BAB III DIAGNOSIS DAN RENCANA PERAWATAN TRAUMA DENTOALVEOLAR PADA ANAK
3.1 Anamnesis Anamnesis adalah kemampuan ingatan dan atau sejarah masa lalu mengenai seseorang pasien dan keluarganya (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Tujuan anamnesis ini dapat membantu dokter gigi untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pasien. Tujuh kriteria anamnesis yang harus dipenuhi, antara lain adalah: 1.
Lokasi
2.
Kualitas
3.
Kuantitas dan keparahannya
4.
Waktu
5.
Keadaan yang memicu terjadinya keluhan
6.
Faktor lain yang memperberat atau memperingan gejala
7.
Gejala lain yang menyertai keluhan utama Urgensi anamnesis pada kasus fraktur dentoalveolar sangatlah penting karena
akan menentukan prognosis dan perawatan yang cepat dan tepat dalam menindaklanjuti kejadian fraktur dentoalveolar pada anak. Anamnesis dapat berupa pertanyaan mengenai riwayat dental maupun riwayat medis jika kondisi memungkinkan dan kesehatan umum baik. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan mengenai riwayat dental adalah sebagai berikut (Welbury, 2005):
19
20
Kapan terjadinya injuri? Waktu interval antara injuri dan perawatan secara signifikan memengaruhi prognosis avulsi, luksasi, fraktur mahkota dengan atau tanpa paparan pada pulpa, dan fraktur dentoalveolar. 1. Dimana terjadinya injuri? Tempat kejadian dapat mengindikasi keperluan untuk diberikan profilaksis tetanus. 2. Bagaimana injuri terjadi? Keadaan celaka dapat memberikan informasi mengenai tipe injuri. Perbedaan antara riwayat dan temuan klinis akan mengindikasikan kecurigaan kekerasan fisik. 3. Adakah kehilangan gigi/fragmen? Jika gigi atau bagian fraktur tidak dapat ditegakkan kondisinya ketika terjadi riwayat hilang kesadaran maka radiografi pada dada harus dilakukan untuk meniadakan gangguan inhalasi. 4. Adakah concussion, nyeri kepala, muntah atau amnesia? Kerusakan otak harus ditangani dan dilakukan rujukan ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. 5. Bagaimana riwayat dental sebelumnya? Trauma terdahulu akan memengaruhi tes sensibilitas pulpa dan kapasitas perawatan pulpa dan atau periodontal. Adakah kecurigaan kekerasan fisik? Pengalaman perawatan terdahulu, usia, sikap pasien atau orang tua akan memengaruhi pilihan perawatan juga. Sedangkan mengenai riwayat medis dapat ditanyakan beberapa hal berikut ini (Welbury, 2005): 1. Penyakit jantung kongenital, riwayat demam rhematoid atau kondisi immunosupresan yang parah. Kondisi ini kontraindikasi untuk dilakukan perawatan endodontik dengan nekrosis yang persisten. 2. Gangguan perdarahan
21
3. Alergi terhadap medikasi obat 4. Status imunisasi tetanus terakhir 5. Kehilangan kesadaran saat cedera Jika terdapat kelainan sistemik pada pasien segera hubungi dokter anak untuk pertimbangan perawatan dan premedikasi agar komplikasi dapat dihindari selama perawatan dental. Kunci keberhasilan anamnesis adalah kemampuan komunikasi dokter gigi untuk menggali informasi dari pasien. Proses anamnesis pada pasien anak memiliki kendala tersendiri karena kecenderungan pasien fraktur dentoalveolar pada anak sulit untuk diwawacara mengenai anamnesis ini, maka perlu adanya kerja sama orang tua untuk memberikan informasi berkaitan dengan keluhan pasien. Pemeriksaan dilakukan dengan cara tersendiri pada anak yang tidak kooperatif, terutama anak balita. Literatur Pedodonsia Terapan yang diunduh melalui situs Universitas Sumatera Utara, cara yang biasa dilakukan untuk memeriksa pasien anak yang kurang kooperatif, misalnya : 1. Anak diletakkan di pangkuan ibunya dengan posisi kaki ke arah ibu dan kepala anak ke arah dokter gigi seperti terlihat pada gambar 3.1. Dokter gigi berhadapan dengan ibu, agar anak tidak meronta-ronta tangannya dipegang oleh ibunya, sehingga dokter gigi mudah melakukan pemeriksaan dan perawatan. 2. Anak diselimuti, tangan dilipat dan diletakkan di atas dada, anak tidak dapat bergerak dan pemeriksaan mudah dilakukan.
22
Gambar 3.1 Posisi Pemeriksaan (Mariana, 2006)
Anamnesis adalah langkah awal untuk menentukan diagnosis dengan cara menggali informasi subjektif mengenai fraktur dentoalveolar pada anak. Langkah berikutnya untuk menegakkan diagnosis adalah menemukan tanda klinis yang merupakan data objektif dari kasus fraktur dentoalveolar pada anak.
3.2 Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis adalah informasi objektif yang diperoleh melalui pemeriksaan oleh dokter gigi dengan melihat temuan klinis pada pasien. Pemeriksaan secara klinis terbagi menjadi 3 bagian, yakni pemeriksaan fisik, pemeriksaan ektra oral, dan pemeriksaan intra oral.
