Bab 2 LANDASAN TEORI - Perpustakaan Digital ITB

berat molekul tiap-tiap gas ideal mengisi volume yang sama sebagaimana satu berat molekul gas ideal yang lain. Dalam penelitiannya Avogadro me-nemukan...

102 downloads 686 Views 239KB Size
Bab 2 LANDASAN TEORI Gas adalah suatu fase benda. Gas mempunyai kemampuan untuk mengalir dan dapat berubah bentuk seperti zat cair. Namun berbeda dengan zat cair, gas yang tak tertahan tidak mengisi suatu volume yang telah ditentukan, sebaliknya gas mengembang dan mengisi ruang apapun.

2.1 Persamaan Keadaan Gas dikatakan ideal apabila mempunyai sifat sebagai berikut : 1. Volume yang diisi oleh molekul sangat kecil dibandingkan dengan volume yang diisi oleh gas secara keseluruhan. 2. Tumbukan yang terjadi antar molekul bersifat elastis. 3. Tidak ada gaya tarik menarik atau tolak menolak antar molekul. Hukum gas yang dapat mendeskripsikan perilaku gas ideal, yaitu : 7

BAB 2. LANDASAN TEORI

8

• Hukum Boyle Hukum Boyle menyatakan, pada temperatur konstan, volume dan tekanan berbanding terbalik. Apabila dituliskan ke dalam bentuk persamaan, maka menjadi : V≈

1 . p

(2.1)

• Hukum Charles Hukum Charles menyatakan, apabila tekanan dipertahankan konstan, volume dan temperatur akan berbanding lurus. Apabila dituliskan ke dalam bentuk persamaan, maka menjadi : V ≈T .

(2.2)

• Hukum Avogadro Hukum Avogadro menyatakan, pada kondisi temperatur dan tekanan yang sama, semua gas ideal dengan volume yang sama mengandung jumlah molekul yang sama. Dengan kata lain, pada temperatur dan tekanan tertentu, satu berat molekul tiap-tiap gas ideal mengisi volume yang sama sebagaimana satu berat molekul gas ideal yang lain. Dalam penelitiannya Avogadro menemukan terdapat 2, 73 × 1023 buah molekul dalam tiap satu pound mol gas ideal. Persamaan keadaan gas ideal diperoleh dengan cara menggabungkan hukum Boyle, Charles, dan Avogadro. Proses menggabungkan hukum Boyle dan Charles yaitu pertama, gas ideal yang mempunyai massa tertentu dengan volume V1 berada pada tekanan p1 dan temperatur T 1 . Tekanan gas kemudian dinaikkan dari p1 ke p2 sedangkan temperatur dipertahankan konstan. Perubahan tekanan ini mengakibatkan volume gas turun dari V1 ke V. Proses di atas apabila ditulis dalam bentuk

BAB 2. LANDASAN TEORI

9

persamaan yaitu : p1 V1 = p2 V .

(2.3)

Sedangkan proses yang kedua yaitu, tekanan dijaga konstan pada p2 sedangkan temperatur dinaikkan dari T 1 ke T 2 . Perubahan temperatur ini menyebabkan volume naik dari V ke V2 . Proses di atas apabila ditulis ke dalam bentuk persamaan yaitu : V V2 = . T1 T2

(2.4)

Gabungan dari Persamaan (2.3) dan (2.4) yaitu : p1 V1 p2 V2 = . T1 T2

(2.5)

Jadi untuk gas ideal berlaku, pV = konstan . T Konstanta untuk gas dengan volume satu berat molekul gas atau disebut volume molar (V M ) adalah R, yaitu : R=

pV M . T

(2.6)

Persamaan (2.6) dapat ditulis dengan bentuk : pV M = RT .

(2.7)

Untuk n mol, Persamaan (2.7) menjadi persamaan keadaan gas ideal, yaitu: pV = nRT ,

(2.8)

BAB 2. LANDASAN TEORI

10

dengan V = nV M , yaitu volume untuk n mol gas. Pada kenyataanya semua gas yang ada di alam tidak ada yang bersifat ideal. Oleh karena itu, digunakan Z sebagai faktor pengkoreksi atau faktor deviasi persamaan gas ideal, sehingga Persamaan (2.8) menjadi : pV = ZnRT .

