design’, 1819-1941, Jati, Jurnal Jabatan asia Tenggara, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya No.1, 1995, hal.23-25

72

1880. Selain itu perahu-perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan juga ikut meramaikan perdagangan interregional, meski muatan yang dibawanya kecil namun jika ditotal sangat besar volume perdagangannya. Mereka melalui jalur pelayaran

dari

daerah pinggirann menuju jalur utama pelayaran. Pelayaran perahu ini masih memainkan peranan yang penting di perairan Indonesia sampai abad ke-20.63 Selain itu peran pedagang bugis yang berdagang ke Singapura sangat besar, bahkan mereka memiliki kampung yang bernama ‘kallang’ di Singapura. Para pedagang lokal Singapura secara berkala bertransaksi dengan para pedagang Bugis dalam jumlah yang besar pada saat-saat tertentu yang mereka beri nama ‘Bugis Season’ , atau musim Bugis. Kedatangan perahu-perahu Bugis ini merupakan panen besar bagi para pedagang lokal, karena mereka membawa sejumlah besar barang yang bisa mereka beli.

64

Sementara itu sejak tahun 1824, pemerintah Belanda mendirikan Nederlansch Handel-Maatschappij (NHM) atau Perusahaan Perdagangan Belanda. Perusahaan ini menjadi perusahaan yang memiliki armada kapal yang mengangkut hasil-hasil dari Hindia Belanda ke Eropa. Kapal-kapal Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama, terutama kapal-kapal Inggris. Perkembngan pelabuhan Singapura membuat pelabuhan Makasar merosot perannya dalam perdagangan interregional dan regional. Karena Belanda melarang perdagangan bebas di sini. Selain itu

Inggris juga mendirikan perusahaan pelayaran dengan bendera

Belanda, yaitu Nederlandsch Indie Stoomvaart-Maatschappij (NISM), dan menjadi perusahaan pelayaran yang disewa pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1865 sampai 1890. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak ingin tergantung dengan perusahaan tersebut, dan mendirikan perusahaan pelayaraan kerajaan, yaitu, Koninlijk Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan ini kemudian mengambil alih pengiriman paket pelayaran dari NISM yang telah habis masa kontraknya. KPM ini kemudian mendapat keistimewaan dari pemerintah, seperti memonopoli pengiriman barang-barang 63

J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 98. 64

Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 99

73

milik pemerintah, surat dan perjalanan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu KPM telah mendominasi pelayaran di Hindia Belanda dengan menyinggahi 225 pelabuhan di seluruh kepulauan Hindia Belanda. 65

3.2.3. Indonesia Pokok-Pokok Kajian Sejarah dan Budaya Masyarakat Maritim di Indonesia Kelompok masyarakat maritim ini biasanya tinggal di perkampungan di sepanjang pantai, teluk atau muara sungai. Mereka hidup dengan cara mengolah hasil laut dan perdagangan antar pulau atau wilayah. Beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan bahwa karakter budaya maritim ditentukan oleh enam unsure (Van Leur dan Verhoeven, 1974:5-8), yaitu ; a. Kedudukan geografinya berupa wilayah daratan yang dekat dengan laut, b.

Bentuk tanah dan pantainya

c. Luas

wilayah

daratan

yang

menghasilkan

produk-produk

komoditi

perdagangan maritim, d. Jumlah penduduk yang hidup dari mengolah laut e. Karakter maritim dari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut f. Sifat

pemerintah (untuk kasus Indonesia dapat diterapkan ditingkat suku

bangsa, pemerintahan lokal atau pada masa lalu adalah kerajaan atau kesultanan yang pernah ada pada suatu wilayah) dan lembaga-lembaganya yang mendukung eksplorasi kearah laut. Dari enam unsur di atas, kita dapat memetakan suku-suku bangsa manakah di Indonesia yang memiliki semua atau sebagian dari unsure-unsur tersebut. Kemudian dilakukan suatu penelitian baik itu yang bersifat pustaka mapun penelitian lapangan yang menggunakan sumber-sumber sejarah lisan melalui wawancara atau tradisi lisan. Sebagai upaya untuk memudahkan kajian terhadap masyarakat maritim ada baiknya kita lihat beberapa rujukan berikut. Dalam aspek kajian sosial budaya maritim dapat meliputi sebagian suku bangsa di Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari

65

Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 111-112

74

mengolah laut maupun menggunakan teknologi perahunya untuk melakukan pelayaran dan perdagangan maritim. Keseluruhan aspek dari kehidupan dan kegiatan ekonomi social, budaya dan religi yang terkait dengan dunia maritim ini dapat juga disebut sebagai ‘etnografi maritim’ (Sedyawati, 2005: 3-5). Adapun tema-tema yang dapat dijadikan pokok kajian adalah: a. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut. Sebagai contoh adanya tokoh mitos Sawerigading dalam masyarakat Bugis, yang menjelajahi perairan Nusantara dengan armada perahunya pada masa lalu, mitos tentang pelayaran nenek moyang orang Lamalera di Pulau Lembata asal Luwuk, Sulawesi Selatan, yang ikut dalam pelayaran armada Majapahit ke Maluku dan Nusa Tenggara. (Barnes, 1996) b. Membuat deskripsi geografi pantai dan laut yang menjadi tempat tinggal masyarakat maritim, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan perairan yang menjadi wilayah eksplorasi masyarakat maritim, seperti; pantai-pantai, laut lepas, muaramuara sungai, teluk dan juga sungai-sungai yang menjadi penghubung wilayah pedalaman (hinterland) dengan daerah pantai, termasuk juga mendeskripsikan iklim sistem angin dan demografinya. c. Peralatan untuk membuat perahu atau kapal kayu d. Aspek kesenian dari budaya masyarakat maritim, seperti karya-karya sastra berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, seni tarinya, musik, seni rupa, seni tenunan, kerajinan dan busana yang terkait dengan tradisi maritim e. Teknologi perkapalan dan pelayaran, meliputi penggunaan tiang-tiang layar dan layarnya, bentuk perahu, tonase, persenjataan, peralatan penangkap ikan, sistem navigasi, peta, jalur-jalur pelayaran, f. Jenis-jenis kota pelabuhan dan pemukiman-pemukiman suku-suku maritim. Kota yang menjadi pusat kerajaan maritim hidup dari ekonomi perdagangan dan untuk mengamankan jalur-jalur pelayarannya, dibentuklah armada angkatan laut. Kota-kota ini juga harus dideskripsikan segregasinya dan munculnya kampung-kampung ditepi pantai, akibat adanya pelayaran, perdagangan dan migrasi yang dilakukan oleh suku-suku maritim, sebagai contoh di Kota Banten lama terdapat kampung Pamarican, dari kata merica atau lada, yaitu tempat para pedagang merica, Pecinan (tempat tinggal pedagang

