BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI IKAN

Download 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Ikan tongkol ( Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil. B...

1 downloads 705 Views 232KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil. Badannya memanjang, tidak bersisik kecuali pada garis rusuk. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15, sedang yang kedua berjari-jari lemah 13, diikuti 810 jari-jari sirip tambahan (fin ilet). Ukuran asli ikan tongkol cukup besar, bisa mencapai 1 meter dengan berat 13,6 kg. Rata-rata, ikan ini berukuran sepanjang 50-60 cm (Auzi, 2008). Ikan Tongkol memiliki kulit yang licin berwarna abu-abu, dagingnya tebal, dan warna dagingnya merah tua (Bahar, 2004). Menurut Saanin (1984), klasifikasi Ikan tongkol adalah sebagai berikut: Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Sub Phylum

: Vertebrata

Class

: Pisces

Sub Class

: Teleostei

Ordo

: Percomorphi

Family

: Scombridae

Genus

: Euthynnus

Species

: Euthynnus affinis

5

2.2 Komposisi Kimia Ikan Tongkol Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein dan lemak yaitu berkisar 98 % dari total berat daging. Komponen ini berpengaruh besar terhadap nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensori dan stabilitas penyimpanan daging. Kandungan kompenen kimia lainnya seperti karbohidrat, vitamin dan mineral berkisar 2 % yang berperan pada proses biokimia di dalam jaringan ikan mati. (Sikorski, 1994).

Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Sumber : Chaerudin 2008

Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi yaitu kadar air yakni 71.00-76.76 %, protein 21.60-26.30%, lemak 1.30-2.10% , mineral 1.20-150% dan abu 1.45-3.40%. Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50 % (Suzuki, 1981). 2.3 Pengasapan dan Proses Pengasapan Ikan olahan tradisional, atau "traditional cured" adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga. Jenis olahan yang termasuk pada produk olahan tradisional ini adalah ikan pindang, ikan kering atau ikan asin kering, ikan asap, serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi, dan sejenisnya (Anisah & Susilowati, 2007).

6

Pengasapan ikan di Indonesia merupakan salah satu cara pengolahan tradisional yang cukup berperan dalam memanfaatkan hasil-hasil perikanan. Pengasapan ikan adalah suatu teknik pengawetan ikan yang menggunakan asap sebagai bahan pengawet selain itu menghasilkan warna serta cita rasa yang khas. Pengasapan

ini

merupakan

suatu

proses

menggabungkan

teknik

penggaraman, pengeringan, dan pemanasan. Penggaraman pada pengasapan bertujuan untuk menghasilkan kekompakkan pada tekstur, bakteriosidal dan meningkatkan cita rasa daging. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam daging ikan dan memudahkan daging ikan menyerap partikel-patikel asap pada saat pengasapan. Sedangkan pada pemanasan bertujuan untuk mematangkan daging ikan, menggumpalkan protein dan menguapkan sebagian air dalam tubuh ikan (Moeljanto, 1992). Teknik

pengawetan

dengan

cara

pengasapan

disamping

untuk

mengawetkan bahan pangan juga untuk memperoleh cita rasa spesifik yang diinginkan. Asap memiliki sifat sebagai pengawet dan salah satu senyawa asap yang menyebabkan ikan asap menjadi awet dengan adanya kandungan fenol. Fenol yang terkandung dalam asap memiliki sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) sehingga menyebabkan bakteri tidak dapat tumbuh, fungisidal (membunuh jamur) sehingga jamur tidak tumbuh, dan antioksidan sehingga

cukup

berperan

mencegah

(Adawyah, 2007).

7

oksidasi

lemak

pada

ikan

asap

2.3.1. Proses pengasapan Dalam proses pengasapan ikan terdiri dari : 1. Pencucian (cleaning) dan penyiangan (Splitting) Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memisahkan ikan yang akan diolah berdasarkan jenis, ukuran dan tingkat kesegarannya. Selanjutnya ikan segera disiangi dengan cara membersihkan sisik, insang dan isi perut, terutama ikan berukuran sedang dan besar, lalu dicuci dengan air bersih agar darah dan kotoran lain dapat dihilangkan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Menurut Wibowo (1995), penyiangan dan pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran, sisik, dan lendir dengan membelah bagian perut sampai dekat anus. Penyiangan dan pencucian bertujuan menghilangkan sisa kotoran, darah, dan lapisan dinding yang berwarna hitam. Cara pencucian yang baik adalah menggunakan air dingin bersuhu < 5

0

C dan bersih, mengalir yang memenuhi

persyaratan air minum, hal ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terikut pada bahan baku (Suseno, 2008). 2. Penggaraman (Salting) Moeljanto (1992) mengemukakan bahwa penggaraman dilakukan sebelum ikan diasap dengan cara merendam ikan dalam larutan garam dan lama perendamannya tergantung dari keinginan yang mengasap. Tujuannya agar daging ikan menjadi kokoh karena penyerapan air oleh garam dan penggumpalan protein dalam daging ikan. Selain itu, dengan adanya penggaraman maka rasa daging akan menjadi lebih enak. Dalam konsentrasi garam tertentu pertumbuhan bakteri pembusuk dapat dihambat. Menurut Wibowo (1995), Pengggaraman ikan mengakibatkan pengeluaran sebagian air dari jaringan ikan dan diganti larutan 8