(2.9)

m ˆ = ρg V ,

(2.10)

m ˆ = nMg ,

(2.11)

Dengan mensubstitusi persamaan :

pada Persamaan (2.9), dengan m ˆ adalah massa, Mg adalah massa molekul relatif gas, dan ρg adalah massa jenis gas, maka persamaan keadaan menjadi : p=

ZRT ρg . Mg

(2.12)

2.2 Faktor Deviasi (Z) Faktor deviasi adalah perbandingan volume aktual n mol gas pada tekanan dan temperatur tertentu dengan volume n mol gas pada tekanan dan temperatur tertentu jika berperilaku sebagai gas ideal, yaitu : Z=

Vactual . Videal

(2.13)

Dalam tugas akhir ini, perhitungan Z menggunakan korelasi Dranchuk, Purvis, dan Robinson . Adapun prosedur mencari Z yaitu :

BAB 2. LANDASAN TEORI

11

1. Mencari tekanan kritis (P pc ) dan temperatur kritis (T pc ), yaitu : P pc = 756.8 − 131γg − 3.6γg2 . T pc = 169.2 − 349.5γg − 74γg2 . 2. Mencari massa jenis kritis (ρgc ), yaitu : ρgc =

Mg P pc , Z pc RT pc

dengan Z pc = 0.27 . 3. Mencari temperatur relatif (T pr ) dan massa jenis relatif (ρ pr ), yaitu : T pr =

T . T pc

ρ pr =

ρg . ρgc

4. Menghitung Faktor deviasi (Z), yaitu : 

Z = 1 + A1 + TApr2 + TA33 pr ρ pr5 ρ pr2  + A5 A6 T pr + A7 T 3 1 + pr





A5 T pr



ρ pr + A4 + ρ pr2  A8 ρ pr2 exp (−A8 ρ pr2 ) ,

(2.14)

dengan A1 = 0, 31506237 , A2 = − 1, 04670990 , A3 = 0, 57832729, A4 = 0, 53530771 , A5 = − 0, 61232032 , A6 = 0, 10488813, A7 = 0, 68157001 , A8 = 0, 68446549 .

BAB 2. LANDASAN TEORI

12

2.3 Massa Jenis (ρg) Massa jenis adalah kerapatan massa fluida yang diformulasikan sebagai perbandingan massa dengan volume. Dengan demikian, dari persamaan keadaan, massa jenis gas dapat dinyatakan sebagai : ρg =

2.4

pMg . ZRT

(2.15)

Specific Grafity (γg) Specific grafity adalah perbandingan massa jenis gas dengan massa jenis

udara kering diukur pada tekanan dan temperatur yang sama, yaitu : γg =

ρg ρudara

.

(2.16)

Dengan mengasumsikan gas dan udara sebagai gas ideal, maka specific grafity dapat ditulis sebagai : γg =

pMg RT pMudara RT

=

Mg . 29

(2.17)

2.5 Viskositas (µg) Viskositas fluida merupakan ukuran daya hambat aliran fluida, yang juga dapat dinyatakan sebagai keengganan fluida untuk mengalir. Semakin besar nilai viskositas fluida, semakin sulit fluida tersebut mengalir. Dalam tugas akhir ini, perhitungan viskositas dilakukan dengan menggunakan korelasi Lee at al sebagai

BAB 2. LANDASAN TEORI berikut :

13

 y µg = K10−4 exp Xρg ,

dengan K=

(2.18)

(9.4 + 0.02M) T 1.5 , (209 + 19M + T )

X = 3.5 +

986 + 0.01M , T

y = 2.4 − 0.2X .

