BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG SEMUT

Download Perubahan tipe dan struktur vegetasi yang ada di suatu lahan, selalu berkorelasi terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga. Semut seb...

0 downloads 487 Views 34KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi (Bolton, 1994). Holldobler dan Wilson (1990) dan Agosti dkk (2000) menyatakan bahwa semut memiliki peran yang

penting

pada

suatu

ekosistem.

Keberadaan

semut

mampu

mengindikasikan kesehatan suatu ekosistem dan memberikan gambaran pada kehadiran organisme lain, karena banyaknya interaksi semut dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain. Perubahan tipe dan struktur vegetasi yang ada di suatu lahan, selalu berkorelasi terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga. Semut sebagai serangga yang dapat dijumpai di berbagai tempat, penyebarannya sangat ditentukan oleh faktor makanan (Agosti, dkk, 2000), sehingga keberadaan jenis semut tertentu diasumsikan ditentukan oleh vegetasi penyusun kawasan. Komposisi jenis-jenis semut akan berbeda pada vegetasi satu dengan lainnya, seperti yang dilaporkan oleh Herwina, dkk (2008) bahwa pada kondisi tanaman yang berbeda ditemukan jenis semut yang berbeda pula. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Sitthicharoenchai dan Naratip (2006) di hutan Dipterokarpaceae, perkebunan mangga, dan padang rumput

1

2

menunjukkan bahwa beberapa jenis semut ada pada semua lokasi penelitian, namun terdapat pula beberapa jenis semut yang hanya ditemukan pada lokasi tertentu saja. Seperti Oecophylla smaragdina yang hanya ditemukan pada lokasi hutan Dipterokarpaceae dan perkebunan mangga. Spesies yang ada pada ketiga lokasi penelitian memiliki kelimpahan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda di tiga lokasi penelitian. Sejalan dengan pendapat Andersen, dkk (2009) bahwa semut memiliki lokasi tertentu dalam pembuatan sarang dan mencari makan. Salah satu jenis semut yang cukup dikenal adalah semut rangrang (Oecophylla) yang disebut juga weaver ant, karena semut ini memiliki cara hidup yang khas yaitu merajut daun-daun pada pohon untuk membuat sarang (Mele dan Nguyen, 2007). Oecophylla ini sangat berlimpah, agresif dan menjaga kawasannya dari spesies lain. Oecophylla memiliki posisi penting secara ekologi di hutan, perkebunan kakao dan lingkungan berhutan lain yang dihuni. Oecophylla telah menjadi objek dari semakin banyaknya studi lapangan (Holldobler dan Edward, 1977). Sebuah arsip dari Cina bagian selatan memperlihatkan bahwa sarang semut rangrang dipanen, dijual dan diletakkan di pohon jeruk untuk memberantas serangga hama sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Selain itu semut rangrang dapat mengganggu, menghalangi atau memangsa berbagai jenis hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun, dan seranggaserangga pemakan buah. Populasi semut rangrang yang tinggi dapat mengurangi permasalahan hama tungau, pengorok daun dan penyakit

3

greening/ citrus dieback yang ditularkan melalui kutu loncat pada tanaman jeruk (Holldobler dan Wilson 1990; Mele dan Nguyen, 2007). Kemampuan semut rangrang ini memberikan peluang besar menjadi musuh alami hama tanaman. Hama tanaman akhir-akhir ini telah banyak memberikan dampak kerugian pada pengusahaan tegakan hutan terutama pada hutan tanaman. Avry (2010) mengungkapkan bahwa pada HTI Jabon pada HTI sektor Baserah dan sektor Pelalawan terjadi serangan hama tanaman, seperti: Arthochista hilaralis, Cosmoleptrus sumatranus, Coptotermes sp., dan ulat kantong (Psychidae). Pada sektor Baserah kerusakan terjadi sebesar 92,88% dan HTI sektor Pelalawan kerusakan sebesar 40,5%. Selanjutnya, Nair (2001) menyebutkan banyaknya hutan tanaman yang terserang hama tanaman. Adapun beberapa hutan tanaman yang dilaporkan dengan berbagai kerusakannya akibat serangan hama seperti pada hutan tanaman Acasia mangium,

Eucalyptus

sp.

