BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat

Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa etnik mereka sebagai bahasa pertamanya. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia secara formal mendapat...

10 downloads 448 Views 527KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh manusia dan menjadi ciri khas diri manusia. Manusia yang normal selalu menggunakan bahasa dalam beraktivitas antarsesama manusia dalam kehidupan sehari-hari (homo longuens). Begitu besarnya arti bahasa dalam kehidupan manusia tetapi kita selalu melupakan untuk memikirkan peranan bahasa. Koentjaraningrat (1967) mengatakan bahwa bahasa merupakan unsur vital dalam kebudayaan. 1 Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan kesusastraan yang tinggi, walaupun suatu bahasa pada dasarnya hanya berfungsi sebagai alat komunikasi praktis antarsesama penuturnya. Levi-Strauss (1963) juga mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan produk atau juga disebut hasil dari aktivitas manusia. Hubungan bahasa dan kebudayaan ini dapat menjelaskan berbagai fenomena dan sistem kekerabatan sebagai rangkaian hubungan simbolik. 2 Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji berdasarkan teori bahasa, baik secara internal maupun secara eksternal atau bahasa dilihat secara interdisplin. Kajian 1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Universitas, 1967). Edith Kurzweil, Jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Lévi-Strauss sampai Foucault (Terjemahan Nurhadi dari The Age of Structruralism, Lévi-Strauss to Foucault) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), p 25. 2

1 Universitas Sumatera Utara

internal merujuk pada struktur internal bahasa dalam arti linguistik, sedangkan kajian eksternal merupakan kajian yang melibatkan hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang melibatkan lebih dari disiplin ilmu yang dinamakan dengan kajian sosiolinguistik. Nababan

(1984)

mengatakan

sosiolinguistik

merupakan

studi

atau

pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat yang mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa. 3 Di dalam hal ini, Wijaya (2006) menyimpulkan pendapat berbagai ahli yang menyatakan ada tiga hubungan antara bahasa dengan struktur masyarakat penuturnya. Ketiga macam hubungan itu adalah: (i) hubungan struktur bahasa mempengaruhi masyarakat di mana struktur bahasa menentukan cara-cara yang dipakai penutur bahasa dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari; (ii) hubungan masyarakat mempengaruhi bahasa di mana budaya masyarakat tampak dalam struktur bahasa yang digunakannya; dan, (iii) hubungan itu dapat ada tetapi dapat tidak ada sama sekali antara bahasa dan budaya. 4 Di dalam tiga konteks sosiolinguistik seperti di atas, penelitian ”Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh” sangatlah perlu dilakukan. Di dalam hubungan bahasa dan masyarakat, kebanyakan masyarakat bahasa di Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa etnik mereka sebagai bahasa pertamanya. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia secara formal mendapat 3

P.W.A. Nababan, Sosiolingistik: Suatu Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1984), p 2. I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p 8.

4

Universitas Sumatera Utara

pendidikan bahasa Indonesia secara resmi di sekolah sejak dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum pendidikan nasional. Walaupun demikian, pendidikan bahasa daerah juga dipelihara dan dijaga oleh pemerintah melalui kurikulum unsur lokal menurut daerah masing-masing di semua provinsi di Indonesia. Dengan demikian, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi masyarakat bahasa di Indonesia yang tinggal di pedesaan atau perkampungan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia dan yang menjadi bahasa pertama adalah bahasa daerah masing-masing. Sebaliknya, bagi mereka yang lahir dan tinggal di perkotaan dan di kawasan industri menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan selanjutnya mempelajari bahasa daerah mereka sebagai bahasa kedua yang didorong oleh keinginan memiliki identitas etnik. Maka, dapat dimengerti jika dikatakan bahwa hal yang lumrah atau biasa bagi masyarakat Indonesia berkedudukan sebagai masyarakat bahasa yang bilingual. Indonesia dikenal dengan kekayaan bahasa-bahasa daerah. Kedudukan bahasa daerah sebagai bahasa suku atau juga disebut bahasa etnik dipelihara oleh negara. Bahasa daerah itu ditentukan kedudukannya dalam penjelasan UUD 1945 Bab XV pasal 36 mengamanatkan bahwa, “Di daerah-daerah yang memiliki bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Universitas Sumatera Utara

Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.” 5 Penyataan bahwa bahasa daerah yang dipelihara rakyatnya dengan baik-baik akan dihormati oleh negara berarti bahasa daerah tersebut secara sah mempunyai hak hidup untuk digunakan oleh rakyatnya. Sebaliknya, pernyataan bahwa bahasa daerah tersebut akan dipelihara juga oleh negara mengisyaratkan bahwa negara berkewajiban melestarikan

bahasa

daerah

dengan

mengupayakan

pembinaan

dan

pengembangannya. 6 Dengan demikian, bahasa daerah pada masing-masing daerah berfungsi sebagai alat komunikasi para penutur bahasa daerah tersebut masingmasing, untuk memperkaya bahasa nasional dan sebagai pendukung nilai-nilai budaya nasional. Secara politik, bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia, selain itu juga dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia. 7 Pernyataan ini memberi isyarat bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi masyarakat. Hal ini diperkuat oleh fungsi bahasa daerah sebagai (i) lambang kebanggaan daerah; (ii) lambang identitas daerah; dan, (iii) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Di samping itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (i) pendukung bahasa nasional; (ii) bahasa pengantar 5

