BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG SINDROMA NEFROTIK (SN

Download Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang ... menjadi tujuan kajian tentang respon steroid pada SN (Yi dan He, 2006)...

1 downloads 558 Views 490KB Size
BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang

sering dijumpai pada anak. Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia

(Vogt dan Avner, 2007). Angka kejadian SN di

Amerika berkisar antara 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (Eddy dan Symons, 2003). Anak-anak keturunan Asia Selatan memiliki tingkat insidens 7,4 per 100.000 anak per tahun dan anak ras lain mencapai 1,6 per 100.000 anak per tahun (McKinney et al., 2001). Di Indonesia, insidens SN dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun

(Wirya, 1992).

Data

penyakit ginjal anak di

Indonesia yang dikumpulkan dari tujuh Pusat Pendidikan Dokter Spesialis Anak memperlihatkan bahwa SN merupakan penyakit yang paling sering dijumpai (35%) di poliklinik nefrologi (UKK Nefrologi, 2008). Luaran klinis penyakit ini bergantung pada umur saat presentasi, gambaran histopatologis, keberadaan hematuria dan hipertensi, gangguan fungsi ginjal, dan respons terhadap terapi steroid (Bagga dan Mantan, 2005). Prognosis SN pada anak berkorelasi dengan spektrum respons terapi steroid, yaitu mulai dari SN sensitif steroid

(SNSS) hingga SN

resisten steroid (SNRS). Kira-kira 90% anak dengan SN idiopatik sensitif terhadap terapi steroid dan hanya 10% anak yang tidak respon (resisten)

Universitas Sumatera Utara

terhadap steroid

(Cattran, 2000). Insidens kasus SNRS pada anak

mencapai 0,3 per 100.000 anak per tahun (Mc Kinney et al., 2001). SNRS merupakan penyebab tersering penyakit ginjal tahap akhir pada anak. Walaupun persentase penderita anak dengan SNRS kecil, grup ini berisiko mengalami komplikasi ekstrarenal dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (Niaudet et al., 2004).

Prediksi

terhadap kemungkinan menjadi resisten terhadap steroid menjadi amat penting bagi seorang anak penderita SN agar terhindar dari penyakit ginjal tahap akhir dan biaya pengobatan yang cukup mahal. Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular membantu klinisi dalam menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda protein menjadi tujuan kajian tentang respon steroid pada SN (Yi dan He, 2006). Adapun faktor yang diduga berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah jumlah reseptor glukokortikoid dan faktor genetik (Haack et al., 1999). Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173 berisiko resisten terhadap terapi steroid oleh karena hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap glukokortikoid eksogen. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana dengan steroid (Vivarelli et al., 2008; Aeberli et al., 2006), dan berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal (Vivarelli et al., 2008). Polimorfisme

secara fungsional berhubungan dengan ekspresi

MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan peningkatan level MIF serum

Universitas Sumatera Utara

secara in vivo (Donn et al., 2002). Walaupun demikian berbagai penelitian di atas belum jelas menerangkan apakah polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko pada individu SNRS berhubungan dengan peningkatan level MIF serum. Macrophage migration inhibitory factor (MIF) merupakan suatu sitokin yang bersifat pleiotrophic (suatu sitokin yang bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek). Sumber utama MIF berasal dari berbagai organ dan distribusinya hampir merata di seluruh jaringan tubuh. Hal ini mendukung teori bahwa pelepasan MIF ke sirkulasi darah terjadi dari penyimpanan MIF di intra sel (Lue, 2003). MIF tersimpan pada sitoplasma sel dan pengeluarannya ke ekstrasel dirangsang oleh berbagai faktor, misalnya oleh angiotensin II (Rice et al.,2003). Studi in vitro menunjukkan bahwa pelepasan MIF dari intrasel diatur oleh angiotensin II (Rice et al.,2003), tetapi penelitian in vivo tentang hal ini belum ada. Sumber utama MIF di ginjal berasal dari sel-sel glomerulus terutama podosit dan sel-sel epitel tubulus (Hattori et al., 1999) Peranan MIF dalam memicu kerusakan ginjal terjadi melalui dua cara yaitu merangsang pembentukan banyak mediator inflamasi (IL-1B, TNF-α, IL-6, nitric oxide, reactive oxygen species) dan bekerja antagonis terhadap glukokortikoid (Stosic et al., 2009). Apabila efek glukokortikoid tidak bekerja pada sel-sel di ginjal, proses kerusakan ginjal akan berlanjut dan ditandai dengan proteinuria menetap, walaupun setelah diberikan dosis penuh terapi steroid (Lan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Efek MIF yang kedua ini menjadi dasar bagi penelitian penyakitpenyakit yang menggunakan steroid sebagai terapi utama, termasuk juga SN. Meskipun demikian, bukan berarti efek yang pertama tidak berperan di dalam patogenesis SN karena efek yang pertama ini dipengaruhi oleh gambaran/corak histopatologis penderita SN yang juga memunyai peranan di dalam resistensi terapi steroid. Prosedur biopsi ginjal relatif invasif pada anak-anak sedangkan pengukuran kadar MIF dalam darah relatif kurang invasif sehingga dipakai untuk menerangkan peranannya dalam antagonisme steroid. Sitokin-sitokin proinflamasi, selain MIF, ditekan oleh aksi anti inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya, pelepasan sitokin MIF dipicu oleh glukokortikoid dan selanjutnya, bekerja sebagai antagonis glukokortikoid (Petrovsky et al., 2003; Lan,2008). Konsekuensi klinis hal ini adalah efek glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF serum meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap berlanjut. Penelitian Yang et al.(1998) menemukan bahwa apabila efek MIF dinetralkan secara imunologis,akan terjadi peningkatan kadar serum kortikosteron endogen. Hal ini berkorelasi dengan perbaikan proteinuria, dan perbaikan kerusakan histologis pada glomerulus. Apabila kadar MIF serum terlalu meningkat (di atas 100 pg/mL), berarti telah terjadi kerusakan ginjal yang berat. Hal ini dibuktikan oleh Bruchfeld et al.(2009) bahwa kadar MIF serum pada penderita penyakit ginjal kronik derajat 3-5 (kerusakan ginjal berat) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kontrol (p=0,008).