75

Cina), Dermayon (tempat tinggal orang Indramayu), di Jakarta terdapat kampung Pekojan (tempat tinggal penduduk dari anak benua India) g. Organisasi pelayaran, seperti adanya pembagian tugas kerja dan juga termasuk pembagian hasil keuntungan yang di Bugis dan Makasar disebut Amanna Gappa. Sistem pajak dan upeti. h. Catatan tentang pola pemukiman dan pola migrasi yang terjadi, adanya bencana alam, seperti tsunami (ibeuna-Aceh), cerita mitos

tenggelamnya

pulau Lepan Batan yang menjadi tempat tinggal nenek moyang orang Lamalera, cerita banjir besar atau tsunami yang menghanyutkan orang Bajo (berasal dari kata bajo-bajo atau bayang-bayang dari orang-orang yang terseret air bah atau banjir). i.

Deskripsi tentang pasar-pasar

lokal dan Jenis-jenis komoditi yang

diperdagangkan oleh mereka, baik produk dari pedalaman atau hasil laut yang mereka eksplorasi. (Wahyono, 2000). Sebagai contoh lada menjadi mata dagangan ekspor kerajaan Banjar, sehingga Babad Banjar mencatat bahwa lada adalah ‘dagangan negri’. (Boomgaard, 1997). Selain itu ada contoh upeti (wase) atau pajak yang dikenakan terhadap jual beli di pasar (pekan) Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dalam Hikayat Bustanus Salatin dikutipkan: ‘Dan ialah yang memaknakan Bail Um Mal dan uzur negeri Aceh Darus-Salam dan Cukai pekan dan ialah yang sangat murah karunianya akan segala rakyat dan mengaruniai sedekah akan segala fakir miskin, pada tiap-tiap berangkat sembahyang Jumat.’ (Poesponegoro, 1984: 267)

j.

Sistem religi masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut

k. Sistem hak ulayat laut (sea tenure) yang ada dan mekanisme adat yang mengaturnya

terkait

sistem

pengelolaan

sumber

daya

laut

yang

menggambarkan rumitnya usaha adaptasi yang dilakukan manusia dengan lingkungan laut sekitarnya. Dan juga gambaran tentang kearifan masyarakat yang melakukan pengaturan untuk tidak merusak laut dan habitatnya.

76

l.

Kekuasaan politik yang muncul, baik ditingkat lokal maupun adanya kesultanan atau kerajaan yang ada.

Sebagai tambahan untuk melakukan kajian untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat yang bercorak maritime kita dapat mendata beberapa hal yang dikemukakan oleh David A. Taylor (1992): 1.

Tentang berbagai hal yang bersifat tradisi lisan yang ada dalam masyarakat maritime tersebut, seperti; legendanya, lagu-lagu rakyat, cerita mitos dan asal usul nama tempat (toponimi)

2.

Kemudian tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang terkait dunia maritime masyarakat. Misalnya adanya kepercayaan tentang tahyul, nasib baik dan buruk, tanda-tanda alam yang dapat dipakai memprediksi cuaca.

3.

Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, berupa upacara-upacara tradisional memberkati kapal, memulai menangkap ikan dan upacara ritus peralihan

4.

Kebudayaan fisik yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut (material culture),

berupa

bangunan

perahu

atau

kapal,

bagian-bagian

pembentuknya, peralatan penangkap ikan atau produk laut lainnya, senjata dan lain-lain. 5.

Cara dan kebiasaan makan, dan makna makanan tertentu dalam masyarakat

Pokok-pokok bahasan tersebut tentunya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan juga tingkat keluasan area yang dikaji. Sebagai contoh kita bias melihat suatu wilayah satuan bahari mulai dari sebuah teluk atau selat yang kecil, muara sungai sampai satuan bahari yang lebih besar seperti kawasan Laut Jawa, Laut Flores, Selat Malaka, Selat Makasar, Laut Banda dan lain-lain. Dengan mendata point-poin diatas diharapkan akan membantu kita yang hendak melakukan kajian peradaban sejarah atas masyarakat maritime yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan wilayahnya.