UUD 1945: Naskah Asli dan Perubahannya (Jakarta: Pustaka Pergaulan). Hasan Alwi. ”Pelestarian Bahasa Daerah dalam Rangka Pembinaan Bahasa Indonesia.” Makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia, Medan, 7-9 Juli 1977, p 49. 7 Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2003), p 4. 6

Universitas Sumatera Utara

di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain; dan, (iii) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. 8 Dengan demikian, negara menjamin eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga masyarakat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi bilingual atau multilingual. Bahasa daerah, di satu sisi memberikan hak hidup dalam sistem pendidikan nasional tetapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran persepsi generasi muda terhadap bahasa daerahnya. Hal ini disebabkan bahasa daerah hanya digunakan di tingkat sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk tujuan memperlancar pengajaran bahasa Indonesia, sehingga berkonotasi langsung terhadap ketidakperluan penggunaan bahasa daerah di tempat yang penduduknya lancar berbahasa Indonesia. Mahsun (2000) memandang persoalan pemilihan bahasa daerah di sekolah secara psikologis telah membentuk persepsi peserta didik akan kurang pentingnya bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam bahasa ibu mereka dan secara tidak langsung membentuk pola pikir negatif terhadap bahasa ibunya yang dapat mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan kultur etniknya. 9 Persepsi ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus namun diperlukan reorientasi terhadap perundang-undangan sebagai landasan hak hidup bahasa daerah. Persepsi yang 8

Mahsun, “Bahasa Daerah sebagai Sarana Peningkatan Pemahaman Kondisi Kebhinnekaan dalam Ketunggalan Masyarakat Indonesia: Ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah,” dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2000), p 40. 9 Ibid..

Universitas Sumatera Utara

merugikan perkembangan bahasa daerah ini menjadi daya tarik peneliti untuk menempatkan bahasa Aceh sebagai bagian integral bahasa daerah di Indonesia. Pernyataan bahwa bahasa daerah itu dipelihara oleh rakyatnya dan dipelihara oleh negara berarti bahasa daerah itu memiliki peranan yang penting dalam sistem komunikasi etnik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dilindungi oleh UUD 1945 dan tentunya dilindungi oleh negara. Negara memiliki kewajiban melindungi dan melestarikan bahasa daerah itu. Kondisi ini menempatkan bahasa dan politik sebagai satu kesatuan. Menurut Spolsky (2008), “Language is regularly used in the exercise of political power.” 10 Bahasa secara teratur menjalankan kekuasaan politik. Bahkan, Spolsky menyatakan bahwa, “There are more subtle uses of language in politics. The use of a regional or a social dialect by a political leader is often a claim to a specialized ethnic identity.” 11 Bahasa digunakan secara halus dalam politik. Hal itu diperlihatkan dalam dialek sosial seorang pemimpin politik yang secara tegas memberikan klaim identitas etnis khusus kekuasaan politik. Salah satu bahasa daerah (etnik) yang digunakan dalam komunikasi politik di Indonesia adalah bahasa Aceh (selanjutnya disebut dengan BA). BA digunakan oleh masyarakat Aceh yang menetap di Pemerintahan Aceh, khususnya penduduk yang tinggal di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Kota Langsa merupakan kota yang berpenduduk heterogen yang terdiri dari suku Aceh, suku Jawa, suku Melayu, suku Minang, suku Karo, dan suku Mandailing. Kelompok masyarakat yang menjadi penduduk Kota

10

Bernard Spolsky, Sociolinguistics (Oxford: Oxford University Press, 2008), p 58. Ibid.

11

Universitas Sumatera Utara

Langsa hidup membaur satu sama lainnya dalam aktivitas sehari-hari menurut profesi masing-masing. Di dalam pembauran ini mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia (selanjutnya disebutkan dengan BI) dan bahasa campuran antara BI dengan bahasa daerah (alih kode/campur kode) sebagai bahasa komunikasi berinteraksi antara satu suku dengan suku lainnya dan dalam kehidupan bermasyarakat telah terjadi persentuhan sosial antara satu suku dengan suku lainnya. Sebaliknya, Kabupaten Bireuen memiliki profil yang berbeda dengan Kota Langsa, karena penduduk Kabupaten Bireuen adalah kabupaten lebih homogen jika kita bandingkan dengan penduduk Kota Langsa. Di dalam kehomogenan ini, peneliti berasumsi bahwa masyarakat Bireuen memiliki kecendrungan menggunakan BA sebagai bahasa ibu mereka. Selain beberapa hal yang telah disebutkan terdahulu, ada suatu kondisi yang memosisikan BA menjadi penting dalam sistem komunikasi di Aceh, terutama dalam komunikasi politik. Hal ini terjadi sebelum adanya partai lokal di Aceh dan bahkan sebelum MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Masyarakat Aceh pada saat itu menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, terutama dalam lingkungan pendidikan dan perkantoran. Bahkan, pengadilan umum dan pengadilan agama terpaksa menggunakan penerjemah BA ke dalam bentuk BI karena masyarakat Aceh yang berperkara tidak fasih atau tidak mau memilih menggunakan BI dalam komunikasinya. Hal ini menandakan bahwa BI menjadi bahasa resmi dalam komunikasi formal/resmi. Dengan kata lain, bahwa BA bukan sebagai bahasa resmi dalam sistem komunikasi di Aceh karena BI adalah bahasa komunikasi resmi