3.2.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan menyeluruh diperlukan untuk menilai sejauh mana cedera yang terjadi. Informasi penting harus dikumpulkan untuk setiap pasien termasuk: tanda-
23
tanda vital, review dari semua bagian kepala, sistem dan pemeriksaan leher. Hal ini penting untuk mengurangi cedera kepala, kerusakan mata, cedera tulang belakang, dan leher. Sebuah evaluasi dari ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya dapat menetapkan adanya cedera kepala. Hal penting yang harus diperhatikan ketika terjadi cedera yang cukup berat adalah tanda-tanda syok, seperti muka yang pucat, suhu badan dingin, nadi yang tidak beraturan, dan hipotensi (Welbury, 2005).
3.2.2 Pemerikasaan Ekstra Oral Pemeriksaan ekstra oral adalah mengevaluasi kondisi sekitar mulut yang berhubungan dengan cedera yang dialami pasien anak fraktur dentoalveolar. Temuan klinis pada ektra oral harus dicatat untuk melengkapi penegakkan diagnosis, prognosis, dan rencana perawatan. Pasien dengan fraktur dentoalveolar harus diperiksa kondisi kepalanya. Luka ekstra oral seperti bengkak, memar, dan laserasi dapat mengindikasikan adanya fraktur pada tulang dan gigi. Tulang fasial pun harus dipalpasi untuk mengetahui ada tidaknya diskontinuitas tulang. Pemeriksaan lainnya adalah inspeksi pada kondisi sendi temporomandibular, jika ada bengkak, kliking, atau krepitasi (Holan and McTigue, 2005). Kondisi pergerakan mandibula atau deviasi mandibula harus dicurigai adanya fraktur atau dislokasi rahang (Welbury, 2005).
24
3.2.3 Pemeriksaan Intra Oral Pemeriksaan intra oral dievaluasi kondisi dalam rongga mulut, baik jaringan keras maupun jaringan lunaknya. Benda asing yang terdapat di rongga mulut seperti gumpalan darah, kotoran yang masih menempel, fragmen gigi, dan tanah harus dibersihkan dengan menggunakan H2O2 3%, larutan salin, dan air hangat (Ravel, 2003). Pemeriksaan kondisi jaringan lunak sangat penting dan harus dilakukan secara hati-hati. Bagian yang harus menjadi perhatian di antaranya adalah bibir, mukosa oral, free dan attached gingiva, dan frenulum. Bagian tersebut dievaluasi jika ada laserasi atau hematoma yang disebabkan trauma. Hemoragi pada submukosa bibir atas biasanya disebabkan oleh fraktur dari tulang labial. Mobilitas dan lengkung gigi pun harus dievaluasi untuk mengetahui keparahan trauma setelah jaringan lunak diinspeksi (Flores, et al., 2007). Berikut adalah pemeriksaan intra oral yang harus dilakukan dokter gigi pada pasien fraktur dentoalveolar: 1.
Kegoyangan gigi
2.
Reaksi pada perkusi
3.
Warna gigi
4.
Reaksi terhadap tes sensitifitas
5.
Tes vitalitas pulpa
3.3 Pemerikasaan Radiografi Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis kelainan akibat trauma dengan tepat dan benar. Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan kondisi yang tidak dapat terlihat secara klinis. Pada usia anak pemeriksaan ini
25
agak sulit dilakukan karena ketakutan atau kurang kooperatifnya anak tersebut, sehingga diperlukan bantuan dari orang tua saat proses pengambilan foto rontgen (Andreasen, 2007).
3.3.1
Macam-macam Foto Rontgen
Terdapat macam-macam teknik foto rontgen yang biasa dilakukan oleh dokter gigi untuk melengkapi informasi dalam upaya penegakkan diagnosis pada kasus trauma, berikut adalah macam-macamnya (Indrawati, 2011): 1. Periapikal, dapat memberikan gambaran terperinci pada trauma alveolar dan gigi. 2. Foto oklusal, memberikan gambaran lebih mendetail fraktur prosesus alveolaris dan gigi. 3. Panoramik, dapat memberikan informasi gambaran fraktur mandibula keseluruhan. Foto panoramik juga dapat memberikan informasi mengenai keadaan nasal, septum nasi, dan periorbital bawah. 4. Posteroanterior, dapat menujukkan pergeseran medial atau lateral fragmen fraktur, angulus, korpus, simfisis, orbita, dan sinus maksilaris.
3.3.2 Macam-macam Foto Rontgen untuk Kasus Trauma Dentoalveolar pada Anak Tidak semua teknik foto rontgen bisa dilakukan pada anak terutama saat mereka dalam kondisi trauma karena rendahnya tingkat kooperatif pasien, macam teknik foto rontgen yang dapat dilakukan pada pasien anak, yaitu (Cameron and Widmer, 2008):
26
1. Foto oklusal maksila anterior atau oklusal mandibula anterior 2. Foto panoramik 3. True lateral maxilla untuk kasus intrusi pada gigi sulung anterior Literatur lain mengatakan bahwa pemeriksaan radiografi anak harus didasarkan pada kemampuan anak untuk melakukan prosedur pengambilan foto tersebut dan suspek injurinya, berikut adalah sudut yang direkomendasi pada pemeriksaan radiografi pada anak agar kondisi fraktur yang ingin diperiksa dapat diidentifikasi dengan baik (Flores, et.al., 2007) : 1. Sudut horisontal 90° 2. Occlusal view (ukuran 2 film, arah horisontal) 3. Ektra-oral arah lateral yang berguna untuk mengetahui hubungan apeks dengan gigi yang berpindah dan posisi benih gigi dalam keterlibatannya jika ada dislokasi (ukuran 2 film, arah vertikal) Pemeriksaan radiografi pada anak selain yang telah disebutkan di atas, dokter gigi pada umumnya lebih sering memilih teknik foto rontgen periapikal karena lebih sederhana, mudah didapatkan, dan hasilnya lebih detail dibandingkan dengan panoramik atau oklusal. Kesulitan pada saat pengambilan foto dapat dibantu oleh orang tua pasien anak tersebut.