77

3.3.3.1.Pentingnya Kajian Sejarah Maritim Lokal Dengan demikian sebetulnya sudah sejak lama sejarah dan kehidupan bahari di Nusantara itu sudah menyatu sebagai suatu kenyataan yang ada dari abad ke abad. Namun kenyataan yang ada kajian sejarah bahari masih jauh dari cukup, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan A.B. Lapian dalam pidato guru besarnya yang mengambil tema “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”.66 Sehingga studi tentang sejarah bahari dan berbagai aspeknya sangat dibutuhkan bagi sebuah rekonstruksi sejarah Indonesia yang lebih utuh. Dalam tulisan AB. Lapian, pendekatan sejarah maritim indonesia harus bisa melihat seluruh wilayah perairannya, sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu. Di samping itu integrasi yang dimaksudkannya bisa beragam sesuai dengan kondisi geografisnya atau bisa juga dilihat dari sudut politis, ekonomis, sosial, dan kultural. AB. Lapian juga memberikan pandangan bahwa kajian tentang sejarah maritim dapat dimulai dari sejarah teluk kecil atau selat yang sempit sebagai tempat para nelayan mengembangkan kegiatan matapencahariannya. Di samping itu akibat adanya pengaruh politik dan ekonomi, kajian bisa ditingkatkan lebih luas lagi dengan melihat selat dan laut yang lebih besar dan ramai oleh perdagangan. Semisal Selat Makasar, Selat Malaka, Selat Madura, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan lainlain.67 Dengan demikian kajian sejarah bahari di Indonesia terdiri atas berbagai macam ‘satuan bahari’ atau yang dikenal dengan sea systems. Menurut pandangan AB. Lapian, heartland atau daerah inti dari sebuah negara kepulauan bukanlah suatu pulau melainkan suatu wilayah maritim yang sentral letaknya. Dengan pendekatan seperti itu penulisan sejarah dapat melahirkan deskripsi dan analisa yang baru.68 Gambaran yang cukup menarik diberikan oleh A.B. Lapian tentang beragam jenis perahu dan kapal yang bisa dipakai oleh penduduk pribumi di Nusantara. Pilihan untuk berlayar tersedia banyak jenis sarana, dengan sampan, perahu, jukung, galai, gobang, 66

AB. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah bahari: Pidato Pengukuhan Guru besar Luar Biasa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret 1992 67 AB. Lapian, op. cit., hal. 5-6 68 AB. Lapian, op. cit., hal. 6-7

78

lancang, lepa-lepa, londe, padewakang, pencalang, pinisi, rah, soppe, wangkang, dan berbagai sarana angkutan air lainnya. Jenis-jenis angkutan laut tersebut ini mencerminkan kekayaan perbendaharaan alat angkutan yang digunakan untuk mengadakan hubungan antar pulau. Beberapa di antaranya hanya dikenal dalam lingkungan sukubangsa tertentu, sedangkan ada jenis perahu yang tersebar di seluruh Nusantara. Berbagai jenis perahu yang disebut dalam daftar di atas mempunyai tingkat kelayakan laut yang berbeda-beda.69 Selain itu kajian sejarah maritim juga membuka kajian yang luas tentang komunikasi lintas budaya (cross cultural communication) lewat media laut antara satu komunitas dan komunitas yang lain yang dapat menjadi dasar bagi proses integrasi di kalangan masyarakat Indonesia. Laut telah menjadi sarana bagi terwujudnya persatuan, pengangkutan, sarana pertukaran dan hubungan. Meski laut juga merupakan kondisi alam yang dapat memisahkan kalau masyarakat tidak mengatasinya dengan pembangunan di bidang teknologi perkapalannya. 70 3.3.3.2. Beberapa pokok Kajian tentang Masyarakat Maritim71 Kelompok masyarakat maritim ini biasanya tinggal di perkampungan di sepanjang pantai, teluk atau muara sungai. Mereka hidup dengan cara mengolah hasil laut dan perdagangan antar pulau atau wilayah. Beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan bahwa karakter budaya maritim ditentukan oleh enam unsur (Van Leur dan Verhoeven, 1974:5-8), yaitu ; g. Kedudukan geografinya berupa wilayah daratan yang dekat dengan laut, h.

Bentuk tanah dan pantainya

i.

Luas

wilayah

daratan

yang

menghasilkan

produk-produk

komoditi

perdagangan maritim, j.

Jumlah penduduk yang hidup dari mengolah laut

k. Karakter maritim dari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut 69

AB. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah bahari: Pidato Pengukuhan Guru besar Luar Biasa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret 1992, hal.4 70

Singgih Tri Sulistiono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, Jakarta, DIKTI, 2004, hal. 7 sebagian draft tulisan dikutip dari tulisan Penulis dalam draft Kajian Peradaban Maritim dalam Buku Pedoman Kajian Geografi Sejarah oleh Agus Aris Munandar dkk, Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2006 71

79

l.

Sifat

pemerintah (untuk kasus Indonesia dapat diterapkan ditingkat suku

bangsa, pemerintahan lokal atau pada masa lalu adalah kerajaan atau kesultanan yang pernah ada pada suatu wilayah) dan lembaga-lembaganya yang mendukung eksplorasi kearah laut. Dari enam unsur di atas, kita dapat memetakan suku-suku bangsa manakah di Indonesia yang memiliki semua atau sebagian dari unsure-unsur tersebut. Kemudian dilakukan suatu penelitian baik itu yang bersifat pustaka mapun penelitian lapangan yang menggunakan sumber-sumber sejarah lisan melalui wawancara atau tradisi lisan. Dalam aspek kajian sosial budaya maritim dapat meliputi sebagian suku bangsa di Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari mengolah laut maupun menggunakan teknologi perahunya untuk melakukan pelayaran dan perdagangan maritim. Keseluruhan aspek dari kehidupan dan kegiatan ekonomi social, budaya dan religi yang terkait dengan dunia maritim ini dapat juga disebut sebagai ‘etnografi maritim’72

3.3.3.3. Tema Tema Pokok Kajian a. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut. Sebagai contoh cerita mitos tentang pelayaran nenek moyang orang Lamalera di Pulau Lembata asal Luwuk, Sulawesi Selatan, yang ikut dalam pelayaran armada Majapahit ke Maluku dan Nusa Tenggara, yang tersurat dalam ‘Syair Asal usul’ atau ‘Lia Asa Usu’. Orang Lamalera juga memiliki cerita mitos tentang perahu tradisional mereka pertama yang dibuat nenek moyangnya di pulau Lepanbatan yang kemudian diceritakan tenggelam karena bencana alam, perahu peledang inilah yang membawa nenek moyang orang Lamalera ke pulau Lembata.73 Dalam tradisi lisan yang dikenal oleh masyarakat Roti, mereka mengenal apa yang disebut dengan tutui teteek (kisah nyata). Dikisahkan adanya seorang nusak di Tola Manu

