PERSETUJUAN PEMBIMBING
Jurnal
PERBEDAAN KEEFEKTIFAN KOMPRES AIR HANGAT DAN AIR BIASA TERHADAP PENURUNAN SUHU TUBUH PADA PASIEN DEMAM TYPHOID ABDOMINALIS DI RUANG MPKP PROF. DR. HI. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO Oleh ZEIN ISNANIAH SUMAGA (NIM. 841410121, Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo)
Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan
SUMMARY PERBEDAAN KEEFEKTIFAN KOMPRES AIR HANGAT DAN AIR BIASA TERHADAP PENURUNAN SUHU TUBUH PADA PASIEN DEMAM TYPHOID ABDOMINALIS DI RUANG MPKP RSUD PROF. DR. HI. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO Zein Isnaniah Sumaga1, Zuhriana K. Yusuf, Ahmad Aswad Jurusan Ilmu Keperawatan Email :
[email protected] Zein Isnaniah Sumaga, 2014. Perbedaan keefektifan kompres air hangat dan air biasa terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien demam typhoid abdominalis DI RUANG mpkp Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Skripsi, Jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I, dr. Zuhriana K. Yusuf M.Kes dan Pembimbing II, Ns. Ahmad Aswad S.Kep, MPH. Daftar Pustaka : 38 (1993-2013) Typhoid abdominalis adalah salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan sering terjadinya demam. Mengendalikan demam pada pasien typhoid dapat dilakukan dengan cara dikompres, baik air hangat maupun air biasa. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan keefektifan kompres air hangat dan kompres air biasa terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien Typhoid Abdominalis. Metode penelitian yang digunakan adalah pra experimental design dengan dua kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah diberi intervensi. Populasi penelitian adalah semua pasien thypoid abdominalis yang berada di Ruang MPKP. Sampel dalam penelitian menggunakan Accidental Sampling sebanyak 20 responden yang mengalami demam (>37,20C). hasil uji statistik menggunakan uji Wilcoxon dengan derajat kemaknaan 0.05. Hasil penelitian diperoleh perbedaan signifikan antara kompres air biasa dan kompres air hangat, dimana kompres air hangat lebih efektif untuk menurunkan suhu tubuh pada pasien demam thypoid dengan nilai p = 0,02 (p <0,05). Dari hasil penelitian menunjukkan keefektifan kompres air hangat dalam menurunkan suhu tubuh pada pasien dengan demam typhoid. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan agar perawat dapat menerapkan tindakan kompres air hangat dalam menurunkan suhu tubuh pada pasien demam typhoid dengan maksimal. Kata Kunci
1
: Kompres, Air Hangat, Air biasa Suhu, typhoid.
Zein Isnaniah Sumaga, 841410121. Jurusan Ilmu Keperawatan UNG dr. Zuhriana K. Yusuf, M.Kes, Ahmad Aswad, S.Kep, Ns, MPH
Di dalam dunia medis terdapat beberapa jenis penyebab penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup manusia. Dari beberapa jenis penyebab penyakit salah satunya adalah disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi. Salmonella typhi dapat menyebabkan penyakit demam tifus (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi (Wikipedia, 2013). Demam thypoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit (Smeltzer, 2001). Berdasarkan data badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) memperkirakan jumlah kasus demam thypoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta penderita, dengan 500.000 hingga 600.000 kematian tiap tahunnya, yaitu sekitar 3,5% dari seluruh kasus yang ada (Cahyono, 2010) Negara yang paling tinggi terkena demam thypoid adalah negara di kawasan Asia Tengah (Pakistan, Bangladesh, India) dan Asia Tenggara (Indonesia dan Vietnam) (Kabar Berita, 2011). Di Indonesia Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik), mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Insiden thypoid rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10% (Nainggolan, R, 2011). Berdasarkan data PUSKESMAS se-Provinsi Gorontalo (2013) penderita typhoid berjumlah 264 orang, dan data yang diperoleh untuk beberapa RS Rawat Inap dan Rawat Jalan se-Provinsi Gorontalo penderita thypoidditotalkan sebanyak30 orang yang menjalanai perawatan jalan dan 79 orang rawat inap sebanyak, sehingga total secara keseluruhan sebanyak 109 orang (DIKESPROV Gorontalo, 2013) Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD. Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo, tentang jumlah pasien dengan kejadiaan demam typhoid yakni pada tahun 2011 sebanyak 837 orang, pada tahun 2012 sebanyak 1337 orang dan penderita thypoid tahun 2013 sebanyak 812 orang. Untuk data penderita typhoid 3 bulan terakhir tahun 2013 di ruang MPKP yakni bulan Oktober berjumlah 29 orang, bulan November 16 orang dan pada bulan Desember berjumlah 19 orang. Pola demam yang khas pada penderita demam tifoid adalah dimulai dari suhu badan yang meningkat sedikit (subfebril) malam hari, hilang esok harinya. Demam kembali pada malam hari, makin lama makin tinggi (panas) demamnya. Minggu kedua, gejala sudah mulai lebih jelas, berupa demam tinggi, lidah menajdi kotor, pembesaran hati, pembesaran limpa, kembung, dan kesadaran mulai berkabut (typhos) (Tapan, 2004). Berbagai cara yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan demam diantaranya adalah kompres air hangat dan kompres air dingin. Namun kompres air dingin sebagai penatalaksanaan demam seharusnya sudah mulai dikurangi, hal ini pun dituliskan pada penelitian oleh Fatmawati (2012) tentang efektivitas
kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien thypoid abdominalis di RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Kompres air hangat adalah tindakan yang dilakukan dengan memberikan memberikan rasa hangat, memenuhi kebutuhan rasa nyaman, mengurangi atau membebaskan nyeri, dan mengurangi terjadinya spasme otot dengan menggunakan air panas bersuhu (46-510C)/air hangat (Uliyah, 2008). Sedangkan maksud dari kompres air biasa adalah kompres yang sama prinsipnya dengan kompres air dingin namun tidak menggunakan es (Asmadi, 2008). Penatalaksanaan demam sekarang ini ternyata masih ada yang menggunakan kompres air dingin, hal ini pun didukung penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati Mohammad (2012) tentang efektivitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien thypoid abdominalis di RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Kompres dingin sudah seharusnya tidak dilakukan lagi dalam penatalaksanaan demam karena berdampak seseorang yang dilakukan kompres akan mengalami kedinginan dan menggigil hingga kebiruan, oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menggunakan kompres air hangat. Kefektifan kompres air hangat ini pun didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati (2012) tentang “Efektifitas Kompres Hangat Dalam Menurunkan Demam Pada Pasien Thypoid Abdominalis Di Ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo”,dan Karina dkk (2013) tentang “Perbedaan Efektivitas Kompres Air Hangat Dan Kompres Air Biasa Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Dengan Demam Di RSUD Tugurejo Semarang”. Dari observasi yang dilakukan di RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo kepada 8 orang pasien 5 orang diantaranya mengatakan jika demam mereka menggunakan kompres air biasa. Kompres air biasa sebenarnya termasuk air dingin namun yang membedakannya adalah suhu dari air tersebut. Namun dilihat dari manfaat kompres hangat seharusnya semua masyarakat menangani demam dengan kompres air hangat yang dapat menyebabkan vasodilatasi, juga sangat membantu seseorang agar tidak terlalu tergantung pada obat antipiretik. Berdasarkan latar belakang dan fenomena tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan keefektivan kompres air hangat dan air biasa terhadap penurunan suhu tubuh pada penderita demam thypoid dan agar memberikan solusi yang tepat buat masyarakat untuk mengatasi demam. 1. Metode Penelitian 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di ruang MPKP RSUD Prof. Aloei Saboe Kota Gorontalo dan waktu penelitian berlangsung dari tanggal 13 Februari 2014 sampai tanggal 13 Maret 2014. 2.2. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pra experimental dengan dua kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah diberi intervensi (Nursalam, 2003). Peneliti ingin melihat sejauh mana perbandingan keefektifan kompres air hangat dan kompres air biasa dalam menurunkan demam pada pasien thypoid abdominalis.