Universitas Sumatera Utara

pemerintah dalam wilayah hukum NKRI. Faktor penting lain adalah kondisi kebahasaan ini disebabkan Aceh pada masa konflik antara Pemerintah RI dengan pihak GAM antara tahun 1980 hingga tahun 2004. Oleh karena itu, Aceh pada masa itu dikawal dan dijaga oleh anggota TNI dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut dan anggota Polri yaitu Polisi dan Brimob yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Aceh. Di dalam aspek kebahasaan, konflik ini memunculkan pilihan bahasa yang dimengerti oleh kedua belah pihak yang bertikai. Akibatnya, masyarakat menguasai dua bahasa untuk menghindarkan kecurigaan dan tuduhan berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik. Caranya, bila bertemu dengan TNI/Polri maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BI sedangkan bila bertemu dengan GAM atau anggota masyarakat, maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BA. Dari aspek budaya, Tim Peneliti LIPI menyimpulkan bahwa konflik di Aceh tersebut berdampak hilangnya identitas asli Aceh pada masa Orde Baru. 12 Secara kemasyarakatan, anggota TNI dan POLRI boleh dikatakan kesulitan atau bahkan sama sekali tidak memahami bahasa Aceh atau bahasa-bahasa daerah Aceh. Jadi, bukan karena mereka tidak mau berbahasa Aceh sehingga tetap memilih menggunakan BI dalam berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Di samping anggota TNI dan Polri tidak memahami BA, pemilihan BI oleh mereka sebagai aparat negara dalam melaksanakan tugas negara di wilayah konflik. Dalam situasi dan kondisi ini, terpaksa masyarakat yang beradaptasi menggunakan BI dalam

12

J. Anto dan Pemilianna Pardede, Meretas Jurnalisme Damai di Aceh: Kisah Reintegrasi Damai dari Lapangan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan KIPPAS, 2007), p 61.

Universitas Sumatera Utara

berkomunikasi dengan aparat pemerintah, terutama TNI dan Polri. Kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat lama, yaitu antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun atau dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2005. Pada masa itu, mulai pada tingkat anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua pun sudah mulai memilih menggunakan BI yang kurang sempurna dari segi ucapan dan susunan kata dalam berkomunikasi. Kondisi kebahasaan seperti ini, semakin memperkuat kemampuan anak-anak, remaja, dan pemuda dalam pembelajaran BI di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah sehingga tingkat keterampilan berbahasa anak-anak, remaja, dan pemuda Aceh dalam menggunakan BI menjadi lebih baik. Akan tetapi, setelah penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan setelah lahirnya partai politik lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009, maka muncullah suatu fenomena baru bagi masyarakat Aceh dalam berkomunikasi, yaitu memilih menggunakan BA hampir pada semua situasi dan kesempatan. Di dalam situasi ini juga peneliti berasumsi bahwa pemilihan BA lebih dominan daripada BI, atau BA dan BI dipilih secara campur kode atau alih kode dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal (selanjutnya disebut dengan parlok) dalam aktivitas mereka, baik secara internal maupun eksternal. Fenomena penggunaan bahasa dari BI ke BA menjadi realitas kebahasaan di Aceh. Asumsi peneliti bahwa masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki lebih mengutamakan memilih sistem komunikasi dalam BA dalam kehidupan sehari-hari dan menggantikan posisi BI dan BI/BA (campur kode) dengan posisi BI yang pernah dominan pada masa konflik di era Orde Baru. Dengan alasan di atas, penelitian ini

Universitas Sumatera Utara

mencoba untuk menjelaskan pemilihan bahasa yang digunakan dan memberikan alasan mengapa parlok memilih menggunakan BA dalam berkomunikasi baik secra internal dan eksternal. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan sikap bahasa serta kohesi sosial terhadap pemilihan BA oleh parlok dalam komunikasi lisan menggunakan bahasa Aceh (BA), bahasa Indonesia (BI), atau memilih menggunakan BA dan BI (code mixing) atau perpindahan kode (code switching) Apakah ada hubungan yang signifikan pemilihan bahasa, sikap bahasa dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik parlok di Pemerintahan Aceh? Jawaban kedua pertanyaan ini dideskripsikan dengan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif dari kondisi kebahasaan masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang heterogen bertempat tinggal di Kota Langsa dan masyarakat yang homogen bertempat tinggal di Kabupaten Bireuen. Sistem komunikasi politik yang menjadi fokus penelitian ini bersifat internal dan eksternal. Komunikasi politik secara internal dalam penelitian ini adalah pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh parlok dalam aktivitas politik di lingkungan masing-masing parlok. Sedangkan secara eksternal adalah pemilihan bahasa yang dipakai oleh parlok dalam berkomunikasi dengan parlok lainnya. Parlok pada Pemilu Legislatif 2009 di Aceh adalah: (i) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS); (ii) Partai Daulat Atjeh (PDA); (iii) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA); (iv). Partai Rakyat Aceh (PRA); (v) Partai Bersatu Atjeh (PBA); dan, (6) Partai Aceh (PA).