3.3.3 Informasi dari Pemeriksaan Radiografi Pemeriksaan radiografi ini harus menyediakan informasi sebagai berikut untuk menunjang diagnosis dan pemeriksaan pada pasien fraktur dentoalveolar (Fonseca, 2005):
27
1) Ada atau tidaknya fraktur akar 2) Tingkat ekstrusi atau intrusi 3) Ada atau tidaknya kelainan periodontal 4) Tingkat pertumbuhan akar 5) Ukuran kamar pulpa dan kanal akar 6) Ada atau tidaknya fraktur rahang 7) Fragmen gigi atau benda asing yang masuk ke jaringan lunak
3.4 Rencana Perawatan Fraktur dentoalveolar pada anak merupakan kondisi kedaruratan medis yang harus segera ditangani agar tidak mengakibatkan prognosis yang buruk ke depannya. Prinsip perawatan fraktur dentoalveolar pada anak ini adalah mencegah prognosis yang buruk dan mengurangi rasa sakit akibat fraktur. Semakin cepat cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik. Banyak komplikasi pasca trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang lambat (Fonseca, 2005). Perawatan fraktur dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap bagian dentoalveolar yang terkena trauma (perawatan definitif) (Indrawati, 2011).
3.4.1 Perawatan Darurat Perawatan darurat fraktur dentoalveolar pada anak adalah tindakan yang sangat penting dan sebaiknya dilakukan segera oleh orang tua pasien, namun banyak
28
dari
orang
tua
kekurangan
informasi
tentang
cara
penatalaksanaan
kegawatdaruratan jika terjadi trauma sehingga ketika datang ke dokter gigi, pasien dalam kondisi yang cukup buruk. Langkah perawatan darurat ini pun berpengaruh terhadap prognosis pasien tersebut. Rekomendasi bagi dokter gigi dalam menangani pasien fraktur dentoalveolar pada anak sebagai pertolongan pertama adalah sebagai berikut (Flores, et.al., 2007) : 1. Tetap tenang dan fokus 2. Lakukan pembersihan pada luka dengan air 3. Hentikan perdarahan dengan mengompres dengan kain atau kapas selama 5 menit 4. Lakukan perawatan darurat
3.4.2 Perawatan Definitif Perawatan definitif bertujuan mengembalikan anatomi dan fungsi gigi, tulang, dan gingiva seperti semula. Tindakan ini dapat dilakukan ketika kondisi umum pasien sudah baik. Faktor yang harus dipertimbangkan pada perawatan definitif trauma dentoalveolar adalah sebagai berikut (Blakey, et.al., 1997): 1. Usia dan tingkat kooperatif pasien 2. Durasi antara trauma dan perawatan 3. Lokasi atau tingkat cedera 4. Cedera pada gigi sulung atau gigi permanen 5. Tahap perkembangan akar 6. Ada atau tidaknya fraktur tulang pendukung
29
7. Kesehatan periodontal dari gigi yang tersisa Trauma yang terjadi pada anak memiliki risiko terhadap gigi penggantinya, maka dari itu ada perbedaan antara pilihan perawatan fraktur dentoalveolar yang terjadi pada gigi sulung dan gigi permanen pada pasien anak. Jarak yang sangat dekat antara akar gigi sulung dengan benih gigi permanen dapat mengakibatkan suatu komplikasi. Malformasi gigi, gigi impakasi, dan gangguan erupsi pada perkembangan gigi permanen adalah beberapa konsekuensi yang dapat terjadi jika terjadi keparahan trauma pada gigi sulung atau tulang alveolarnya, maka dari itu pilihan perawatan harus sangat mempertimbangkan kemungkinan risiko tersebut agar komplikasi terhadap benih gigi permanen dapat dihindari (Flores, et.al., 2007). Prinsip umum penatalaksanaan pada trauma dentoalveolar anak adalah restorasi dengan dan tanpa perawatan pulpa, ekstraksi, dan reposisi-replantasi (Welbury, 2005; Finn, 2003; Cameron and Widmer, 2008). Pilihan ini berdasarkan tingkat keparahan trauma dan jumlah jaringan yang terlibat. Kasus fraktur dentoalveolar yang mengenai pasien anak lebih banyak menyebabkan cedera luksasi daripada fraktur jaringan keras gigi karena struktur jaringan pendukungnya yang masih elastis. Perawatan fraktur dentoalveolar pada anak yang akan diuraikan di bawah ini membahas mengenai trauma yang berakibat terjadinya pergeseran posisi dan membutuhkan tindakan reposisi dan stabilisasi. Beberapa kasus yang memerlukan tindakan tersebut di antaranya adalah:
30
1. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Keras Gigi Trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan membutuhkan tindakan reposisi serta replantasi pada pasien anak adalah fraktur akar. Fragmen mahkota terlihat mengendur dan biasanya mengalami perpindahan posisi di koronal. Fraktur biasanya terletak pada pertengahan akar di sepertiga apikal (Andreasen, 2007). Insidensi fraktur akar terjadi sekitar 6% dari semua trauma dental, 7,7% pada gigi permanen, dan 3,8% pada gigi sulung (Fonseca, 2005). Penanganan fraktur akar gigi sulung dengan fraktur akar gigi permanen berbeda, jika pada gigi sulung fragmen mahkota diekstraksi dan fragmen akarnya dibiarkan teresorpsi secara fisiologis (Welbury, 2005), berbeda pada gigi permanen. Penanganan pada gigi permanen dapat dilihat dari lokasi frakturnya, jika fraktur berada di sepertiga apikal dan tidak ada kegoyangan prognosisnya baik dan membutuhkan penanganan minimal (Fonseca, 2005). Gambar 3.2 menunjukkan gambaran radiografi fraktur akar di sepertiga apikal. Fraktur akar yang menyebabkan perubahan posisi di fragmen koronal dapat dilakukan reposisi sesegera mungkin dengan manipulasi digital. Posisi setelah tindakan tersebut harus dievaluasi dengan pemeriksaan radiografi untuk mengetahui penyembuhan di jaringan kerasnya, terutama bagian pulpa. Tindakan reposisi ini dilanjutkan dengan pemasangan alat stabilisasi selama 4 minggu oleh alat stabilisasi semi-rigid atau alat stabilisasi fungsional (Welbury, 2005). Tindakan lain yang harus dilakukan adalah evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun, jika terdapat nekrosis maka perlu dilakukan perawatan saluran akar (Flores, et.al., 2007).