Universitas Sumatera Utara

Glukokortikoid memicu pengeluaran MIF dari dalam sel dan bersirkulasi di plasma. Apabila pengeluaran MIF telah terjadi maka ia bekerja antagonis terhadap glukokortikoid. Aksi antagonis MIF terhadap efek glukokortikoid diatur oleh angiotensin II (Gasparo et al., 2000), Keberadaan angiotensin II di jaringan ginjal dipengaruhi oleh pengambilan

(uptake)

angiotensin

II

dari

sirkulasi

ataupun

dari

pembentukan lokal di jaringan ginjal. Kedua hal ini menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II di sirkulasi apabila terjadi atau berlangsung secara terus menerus (van Kats et al., 2001). Regulasi MIF oleh peningkatan angiotensin II menyebabkan perkembangan hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Busche et al., 2001; Wolf et al., 2003). Hipertensi dan proteinuria pada penderita SNRS memunyai peran penting dalam perburukan fungsi ginjal (Meer et al., 2010). Peranan MIF terhadap glukokortikoid ditunjukkan dengan model tikus defisiensi MIF yang diperankan oleh tikus delesi gen MIF (MIF‫־‬/‫)־‬. P

P

Sebaliknya, tikus transgenik memiliki kadar MIF yang berlebihan. Pada tikus delesi gen MIF terjadi peningkatan sensitivitas glukokortikoid (Aeberli et al., 2006a; Aeberli et al., 2006b). Pada subjek manusia dengan alel C memiliki kadar MIF yang lebih tinggi daripada subjek GG homozigot (Donn et al., 2002; De Benedetti et al., 2003). Subjek penderita SN dengan alel C -173 gen MIF memiliki risiko resisten terhadap steroid (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008). Namun, apakah subjek ini juga mengalami peningkatan kadar angiotensin

Universitas Sumatera Utara

II dan peningkatan kadar MIF sehingga resisten terhadap terapi steroid, belum pernah diteliti (sepanjang pengetahuan peneliti). Oleh karena itu, kami ingin meneliti tentang hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara bersama-sama dengan hipertensi pada anak penderita SN resisten steroid dibandingkan dengan penderita SN sensitif steroid dan anak sehat.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.2.1

Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.2

Apakah kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.3

Apakah kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.4

Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan kadar angiotensin II plasma?

1.2.5

Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama dengan hipertensi, merupakan faktor risiko SNRS?

Universitas Sumatera Utara

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Menentukan dasar hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum terhadap respon steroid sehingga pasien SNRS terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Menganalisis data frekuensi genotip polimorfisme -173 G ke C gen MIF pada anak penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat 1.3.2.2 Menganalisis sebaran kadar angiotensin II plasma pada anak penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat 1.3.2.3 Menganalisis sebaran kadar MIF serum pada anak penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat 1.3.2.4 Menganalisis korelasi kadar angiotensin II plasma dan MIF serum. 1.3.2.5 Menganalisis hubungan alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar angiotensin II plasma,dan kadar MIF serum secara bersama-sama dengan hipertensi terhadap risiko SNRS

1.4

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan anak. Adapun manfaatnya sebagai berikut: 1.4.1

Manfaat

teori.

Studi

ini

meningkatkan

pemahaman

dan

pengetahuan tentang patofisiologi SNRS sehingga membantu dokter dalam penatalaksanaan anak SNRS.

Universitas Sumatera Utara

1.4.2

Manfaat bagi masyarakat. Studi ini membantu perencanaan strategi pengobatan lebih awal terhadap anak SNRS sehingga dapat mengurangi komplikasi akibat pemberian steroid jangka panjang.

1.4.3

Manfaat aplikatif.

Studi ini

membantu anak SNRS dalam

mendapatkan terapi agresif selain steroid. 1.4.4

Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan SN.

1.5 Orisinalitas Berdasarkan penelusuran kepustakaan, peneliti belum menemukan penelitian tentang peran polimorfisme -173 G ke C gen MIF disertai peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara bersama sama dengan hipertensi sebagai faktor risiko SNRS. 1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual Peranan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama dengan hipertensi dapat membantu klinisi dalam penatalaksanaan anak SNRS agar terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal.

Universitas Sumatera Utara