2.6 Faktor Gesekan ( fg) Faktor gesekan merupakan penyebab terjadinya kerja yang hilang selama proses aliran. Faktor gesekan terjadi antara fluida, dalam hal ini gas alam, dengan dinding pipa. Hal ini disebabkan oleh kekasaran pipa dan viskositas fluida. Besarnya faktor gesekan dipengaruhi oleh koefisien kekasaran pipa dan jenis aliran. • Bilangan Reynold Bilangan Reynold digunakan untuk menentukan sifat aliran, bersifat laminar atau turbulen. Persamaan untuk menentukan bilangan Reynold secara umum untuk masalah aliran gas alam dinyatakan dalam satuan lapangan adalah : NRE = dengan Q adalah laju alir.

20Qγg , µg D

(2.19)

BAB 2. LANDASAN TEORI

14

Dalam tugas akhir ini, perhitungan faktor gesekan dilakukan dengan menggunakan korelasi Chen sebagai berikut ini :     1  1.1098 5.8506   1  5.0452 log  − + 0.8981  , p = −2 log  3.7065D NRE 2.8257 D NRE fg

(2.20)

dengan  adalah koefisien kekasaran pipa.

2.7

Kecepatan Suara (c) Kecepatan suara adalah kecepatan suatu gangguan kecil di dalam tabung

aliran fluida , yaitu :

s ZRT . Mg

c=

2.8

(2.21)

Specific Heat (Cv dan C p) Cv dan C p dikatakan sebagai specific heat karena pada kondisi tertentu, Cv

dan C p berhubungan dengan perubahan temperatur sistem yang disebabkan adanya energi yang ditambahkan pada peristiwa perpindahan panas. Jika terjadi perubahan temperatur pada kondisi volum tetap, digunakan Cv sebagai specific heat, sedangkan apabila perubahan temperatur terjadi pada kondisi tekanan tetap, akan digunakan C p sebagai specific heat. Cv dan C p merupakan turunan parsial fungsi u(T, v) dan h(T, p), dengan u merupakan spesifikasi dari energi internal dan h merupakan entalpi, maka apabila Cv dan C p direpresentasikan ke dalam bentuk persamaan, yaitu : ∂u Cv = ∂T

! v

∂h ,C p = ∂T

! . p

(2.22)

BAB 2. LANDASAN TEORI

2.9

15

Persamaan Aliran Persamaan aliran gas bersifat transien pada pipa dideskripsikan dengan pen-

dekatan satu dimensi yang berbentuk sistem persamaan diferensial parsial. Persamaan dasar aliran gas yang bersifat transien diturunkan dari persamaan kontinuitas, persamaan gerak (momentum), persamaan energi, dan persamaan keadaan gas. Dari persamaan-persamaan tersebut dapat dikembangkan beberapa model matematika tergantung pada asumsi-asumsi yang dibuat sesuai dengan kondisi operasi di lapangan.

2.9.1 Persamaan Kontinuitas Persamaan kontinuitas diturunkan dengan menggunakan prinsip hukum kekekalan massa. Hukum Kekekalan Massa menyatakan, massa tidak bisa dibuat atau dimusnahkan. Dengan demikian, massa dalam kontrol volum adalah konstan. Dalam bentuk persamaan akan direpresentasikan sebagai berikut,   la ju alir massa    keluar dari   kontrol volum

    la ju alir massa      −  masuk ke dalam     kontrol volum

    la ju akumulasi      +  massa dalam     kontrol volum

     = 0 .  

(2.23)

Misal sebuah medium 1-dimensi terletak pada sumbu-x, memuat sejumlah substansi yang dapat bergerak atau mengalir. Misalnya, definisikan ρ(x, t) sebagai rapat massa di posisi x dan pada waktu t. Penggunaan fungsi dengan dua variabel ini dimaksudkan sebagai cara merepresentasikan dan memvisualisasikan perjalanan aliran massa pada medium 1-dimensi. Akan diperhatikan proses aliran massa dalam suatu segmen S di dalam kontol volum, a sampai dengan b (Gambar 2.1).

BAB 2. LANDASAN TEORI

16

Total massa di dalam segmen S pada saat t dapat dihitung dengan integral Rb

ρ(x, t)dx. Adanya substansi yang mengalir sepanjang medium, mengakibatkan

a

jumlah massa di dalam segmen S dapat berubah terhadap waktu. Dengan demikian, laju perubahan total massa dapat dihitung melalui turunan d dt

Zb ρ(x, t)dx .