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya, yang dimaksudkan dengan informal adalah suatu komunikasi politik pada tataran tidak resmi, misalnya dalam komunikasi lisan secara santai, tidak resmi, pembicaraan komunikasi personal ataupun antara sesama pengurus partai dalam situasi tidak resmi, baik di lingkungan kantor partai maupun di tempat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi formal adalah suatu situasi komunikasi yang terjadi secara internal dan eksternal parlok dan juga dalam komunikasi politik antara satu parlok dengan parlok lainnya untuk keperluan organisasi partai. Hal tersebut dapat terjadi dalam pertemuan-pertemuan atau rapat resmi atau pertemuan resmi partai di DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten /Kota). Berdasarkan penjelasan kondisi di atas maka yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini adalah adanya suatu kondisi bahwa sebelum era damai di Pemerintahan Aceh pada masa Orde Baru yaitu pada era 1980-an dan pada awal era reformasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 kondisi pemilihan bahasa lebih memihak kepada BI dan BI/BA dalam bentuk tukar kode dan ganti kode (code swiching and code mixing) dan bahkan dalam banyak situasi masyarakat Aceh pada waktu itu dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI walaupun dengan BI yang tidak fasih atau jauh dari kurang sempurna. Hal ini terjadi karena pada masa itu masyarakat Aceh diawasi atau dipantau dan dijaga oleh ABRI, Polisi, Brimob, karena daerah Aceh berada dalam situasi konflik. Anggota militer/TNI, Polisi dan Brimob dalam berkomunikasi dengan masyarakat hanya menggunakan BI dikarenakan mereka tidak mampu berbahasa Aceh dan sekaligus mereka menunjukkan identitas sebagai alat negara yang bertugas di daerah konflik. Bagi masyarakat yang tidak

Universitas Sumatera Utara

memilih BI sebagai bahasa komunikasi, mereka (tentara, polisi, dan brimob) menganggap bahwa masyarakat tersebut tidak setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Di dalam situasi demikian, masyarakat dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI, khususnya dalam komunikasi mereka ataupun berkomunikasi sesama anggota masyarakat dihadapan para tentara, polisi, dan brimob. Hal ini berakibat sering terjadi kesalahpahaman serta berbeda pengertian dan pemahaman arti atau makna dalam pemilihan penggunaan BI di antara alat negara tersebut dengan masyarakat Aceh pada waktu itu. Akan tetapi, hal yang demikian tidak terjadi lagi setelah penandatanganan MoU perjanjian damai antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki (Finlandia) pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca MoU tersebut mengurangi situasi konflik di Aceh, di mana masyarakat kembali bebas berkomunikasi dalam BA, walaupun BI juga masih digunakan secara campur kode atas keinginan masyarakat itu sendiri. Di samping hal yang demikian, kelahiran parlok ada hubungannya dengan perjuangan masyarakat Aceh yang secara historis erat kaitannya dengan perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Bahkan, pengurus parlok Partai Aceh (selanjutnya disebutkan PA) terdiri dari anggota-anggota yang terdaftar dalam GAM ditambah sebagian dari orang-orang pergerakan yang masa itu mendirikan parlok Suara Independen Rakyat Aceh (selanjutnya disebut SIRA) dan sebagian masyarakat yang memiliki nuansa politik mendirikan parlok lainnya dengan jumlah 6 (enam) parlok. Pada masa Orde Baru dan masa konflik di Aceh, parlok belum lahir. Partai nasional

Universitas Sumatera Utara

yang berstatus kantor pusat partai atau DPP (Dewan Pimpinan Pusat) berada di Jakarta. Pada waktu itu, partai nasional memilih menggunakan BI dalam berkomunikasi dan menggunakan BA hanya sebagai pelengkap BI. Bahkan, juru kampanye pada masa itu didatangkan dari Dewan Pengurus Pusat atau juru kampanye dari tokoh-tokoh pendukung kampanye memilih lagu-lagu dalam BI bukan memilih menggunakan BA atau kesenian Aceh. Perubahan yang menarik untuk diteliti pasca lahirnya parlok di Aceh adalah indikasi parlok lebih cendrung memilih menggunakan bahasa daerah yaitu BA serta kesenian Aceh dalam berkomunikasi, baik sesama mereka ataupun dengan masyarakat umum. Selain itu, adanya gejala pemilihan BA lebih dominan berbanding BI di tingkat eksekutif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Pemerintahan Aceh. Berdasarkan pengamatan peneliti sejak tahun 2006, ada suatu fenomana baru yang terjadi terhadap pemilihan bahasa dan sikap bahasa pasca lahirnya parlok di Pemerintahan Aceh dibandingkan dengan masa-masa kekuasaan partai nasional atau pada masa-masa terjadinya konflik antara GAM dengan Pemerintahan RI sebelum tahun 2005.