31
Gambar 3.2 Gambaran Radiografi Fraktur Akar (Bui, 2002)
2. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Periodontal Trauma yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah kasus trauma yang paling sering terjadi. Trauma ini biasa disebut dengan cedera luksasi dan biasa ditandai dengan adanya perubahan posisi gigi. Tujuan predominan perawatan untuk kasus luksasi pada gigi sulung adalah menjaga ligamen periodontal dan pulpa dari infeksi bakteri. Pencegahan terhadap rusaknya benih gigi permanen adalah hasil yang paling utama dan harus selalu dipertimbangkan, maka dari itu pilihan perawatan yang sering dipilih pada gigi sulung adalah menghilangkan gangguan terhadap benih gigi permanen biasanya dengan ekstraksi (Dummet, 2000), namun tidak semua tindakan berupa ekstraksi. Rincian rencana perawatan pada trauma dentoalveolar yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah sebagai berikut: 1) Concussion Gigi yang mengalami concussion tidak terdapat kegoyangan maupun perpindahan posisi dan juga tidak mengalami perdarahan di gusi. Pemeriksaan
32
klinis menunjukkan ketidaknyamanan saat perkusi dikarenakan adanya edema dan hemoragi di ligamen periodontal (Welbury, 2005). Beberapa kasus disertai inflamasi dan dokter gigi dapat memberikan medikasi berupa analgetik jika diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri (Universitas Chicago, 2012). Penanganan yang dilakukan hanya evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun untuk memastikan tidak adanya komplikasi berupa jejas pada pulpa (Flores, et. al., 2007). Diet lunak pun dapat direkomendasikan oleh dokter gigi pada kasus ini untung mengurangi keluhan nyeri saat mengunyah (Universitas Chicago, 2012).
2) Subluksasi Gambaran secara klinis menunjukkan adanya perdarahan di sulkus gusi, dapat dilihat pada gambar 3.3(1). Informasi yang diberikan oleh foto rontgen tidak ada kondisi yang abnormal pada ligamen periodontal, terlihat pada gambar 3.3(2) (Flores, et.al., 2007). Perawatan yang dapat dilakukan ada beberapa pilihan, di antaranya adalah: (1) Observasi kondisi pulpa (American Academy of Pediatric Dentistry, 2010) (2) Pemakaian alat stabilisasi wire-orthodonti dengan acid-etch resin selama 7-10 hari (Dummet, 2000). International Association Dental Trauma pada tahun 2007 mengatakan bahwa pilihan perawatan dapat juga dengan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu. Pemakaian alat stabilisasi ini dilakukan ketika adanya gangguan oklusal. (3) Diet lunak selama 1 minggu (Cameron and Widmer, 2008; Welbury, 2005). (4) Berkumur dengan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari (Welbury, 2005).
33
Gambar 3.3 Gigi Subluksasi (Andreasen, 2007) Keterangan gambar: 1. Gambaran klinis 2. Gambaran radiologis
3) Intrusi Intrusi gigi sulung ditemukan oleh Soporowski dan rekan sebagai korelasi paling erat terjadinya gangguan hipoplastik terhadap benih gigi permanen sekitar 17,4% jika dibandingkan dengan kasus luksasi lateral (7,1%) dan avulsi (5,7%) (Dummet, 2000). Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya bunyi metalik saat diperkusi, perdarahan pada gingiva, dan kadang bibir atas bengkak karena edema dan hemoragi (Holan and McTigue, 2005). Ada dua keadaan pada kasus intrusi, yaitu perpindahan gigi ke arah aksial tulang labial dan perpindahan gigi yang mendorong benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007). Gigi intrusi yang mendorong gigi permanen sebaiknya dilakukan ekstraksi untuk mencegah terjadi dampak buruk terhadap benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007; Cameron and Widmer, 2008: Holan and McTigue, 2005). Penanganan lainnya adalah membiarkan gigi tersebut mengalami erupsi kembali selama 2-3 minggu dan dievaluasi selama 6 bulan (Holan and McTigue, 2005). Intrusi pada gigi permanen dibedakan sesuai dengan perkembangan akarnya, jika formasi akarnya belum lengkap, penanganannya adalah reposisi
34
spontan selama 3 minggu, bila tidak ada perubahan maka dapat dilakukan tindakan penarikan dengan alat orthodonti. Intrusi pada gigi permanen dengan akar lengkap dilakukan dengan tindakan orthodonti atau bedah sesegera mungkin. Kondisi pulpa harus menjadi perhatian ketika dilakukan penanganan tersebut agar dapat dievaluasi jika terjadi nekrosis pulpa (Flores, et.al., 2007). Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa ankylosis dan meminimalisir tekanan nekrosis pada ligamen periodontal (Cameron and Widmer, 2008). Prognosis gigi permanen dengan akar lengkap yang mengalami intrusi tidak baik karena adanya kemungkinan terjadi nekrosis pulpa dengan persentase 96%, resorpsi akar dan menurunnya tulang alveolar, jika terjadi kerusakan pada pulpa maka harus dilakukan tindakan ekstirpasi dan pengaplikasian kalsium hidroksida di kanal akarnya (Holan and McTigue, 2005; Cameron and Widmer, 2008).