Dalam penelitian ini sampel akan dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok a dan kelompok b yang masing-masingnya adalah kelompok intervensi kompres air hangat dan kompres air biasa. Dimana masing-masing kelompok akan dilakukan observasi 2 kali yakni pretest dan postest, dengan pretest dalam tabel ditandai 1 dan postest ditandai 2. 2.3. Variabel Penelitian Pada penelitian ini variable independen yaitu kompres air hangat dan kompres air biasa dan variable dependent adalah penurunan suhu tubuh. 2.4. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien thypoid abdominalis yang berada di Ruangan MPKP RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe, Gorontalo. Pada penelitian ini digunakan pengambilan sampel dengan accidental sampling. 2.5. Teknik Analisis Data 2.5.1. Analisis Univariat Analisis univariat untuk menganalisis karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin. 2.5.2. Analisis Bivariat Menganalisis perbedaan efektivitas penurunan suhu tubuh sebelum dan sesudah intervensi dengan masing-masing jenis kompres dan menggunakan uji wilcoxon dengan derajat kemaknaan 0.05. 2. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Penelitian 3.1.1 Analisis Univariat Tabel 3.1 Distribusi karakteristik responden berdasarkan Usia Jumlah Usia (Tahun) n Persen <30 Tahun 14 70 >30Tahun 6 30 Total 20 100 Sumber:Data Primer 2014 Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa dari 20 responden yang diteliti di ruang MPKP RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo sebagian besar usia responden adalah kelompok usia <30 tahun (70%) dan untuk kelompok usia >30 tahun sebanyak 6 responden (30%).
Tabel 3.2 Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Jumlah Jenis Kelamin N % Laki-Laki 6 30 Perempuan 14 70 Total 20 100 Sumber: Data Primer 2014 Berdasarkan tabel di atas, hasil analisis didapatkan bahwa dari 20 responden yang diteliti di ruang MPKP RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota
Gorontalo sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu 70% dan sisanya adalah responden berjenis kelamin sebanyak 30%. 3.1.2 Analisis Bivariat Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Penurunan Suhu Tubuh Sebelum Dan Sesudah Kompres Air Biasa Pada Pasien Thypoid Sebelum Sesudah Karkteristik Suhu n % n % <36 0 0 0 0 36-37,2 0 0 3 30 >37,2 10 100 7 70 Total 10 100 10 100 Sumbe: Data Primer 2014 Berdasarkan uji wilcoxon menunjukkan bahwa dari 10 responden yang diberikan kompres air biasa, suhu responden sebelum diberikan kompres air biasa berkisar pada suhu >370C. Setelah diberikan kompres air biasa dari 10 responden yang ada 3 orang mengalami penurunan mencapai suhu 36-37,20C dan 7 responden lainnya tidak mengalami penurunan. Tabel 3.5 Distribusi Frekuensi Penurunan Suhu Tubuh Sebelum Dan Sesudah Kompres Air Biasa Pada Pasien Thypoid Sebelum Sesudah Karkteristik Suhu n % n % <36 0 0 0 0 36-37,2 0 0 10 100 >37,2 10 100 0 0 Total 10 100 10 100 Sumber: Data Primer 2014 Berdasarkan uji wilcoxon menunjukkan bahwa dari 10 responden yang diberikan kompres air hangat, suhu responden sebelum diberikan kompres air hangat berkisar pada suhu >370C. Setelah diberikan kompres air biasa dari 10 responden semuanya mengalami penurunan mencapai suhu 36-37,20C.