1.2 Pemerintahan Aceh Daerah Aceh yang terletak di bagian paling barat Republik Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pintu masuk jalur perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dengan Barat. Secara geografis, Pemerintahan Aceh terletak antara 2º-6º Lintang Utara dan 95º-98º Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata di atas 125 meter di atas permukaan laut. Luas daerah Aceh 57.736,557 km²

Universitas Sumatera Utara

dengan daerah melingkupi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai. 13 Secara administratif, daerah Aceh mempunyai batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. 14 Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. 15

Pemerintahan Aceh memiliki 13 suku sebagai penduduk asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, dan Nias. Suku Pakpak dan Nias merupakan kelompok suku yang lama menetap di Aceh. Masing-masing suku memiliki bahasa sesuai dengan nama sukunya. Populasi suku-suku bangsa ini, menurut sensus penduduk tahun 2010, antara lain menunjukkan suku Aceh menjadi penduduk mayoritas di Pemerintahan Aceh. Komposisi penduduk Aceh tersebut adalah: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%),

13

Aceh dalam Angka: Aceh in Figures 2006 (Banda Aceh: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, 2006), pp 3-4. 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 3. 15 Ibid., Pasal 1 Ayat 2.

Universitas Sumatera Utara

Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), dan lain-lain (10,09%).

Tabel 1.1: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Pemerintahan Aceh Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 Kabupaten/Kota Regency/City

Laki-laki/ Male

Perempuan/ Female

Jumlah/ Total

Sex Rasio/ Sex ratio

1.

Simeulue

41.245

39.034

80.279

105,66

2.

Aceh Singkil

51.638

50.575

102.213

102,10

3.

Aceh Selatan

99.616

102.387

202.003

97,29

4.

Aceh Tenggara

5.

Aceh Timur

6.

Aceh Tengah

7.

89.305

89.547

178.852

99,73

179.682

179.598

359.280

100,05

88.812

86.517

175.329

102,65

Aceh Barat

87.682

85.214

172.896

102,90

8.

Aceh Besar

179.495

170.730

350.225

105,13

9.

Pidie

183.675

194.603

378.278

94,38

10. Bireuen

191.006

198.018

389.024

96,46

11. Aceh Utara

262.101

267.645

529.746

97,93

12. Aceh Barat Daya

62.633

63.358

125.991

98,86

13. Gayo Lues

39.468

40.124

79.592

98,37

14. Aceh Tamiang

126.724

124.268

250.992

101,98

15. Nagan Raya

70.039

68.631

138.670

102,05

16. Aceh Jaya

39.973

36.919

76.892

108,27

17. Bener Meriah

61.871

59.999

121.870

103,12

18. Pidie Jaya 19. Banda Aceh 20. Sabang

64.958

67.900

132.858

95,67

115.296

108.913

224.209

105,86

15.580

15.067

30.647

103,40

21. Langsa

73.930

74.974

148.904

98,61

22. Lhokseumawe

84.893

85.611

170.504

99,16

23. Subulussalam

33.956

33.360

67.316

101,79

2.243.578

2.242.992

4.486.570

100,03

Jumlah/ Total

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh– Sensus Penduduk 2010

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa kabupaten/kota yang paling banyak penduduknya adalah Kabupaten Aceh Utara. Akan tetapi, Kota Langsa dan Kabupaten Bieruen yang menjadi lokasi penelitian termasuk wilayah yang banyak penduduknya. Kota Langsa berpenduduk 148.904 jiwa menjadi peringkat ketiga kota terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh dan Kabupaten Bieruen berpenduduk 389.024 jiwa menjadi peringkat kedua kabupaten terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh. Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, Kota Banda Aceh menjadi kota terpadat di Pemerintahan Aceh. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh adalah 3.459 jiwa/km². Kota Langsa menduduki posisi terpadat ketiga setelah Kota Lhokseumawe. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Langsa adalah 535 jiwa/km². Akan tetapi, Kabupaten Bireuen tercatat sebagai kabupaten terpadat di Pemerintahan Aceh dengan tingkat kepadatan penduduk 189 jiwa/km². Dengan demikian, Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen yang dijadikan lokasi penelitian ini adalah kota/kabupaten

yang

berpenduduk

signifikan

dari

aspek

kuantitas

dalam

Pemerintahan Aceh.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.2: Kepadatan Penduduk Pemerintahan Aceh Menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/km²), Tahun 2004-2009

Tahun/Year

Kabupaten/Kota Regency/ City

2004

2005

2006

2007

2008

2009

1.

Simeulue

35

38

39

39

40

40

2.

Aceh Singkil

40

41

43

37

39

39

3.

51

52

53

54

55

56

40

40

41

42

42

42

5.

Aceh Selatan Aceh T Aceh Timur

52

50

51

52

55

56

6.

Aceh Tengah

49

27

38

39

42

44

7.

Aceh Barat

66

67

62

52

52

54

8.