4) Ekstrusi Gigi ekstrusi terlihat mengalami elongasi dengan penambahan jarak ligamen periodontal di daerah apikal (Flores, et.al., 2007). Tindakan ekstraksi pada gigi sulung dipilih ketika perpindahan gigi lebih dari 2-3 mm untuk mencegah potensi infeksi periradikular yang persisten yang dapat menyebabkan efek terhadap gigi permanen (Dummet, 2000; American Academy of Pediatric Dentistry, 2010; Flores, et.al., 2007). Perpindahan kurang dari 3mm pada ekstrusi gigi sulung dan pada ekstrusi gigi permanen dilakukan perawatan reposisi
dengan perlahan,
lakukan penjahitan jika terjadi laserasi, dan stabilisasi selama 2 minggu
35
menggunakan alat stabilisasi dengan komposit resin, wire, atau alat orthodonti (Cameron and Widmer, 2008) dengan evaluasi keadaan pulpa (Flores, et.al., 2007). Medikasi antibiotik, profilaksis tetanus, dan klorheksidin glukonat 0,2% dapat diberikan untuk menjaga kebersihan oral (Cameron and Widmer, 2008). Prognosis dipengaruhi oleh tingkat perubahan posisi dan perkembangan apikal dan penyembuhan pada gigi immature. Nekrosis pulpa dapat terjadi 15-85% dari semua kasus dan ini terjadi terutama pada gigi dengan apeks tertutup (Cameron and Widmer, 2008)
5) Luksasi Lateral Luksasi lateral dapat menyebabkan gangguan oklusi pada beberapa kasus. Tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah pemberian anestesi lokal kemudian reposisi dengan manipulasi digital berupa kombinasi tekanan pada labial dan palatal yang ditunjukkan oleh gambar 3.4. Kondisi open bite pada oklusi cukup menguntungkan karena penanganan kasus ini dapat dilakukan dengan reposisi spontan, namun jika tidak ada kondisi open bite dapat dilakukan preparasi di incisal edge atau penambahan komposit di bagian gigi posterior untuk membuat open bite artifisial (Andreasen, 2007). Alat stabilisasi dilakukan setelah reposisi selama 4 minggu dengan disertai evaluasi kondisi pulpa (Flores, et.al., 2007). Kasus luksasi lateral pada gigi permanen diberikan tindakan berupa reposisi dengan manipulasi digital secara perlahan, jika terdapat jaringan sekitar gigi mengalami fraktur alveolar, dokter gigi dapat memberikan anestesi lokal.
36
Pemakaian alat stabilisasi fungsional non-rigid dipasang selama 2-3 minggu. Medikasi berupa antibiotik diberikan dengan dosis 250 mg 3 kali sehari selama 5 hari (kurang dari 10 tahun 125 mg). Kebersihan mulut harus dijaga dan dokter gigi dapat memberikan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari selama alat stabilisasi terpasang di mulut. Diet lunak dianjurkan selama perawatan ini (Welbury, 2005; Holan and McTigue, 2005).
Gambar 3.4. Tindakan Reposisi dengan Manipulasi Digital (Buckley, 2000) Keterangan gambar : 1. Jari telunjuk mendorong ke arah palatal 2. Ibu jari mendorong ke arah bukal
6) Avulsi Pendapat banyak ahli mengatakan bahwa jika terjadi avulsi pada gigi sulung sebaiknya tidak dilakukan replantasi karena dapat menyebabkan dampak buruk terhadap benih gigi permanen berupa infeksi kronis dan perubahan distrofi pada benih gigi permanen (Dummet, 2000). Replantasi pada gigi sulung dapat menyebabkan perubahan posisi koagulum ke arah folikel gigi permanen.
37
Inflamasi periapikal akan menyebabkan nekrosis pulpa yang berakibat pada gangguan mineralisasi gigi permanen (Andreasen, 2007). Penanganan avulsi pada gigi permanen adalah dengan replantasi sesegera mungkin dan menstabilisasi gigi tersebut sesuai dengan lokasi anatominya. Hal ini dilakukan untuk mengoptimasi penyembuhan ligamen periodontal dan suplai neurovaskular selama pemeliharaan estetik dan fungsinya. Replantasi menjadi tindakan yang kontraindikasi ketika masih dalam tahap perkembangan dental pada anak (risiko ankylosis saat pertumbuhan alveolar), kondisi medical compromise, membahayakan integritas gigi avulsi atau jaringan pendukung. Prognosis pada gigi permanen bergantung pada formasi perkembangan akar dan lamanya gigi berada di luar (extraoral dry time). Gigi dapat disimpan dalam sebuah media jika lebih dari 5 menit berada di luar soket. Risiko ankylosis dapat terjadi apabila extraoral dry time-nya lebih dari 15 menit. (American Academy of Pediatric Dentistry, 2010).