(Termanu) yang melawan kompeni Belanda dan juga dikisahkan adanya

keterangan tentang ramainya pelabuhan dagang di Tola Manu. Kisahnya sebagai berikut:

72

Edi Sedyawati, ed, Eksplorasi Sumber Budaya Maritime, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKB, UI, 2005, hal. 3-5 73 lihat Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996

80

Pulau Roti menamakan Nusak Tola Manu, ‘Nusak yang membantai kompeni’ (Nusa Manatati Koponi). Sebelumnya nusak Tola Manu disebut Koli Oe do Buna Oe, kemudian dipendekkan menjadi Koli do Buna…….Dikatakan bahwa ketika Koli do Buna masih merupakan pelabuhan besar, perahu dagang tidak pernah berhenti berdagang mengunjungi Roti dan mereka biasanya berlabuh di kota Leleuk; orang Buton, Makssar, Solor, Sawu, dan Ndau pergi dan datang.74

Dengan demikian dari cerita tutui teteek tersebut digambarkan juga adanya pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Buton, Makassar, Solor, Sawu dengan menyinggahi pelabuhan di Pulau Roti. b. Membuat deskripsi geografi pantai dan laut yang menjadi tempat tinggal masyarakat maritim, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan perairan yang menjadi wilayah eksplorasi masyarakat maritim, seperti; pantai-pantai, laut lepas, muaramuara sungai, teluk dan juga sungai-sungai yang menjadi penghubung wilayah pedalaman (hinterland) dengan daerah pantai, termasuk juga mendeskripsikan iklim sistem angin dan demografinya. c. Peralatan atau teknologi untuk membuat perahu atau kapal kayu, sebagai contoh perahu peledang yang dipergunakan oleh para nelayan Lamalera di Pulau Lembata untuk berburu ikan paus. Perahu peledang ini merupakan perahu besar sepanjang 9-10 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi dinding perahu anatara 1 sampai 1,5 meter. Perahu ini dibangun dari bahan papan kayu (ara blikeng) dengan konstruksi kuat tanpa menggunakan paku besi tetapi dari pasak kayu dan ikatan rotan.75 Selain itu di Selat Sape, sebagai alat transportasi menangkap ikan orang Komodo membuat perahu atau sampan yang terbuat dari kayu rengo atau kawu puah (bombax ceiba) yang bisa

74

James J. Fox, Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan karangan Mengenai masyarakat Pulau Roti, Jakarta, Djambatan, 1986, hal. 14, 26, 28 75 lihat R.H. Barnes, Lamalerap: A Whaling Village in Eastern Indonesia, Jurnal Indonesia (Cornell University), No. 17, April 1974, Lihat juga Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996

81

bertahan selama tiga tahun, sedangkan sampan yang dibuat dari kayu pohon woh (sterculia foetida) bisa bertahan selama sepuluh tahun.76 d. Aspek kesenian dari budaya masyarakat maritim, seperti karya-karya sastra berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, seni tarinya, musik, seni rupa, seni tenunan, kerajinan dan busana yang terkait dengan tradisi maritim. e. Teknologi perkapalan dan pelayaran, meliputi penggunaan tiang-tiang layar dan layarnya, bentuk perahu, tonase, persenjataan, peralatan penangkap ikan, sistem navigasi, peta, jalur-jalur pelayaran. 77 Untuk kajian tentang perahu-perahu tradisional lihat juga karya Horst Liebner, ‘.78 Untuk jalur-jalur pelayaran yang melewati wilayah utara Nuasa Tenggara kemudian langsung ke Maluku, kemudian jalur selatan yang menyusuri ke selatan via selat Lombok menuju bagian selatan Sumbawa kemudian menuju Sumba atau Ende dan terus ke Kupang.79 f. Jenis-jenis kota pelabuhan dan pemukiman-pemukiman suku-suku maritim. Kota yang menjadi pusat kerajaan maritim hidup dari ekonomi perdagangan dan untuk mengamankan jalur-jalur pelayarannya, dibentuklah armada angkatan laut. Kota-kota ini juga harus dideskripsikan segregasinya dan munculnya kampung-kampung ditepi pantai, akibat adanya pelayaran, perdagangan dan migrasi yang dilakukan oleh suku-suku maritim. Di Lombok ada Pelabuhan Labuhan Haji (Saboaji) dan Piju (Picu) di Lombok Timur, Pelabuhan Ampenan dan Tanjungkarang di Lombok Barat, setiap pelabuhan dipimpin oleh Subandar (syahbandar). g. Organisasi pelayaran, seperti adanya pembagian tugas kerja dan juga termasuk pembagian hasil keuntungan yang di Bugis dan Makasar disebut Amanna Gappa. Di 76

J.A.J. Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya, Balai Pustaka, Jakarta, 1987,

hal. 7-9 77

Untuk perkembangan perahu lokal di Nusa Tenggara lihat lihat R.H. Barnes, Lamalerap: A Whaling Village in Eastern Indonesia, Jurnal Indonesia (Cornell University), No. 17, April 1974, Lihat juga Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996, sedangkan orang Bali, Lombok, dan Sumbawa banyak didatangi oleh para pedagang Bugis dan Makasar yang mempengaruhi penggunaan perahu mereka pada masyarakat pedagang lokal, namun para pedagang Bugis dan Makasar dengan perahu padewakang dan pinisinya yang mewarnai pelayaran di Nusa Tenggara, lihat I Putu Suwitha, ‘Perahu Pinisi di Sunda kecil: Suatu Studi tentang Pola-pola perniagaan Abad XVIII-XIX, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, ed., op. cit., 78 Lihat Edi Sedyawati, ed, Eksplorasi Sumber Budaya Maritime, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKB, UI, 2005 79 lihat I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit Djambatan-KITLV, Jakarta, 2002

82

pelabuhan Bima yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Bima di Sumbawa Timur, pihak kesultanan mengeluarakan Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima yang memuat aturan-aturan pembayaran bea cukai di bandar Bima, mengatur tentang izin dan pelayanan kecelakaan pelayaran, mengatur perdagangan di Manggarai, mengatur perjanjian dengan VOC soal pelayaran dan Perdagangan. Sebagai contoh kapal-kapal Eropa yang singgah di Bima dikenakan bea 10 real untuk barang dagangan seberat 10 koyan (20 ton), kapal-kapal dari Jawa, yang singgah di Bima akan dikenakan bea 1 real untuk muatan dagangan senilai 20 real, namun kapal yang hanya singgah tanpa berdagang selama seminggu tidak dikenakan bea. Undang-Undang ini juga mengatur larangan berdagang pada siang hari di hari Jumat dan menghukum para pelaut yang berkelahi ditempat umum. Untuk peraturan yang diterapkan di Manggarai, terutama dikenakan pada perdagangan dan kepemilikan budak.80 m.

Catatan tentang pola pemukiman dan pola migrasi yang terjadi, adanya

bencana alam, seperti tsunami (ibeuna-Aceh), cerita mitos tenggelamnya pulau Lepan Batan yang menjadi tempat tinggal nenek moyang orang Lamalera, cerita banjir besar atau tsunami yang menghanyutkan orang Bajo (berasal dari kata bajo-bajo atau bayangbayang dari orang-orang yang terseret air bah atau banjir). n.

Deskripsi tentang pasar-pasar lokal dan Jenis-jenis komoditi yang

diperdagangkan oleh mereka, baik produk dari pedalaman atau hasil laut yang mereka eksplorasi. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Sumba merupakan pasar-pasar diwilayahnya masing-masing. Perbedaan komoditi yang khas diantara pelabuhan-pelabuhan tersebut kemudian memunculkan pertukaran baik ditingkat lokal maupun regional, bahkan ditingkat global. Sebagai contoh Pulau Sumbawa sudah dikenal lama sebagai penghasil kayu sapan yang banyak tumbuh baik di Sumbawa Barat (Alas, Utan), Dompo, Sanggar, Dompo dan Bima. Kayu sapan (Caesalpinia Sappan) atau kayu Brazil dapat tumbuh antara 5-10 meter dan tumbuh liar dihutan-hutan di Sumbawa. Dalam bahasa Melayu kayu ini dinamakan ‘sepang’, dan perahu yang dibuat dari kayu sapan ini disebut dengan ‘sampan’. Kayu ini sudah lama dikenal sebagai bahan pembuat perahu karena sifat kayunya yang keras, dan memiliki daya tahan di dalam air laut. Selain

80

Siti Maryam R. Salahudin (penyunting), Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima, Mataram, Lengge, 2004

83

untuk pasak kayu, perabot rumah tangga, kayu ini juga dipakai untuk pewarna merah terbaik bagi tekstil, kertas dan cat oleh orang Cina, India dan Eropa. Tidak heran kayu sapan banyak dicari oleh para pedagang lokal maupun dari Asia dan Eropa. Daerah penghasil kayu sapan yang lain adalah di Siam (Thailand) dan Philipina. Bahkan menurut catatan orang Portugis, Tome Pires (1513) melaporkan bahwa,”Pulau Bima (sic) menghasilkan kayu Brazil (sapan-penulis) yang dijual ke Malaka, karena laku dipasaran Cina. Kayu ima Brazil tipis dan kalah bersaing dengan Siam.” Sudah sejak awal Perhimpunan Dagang Hindia Timur (VOC) membeli kayu sapan ini untuk diperdagangkan ke wilayah lain, bahkan sejak perjanjian Bungaya 1667, Kesultanan Bima tidak boleh menjual kayu sapan selain ke VOC, kecuali jalur lain melalui perdagangan gelap. Pada tahun 1627 di negeri belanda harga kayu sapan bisa mencapai f 48-58 per 49,5 kg. Sedangkan saat itu harga lada hanya f 24 per 49,5 kg. Sejak saat itu kayu sapan banyak dibeli oleh VOC melalui para Sultan di Sumbawa Besar, Dompo dan Bima, namun eksploitasi ini berakibat makin menyusutnya hutan sapan pada abad ke19.81 Perdagangan opium (candu) juga merupakan komoditi perdagangan yang cukup ramai diperdagangkan, meski Sultan Mataram (Lombok) melarang rakyatnya memakai candu. Candu banyak diperdagangkan di Bali, Lombok, Sumbawa sampai ke Timor. Kebanyakan candu didatangkan oleh pedagang Eropa, Bugis, Makasar dari Singapura. Dengan harga f 10.000 per peti atau f 100 per kati (o,6 kg). Pada abad XIX, Pelabuhan Padangbai di Karangasem, pelabuhan Tuban di Badung, candu dijual bebas di pasar. Sementara itu di Sumbawa Besar dan Bima ada larangan berdagang candu oleh Sultan, namun candu beredar lewat pasar gelap bahkan laporan pejabat Belandapada abad XIX banyak pejabat kerajaan yang ikut mencandu.82 Perdagangan budak juga merupakan komoditi perdagangan yang sudah marak sejak abad ke-16. Sumber utama budak terutama didatangkan dari wilayah Nusa Tenggara 81