Gmelina

arborea,

Tectona

grandis,

Paraserianthes falcataria, Pinus caribea, Switenia macrophylla, dll. Acasia mangium yang telah banyak dikembangkan menjadi HTI memiliki berbagai hama tanaman, seperti: Captotermes curvignatus, Pteronema plagiophles,Helopeltis sp., Xystrocera spp., dll. Telah dilaporkan bahwa kerusakan oleh Coptotermes curvighatus pada tegakan A.mangium dapat menurunkan tegakan sebesar 10-50%. Selain A.mangium, Eucalyptus sp. juga merupakan tanaman yang dikembangkan oleh banyak perusahaan HTI pulp dan kertas. Hama tanaman pada tegakan Eucalyptus sp. pun tidak

4

sedikit, seperti: Ctenomorphodes tessulatus, Captotermes spp., Neotermes insularis,

Xyleutes

cinereus,

dll.

Dilaporkan

bahwa

Captotermes

acinaciformis menimbulkan kerusakan pada tegakan Eucalyptus pilularis yang berumur 26-29 tahun sebesar 33.5%, selain itu X.cinereus juga dilaporkan menyebabkan kerusakan Eucalytus grandis sebesar 8-47%. Swietenia macrophylla, kayunya memiliki nilai ekonomis tinggi, dilaporkan 7,7% pohon terserang oleh Neotermes sp., sedangkan Dysercus longiclaris menyebabkan kematian pada tegakan muda. Hutan tanaman yang dikelola secara monokultur lebih rentan dibandingkan dengan hutan alam. Kondisi hutan tanaman cenderung memiliki jenis yang sama memberikan kelimpahan pakan pada hama sehingga akan berkembang cepat dan menyebabkan kerusakan tanaman. Allard dalam Apriyanto (2010) mengemukakan bahwa ledakan hama pada hutan tanaman di berbagai negara dilaporkan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan penyakit. Hal ini disebabkan serangga lebih cepat menyebar, sebab efeknya lebih cepat terlihat. Contohnya serangan hama ulat jati (Hyblaea puera) pada tegakan jati. Apriyanto (2010) dalam penelitiannya pada tegakan jati di KPH Ngawi mengungkapkan bahwa kerusakan daun jati akibat serangan hama ulat jati pada bulan Oktober berkisar 10% dengan intensitas kerusakan 0.49%, namun pada bulan Desember kerusakan daun jati mencapai 96%, dengan intensitas kerusakan tunas daun jati mencapai 55,64%. Begitu pula serangan hama kepik renda pada tegakan gmelina di KPH Semarang yang dilaporkan oleh Sumantoro

5

(2011) bahwa dalam bulan Juni hama kepik renda menyerang tegakan Gmelina seluas 75 ha dan pada bulan meluas menjadi 2002,3 ha. Untuk mengatasi serangan hama yang semakin meluas, diperlukan upaya pengendalian hama tanaman, antara lain dengan menggunakan musuh alami seperti jenis predator. Salah satu serangga yang memiliki kemampuan sebagai predator hama tanaman adalah semut rangrang. Dari berbagai penelitian, semut rangrang digunakan sebagai agen biological control di Afrika pada tanaman perkebunan seperti kelapa dan kakao, sedangkan di Asia dan Australia pada pertanaman buah-buahan dan kacang-kacangan (Mele, 2008). Studi pengelolaan hama terpadu di pertanaman mangga (di bagian utara Papua Nugini) menggunakan agen hayati semut rangrang menunjukkan bahwa secara signifikan semut rangrang mengurangi jumlah buah rusak. Predasi dan gangguan semut pada telur menghambat perkembangan lalat buah (Mele dan Nguyen., 2007). Simanjuntak (2012) menyebutkan bahwa kriteria predator sebagai agen pengendali hayati adalah predator yang menunjukkan kemampuannya untuk menemukan mangsa (hama), memangsanya, menekan kepadatan populasi hama hingga di bawah ambang ekonomi dan meregulasi kepadatan populasi hama pada tingkat yang tidak menyebabkan kerusakan ekonomi. Kriteria ini dipenuhi oleh semut rangrang. Bluthgen dan Konrad (2002) menguraikan bahwa koloni Oecophylla memiliki kemampuan persaingan yang