(2.24)

a

Gambar 2.1: Segmen S Sembarang. Selain itu, perhitungan laju perubahan total massa dapat dijelaskan dengan menggunakan fungsi fluks. Fungsi fluks massa fluida dinyatakan dengan ρ(x, t) v(x, t) dengan v(x, t) adalah kecepatan fluida mengalir. Notasi tersebut berarti banyaknya massa yang mengalir melewati posisi x dan pada saat t. Nilai positif ρ(x, t) v(x, t) > 0 mengindikasikan aliran massa searah dengan kenaikan nilai x, sementara notasi ρ(x, t) v(x, t) < 0 menunjukkan aliran massa berlawanan arah dengan kenaikan nilai x. Dengan demikian, banyaknya massa masuk melalui titik ujung x = a pada saat t adalah ρ(a, t) v(a, t). Jika ρ(a, t)v(a, t) bernilai positif, maka massa mengalir masuk ke dalam S melalui sebelah kiri titik ujung x = a. Demikian halnya banyaknya massa masuk melalui titik ujung x = b pada saat t adalah ρ(b, t) v(b, t). Penulisan tanda minus untuk x = b dibutuhkan karena ρ(b, t) v(b, t) > 0 menunjukkan massa mengalir ke sebelah kanan pada x = b. Maka laju perubahan total massa saat

BAB 2. LANDASAN TEORI

17

massa masuk ke dalam S melalui titik-titik ujungnya diberikan oleh persamaan ρ(a, t)v(a, t) − ρ(b, t)v(b, t) .

(2.25)

Mensubsitusikan Persamaan (2.25) ke dalam Persamaan (2.24) menghasilkan suatu persamaan, yaitu : d dt

Zb ρ(x, t)dx = ρ(a, t)v(a, t) − ρ(b, t)v(b, t) .

(2.26)

a

Alternatif lain dari bentuk integral Persamaan (2.26) dapat diturunkan ketika ρ(x, t) dan v(x, t) diasumsikan memiliki turunan pertama yang kontinu. Berdasarkan asumsi tersebut, Persamaan (2.26) dapat dituliskan sebagai Zb

Zb ρt (x, t)dx = −

a

(ρ(x, t)v(x, t)) x dx . a

yang disederhanakan menjadi Zb



 ρt (x, t) + (ρ(x, t)v(x, t)) x dx = 0 .

a

Dan jika ρt dan (ρ(x, t)v(x, t)) x kontinu, maka fakta bahwa nilai integral di atas bernilai nol untuk setiap a < b sepanjang medium mengimplikasikan bahwa integran (ρt + (ρ(x, t)v(x, t)) x ) haruslah bernilai nol. Hal ini menghasilkan persamaan kontinuitas dalam bentuk persamaan diferensial dan dengan menotasikan fluks

BAB 2. LANDASAN TEORI

18

massa dengan m(x, t) = ρ(x, t)v(x, t), dimana fluks massa adalah banyaknya massa bersih yang lewat per satuan luas setiap waktu , diperoleh : ∂ρ ∂(m) + =0. ∂t ∂x

(2.27)

2.9.2 Persamaan Momentum Persamaan momentum diturunkan dengan menggunakan prinsip hukum kekekalan momentum. Hukum Kekekalan Momentum menyatakan, laju perubahan momentum di kontrol volum sama dengan gaya bersih yang bekerja pada kontrol volum tersebut. Apabila ditulis dalam bentuk persamaan, menjadi :             total la ju la ju                momentum   momentum gaya           bersih yang keluar      masuk   =   −   beker ja pada     ke dalam dari              kontrol   kontrol kontrol         volum volum   volum

      la ju         akumulasi        momentum     +   . (2.28)   dalam          kontrol       volum 