Gambar 3.5 Avulsi Gigi (Guthrie, 2010)
38
Vitalitas ligamen periodontal dan sementum sangat penting dalam keberhasilan replantasi dalam jangka waktu yang lama. Media penyimpanan yang tersedia harus dapat mempertahankan atau meningkatkan vitalitas sel ketika gigi di luar soket alveolar. Perendaman gigi yang baik dapat mengurangi risiko ankylosis dan membantu debridemen sel nekrotik, benda asing, dan bakteri. Media penyimpanan ini tersedia dalam berbagai jenis, berikut adalah media penyimpanan yang bisa digunakan orang tua ketika gigi mengalami avulsi (Holan and McTigue, 2005) : (1) Hank’s Balanced Salt Solution Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) atau yang biasa disebut ‘Save a Tooth’ merupakan cairan yang memiliki kandungan klorida, glukosa, sodium bikarbonat, dan potasium klorida. HBSS bersifat biokompatibel terhadap sel ligamen periodontal dan menjaga vitalitas gigi selama 24 jam karena memiliki pH seimbang. Media ini memiliki osmolalitas yang ideal untuk membangun kembali metabolisme sel yang telah kehilangan nutrisi dari darah akibat terputusnya sel. Cairan ini juga dapat mengawetkan ligamen periodontal sehingga memberikan keberhasilan rata-rata 90% dan jika gigi direndam selama 30 menit sebelum dilakukan replantasi (Krasner, 2006; Chandha, 2006).
Gambar 3.6 Hank’s Balanced Salt Solution ( Krasner, 2006)
39
(2) Susu Susu direkomendasikan sebagai media penyimpanan karena memiliki osmolalitas yang sesuai, pH netral, kandungan nutrisi yang baik dan bebas dari bahan toksik. Susu dapat langsung dipakai dan lebih efektif dibandingkan dengan HBSS karena tidak perlu disimpan di lemari pendingin. Kandungan nutrisi penting yang dimiliki susu antara lain, asam amino, karbohidrat, dan vitamin. Kekurangan dari media susu ini adalah nonaktifnya enzim yang berpotensi membahayakan ligamen periodontal apabila disimpan lebih dari 2 jam. Susu dapat menjaga kelangsungan hidup, mitogenitas dan kapasitas klonogenik sel-sel ligamen periodontal selama penyimpanan hingga 24 jam pada temperatur 4°C (Chandha, 2006). (3) Isotonik Salin Patel dan rekan dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara isotonik salin dan susu dalam mempertahankan vitalitas sel ligamen periodontal pada permukaan akar gigi selama 2 jam penyimpanan pada gigi
yang mengalami avulsi. Isotonik
salin dapat
mempertahankan vitalitas membran periodontal karena memiliki tekanan osmolalitas yang seimbang sehingga tidak menyebabkan sel menggelembung dan menjadi rusak. Media penyimpanan salin hanya efektif kurang dari 2 jam, setelah itu ligamen periodontal akan hancur karena kebutuhan glukosa untuk metabolisme tidak terpenuhi sehingga tidak cukup aman untuk media penyimpanan dalam waktu yang cukup lama (Krasner, 2006; Chandha, 2006).
40
(4) Kultur Media Kultur media yang digunakan adalah kultur 199, mengandung 700 unit penisilin G dan 0,7 mg streptomisin untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Kultur lainnya adalah Kultur Eagle yang mengandung sejumlah asam amino, vitamin, dan bikarbonat yang bertindak sebagai buffer. Kultur Eagle membuat bagian vital ligamen periodontal berproliferasi (Chandha, 2006). (5) Saliva Saliva merupakan media yang cukup efektif sebagai media penyimpanan dibandingkan dengan air dan salin. Kekurangan saliva adalah osmolalitas rendah sehingga dapat menyebabkan sel pecah. Saliva mengandung substansi seperti enzim, bakteri dan produknya yang dapat menyebabkan kerusakan ligamen periodontal (Krasner, 2006). Beberapa penelitian menganjurkan menyimpan gigi yang avulsi di dalam mulut (saliva) dengan menahan gigi pada vestibulum bukal ataupun di bawah lidah, namun tindakan ini mempunyai risiko tertelan. Hal yang dapat dilakukan adalah mengumpulkan saliva ke dalam wadah kecil dan gigi avulsi dimasukkan ke dalam media tersebut (Sigalas, 2004). (6) Air Prinsip keberhasilan dari replantasi adalah mencegah kekeringan dari gigi yang lepas. Air merupakan media yang dapat menjaga kelembapan gigi selama berada di luar soket sampai 15 menit jika tidak ada pilihan lain. Air tidak menjaga vitalitas gigi dan dapat memberikan dampak buruk bagi kelangsungan ligamen periodontal karena air merupakan larutan hipotonik yang dapat menyebabkan sel ligamen periodontal menggelembung dan pecah. Air dapat juga menyebabkan
41
kerusakan pada sel-sel akar karena tingkat metabolit dan pH yang rendah (Sigalas, 2004; Chandha, 2006). Hal lain yang memengaruhi keberhasilan penanganan avulsi selain media penyimpanan adalah kondisi dan durasi waktu pasca trauma yang harus diperhatikan oleh orang tua. Andreasen menyatakan bahwa ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan dalam melakukan replantasi gigi yang mengalami avulsi, yaitu sebagai berikut (Fonseca, 2005): 1. Gigi tersebut tidak memiliki penyakit periodontal 2. Soket alveolar dapat menyediakan tempat untuk gigi avulsi 3. Tidak ada pertimbangan untuk melakukan perawatan orthodonti, seperti gigi yang berjejal 4. Berapa lama gigi tersebut berada di luar soket alveolar berpengaruh terhadap indikasi replantasi yang baik. Gigi yang berada di luar soket gusi kurang dari 30 menit merupakan indikasi replantasi yang baik, sedangkan jika lebih dari 2 jam kemungkinan besar akan terjadi komplikasi yaitu resorpsi dari akar gigi dan gigi akan menjadi non vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih dahulu 5. Tahap perkembangan akarnya. Ketahanan pulpa dengan akar yang belum lengkap akan berhasil direplantasi jika penanganan kurang dari 2 jam. 6. Langkah replantasi dapat dilakukan jika pasien tersebut cukup kooperatif. International Association Dental Trauma mengklasifikasikan avulsi menjadi dua macam, yaitu avulsi dengan apeks tertutup dan avulsi dengan apeks terbuka. Penanganan terhadap kedua jenis kondisi apeks ini dibedakan lagi sesuai dengan