Tabel 3.6 Perbedaan Efektifitas Kompres Air Hangat Dan Kompres Air Biasa (Suhu sebelum dicompres 37,20C-38 0C) Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Pasien Thypoid Air Biasa Air Hangat NR Suhu setelah K NR Suhu K P dikompres setelah 0 ( C) dikompres (0C) 1 37.6 Hipertermi 1 36.8 Normal o.oo8 2 37.7 Hipertermi 2 37.1 Normal 3 37.6 Hipertermi 3 37.1 Normal 4 36.6 Normal 4 36.6 Normal 5 37.6 Hipertermi 5 37 Normal 6 37.1 Normal 6 36.4 Normal 7 38 Hipertermi 7 36.7 Normal 8 37.4 Hipertermi 8 36.4 Normal 9 37 Normal 9 37.1 Normal 10 37.6 Hipertermi 10 37.1 Normal Sumber: Data Primer 2014 Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan p-value 0.008. dapat dilihat pula bhawa suhu responden setelah dikompres menggunakan air hangat semuanya mengalami penurunan pada kategori normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan efektifitas kompres air biasa dan kompres air hangat terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien typhoid abdominalis. Dimana kompres air hangat lebih efektif dibandingkan kompres air biasa. 3.2 Pembahasan 3.2.1 Efektifitas Kompres Air Biasa Berdasarkan data yang ada didapatkan bahwa dari 10 responden yang dilakukan kompres air biasa, responden yang mengalami penurunan sebanyak 3 orang dan 7 orangnya tidak mengalami penurunan. Sebagian besar suhu responden yang tidak turun dikarenakan kompres air biasa tersebut tidak terlalu memberikan rangsangan vasodilatasi sehingga memperlambat evaporasi dan konduksi yang akhirnya memperlambat penurunan suhu tubuh (Sodikin, 2012). Pada penelitian ini pula dilakukan kompres pada bagian dahi yang hanya terdapat pembuluh darah kecil, sebagaimana teori yang tertuang dalam Smart Parents Pandai Mengatur Menu dan Tanggap Saat Anak Sakit oleh Ayu (2010) bahwa kulit di daerah dahi hanya memiliki pembuluh darah yang kecil-kecil sehingga mengompres dibagian dahi tidak memberikan efek penurunan suhu yang nyata. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Karina Indah (2013) bahwa dari 17 responden yang mengalami penurunan hanya ada 3 orang. Hasil penelitian yang sama oleh Axelord (2000), dalam penelitian tersebut dilakukan tindakan kompres air biasa dan lembab di pada kulit (di dahi), dengan hasil penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa terjadi penurunan sangat
sedikit 0,50C dibanding besar penurunan suhu yang diberikan kompres air hangat >10C. Dengan memperhatikan hasil penelitian dan teori yang ada, dapat dikatakan kompres air biasa bukannya tidak bermanfaat untuk penurunan suhu tubuh, melainkan kompres air biasa hanya kurang efektif. Dikarenakan responden yang sebagian kecilnya turun tapi dengan jumlah penurunan suhu yang sangat minim. 3.2.2 Efektifitas Kompres Air Hangat Berdasarkan data yang ada didapatkan bahwa dari 10 responden yang dilakukan kompres air hangat, seluruh responden yang ada semuanya mengalami penurunan. Keseluruhan suhu responden mengalami penurunan dikarenakan suhu air dijadikan kompres tersebut hangat (300C). Hal ini pun dijelaskan oleh Sodikin (2012) bahwa penggunaan air hangat untuk melakukan kompres pada pasien demam dapat mencegah pasien tidak menggigil, dapat merangsang vasodilatasi sehingga mempercepat proses evaporasi dan konduksi yang pada akhirnya dapat menurunkan suhu tubuh. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Fatmawaty (2012) tentang efektivitas kompres air hangat dalam menurunkan demam pasien pada pasien thypoid abdominalis di RSUD. Prov.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Penelitian tersebut mendapatkan p>0.05 sebagai hasil yang menunjukkan keefektifan kompres air hangat. Berdasarkan asumsi peneliti yang dilihat dari penelitian dan teori yang ada, walaupun pada penelitian ini daerah kompres yang berikan adalah bagian dahi, yang menurut teori merupakan kulit yang pembuluh darahnya kecil-kecil tapi faktor utama penyebab keseluruhan suhu responden mengalami penurunan dikarenakan suhu air. 3.2.3 Perbedaan Efektivitas Kompres Air Biasa Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Dari hasil analisis yang ada didapatkan hasil p-value dari kompres air biasa sebesar 0,83>0,05. Sedangkan p-value yang didapatkan pada kompres air hangat sebesar 0,02<0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan efektifitas kompres air biasa dan kompres air hangat terhadap penurunan suhu tubuh. Dari nilai p-value yang ada, dapat disimpulkan bahwa kompres air hangat lebih berpengaruh dalam menurunkan suhu tubuh dibandingkan dengan kompres air biasa. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh kompres air hangat terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien anak hipertermia di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta oleh Sri Punartidan Winarsih (2008). Penelitian tersebut mendapatkan hasil p<0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari kompres air hangat yang dilakukan selama 10 menit terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien dengan anak hipertermi. Berdasarkan asumsi peneliti dengan memperhatikan hasil penelitian dan teori yang ada, bahwa perawat harus memaksimalkan kompres air hangat untuk menurunkan suhu tubuh. Hal ini pun meminimalisir pasien ketergantungan terhadap antipiretik.
3. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti berkesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa dari 10 responden yang diberikan perlakuan kompres air biasa sebagian kecilnya turun yakni 3 orang (30%) dan sebagian besarnya tidak mengalami penurunan sebanyak 7 orang (70%). 2. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa dari 10 responden yang diberikan perlakuan kompres air hangat keseluruhan responden mengalami penurunan yang signifikan. 3. Dari kedua hasil antara perlakuan kompres air biasa dan kompres air hangat dapat disimpulkan bahwa, kompres air hangat lebih efektif untuk menurunkan suhu tubuh dibanding dengan kompres air biasa.hal ini dibuktikan hasil pvalue yang didapatkan pada kompres air hangat 0,02 < 0,05 dibanding hasil pvalue pada kompres air biasa 0,83 > 0,05. 4.2 Saran 1. Pelayanan Keperawatan Perawat perlu menerapkan pemberian kompres air hangat pada pasien dengan hipertermi karena terbukti kompres air hangat lebih efektif untuk menurunkan suhu tubuh pada pasien demam typhoid. Hal ini pun mengurangi ketergantungan pasien terhadap antipiretik saat kondisi suhu tubuh tinggi. 2. Keilmuan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat menambah sumber informasi bahwa kompres air hangat membantu penurunan suhu tubuh. 3. Penelitian Selanjutnya Perlu melakukan penelitian lanjutan yang lebih prospektif, mengingat masih adanya kekurangan dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika. Barbara, Hegner. 2003. Asisten Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Edisi 6. Jakarta : EGC Beaglehole, R dan Bonita, R. 1997. Dasar-Dasar Epidemiologi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Cahyono, dkk. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta : Kanisius Chandra, Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta : EGC Depkes RI, 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta. Dorland W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi pertama. Jakarta : EGC
Febri, Ayu, dkk. 2010. Smart Parents : Pandai Mengatur Menu & Tanggap Saat Anak Sakit. Jakarta : Gagas Media Handojo, Indro. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi .Surabaya : Airlangga University Press. 2004 Hartono, Andry. Kamus Saku Perawat. Edisi 22. Jakarta : EGC Inawati. 2009. Demam Tifoid. Edisi III : 7. Juwono, 1996. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi III. Jakarta. Balai Penerbit FK-UI. Kabar berita. 2011. 50.000 Penderita typhus meninggal tiap tahunnya. http://kabarbisnis.com/read/2821321. Diakses tanggal 13 Desember 2013. Kania, Nia, 2010, Penatalaksanaan Demam Pada Anak. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/02/penatalaksanaa n_demam_pada_anak.pdf. Diakses 2 Januari 2014 Kozier, Erb. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5. Jakarta : EGC Lubis, M.B., 2009. Demam pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Tjipta, G.D., Ali, M., dan Lubis, M.B., Editor. Ragam Pediatrik Praktis. Medan: USU Press Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III Jilid I. Jakarta :Media Aesculapius Maryunani, Anik, 2010, Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan, TIM, Jakarta Nelwan, R.H.H., 2006. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata M., dan Setiati, S., Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid Ketiga. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam.