BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG JAGUNG

Download Rendahnya produksi jagung ditingkat petani tersebut disebabkan oleh kurang suburnya lahan, curah hujan yang cenderung rendah dan sebagian b...

1 downloads 594 Views 35KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan komoditas pangan kedua setelah padi di Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan sebagai pakan ternak. Beberapa tahun terakhir proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan telah mencapai 50% dari total kebutuhan nasional dan

setelah

tahun 2020 penggunaan jagung untuk kebutuhan pakan diperkirakan lebih dari 60% dari total kebutuhan nasional (Ditjentan, 2010). Berdasarkan meningkatnya kebutuhan jagung setiap tahunnya, maka budidaya tanaman ini sangat menguntungkan

dan

mempunyai

prospek

cukup

baik

bagi

yang

mengusahakannya. Pulau Madura merupakan suatu pulau yang berada di wilayah Jawa Timur yang memiliki areal tanaman untuk jagung kurang lebih 360.000 hektar (30 % areal jagung di Jawa Timur), namun produktivitas ditingkat petani masih rendah rata-rata 1,4 ton per hektar (Roesmarkam et al., 2006; Kasryno et al., 2007). Hasil tersebut sangat rendah dibandingkan dengan daerah-daerah penghasil jagung lainnya. Rendahnya produktivitas tersebut selain dikarenakan lahan yang kesuburannya rendah, curah hujan yang rendah juga disebabkan petani menggunakan kultivar lokal tanpa seleksi terlebih dahulu.

Menurut data BPS

(2013), bahwa rata-rata produktivitas jagung di daerah Jawa Timur berkisar 4,8 ton per hektar, sehingga produktivitas tanaman jagung di Madura masih perlu ditingkatkan.

Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan produktivitas tanaman ini, salah satunya adalah melalui program pemuliaan tanaman.

Perakitan suatu

varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman lingkungan biotik maupun abiotik merupakan solusi yang tepat dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Usaha untuk mendapatkan varietas unggul tersebut memerlukan plasma nutfah dalam jumlah banyak dan mempunyai keragaman genetik yang tinggi. Tersedianya plasma nutfah dalam jumlah besar, terutama untuk kultivar lokal (landraces) mempunyai arti penting secara genetik untuk sifat-sifat tertentu. Perakitan suatu varietas yang tahan terhadap suatu kondisi lingkungan pada daerah tertentu dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan kultivar lokal daerah tersebut, baik melalui seleksi maupun persilangan. Perakitan kultivar unggul berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap kondisi lahan kering yang merupakan masalah bagi daerah Madura dapat diperoleh melalui seleksi maupun persilangan dari beberapa kultivar lokal Madura. Dalam merakit suatu kultivar yang diinginkan sangat dibutuhkan informasi tentang potensi plasma nutfah yang akan digunakan sebagai bahan untuk merakit kultivar tersebut.

Karakterisasi morfologi yang dilanjutkan dengan analisis

hubungan kekerabatan diantara plasma nutfah yang ada, bertujuan untuk menghasilkan deskripsi tanaman dan kekerabatan hubungan diantara plasma nutfah yang bermanfaat sebagai pedoman dalam pemberdayaan genetik pada program pemuliaan.

2

Beberapa masalah yang sering muncul dalam pemuliaan secara konvensional, seperti yang dikemukakan oleh Lamadji et al. (1999), adalah: (1) memerlukan waktu yang cukup lama, (2) sulit memilih dengan tepat gen-gen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada karakter morfologis atau agronomis, karena penampilan fenotip tanaman bukan hanya ditentukan oleh komposisi genetik, tetapi juga oleh lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh, (3) rendahnya frekuensi individu yang diinginkan yang berada dalam suatu populasi yang besar sehingga menyulitkan kegiatan seleksi untuk mendapatkan hasil yang valid secara statistik, dan (4) pautan gen antara sifat yang diinginkan sulit dipisahkan saat melakukan persilangan. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi molekular pada awal tahun 1980-an, ditemukan teknologi molekular yang berbasis pada DNA. Marka molekular merupakan alat yang sangat baik bagi pemulia dan ahli genetik untuk menganalisis genom tanaman.

Sistem ini telah merevolusi bidang pemetaan

genetik dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keragaman genetik, klasifikasi dan filogeni dalam pengelolaan plasma nutfah, dan sebagai alat bantu dalam pemuliaan dan seleksi melalui penanda gen. Marka molekular juga dapat digunakan untuk pengklonan gen yang difasilitasi oleh peta marka molekular. Data karakterisasi kromosom dan marka molekular tersebut selain dapat digunakan sebagai sarana untuk mengetahui keanekaragaman genetik,

juga dapat digunakan untuk mengkaji hubungan

kekerabatan suatu taksa.