mendominasi

atas

banyak

spesies

semut

lainnya

sehingga

mempengaruhi masyarakat semut arboreal. Selain itu, koloni Oecophylla

6

melindungi wilayahnya terhadap spesies lain. Kedua, interaksi trophobion antara semut rangrang dengan serangga penghasil embun madu (kutukutuan) sangat berlimpah dan beragam. Ketiga, merupakan semut predator besar arthropoda lainnya dari berbagai ukuran, menghasilkan penurunan yang signifikan dalam berbagai hama serangga. Melihat peranan semut rangrang sebagai semut predator yang efektif, maka diperlukan pengkajian melalui studi awal mengenai kelimpahan semut rangrang yang ada di beberapa tegakan agar diketahui potensi semut rangrang pada kawasan Wanagama I, Yogyakarta.

1.2. Perumusan Masalah Gangguan serangga hama pada hutan tanaman memberikan dampak yang cepat terhadap kerusakan tanaman. Hutan tanaman yang dikelola secara monokultur, memiliki diversitas yang rendah dan kondisi ekosistemnya yang tidak stabil mengakibatkan rentan terhadap serangan hama tanaman. Selama ini telah dikenal beberapa hama yang sering menjadi ancaman bagi hutan tanaman seperti H. puera atau yang sering disebut hama ulat jati, Eutectona machaeralis, Neotermes tectonae, Captotermes sp., Pteronema plagiophleps disebut juga ulat kantong, Xystrocera sp., Zeuzera coffeae, dan lain-lain. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan upaya untuk melakukan pengendalian terhadap serangan hama tanaman. Upaya pengendalian serangan hama tanaman antara lain dengan memaksimalkan fungsi musuh

7

alami, salah satunya adalah predator hama tanaman. Salah satu predator hama tanaman yang berkemampuan menjadi predator bagi arthropoda lain adalah semut rangrang. Semut rangrang merupakan semut arboreal yang agresif terhadap semua jenis artropoda dan memangsanya. Hal ini memberikan peluang pada semut rangrang sebagai musuh alami hama tanaman yang mampu menekan kepadatan populasi hama. Berdasarkan sifat agresif serta kemampuan menjadi predator hama, maka diperlukan studi awal untuk melihat kelimpahan semut rangrang pada beberapa tegakan di Wanagama I, Yogyakarta.

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian semut rangrang pada berbagai jenis tanaman di Wanagama I ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Preferensi habitat semut rangrang pada beberapa tegakan; 2. Dinamika populasi semut rangrang pada beberapa tegakan; 3. Biologi semut rangrang (aktifitas pengangkutan makan, komposisi semut rangrang dan artropoda lain dalam sarang) pada beberapa tegakan

1.4. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Kondisi tegakan yang berbeda akan mempengaruhi preferensi habitat.

8

2. Dinamika populasi akan berbeda dalam setiap pengamatan, dipengaruhi oleh faktor lingkungan. 3. Biologi semut rangrang, tercakup di dalamnya aktifitas pengangkutan makanan dan komposisi semut rangrang serta artropoda lain dalam sarang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan spesies lain yang ada di sekitarnya.

3.1. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai keberadaan semut rangrang di hutan Wanagama I. Interaksi antara semut rangrang dengan serangga lainnya memberikan gambaran peranan semut rangrang dalam tegakan sehingga dapat digunakan untuk manajemen pengelolaan Hutan Pendidikan Wanagama I.