Aceh Besar

112

110

113

104

104

105

9. 10

Pi d i e

113

114

115

131

133

135

Bireuen

183

185

187

187

188

189

148

149

152

158

160

165

66

68

68

52

53

53

13

Aceh Utara Aceh Barat D Gayo Lues

12

12

13

13

13

13

14

Aceh Tamiang

118

121

122

123

124

125

15

Nagan Raya

28

31

32

31

32

32

16

Aceh Jaya

21

16

17

18

20

22

17

Bener Meriah

-

73

75

76

77

79

18

Pidie Jaya

-

-

-

224

228

236

19

Banda Aceh

3.920

2.916

2.939

3.582

3.551

3.459

20

Sabang

241

240

243

195

191

191

21

Langsa

516

525

530

531

535

535

22

Lhokseumawe

766

854

865

872

877

879

23

Subulussalam

4.

11 12

ACEH

-

-

-

64

64

66

71

68

71

72

74

75

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh

Aceh pada awal kemerdekaan Indonesia berkedudukan sebagai Keresidenan dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama T. Nyak Arif dan wakil residennya T.M. Ali Panglima Polem. Keresidenan Aceh berdasarkan Undang-

Universitas Sumatera Utara

Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Sumatera berada dalam Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Undang-undang ini membagi Provinsi Sumatera menjadi 3 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Keresidenan Aceh menjadi provinsi setelah keluarnya peraturan Wakil-wakil Perdana Menteri pengganti peraturan pemerintah Nomor 8/Des.WKPM tahun 1949 yang membagi Provinsi Sumatera Utara menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur sejak 1 Januari 1950, dengan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh. 16 Pembentukan Provinsi Aceh pada masa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) mengalami masalah legalitas. Hal ini menimbulkan kesulitan pemerintah RI karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22/1948 dan mempersulit usaha pemerintah merealisasikan semua hasil yang dicapai dalam Konperensi Meja Bundar. Oleh karena itu, diadakan perundingan-perundingan akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Aceh tetap sebagai keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini menimbulkan mosi negatif dari Pemerintah Daerah dan DPR Aceh terhadap pemerintah pusat yang menginginkan Aceh tetap diberi status otonomi sebagai provinsi. Bahkan, dampak dari penggabungan kembali

16

Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), pp 176-186.

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan peristiwa pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Aceh yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh. 17 Akhirnya, setelah melalui perundingan-perundingan maka keluar UndangUndang Nomor 24/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur pertama Provinsi Aceh adalah Ali Hasjmi yang menjalankan roda pemerintahan sejak 27 Januari 1957. Gejolak politik tidak mengalami perubahan yang signifikan di Aceh. Maka, berdasarkan keputusan Perdana Menteri Nomor 1/MISSI/1959 dan disahkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tanggal 26 Mei 1959 Provinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa”. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. 18 Status ini mengalami penyempurnaan lagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18/2001 yang meningkatkan status keistimewaan Aceh menjadi daerah otonomi khusus dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 19 Sejak pengakuan pemerintah RI terhadap otonomi Aceh maka sistem pemerintahan Aceh mengalami penyempurnaan terus-menerus sesuai dengan ciri khas keislamannya. Hal ini menjadi kenyataan setelah keluar undang-undang tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Di dalam undang-undang ini tercantum pasal

17

Ibid, p 186. Aceh dalam Angka, ibid, p lv. 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 18

Universitas Sumatera Utara

yang berbunyi, “Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.” 20 Pelaksanaan syariat Islam menjadi ciri keistimewaan Aceh mengalami penyempurnaan kembali dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Di dalam undang-undang ini, penamaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi Pemerintahan Daerah Aceh yang disingkat Pemerintah Aceh. Di dalam undang-undang ini tercantum pasal keistemawan Aceh sebagai daerah berbasis agama Islam dalam pasal yang berbunyi, “Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.” 21 Di dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh agama dan kebudayaan Islam sangat besar di Aceh sehingga daerah ini mendapat julukan “Seuramo Mekkah” (Serambi Mekah). 22 Hal ini didukung oleh komposisi agama di Aceh dengan agama Islam (97,6%), Kristen (1,7%), Budha (0,55%), dan Hindu (0,08%). 23 Oleh karena itu, segala aspek kehidupan di daerah Aceh harus didasarkan pada syariat Islam. Hal ini tercermin dalam semboyan kehidupan bermasyarakat yang telah menjadi pegangan umum sejak lama di Aceh, “Adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah

20

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 Ayat 1. 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh, Pasal 13 Ayat (1). 22 Menuju Aceh Baru Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Lembaga Informasi Nasional, 2001), p 2. 23 Ibid, p 17.

Universitas Sumatera Utara

Kuala; Qanon bak Putro Phang; Reusam bak Laksamana” (adat dari Sultan, hukum dari Ulama, Qanun dari Putri Pahang, Reusam dari Laksamana). 24 Di dalam menjalankan sistem pemerintahannya, Pemerintahan Aceh dipimpin oleh seorang gubernur dan wakil gubernur yang berkedudukan di ibu kota Banda Aceh. Secara konstitusional, gubernur mengemban amanah rakyat melalui anggota legislatif hasil pemilu. Sesuai dengan hasil Pemilu 2009, Pemerintahan Aceh menempatkan 13 anggota DPR RI. Mereka berasal dari Partai Demokrat (7 orang), PKS dan Partai Golkar masing-masing 2 orang, serta PAN dan PPP masing-masing 1 orang. Di samping memilih anggota DPR RI, Pemilu Legislatif di Pemerintahan Aceh memilih anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Untuk anggota DPD yang berasal dari Aceh terpilih Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M. Untuk pemilihan anggota DPRA, dari 69 kursi yang tersedia dikuasai oleh Partai Aceh dengan raihan 33 kursi (47,8%), Partai Demokrat 10 kursi (14,5%), Partai Golkar 8 kursi (11,6%), PAN 5 kursi (7,3%), PKS 4 kursi (5,8%), PPP 3 kusi (4,4%), serta Partai Daulat Aceh, PDI-P, PKPI, PBB, dan Partai Patriot masing-masing 1 kursi (1,5%).