Prinsip penurunan laju perubahan momentum menggunakan konsep yang sama dengan laju perubahan massa, yaitu, misal sebuah medium 1-dimensi terletak pada sumbu-x, memuat sejumlah substansi yang dapat bergerak atau mengalir. Misal, definisikan ρ(x, t) v(x, t) sebagai momentum di posisi x dan pada waktu t, dan v(x, t) sebagai kecepatan fluida di posisi x dan pada waktu t. Akan diperhatikan proses aliran momentum dalam suatu segmen S di dalam kontrol volum, a sampai dengan b (Gambar 2.1). Total momentum di dalam segmen S pada saat t dapat dihitung dengan

BAB 2. LANDASAN TEORI integral

Rb

19

ρ(x, t) v(x, t) dx. Adanya substansi yang mengalir sepanjang medium,

a

mengakibatkan jumlah momentum di dalam segmen S dapat berubah terhadap waktu. Dengan demikian, laju perubahan total momentum dapat dihitung melalui turunan, d dt

Zb ρ(x, t)v(x, t)dx .

(2.29)

a

Selain itu, perhitungan laju perubahan total momentum dapat dijelaskan dengan menggunakan fungsi fluks. Fungsi fluks momentum fluida dinyatakan dengan ρ(x, t) v(x, t)2 dengan v(x, t) adalah kecepatan fluida mengalir. Notasi tersebut berarti banyaknya momentum yang mengalir melewati posisi x dan pada saat t. Dengan demikian, banyaknya momentum masuk melalui titik ujung x = a pada saat t adalah ρ(a, t) v(a, t)2 . Jika ρ(a, t) v(a, t)2 bernilai positif, maka momentum mengalir masuk ke dalam S melalui sebelah kiri titik ujung x = a. Demikian halnya banyaknya momentum masuk melalui titik ujung x = b pada saat t adalah ρ(b, t) v(b, t)2 . Penulisan tanda minus dix = b dibutuhkan karena ρ(b, t) v(b, t)2 > 0 menunjukkan momentum mengalir ke sebelah kanan pada x = b. Oleh karena itu, laju perubahan momentum akibat adanya momentum yang masuk ke dalam S melalui titik ujung x = a dan ujung x = b pada saat t adalah : ρ(a, t)v(a, t)2 − ρ(b, t)v(b, t)2 .

(2.30)

Sedangkan penambahan atau pengurangan momentum melalui titik-titik dalam segmen S akan direpresentasikan oleh fungsi f . Fungsi f (x, t) dapat dipandang sebagai gaya luar yang mempengaruhi momentum. Nilai positif f (x, t) > 0 mengindikasikan sejumlah momentum ditambahkan ke dalam medium pada posisi x, sementara f (x, t) < 0 menunjukkan sejumlah momentum dikurangi. Dengan demikian, laju perubahan momentum akibat momentum ditambahkan atau dikurangi di dalam

BAB 2. LANDASAN TEORI

20

segmen S pada saat t diberikan oleh persamaan Zb f (x, t)dx .

(2.31)

a

Dengan mensubsitusi Persamaan (2.30) dan (2.31) ke dalam Persamaan (2.29) menghasilkan suatu persamaan dengan bentuk integral hukum kekekalan momentum, yaitu : d dt

Zb

Zb 2

2

f (x, t)dx .

ρ(x, t)v(x, t)dx = ρ(a, t)v(a, t) − ρ(b, t)v(b, t) +

(2.32)

a

a

Alternatif lain dari bentuk integral hukum kekekalan momentum dapat diturunkan ketika ρ(x, t)v(x, t) dan ρ(x, t)v(x, t)2 diasumsikan memiliki turunan pertama yang kontinu. Berdasarkan asumsi tersebut, Persamaan (2.32) dapat dituliskan sebagai Zb

Zb (ρ(x, t)v(x, t)2 ) x dx +

(ρ(x, t)v(x, t))t dx = − a

Zb

a

f (x, t)dx . a

yang disederhanakan menjadi Zb 

 (ρ(x, t)v(x, t))t + (ρ(x, t)v(x, t)2 ) x − f (x, t) dx = 0 .