Bernice de Jong Boers, ‘Sustainability and Time perspectives in Natural Resource Management: Exploitation of Sappan Trees in the Forest of Sumbawa, Indonesia 1500-1875’, dalam Boomgaard, Peter, et.al.eds., Paper Landscapes: Explorations In The Environmental History of Indonesia, Leiden, KITLV, 1997 82

I Gde Parimartha, ‘opium dalam Sejarah di Nusa Tenggara Barat’, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001

84

(Bali, Lombok, sumbawa, Manggarai, Flores, Sumba, Rote, Sawu dan timor). Banyak kajian-kajian yang menggambarkan bahwa perdagangan budak sejak abad ke-16 sampai awal bad ke-19 adalah lumrah, sebelum Inggris dan Belanda kemudian melarangnya pada pertengahan abad ke-19. Sebagai contoh Pulau bali merupakan penyedia budak yang sangat besar bagi VOC di Batavia, mereka dipekerjakan di perkebunan tebu disekitar Batavia, sebagai tukang, dan juga direkrut sebagai serdadu. Pada tahun 1673 ada 27.068 budak dan 1681 ada 30.740 budak yang berasal dari kepulauan Indonesia Timur. Para Raja dan Sultan menjadi pihak yang mengorganisasikan perdagangan budak. Bahkan para pelaut Bugis dan Makasar mencari budak dengan cara menculik penduduk dengan melakukan serangan bersenjata ke Tambora, Dompu, Manggarai, sepanjang pantai utara Flores dan Sumba. Menurut laporan pelaut Portugis, Duarte Barbosa tahun 1516 menceritakan bahwa kapal-kapal yang datang dari arah Indonesia Timur menuju Jawa dan Malaka tidak hanya membawa muatan cendana, kuda, madu, lilin dan lada tetapi juga budak.83 Selain itu sejak abad XVIII diwilayah Nusa Tenggara menjadi ramai oleh kehadiran kapal-kapal Bugis dan Makasar yang mencari tripang (Holothuria), produk laut yang sangat mahal harganya dipasaran Cina. Selain dihasilkan di perairan Sumbawa, Flores, Sumba, Rote dan Timor. Pelaut Bugis dan makasar juga berlayar ke perairan utara australia untuk mencari tripang. Untuk kajian lebih jauh lihat tulisan C.C. Macknight, AA Cense, HJ. Heeren dan Heather Sutherland.84 o.

Sistem religi masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut

p.

Sistem hak ulayat laut (sea tenure) yang ada dan mekanisme adat yang

mengaturnya terkait sistem pengelolaan sumber daya laut yang menggambarkan rumitnya usaha adaptasi yang dilakukan manusia dengan lingkungan laut sekitarnya. Dan juga 83

lihat I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit Djambatan-KITLV, Jakarta, 2002, lihat Alfons de Kraan, ‘Bali: slavery and Slave Trade’, dan Heather Sutherland, ‘Slavery and The Slave Trde in South Sulawesi 1660s-1800s’, dalam Anthony reid, ed, Slavery, Bondage & Dependency in Southeast asia, St Lusia, University of Qoueensland Press, lihat juga Rodney Needham,’Sumba and The slave Trade’, makalah seminar Center for comparative Studies on Southeast asia, Oxford, Januari 1983, working Paper No. 31. 84 Lihat C.C. Macknight, The Voyage to Marege’: Macassar Trepangers in Northern Australia, Melbourne University Press, 1976, lihat juga Heather Sutherland, ‘Trepang and Wangkang: China Trade of Eighteenth-Century Makassar c. 1720s-1840s’, Bijdragen tot de Taal –Land En Volkenkunde (BKI), Deel 156.3, tahun 2000., lihat juga A.A. Cense dan H.J. Heeren, Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan MakasarBugis di Pantai Utara Australia, Bhratara, Jakarta, 1972

85

gambaran tentang kearifan masyarakat yang melakukan pengaturan untuk tidak merusak laut dan habitatnya. q.

Kekuasaan politik yang muncul, baik ditingkat lokal maupun adanya

kesultanan atau kerajaan yang ada. (Kerajaan-kerajaan di Bali, Kesultanan di Lombok, Sumbawa, Kerajaan-kerajaan di Flores dan Timor) sebagai contoh Kerajaan Lombok yang menjadi kaya karena perdagangan beras. Para penguasa di Lombok menjadi kaya dan makmur bukan karena aktifitas ekonomi dan perdagangan yang mereka jalankan namun hasil dari pajak yang mereka tarik dari para petani. Kekuatan politiklah yang menjadikan mereka kaya. Selain itu kekayaan Raja Lombok juga berasal dari kontrol atas dua pelabuhan, yaitu Ampenan di barat dan Labuhanhaji di timur. Banyaknya pedagang Arab dan Cina yang datang membuat perdagangan menjadi ramai dan raja memungut cukai atas perdagangan. Menurut van Der Kraan dalam bukunya, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940, disebutkan bahwa penghasilan yang diterima Raja Lombok karena mengontrol pelabuhan dan perdagangan sekitar f. 126.625 pertahun.85 Peningkatan produksi beras di Nusa Tenggara pada abad ke-19, memicu perdagangan beras yang ramai, terutama mengeksportnya kedaerah lainnya di Nusa Tenggra di mana tanah sawah sangat sedikit. Di Lombok pada abad ke-19, termasuk daerah yang cukup subur dengan luas sawah irigasi lebih dari 25.000 Ha dan lebih dari 45.000 Ha sawah tadah hujan. Sehingga Lombok merupakan daerah dengan hasil beras yang melimpah. Pada tahun 1890, Lombok mengeksport beras seharga 20.000 rijksdaalder, minyak kelapa 600 rijksdaalder, dan tembakau 13.000 rijksdaalder. Serta mengimpor opium seharga 4200 rijsdaalde, tekstil 3200 rijksdaalder dan Arak dan Brendi senilai 900 rijsdaalder.86 Selain itu juga kuda dan teripang merupakan mata dagangan ekspor dari Lombok. Barang-barang tersebut seringkali dipertukarkan dengan produk-produk tekstil, senjata, porselaian, sutera dan juga opium. Perdagangan opium di Lombok berasal dari para pedagang Inggris, Belanda dan Bugis sejak tahun 1840-an. Perdagangan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena raja Lombok melarang pemakaian opium, 85

Alfons van der Kraan, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940, ASAA, Singapore-Heinemann Educational Books (Asia) Ltd, 1980, hal. 11 86 Alfons van der Kraan, op.cit., hal. 11-12

86

meski dia mempunyai pabrik pengolahan opium di Bali yang dikerjakan oleh orang Cina. Bisnis opium ini memberikan keuntungan yang besar bagi raja, karena banyak orang Cina dan Bali menghisap opium atau candu.