3

Berdasarkan

latar belakang di atas, maka dalam program pemuliaan

tanaman, data hubungan kekerabatan berdasarkan karakter morfologis dan molekular sangat dibutuhkan dalam perakitan suatu kultivar tanaman.

Data

tentang karakter penting dari suatu bahan pemuliaan yang akan digunakan sebagai bahan pemuliaan (breeding materials), akan memudahkan perolehan kultivar yang diinginkan. B. Permasalahan Jagung merupakan komoditas yang sangat penting bagi masyarakat Madura, karena jagung merupakan makanan pokok penduduk Madura dan tanaman ini merupakan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan oleh petani Madura. Kondisi lahan pertanian yang mempunyai ketersediaan air dan curah hujan yang kurang, mensyaratkan bahwa tanaman jagung yang ditanam harus mempunyai umur panen yang genjah. Penanaman jagung berumur pendek (genjah) dapat meningkatkan intensitas penanaman sehingga memungkinkan pola pergiliran jagung-padi-tembakau atau jagung-jagung-tembakau dengan baik. Hasil penelitian Amzeri (2009), bahwa jagung lokal Madura mempunyai umur panen berkisar antara 62 sampai 73 hari. Jagung lokal Madura mempunyai daya simpan yang lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga dapat digunakan sebagai cadangan makanan selama satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian Suhardjo dan Lestari (2006), jagung lokal Madura memiliki kandungan protein dan lemak tinggi masing-masing 11,24 % dan 4,96 % dibanding jagung-jagung hibrida seperti Pioneer 7 (kandungan protein 8,22 % dan kandungan lemak 3,24 %), Pioneer 11 (kandungan protein 8,70 % dan kandungan 4

lemak 3,34%), Bisi 2 (kandungan protein 9,51 % dan kandungan lemak 3,95%) dan Bisi 7 (kandungan protein 10,09% dan kandungan lemak 3,27%). Kelemahan dari jagung lokal Madura adalah produksi per hektar paling rendah dibandingkan daerah penghasil jagung lainnya di Jawa Timur. Rendahnya produksi jagung ditingkat petani tersebut disebabkan oleh kurang suburnya lahan, curah hujan yang cenderung rendah dan sebagian besar benih yang digunakan bukan hasil dari program pemuliaan (baik melalui seleksi atau hibridisasi). Terdapat beberapa cara untuk memecahkan permasalahan tersebut, diantaranya adalah (1) memperbaiki lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh dan berkembang, (2) merakit suatu varietas yang tahan terhadap cekaman lingkungan biotik maupun abiotik dan mempunyai potensi hasil tinggi yang dihasilkan

melalui

program

pemuliaan.

Perbaikan

lingkungan

tumbuh

membutuhkan biaya tidak sedikit, meskipun hal itu dapat dilakukan, namun ada beberapa faktor alam yang tidak bisa dikendalikan melalui teknologi yaitu cuaca dan iklim, sehingga perakitan varietas unggul yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan terhadap cekaman lingkungan biotik serta abiotik merupakan solusi tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Mangoendidjojo (2003), bahwa untuk merakit suatu varietas membutuhkan strategi dalam pemuliaan tanaman agar varietas yang diinginkan dapat tercapai, diantaranya (1) pengenalan tanaman (karakterisasi tanaman), (2) pemilihan bahan pemuliaan (breeding materials), (3) pengenalan pola atau metode pemuliaan yang dipilih, dan (4) pengelolaan. Karaktersisasi tanaman dan pemilihan bahan pemuliaan merupakan langkah awal dari perakitan suatu varietas

5

yang diinginkan, sehingga kedua kegiatan tersebut sangat menentukan keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman. Dalam merakit varietas jagung yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan terhadap cekaman lingkungan baik biotik maupun abiotik (terutama tahan terhadap kondisi lahan yang kering)

dibutuhkan bahan pemuliaan (breeding

materials) yang cukup banyak dengan dilengkapi informasi karakter penting dari masing-masing bahan pemuliaan tersebut. Bahan pemuliaan yang dibutuhkan bisa diperoleh dari kultivar lokal jagung Madura. Menurut Poespodarsono (1988), bahwa kultivar lokal merupakan bahan pemuliaan yang cukup baik untuk merakit varietas yang tahan terhadap cekaman lingkungan karena kultivar tersebut sudah beradaptasi lama, sehingga mempunyai gen ketahanan terhadap cekaman lingkungan. Mengingat kurangnya informasi penelitian tentang jagung lokal Madura, maka permasalahan pada penelitian ini adalah : 1.