a

Dan jika (ρ(x, t)v(x, t))t , (ρ(x, t)v(x, t)2 ) x , dan f kontinu, maka fakta bahwa nilai integral di atas bernilai nol untuk setiap a < b sepanjang medium mengimplikasikan bahwa integran (ρ(x, t)v(x, t))t + (ρ(x, t)v(x, t)2 ) x − f haruslah bernilai nol. Hal ini menghasilkan bentuk persamaan diferensial hukum kekekalan momen-

BAB 2. LANDASAN TEORI

21

tum, yaitu : (ρ(x, t)v(x, t))t + (ρ(x, t)v(x, t)2 ) x = f .

(2.33)

Fungsi f biasanya ditentukan atau dispesifikasi berdasarkan masalah fisis yang melatarbelakangi persamaan tersebut. Dalam banyak kasus nilai f adalah nol. Sedangkan dalam kasus ini, fungsi f adalah faktor yang dapat menghilangkan momentum, seperti faktor gesekan. Faktor gesekan didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan geser dinding, (τw ) dengan energi kinetik per satuan volume, (ρv2 /2), yaitu : fg0 =

τw (

ρv2 2

)

=

2τw , ρv2

(2.34)

dengan catatan fg0 hanya melambangkan sebagai notasi saja, bukan berarti sebagai turunan pertama. Kesetimbangan gaya selama fluida mengalir di dalam pipa (Gambar 2.2), yang terjadi antara tegangan geser dinding dengan gaya tekanan akibat aliran fluida, adalah : (

sehingga

dp p − p + ( )dx dx

!)

πD2 = τw (πD) dx . 4

! −D d p τw = . 4 dx

(2.35)

(2.36)

substitusi Persamaan (2.36) ke dalam Persamaan (2.34), sehingga diperoleh : 0 2 d p −2 fg ρv = . dx D

(2.37)

Persamaan (2.37) merupakan persamaan Fanning, persamaan tersebut dapat

BAB 2. LANDASAN TEORI

22

Gambar 2.2: Kesetimbangan Gaya Fluida Mengalir di dalam Pipa. dituliskan ke dalam bentuk faktor gesekan Darcy-Weisbach, dengan fg = 4 f 0 g , sehingga menjadi :

d p − fg ρv2 = . dx 2D

(2.38)

Dari Persamaan (2.38) diperoleh bahwa fungsi f dalam kasus ini adalah : f=

− fg ρv2 ∂p − . 2D ∂x

(2.39)

Dari Persamaan keadaan (2.12) dan Persamaan kecepatan suara (2.21) dapat diperoleh hubungan untuk mencari tekanan, yaitu p = c2 ρ, sehingga Persamaan (2.39) menjadi : f=

− fg ρv2 ∂(c2 ρ) − . 2D ∂x

(2.40)

Dengan mensubstitusi Persamaan (2.40) ke dalam Persamaan (2.33), dan dengan menotasikan fluks massa dengan m(x, t) = ρ(x, t)v(x, t), akan diperoleh persamaan akhir, yaitu : ∂m + ∂t





m2 ρ

+ c2 ρ

∂x

 =

− fg m |m| . 2Dρ

(2.41)

BAB 2. LANDASAN TEORI

23

2.9.3 Persamaan Energi Persamaan energi diperoleh dengan menggunakan prinsip hukum kekekalan energi. Hukum kekekalan energi menyatakan, laju perubahan energi di kontrol volum sama dengan jumlah panas dikurangi jumlah kerja pada kontrol volum tersebut. Pada kasus ini, diasumsikan tidak ada kerja yang dilakukan oleh sistem. Hukum kekekalan energi dengan asumsi tersebut, apabila direpresentasikan dalam bentuk persamaan, menjadi :   jumlah    panas   yang    masuk    ke kontrol   volum

                 =             

la ju energi keluar dari kontrol volum

    la ju       energi       masuk ke  −    dalam       kontrol     volum

      la ju         akumulasi        energi     +  .   dalam          kontrol       volum 

(2.42)

Prinsip penurunan laju perubahan energi per unit massa per satuan luas menggunakan konsep yang sama dengan laju perubahan massa dan momentum. Dengan memperhatikan proses aliran energi dalam suatu segmen S di kontrol volum, a sampai dengan b (Gambar 2.1). Dengan demikian, laju perubahan total energi per unit massa per satuan luas dapat dihitung melalui turunan sebagai berikut : d dt

Zb e(x, t)ρ(x, t)Adx .