1.3 Pemerintahan Kota Langsa Kota Langsa merupakan salah satu kota besar di Pemerintahan Aceh yang terletak di daerah pantai Selat Malaka dan memiliki penduduk multietnis. Kota ini 24

Ibid, p 34.

Universitas Sumatera Utara

memiliki luas wilayah 262,41 km² dan terletak pada posisi 04º24’ 35,68”-04º33’ 47,03” Lintang Utara serta 97º53’ 14,59”-98º04’ 42,16” Bujur Timur. Kota ini terletak pada ketinggian 0-25 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 28ºC-32ºC. Secara geografis, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Selat Malaka, sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Tamiang, sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang, serta di sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Timur. 25 Sebelum ditetapkan sebagai Kota, Langsa adalah ibu kota Kabupaten Aceh Timur. Kota ini bersatus Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 64 Tahun 1991 tanggal 22 Oktober 1991. Kedudukan Langsa semakin menguat setelah keluar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang pemekaran Kota Langsa dari Kabupaten Aceh Timur. Pejabat pertama Walikota Langsa adalah H. Azhari Aziz, S.H., M.M. yang dilantik oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, 2 November 2000 di Banda Aceh. Kemudian, hasil Pilkadasung 2006 terpilih Drs. Zulkifli Zainon, M.M. sebagai Walikota Langsa yang dilantik oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 14 Maret 2007 di Kota Langsa. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk Kota Langsa berjumlah 117.256 jiwa yang tersebar di 5 kecamatan. Pada awalnya, Kota Langsa terdiri dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Langsa Barat, Kecamatan Langsa Kota, dan Kecamatan 25

BPS Kota Langsa, Langsa dalam Angka 2005 (Langsa: BPS dan BAPPEDA Kota Langsa, 2005), p

1.

Universitas Sumatera Utara

Langsa Timur dengan jumlah desa sebanyak 45 Desa (Gampong) dan 6 Kelurahan. Kemudian, berdasarkan Qanun Kota Langsa No. 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Langsa Lama dan Langsa Baro sehingga Kota Langsa memiliki 5 kecamatan dengan ibu kota bernama Langsa Kota.

1.4 Pemerintahan Kabupaten Bireuen Kabupaten Bireuen disahkan oleh Pemerintah RI pada 12 Oktober 1999 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Bireuen terletak pada 4º.54’5º.21’ Lintang Utara dan 96º.20’.97º.21’ Bujur Timur. Luas kabupaten ini adalah 1.901,21 Km² (190.121 Ha). Secara administratif, di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie Jaya. 26 Penduduk Bireuen berjumlah 349.085 jiwa yang tersebar di 10 kecamatan sesuai dengan hasil Sensus Penduduk 2000. Kebanyakan penduduk hidup dari pertanian sebagai lapangan kerja utama. Selain penghasil beras, Bireuen juga dikenal dengan komoditas kacang kedelai. Secara persentase, sebanyak 33,05 persen bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa (21,62 persen), perdagangan (10,20 persen), dan industri (5,50 persen). 27

26

BPS Kabupaten Bieruen, Bireuen dalam Angka 2007 (Bireuen: Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Bireuen, 2007), p 1. 27 Ibid, pp 27-133.

Universitas Sumatera Utara

Bireuen merupakan kabupaten yang berada di jalur strategis, antara Banda Aceh dan Medan serta berbatasan dengan Takengon, Aceh Tengah. Posisi strategis ini menempatkan Bireuen sebagai “daerah konflik” antara Pemerintah RI dengan GAM. Bahkan, dalam peta GAM, Bireuen termasuk wilayah Batee Iliek dalam kekuasaan Panglima Perang Dawis Djeunieb. Akibatnya, kontak senjata antara TNI dengan GAM kerap terjadi di wilayah ini sehingga muncul perundingan damai pada awal Maret 2003. Perundingan damai yang ditangani oleh Komite Keamanan Bersama atau JSC (Joint Security Committee) dengan menjadikan Kecamatan Peusangan sebagai zona damai di Aceh menyusul pemberlakuan demiliterisasi GAM dan relokasi prajurit TNI. Tujuannya, mewujudkan rasa damai dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Aceh.