Bagaimanakah karakter morfologis jagung lokal Madura ?

2.

Bagaimanakah kunci identifikasi jagung lokal Madura ?

3.

Bagaimanakah karakter genetik jagung lokal Madura ?

4.

Berdasarkan karakter morfologis, apakah ada genotip potensial untuk dikembangkan dalam program pemuliaan ?

5.

Bagaimanakah hubungan fenetik jagung lokal Madura berdasarkan karakter morfologis dan genetiknya ?

6.

Begaimanakah formula kariotip dan rasio panjang absolut (R) pada jagung lokal Madura yang diuji ?

6

7.

Apakah pembuatan varietas berbasis jagung lokal Madura dapat menjadi solusi rendahnya produkstivitas jagung di Pulau Madura ?

C. Keaslian Penelitian Penelitian yang telah dilakukan terhadap morfologi jagung lokal Madura masih terbatas pada sedikit kultivar jagung lokal Madura dan masih terbatas pada karakter-karakter tertentu. Penelitian Yasin et al. (2007) terbatas pada tiga jagung lokal Madura yaitu Manding, Talango dan Guluk-guluk dengan karakter produksi dan umur panen tanaman. Budiarti (2007) juga melakukan penelitian pada tiga aksesi jagung lokal Madura dan hanya pada dua karakter morfologis yaitu produksi dan umur panen tanaman.

Eksplorasi, pendataan dan koleksi

jagung lokal Madura belum pernah di lakukan. Penelitian kromosom (kariotip) jagung lokal Madura pernah dilakukan, tetapi masih terbatas pada jagung lokal Madura tertentu seperti kultivar Guluk-guluk (khasanah, 2009), kultivar Talango dan Manding (Pardaningtyas, 2011). Penelitian kariotipe untuk klutivar lain belum pernah dilakukan. Penelitian yang mengaplikasikan pendekatan dengan penanda molekular (RAPD) untuk mengetahui variasi genetik dan hubungan kekerabatan jagung lokal Madura belum pernah dilaporkan. Penggunaan penanda molekular yang pernah dilakukan antara lain

menggunakan SSR pada 39 koleksi jagung IPB dan

Balitsereal (Pabendon et al., 2007). Penggunaan RAPD telah diaplikasikan untuk mempelajari variasi genetik dan hubungan kekerabatan pada galur popcorn di

7

Brazil ( Leal, et al., 2010), kultivar jagung lokal Turki (Okomus, 2007) dan 28 jagung tropis (Parentoni, et al., 2001). D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Karakterisasi morfologis jagung lokal Madura 2. Membuat kunci identifikasi jagung lokal Madura 3. Penentuan genotip potensial untuk dikembangkan dalam program pemuliaan 4. Karakterisasi genetik jagung lokal Madura berdasarkan RAPD 5. Menentukan hubungan fenetik jagung lokal Madura berdasarkan karakter morfologis dan molekular. 6. Membuat kariotip dan penentuan rasio panjang absolut (R) pada jagung lokal Madura yang diuji 7. Membuat varietas berbasis jagung lokal Madura yang bisa dikembangkan di Pulau Madura. E. Manfaat Penelitian Informasi yang diperoleh dari penelitian di atas selain bermanfaat bagi pemulia juga bermanfaat bagi agronomis, seperti uraian di bawah : 1.

Bagi agronomis informasi mengenai karakter morfologis, terutama potensi hasil dari beberapa genotip jagung lokal madura dapat digunakan sebagai pedoman untuk memilih genotip yang potensial untuk dibudidayakan dan dipergunakan sebagai tanaman simulasi yang dapat diperlakukan secara

8

agronomis (misalnya pemupukan, sistem tumpangsari) untuk menentukan teknik budidaya yang tepat. 2.

Bagi pemulia informasi tentang hubungan kekerabatan berdasarkan karakter morfologis dan molekular di antara jagung lokal madura bermanfaat untuk merakit varietas di antara jagung lokal Madura baik melalui pemuliaan konvensional maupun inkonvensional. Pemuliaan konvensional dilakukan melalui metode seleksi, hibridisasi, mutasi dan ploidisasi sedangkan pemuliaan inkonvensional melalui rekayasa genetika (kloning gen, marka molekular dan transfer gen).

9

10