(2.43)

a

Selain itu, perhitungan laju perubahan total energi per unit massa per satuan

BAB 2. LANDASAN TEORI

24

luas dapat dijelaskan dengan menggunakan fungsi fluks. Fungsi fluks energi per unit massa per satuan luas fluida dinyatakan oleh e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)A dengan e(x, t) adalah energi per unit massa per satuan luas . Notasi tersebut berarti banyaknya energi per unit massa per satuan luas yang mengalir melewati posisi x dan pada saat t. Dalam pemberian tanda positif dan negatif menggunakan konsep yang sama dengan perhitungan laju perubahan massa dan momentum. Dengan demikian, banyaknya energi per unit massa per satuan luas masuk melalui titik ujung x = a pada saat t adalah e(a, t)ρ(a, t)v(a, t)A sedangkan banyaknya energi per unit massa per satuan luas yang masuk melalui titik ujung x = b pada saat t adalah e(b, t)ρ(b, t)v(b, t)A. Penulisan tanda minus untuk x = b dibutuhkan karena e(b, t)ρ(b, t)v(b, t)A > 0 menunjukkan energi per unit massa per satuan luas mengalir ke sebelah kanan pada x = b . Oleh karena itu, laju perubahan energi per unit massa per satuan luas akibat adanya energi per unit massa per satuan luas yang masuk ke dalam S melalui titik ujung x = a dan ujung x = b pada saat t adalah : e(a, t)ρ(a, t)v(a, t)A − e(b, t)ρ(b, t)v(b, t)A .

(2.44)

Sedangkan penambahan atau pengurangan energi per unit massa per satuan luas melalui titik-titik dalam segmen S direpresentasikan oleh fungsi b q. Fungsi b q(x, t) dapat dipandang sebagai panas yang dapat mempengaruhi energi. Nilai positif b q(x, t) > 0 mengindikasikan sejumlah energi ditambahkan ke dalam medium pada posisi x, sementara b q(x, t) < 0 menunjukkan sejumlah energi dikurangi. Dengan demikian, laju perubahan energi akibat energi ditambahkan atau dikurangi di dalam segmen S pada saat t diberikan oleh persamaan, Zb b q(x, t)dx . a

(2.45)

BAB 2. LANDASAN TEORI

25

Dengan mensubsitusi Persamaan (2.44) dan (2.45) ke dalam Persamaan (2.43) menghasilkan suatu persamaan dengan bentuk integral hukum kekekalan energi, yaitu : d dt

Zb

Zb

b q(x, t)dx .

e(x, t)ρ(x, t)Adx = e(a, t)ρ(a, t)v(a, t)A − e(b, t)ρ(b, t)v(b, t)A + a

a

(2.46)

Alternatif lain dari bentuk integral hukum kekekalan energi, ketika e(x, t)ρ(x, t)A dan e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)A, diasumsikan memiliki turunan pertama yang kontinu. Berdasarkan asumsi tersebut, Persamaan (2.46) dapat dituliskan sebagai berikut : Zb

Zb (e(x, t)ρ(x, t))t Adx = −

a

Zb b q(x, t)dx .

(e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)) x Adx + a

a

yang disederhanakan menjadi Zb

 (e(x, t)ρ(x, t))t A + (e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)) x A −b q(x, t) dx = 0 .

a

Dan jika (e(x, t)ρ(x, t))t A , (e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)) x A dan b q(x, t) kontinu, maka fakta nilai integral di atas bernilai nol untuk setiap a < b sepanjang medium mengimplikasikan bahwa integran (e(x, t)ρ(x, t))t A + (e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)) x A − b q(x, t) haruslah bernilai nol. Hal ini menghasilkan bentuk persamaan diferensial hukum kekekalan energi, yaitu : (e(x, t)ρ(x, t))t A + (e(x, t)ρ(x, t)v(x, t)) x A = b q.