42
keadaan gigi pasca trauma, berikut adalah cara penanganan pada gigi avulsi (Flores, et.al., 2007): 1. Avulsi dengan apeks tertutup 1) Gigi sudah direplantasi sebelum datang ke klinik (1) Bersihkan area dengan semprotan air, salin, atau klorheksidin. Jangan mengekstraksi gigi. Jahit jika terdapat laserasi jaringan lunak. Kembalikan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu. (2) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari, dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula profilaksis tetanus. (3) Inisiasi perawatan kanal akar selama 7-10 hari setelah replantasi dan sebelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida sebagai medikasi intra kanal. (4) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan. (5) Berkumur dengan klorheksidin 0,1% 2 kali sehari selama 1 minggu. 2) Gigi direndam dalam media penyimpanan (HBSS, susu, salin, atau saliva). Waktu di luar soket kurang dari 1 jam. (1) Jika terkontaminasi, bersihkan permukaan akar dan foramen apikal dengan salin dan simpan gigi dalam salin. Bersihkan koagulum dari soket dengan salin.
43
(2) Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur pada dindingnya lakukan reposisi dengan instrumen yang sesuai. (3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada laserasi. (4) Tempatkan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu. (5) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari, dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula profilaksis tetanus. (6) Inisiasi perawatan kanal akar selama 7-10 hari setelah replantasi dan sebelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida sebagai medikasi intra kanal. (7) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan. 3) Gigi berada di luar soket lebih dari 1 jam Replantasi yang lambat memiliki prognosis buruk. Ligamen periodontal akan mengalami nekrosis dan sulit sembuh. Tujuan pada replantasi yang lambat adalah untuk menyiapkan perkembangan tulang alveolar agar memfiksasi gigi yang akan direplantasi. Hasil yang biasa terjadi adalah ankylosis dan resorpsi akar. Ankylosis yang terjadi pada anak usia di bawah 15 tahun direkomendasikan untuk dekoronasi untuk mempertahankan alveolar ridge, ini juga dilakukan jika infraposisi mahkota gigi lebih dari 1mm. Teknik untuk delayed replantation adalah: (1) Hilangkan jaringan lunak yang nekrotik dengan kain
44
(2) Perawatan kanal akar dapat dilakukan 7-10 hari setelah replantasi (3) Hilangkan koagulum dari soket dengan salin. Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan instrumen yang sesuai. (4) Rendam gigi di larutan sodium flouride 2% selama 20 menit. (5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara klinis dan radiografi. (6) Stabilisasi gigi tersebut dengan alat stabilisasi fleksibel selama 4 minggu (7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus (8) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan.
2. Avulsi dengan apeks terbuka 1) Gigi sudah direplantasi sebelum datang ke klinik (1) Bersihkan area dengan semprotan air, salin, atau klorheksidin. Jangan mengekstraksi gigi. Jahit jika terdapat laserasi jaringan lunak. Kembalikan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu. (2) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari, dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula profilaksis tetanus.
45
(3) Tujuan replantasi gigi immature pada anak adalah untuk memfasilitasi revaskularisasi pulpa gigi, jika tidak terjadi maka perawatan saluran akar menjadi indikasi untuk dilakukan. (4) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan. 2) Gigi direndam dalam media penyimpanan (HBSS, susu, salin, atau saliva). Waktu di luar soket kurang dari 1 jam. (1) Jika terkontaminasi, bersihkan permukaan akar dan foramen apikal dengan salin. Hilangkan koagulum dari soket dengan salin lalu replantasi gigi tersebut. Selubungi permukaan akar dengan minocycline hydrocloride micropheres (ArestinTM, OraPharma Inc.) sebelum replantasi jika bahan tersebut tersedia. (2) Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur pada dindingnya lakukan reposisi dengan instrumen yang sesuai. (3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada laserasi. (4) Tempatkan gigi pada posisi normal baik secara klinis maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2 minggu. (5) Berikan antibiotik sistemik (Doxycycline 2x per hari selama 7 hari, dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan. Berikan pula profilaksis tetanus. (6) Tujuan replantasi gigi immatur pada anak adalah untuk memfasilitasi revaskularisasi pulpa gigi, jika tidak terjadi maka perawatan saluran akar menjadi indikasi untuk dilakukan.