1.5 Rumusan Masalah Lahirnya partai politik lokal dalam sistem Pemerintahan Aceh di Pemerintahan Aceh merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan secara khusus bagi masyarakat Aceh, terutama masyarakat Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Tentunya keberadaan parlok ini memberikan suatu fenomena baru dalam masyarakat, utamanya masyarakat Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Fenomena yang timbul adalah fenomena berbahasa, baik pemilihan bahasa, sikap bahasa, maupun kohesi sosial yang muncul dari bahasa sebagai alat komunikasi

Universitas Sumatera Utara

tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini merumuskan masalah berdasarkan persoalan sosiolinguistik. Menurut Mahsun (2005), salah satu bidang penelitian sosiolinguistik adalah merujuk kepada penggunaan bahasa dan profesi yang terdiri dari politisi, akademisi, guru, ulama, wartawan 28. Di dalam melihat fenomena yang baru tersebut, khususnya fenomena berbahasa para politisi dalam aktivitas politik oleh parlok dalam komunikasi politik, maka penelitian ini merumuskan masalah utama yang menjadi target penelitian. Adapun masalah utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bahasa apa yang dipilih dan alasan apa suatu bahasa dipilih oleh pengurus partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh? 2. Bagaimana sikap bahasa pengurus partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh? 3. Bagaimana hubungan pemilihan dan sikap bahasa dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal pada Pemilu Legislatif 2009 secara internal dan eksternal di Pemerintahan Aceh?

1.6 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapat jawaban tentang pemilihan bahasa oleh parlok dalam sistem Pemerintahan Aceh dalam komunikasi politik. Dalam penelitian ini difokuskan pada komunikasi lisan secara internal dan eksternal di dalam

28

Mahsun, Metode Pernelitian Bahasa: Tahapan strategi, metode, dan tekniknya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), p 208.

Universitas Sumatera Utara

dan di luar parlok, komunikasi kelompok dalam lingkungan internal parlok, dan komunikasi eksternal dengan parlok lainnya, baik dalam domain informal maupun domain formal. Penelitian ini ingin menemukan suatu fenomena pemilihan bahasa oleh parlok di Pemerintahan Aceh dalam komunikasi politik dalam hubungan bahasa dengan identitas partai. Peneliti juga ingin mengetahui secara pasti bagaimana tingkat kohesi sosial politik dalam suatu parlok, dan bagaimana pula hubungan kohesi sosial antara pengurus parlok secara internal dalam hubungannya sesama parlok dan parlok lainnya yang disebabkan oleh pemilihan BA, BA/BI, dan BI dalam komunikasi politik. Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan penetapan tujuan penelitian. Secara terperinci, tujuan penelitian ini ditetapkan dalam tiga sasaran sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui secara pasti tentang pemilihan bahasa dan alasan pemilihan suatu bahasa oleh pengurus parlok dalam komunikasi politik di Aceh. 2. Untuk mengetahui bagaimana sikap bahasa pengurus parlok dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh . 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan pemilihan bahasa dan sikap bahasa dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik oleh parlok di Pemerintahan Aceh dalam pemilu legislatif 2009 secara internal dan eksternal di Pemerintahan Aceh.

1.7 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat sekurang-kurangnya dalam tiga aspek sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Secara akademis, penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bahasa, khususnya bidang kajian sosiolinguistik. Kajian ini memperkaya penelitian sosiolinguistik, terutama dalam fenomena pemilihan bahasa dalam situasi politik kekinian di Pemerintahan Aceh. 2. Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan manfaat yang luas dalam pengaplikasian teori yang telah umum berlaku dengan sebuah fenomena baru dalam komunikasi masyarakat politik lokal yang terhimpun dalam parlok yang sebelumnya tidak pernah ada. Kajian Pemilihan bahasa sudah sering dilakukan dalam konteks sosial, tetapi kajian sosiolinguistik yang berhubungan dengan parlok belum pernah ada. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak pernah ada parlok, baik di Pemerintahan Aceh secara lokal maupun di Indonesia secara nasional. 3. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada Pemerintahan Aceh dan Pemerintah Pusat untuk melihat secara lebih kritis tentang pemilihan bahasa dan sikap bahasa dalam perpolitikan lokal di Aceh. Hasil penelitian ini dapat juga digunakan dalam rangka menjaga tingkat Kohesi sosial politik antara sesama partai politik lokal dengan partai politik nasional di Pemerintahan Aceh untuk tujuan keharmonisan politik secara lokal di Aceh dan nasional dengan memanfaatkan potensi bahasa. Penelitian ini juga dapat bermanfaat

untuk

mengetahui

nilai

kedaerahan

parlok

dalam

bingkai

keindonesiaan secara lebih luas dan menyeluruh di Pemerintahan Aceh. Untuk itu pihak pemerintah dapat menjaga situasi pemilihan bahasa dalam masyarakat sebagaimana diinginkan oleh masyarakat dengan cara menyosialisasikan

Universitas Sumatera Utara

peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang kedudukan bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi masyarakat dan kedudukan BI sebagai bahasa nasional yang merupakan alat pemersatu bangsa. Pemerintahan Aceh harus berupaya untuk menjaga kedudukan BA sebagai aset daerah yang merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dihormati, walaupun demikian Pemerintah Aceh harus menjaga keseimbangan antara posisi BI dan BA dalam rangka keperluan dan kepentingan nasional dan daerah.

Universitas Sumatera Utara