Penutup Uraian yang singkat dari makalah pengantar diskusi ini dengan contoh-contoh kasus penelitian sejarah maritim lokal tersebut tentunya sangat tidak memadai, namun begitu beberapa contoh diatas dapat dijadikan awal dari kajian sejarah maritim lokal yang lebih jauh dan lebih mendalam lagi seperti yang kami kutip dari sumber karya-karya sejarawan dan antropolog yang telah menuliskannya. Semoga makalah ini dapat menjadi pemiju penelitian lebih lanjut. Untuk itu saran dan kritik akan saya terima dengan senang hati

3.2.4. Indonesia Pokok-Pokok Kajian Sejarah dan Budaya Masyarakat Petani-Sawah atau Masyarakat Agraris

Peradaban masyarakat agraris dapat dijumpai diseluruh dunia, baik dalam lingkungan tropis, sub-tropis maupun lingkungan dingin. Untuk wilayah Indonesia, sistem bercocok tanam padi sawah atau agraris ini umumnya terdapat di Jawa dan Bali, juga terdapat dibeberapa wilayah di Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Lombok dan Sumbawa. Peradaban agraris telah melahirkan peradaban yang maju di Jawa dan bali, hal ini dapat kita lihat dari peninggalan-peninggalan yang sangat maju dari sisasisa kerajaan Mataram Hindu, Syailendra, Kediri, Majapahit, Pajajaran dan banyaknya kerajaan yang muncul dan berkembang di Bali sejak abad ke-10 sampai awal abad ke-20. kajian tentang sejarah Pertanian dan pedesaan juga bisa dilakukan sejak masuknya bangsa Barat, terutama eksploitasi kolonial Belanda yang sejak awal abad ke-19 memberlakukan kebijakan Cultuur Stelsel atau sistem perkebunan yang dipaksakan kepada penduduk Jawa dan Sumatera sebagai kewajiban membayar pajak. Sedangkan sejak tahun 1870, sejak dikeluarkan UU Agraria memunculkan sistem perkebunan swasta (ekonomi liberal) yang sangat mempengaruhi perubahan masyarakat terutama di Jawa dan Sumatera. Kajian juga dapat dilanjutkan dari masa kemerdekaan sampai saat ini.

87

Seperti halnya dengan kajian peradaban maritim, maka kajian peradaban agraris juga dapat dilakukan dengan mendata poin-poin di bawah ini, dengan catatan bahwa setiap wilayah dengan pengaruh lingkungan geografi tertentu dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Beberapa hal yang bisa dijadikan

bahan untuk

direkonstruksi adalah; a. Legenda tentang asal-usul masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Sebagai contoh penduduk pertama pulau Jawa adalah kedatangan bangsa Rum dan para penguasa Jawa berasal dari dewa-dewa Hindu dan nabi-nabi Islam, atau Orang Bali yang percaya mereka keturunan masyarakat kerajaan majapahit dari Jawa Timur. b. Deskripsi demografi (kependudukan) Membuat deskripsi geografi yang menjadi tempat tinggal masyarakat agraris, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan tanah yang dijadikan areal persawahan, karena setiap wilayah memiliki nama-nama yang khas bagi peruntukan tanah. c. Upacara ritus peralihan atau upacara yang dilakukan ketika kelahiran sampai pasca kematian warga penduduk tersebut. d. Religi masyarakat di wilayah tersebut dan upacara terkait kegiatan bercocok tanam e. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan masyarakat agraris. Cerita tentang Dewi Sri yang dipuja sebagai dewi kesuburan di Jawa dan Bali, juga ditempattempat lain ada juga kepercayaan tentang dewi padi. f. Peralatan yang diperlukan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam. g. Aspek kesenian dari budaya masyarakat agraris, seperti karya-karya sastra berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, mantra-mantra, seni tarinya, musik, seni rupa dan busana (kain batik dengan beragam motifnya) yang terkait dengan tradisi agraris. h. Teknologi yang dipakai untuk mengolah tanah, pada saat panen dan pasca panen. Termasuk juga peralatanyang dihasilkan, peralatan membuat tekstil atau tenunan i. Perkembangan kota-kota di pedalaman yang ekonominya bertumpu pada ekonomi pertanian atau agraris. Dijelaskan masalah demografinya (kependudukannya), aspek pelapisan sosial penduduknya (bangsawan, priyayi, orang bebas (to maradeka dalam masyarakat Bugis dan Makasar) aspek sosial dan militernya yang bertumpu pada

88

kekuatan prajurit darat, dan juga segregasi(pembagian atau pemisahan) penduduk berdasarkan etnis atau profesinya, misalnya di kota-kota dipedalaman Jawa Tengah terdapat kampung pandean (tukang pande besi/kerajinan), pejagalan (tempat pemotongan hewan, tamtaman (kampung prajurit), loji (tempat tinggal orang Eropa), kauman (kampung santri) dan lain-lain. j.