(2.47)

Fungsi b q dalam kasus ini adalah kalor per unit massa per unit luas yang

BAB 2. LANDASAN TEORI

26

diberikan pada sistem, yaitu qρA. Dengan mengasumsikan tidak ada efek nuklir, listrik, magnetik, dan mengabaikan energi potensial dan kinetik, maka energi yang terjadi pada sistem yaitu hanya energi panas dan energi yang menyebabkan kehilangan tekanan sehingga diperoleh persamaan akhir, untuk et (x, t) = Cv T dan e x (x, t) = Cv T + ρp , yaitu : " !#  ∂ ∂ p ρA (Cv T ) + ρvA Cv T + = qρA . ∂t ∂x ρ

(2.48)

2.10 Newton Raphson Dalam menyelesaikan suatu persamaan berbentuk g(x) = h(x), langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah persamaan tersebut menjadi bentuk g(x) − h(x) = 0. Sebut f (x) = g(x) − h(x). Dari bentuk terakhir, terlihat bahwa proses pencarian penyelesaian persamaan g(x) = h(x) adalah ekivalen dengan proses pencarian akar dari fungsi f (x). Metode Newton Raphson merupakan salah satu metode numerik yang digunakan untuk mencari akar dari suatu fungsi. Pada metode Newton Raphson, dibutuhkan satu tebakan awal. Misalkan f (x) fungsi kontinu dan x0 merupakan tebakan awal terhadap akar dari fungsi tersebut. Prinsip dari metode Newton Raphson adalah membuat garis singgung terhadap fungsi f (x) di titik (x0 , f (x0 )). Apabila f 0 (x0 ) , 0 maka garis singgung tersebut akan memotong sumbu-x, sebut titik potongnya adalah x1 , sehingga akan diperoleh x1 = x0 −

f (x0 ) f 0 (x0 ) .

Ilustrasi geometri dari metode ini, dapat dilihat pada Gambar 2.3. Selanjutnya proses yang sama akan dilakukan dengan tebakan awal yang baru yaitu x1 . Apabila proses ini diteruskan, maka akan diperoleh barisan x0 , x1 , x2 , ..., x j , sehingga akan

BAB 2. LANDASAN TEORI

27

diperoleh persamaan umum yaitu : x j+1 = x j −

f (x j ) , f 0 (x j )

(2.49)

dengan j = 0, 1, 2, ...

Gambar 2.3: Iterasi Newton Raphson dalam Menentukan Akar.

2.11

Hubungan Laju Alir Gas (Q) dan Fluks Massa Gas (m) Fluks massa adalah massa yang mengalir tiap unit area per satuan waktu.

Apabila direpresentasikan ke dalam bentuk persamaan, m = ρv ,

(2.50)

BAB 2. LANDASAN TEORI

28

dengan v adalah kecepatan gas. Adapun hubungan antara kecepatan gas dan laju alir gas adalah dalam persamaan berikut, v=

QBg , A

(2.51)

dengan Bg adalah faktor formasi gas, yaitu suatu konstanta yang membandingkan antara volume gas dalam keadaan aktual dengan volum gas dalam keadaan standar. Adapun Bg dalam bentuk persamaan, yaitu :

Volum gas pada P dan T aktual Volum gas pada P dan T standar (14.7 psia , 520 0 R) ZT = 0.02827 . P

Bg =

Apabila persamaan mencari Bg disubstitusikan ke dalam Persamaan (2.51), maka menjadi, v = 0.02827

QZT . AP

Dari persamaan mencari massa jenis (2.15), yaitu ρ =

(2.52) Mg P ZRT

dan Persamaan (2.52)

apabila disubstitusikan ke dalam persamaan (2.50), maka akan diperoleh persamaan hubungan antara fluks massa dan laju alir yaitu, m = 0.0282

QMg . RA

(2.53)