46
(7) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan. 3) Gigi berada di luar soket lebih dari 1 jam Replantasi yang lambat memiliki prognosis buruk. Ligamen periodontal akan mengalami nekrosis dan sulit sembuh. Tujuan pada replantasi yang lambat pada gigi immatur adalah memelihara kontur alveolar ridge. Hasil yang biasa terjadi adalah ankylosis dan resorpsi akar. Perawatan lanjutan penting dilakukan pada gigi immatur sebagai tindak lanjut dari kasus ankylosis dan efek ankylosis pada perkembangan alveolar ridge. Hal yang dapat dilakukan adalah dekoronasi untuk mempertahankan kontur alveolar ridge, ini juga dilakukan jika infraposisi mahkota gigi lebih dari 1mm. Teknik untuk delayed replantation adalah: (1) Hilangkan jaringan lunak yang nekrotik dengan kain (2) Perawatan kanal akar dapat dilakukan 7-10 hari setelah replantasi (3) Hilangkan koagulum dari soket dengan salin. Periksa soket alveolar, jika terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan instrumen yang sesuai. (4) Rendam gigi dalam larutan sodium flouride 2% selama 20 menit. (5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital. Jahit jika ada laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara klinis dan radiografi. (6) Stabilisasi gigi tersebut dengan alat stabilisasi fleksibel selama 4 minggu (7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus (8) Intruksi pada pasien: diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan.
47
Penanganan avulsi pada gigi dengan apeks yang masih terbuka disarankan untuk melakukan pemeriksaan foto radiografi 2 minggu sekali untuk mengevaluasi kondisi pulpa. Gambar 3.7 menunjukkan tahap replantasi pada gigi yang mengalami avulsi.
Gambar 3.7 Penanganan Gigi Avulsi (Andreasen, 2007) Keterangan Gambar:
1. Gigi insisif sentral kiri atas mengalami avulsi 2. Cara mengembalikan gigi ke dalam soket 3. Pemasangan alat stabilisasi pada gigi yang sudah di replantasi
3. Perawatan Trauma yang Mengenai Tulang Pendukung 1) Fraktur Tulang Alveolar Trauma yang mengenai tulang alveolar biasanya disertai juga dengan lateral luksasi atau intrusi (Fonseca, 2005) dan juga gangguan pada oklusi (Flores, et.al., 2007). Manipulasi digital dan reposisi gigi yang mengalami perubahan posisi dapat dilakukan untuk mengurangi fraktur tulang alveolar dengan anestesi (Hupp,
48
2008). Keadaan pulpa dan kemungkinan adanya ankylosis harus menjadi perhatian selama evaluasi setelah perawatan (Fonseca, 2005). Stabilisasi yang dilakukan selama 4 minggu (Flores, et.al., 2007).
2) Fraktur Dinding Soket Alveolar Fraktur pada dinding soket sering berhubungan dengan dislokasi gigi dengan kegoyangan pada tulang di bagian bukal dan kontusio mukosa. Reduksi pada fraktur ini dapat dilakukan dengan manipulasi digital di area apikal dan aspek lingual pada mahkota, jika ada laserasi dilakukan penjahitan. Langkah reposisi ini juga harus memperhatikan oklusi (Fonseca, 2005). Fraktur ini biasanya melibatkan beberapa gigi dan trauma lain berupa luksasi. Stabilisasi dipasang selama 4 minggu untuk penyembuhan tulang, kecuali pada anak, durasi fiksasi dapat lebih cepat karena proses penyembuhan tulang berjalan relatif lebih cepat. Terapi tambahan pada pasien anak adalah diet lunak selama 2 minggu (Fonseca, 2005).
3) Fraktur Prosesus Alveolar Fraktur prosesus alveolaris bisanya terisolasi dan erat kaitannya dengan trauma dental dan trauma wajah dengan tingkatan laserasi pada mukosa dan gingiva yang bermacam-macam. Tulang yang terkena fraktur pada banyak keadaan melibatkan satu atau lebih gigi. Trauma ini sering terjadi di regio anterior dan premolar pada anak dan remaja (Fonseca, 2005).
49
Penanganan yang baik pada kasus ini adalah reduksi dan reposisi dengan teknik tertutup atau terbuka diikuti dengan stabilisasi yang kuat untuk mendukung penyembuhan tulang. Teknik tertutup dapat dilakukan dengan manipulasi digital di segmen dental. Stabilisasi dipasang selama 4 minggu setelah proses reposisi tersebut (Fonseca, 2005). Teknik terbuka dilakukan dengan flap menggunakan elevator periosteal. Teknik ini dilakukan ketika terdapat segmen fraktur yang sulit direposisi pada teknik tertutup. Penanganan tambahan lainnya pada kasus ini adalah pemberian obat anti tetanus, antibiotik berupa penisilin atau klindamisin, dan klorheksidin untuk menjaga kebersihan mulut pasien. Evaluasi pulpa dilakukan pasca perawatan reposisi dan stabilisasi untuk melihat perkembangan penyembuhan dan kemungkinan adanya komplikasi (Fonseca, 2005).