Pertumbuhan pasar-pasar desa, di Jawa dikenal hari pasaran (buka pasar pada hari tertentu)., seperti Pon, Wage, Kliwon, Paing dan Legi (di Sunda disebut Manis).

k. Munculnya kekuasaan politik lokal sampai kerajaan Besar seperti Majapahit, mataram Islam, dan banyak kerajaan di Bali. l.

Sistem pertanian dan Kehidupan petani sebelum dan sesudah kedatangan Bangsa Barat, sampai abad ke-18.

m. Pengaruh sistem cultuur stel sel dan sistem ekonomi liberal terhadap kehidupan masyarakat petani di Jawa dan Sumatera. n. Jenis-jenis alat transportasi di daerah pertanian dan perkebunan, penggunaan gerobak sapi, bahkan di Jawa Tengah sejak akhir tahun 1860-an sudah dikenal transportasi kereta api yang menghubungkan Semarang-Solo-Yogyakarta. o. Sistem pemerintahan di wilayah swapraja (Vorstenlanden) di Yogyakarta dan Surakarta. Termasuk hubungan antara tuan tanah (bangsawan, priyayi) dengan para cacahnya (petani penggarap), sistem pajak atau upeti dan sistem bagi hasilnya. p. Pemberontakan yang dilakukan oleh petani terhadap kekuasaan kolonial yang yang menekan mereka dan fenomena perbanditan atau kejahatan sosial di pedesaan (Kartodirdjo, 1983 dan Suhartono, 1991). Sebagai tambahan untuk melakukan kajian untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat yang bercorak agraris, dapat dilakukan dengan menadaptasikan kajian yang dilakukan David A. Taylor (1992), yaitu: 1. Tentang berbagai hal yang bersifat tradisi lisan yang ada dalam masyarakat agraris tersebut, seperti; legendanya, lagu-lagu rakyat, cerita mitos dan asal usul nama tempat (toponimi)

89

2. Kemudian tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang terkait dunia agraris. Misalnya adanya kepercayaan tentang tahyul, nasib baik dan buruk, keberhasilan atau kegagalan panen, tanda-tanda alam yang dapat dipakai memprediksi cuaca. 3. Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, berupa upacaraupacara tradisional ketika memulai menanam, memelihara, pada masa panen, oragnisasi adat yang mengurusi pertanian (contoh subak di Bali), maupun pasca panen. dan upacara ritus peralihan 4. Kebudayaan fisik yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut (material culture), berupa bangunan rumah tinggal, lumbung, bekas istana-istana kerajaan, pola perkampungan, bangunan irigasi, 5. Cara dan kebiasaan makan, dan makna makanan tertentu dalam masyarakat.

90

DAFTAR SUMBER

Alimuddin, Muhammad Ridwan, Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman, Jakarta, KPG-Yayasan Adikarya IKAPI, 2005 Asnan, Gusti, ‘Dari sungai ke Jalan Raya: Perubahan Sosial-Ekonomi di Daerah Perbatasan Sumatra Barat-Riau pada awal Abad XX’ dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001 Barnes, R.H., Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996 Braudel, Fernand, The Mediterranean and The Mediterranean World in the Age of Phillip II, vol. I, New York, Fontana /Collins, Harper & Row, fourth edition, 1981 Boomgaard, Peter, et.al.eds., Paper Landscapes: Explorations In The Environmental History of Indonesia, Leiden, KITLV, 1997 Burke, Peter, The French Historical Revolution: The Annales School, 1929-1989, Stanford: Stanford University Press. 1990 .

Daldjoeni, N. Seluk beluk Masyarakat Kota, 1978 Fox, James J., Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Rote dan Sawu, Jakarta, Sinar Harapan, 1996 Geertz, Clifford, Santri Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, 1983 Iskandar, Johan, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari daerah Baduy Banten selatan, Jawa Barat, Jakarta, Djambatan, 1992 Kana, Niko L., Dunia Orang Sawu, Jakarta, Sinar Harapan, 1983 Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid I dan II, Jakarta, Rineka Cipta, 1998 Lapian, A.B., ‘Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Pada Abad XIX’, Disertasi pada Universitas Gadjah Mada, 20 April 1987

91

van Leur, J.C. dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia, Bhratara, 1974 Liebner, Horst H., ‘Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran dalam Edi Sedyawati,’Kajian Maritim Aspek SosialBudaya Ragam dan Peluangnya, dalam Edi sedyawati, ed., Eksplorasi Sumber Budaya Maritim, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKBDRPM Universitas Indonesia, 2005 Lohanda, Mona,’ Bekerja dengan Sumber Sejarah: sebuah pengalaman Intelektual.’ Lombard, Dennis, Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid I Batas-Batas Pembaratan, Jilid II Jaringan Asia, Jilid III Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta, Gramedia, 1996 Melalatoa, Junus, Sistem Budaya Indonesia, Jakarta, Pamator, 1997 Pelras, Christian, Manusia Bugis, Jakarta, Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2006 Poesponegoro, Marwati Djoened. Eds., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta, Balai Pustaka, 1984 Rahardjo, Supratikno, Peradaban Jawa Abad ke-8 Sampai dengan Abad ke-15: Sebuah Kajian Tentang Dinamika Pranata-Pranata Politik, Agama dan Ekonomi, Jawa Kuno, Jakarta, Komunitas Bambu, 2002 Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid I, Tanah di Bawah Angin, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1992 __________, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, 1999 Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001 Sedyawati, Edi ed., Eksplorasi Sumber Budaya Maritim, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKB-DRPM Universitas Indonesia, 2005, Soedjatmoko, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta, Gramedia, 1995

Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930, Yogyakarta, Tiara wacana, 1991

92

Wangania, J., Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa Madura, Jakarta, Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980/1981 Wahyono, Ary, dkk, Hak Ulayat laut di Kawasan Timur Indonesia, Yogyakarta, Media Pressindo, 2000

93