garam. Penggaraman dapat dilakukan dengan cara merendam di dalam larutan garam atau menaburkan garam kering ke permukaan ikan dari berat ikan. 3. Penggantungan (hanging) dan penyusunan ikan. Penggantungan dan penyusunan ikan dapat dilakukan dengan cara mengikatkan ekor ikan dengan tali lalu digantung pada kait atau dengan menggunakan tusuk bambu (Wibowo, 1995). Sementara itu, Moeljanto (1992), berpendapat bahwa penggantungan atau penirisan ikan bertujuan untuk mengeringkan ikan karena air dalam tubuh ikan menguap. 4. Pengasapan Wibowo (1995), menyatakan bahwa sebelum ikan diasap, terlebih dahulu ikan disusun dan digantung dalam ruang pengasapan dengan tujuan agar proses pengasapan lebih merata keseluruh tubuh ikan, termasuk bagian dalamnya. Jarak antar ikan dan jarak ikan dengan sumber asap perlu diatur sehingga proses pengasapan berjalan baik. Ruang pengasapan atau rumah asap (smoke houses) ini sebaiknya memiliki luas paling tidak 2 x 2 m2 yang di tempatkan di lantai tanah. Tempat berdirinya rumah asap ini diupayakan agar kedap api. Pada rumah asap (smoke house) pada penelitian ini yaitu dimodifikasi dengan ukuran panjang 1,95 cm, lebar 75cm dan tinggi 1,25. Dinding rumah asap dibuat dari seng plat. Pintu dibuat didalam rumah asap untuk mengatur aliran udara dan lubang asap di atasnya dipotong. Ruang pengasapan di bagian atasnya diletakkan rak-rak untuk menyusun ikan. Dinding memiliki penahan untuk menyandarkan tiang-tiang yang dapat dipindahkan. Ikan dapat digantung pada tiang-tiang ini. Dinding dan atap harus ditutup sehingga asap tidak dapat keluar dan atap ruang pengasapan perlu 9

dibuat untuk mengatur sirkulasi asap. Adapun proses pengasapan ikan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut. Penyiangan dan pencucian

Ikan segar

ikan asap

Pengasapan

Perendaman larutan garam (10-20 %)

Penggantungan dan penirisan

Gambar 2. Skema Proses Pengasapan Ikan Sumber : Wibowo (1995)

2.3.2 Pengaruh pengasapan terhadap ikan Bagian asap yang paling berperan dalam proses pengasapan ikan adalah unsur-unsur kimia yang terkandung di dalam asap itu sendiri. Kuantitas dan kualitas unsur-unsur kimia tersebut tergantung pada jenis kayu yang dipergunakan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Komposisi kimi asap dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Unsur Kimia Formaldehid Aldehid lain Keton (termasuk aseton) Asam formiat Asam asetat Metil Alkohol Tar Fenol Air

Kadar % Berat Partikel 0,06 0,19 0,31 0,43 1,8 1,04 5,28 103,8

Sumber : Zaitsev et . al. (1969)

10

mg/m3 Asap 30-50 180-230 190-200 115-160 600 10295 25-40 -

Menurut Moeljanto (1992), Ikan yang melalui proses pengasapan akan menimbulkan pengaruh-pengaruh tersendiri dalam beberapa hal, antara lain : 1. Daya simpan Dalam proses pengasapan zat-zat yang terkandung dalam asap seperti aldehida, fenol, dan asam-asam yang bersifat racun bagi bakteri akan terserap kedalam ikan, hal ini dapat berakibat ikan yang diasapkan akan memiliki daya simpan yang lama. 2. Penampilan Kulit ikan yang sudah diasapi akan terlihat mengkilat, keadaan ini disebabkan oleh timbulnya reaksi kimia dari senyawa-senyawa dalam asap, yaitu formaldhida dengan fenol yang menghasilkan lapisan damar tiruan pada permukaan ikan. 3. Perubahan warna Dengan pengasapan, warna ikan akan berubah menjadi kuning emas sampai kecoklat-coklatan. Warna ini dihasilkan oleh reaksi fenol dengan O2 (zat asam) dari udara. 4. Rasa Ikan Setelah diasapi ikan mempunyai rasa yang sangat spesifik, yaitu rasa keasap-asapan yang sedap. Rasa tersebut dihasilkan oleh asam-asam organic dan phenol serta zat-zat lain sebagai pembantu.

11

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan ikan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengasapan (Wibowo, 1995), antara lain : 1. Suhu Pengasapan Pada awal pengasapan, ikan masih basah dan permukaan kulitnya diselimuti lapisan air. Dalam keadaan ini asap akan mudah menempel pada lapisan air permukaan ikan. Agar penempelan dan pelarutan asap dapat berjalan efektif, suhu pengasapan awal sebaiknya rendah. Jika dilakukan pada suhu tinggi, lapisan air pada permukaan tubuh ikan akan cepat menguap dan daging ikan akan cepat matang. Kondisi ini akan menghambat proses penempelan asap sehingga pembentukan warna dan aroma asap kurang baik. Setelah warna dan aroma terbentuk dengan baik, suhu pengasapan dapat dinaikkan untuk membantu proses pengeringan dan pematangan ikan. 2. Kelembaban Udara Kisaran kelembaban udara (Rh) yang ideal untuk pengasapan adalah 60% - 70% dan suhu ruang sekitar 30°C. Jika Relatif Humidity (RH) yang lebih tinggi dari 79% maka proses pengeringan selama pengasapan berjalan lambat karena panas dan hasil pembakaran masih belum mampu mengurangi kelembaban. Sebaliknya jika RH (Relatif Humidity) kurang dari 60%, permukaan ikan akan terlalu cepat matang. 3. Jenis Kayu Tahap penting lain dalam pengasapan adalah memilih jenis bahan bakar yang akan digunakan, biasanya menggunakan bahan bakar kayu. Bahan bakar lain sebagai alternatif adalah serbuk gergaji, serutan kayu, tempurung, sabut kelapa 12

dan sebagainya. Kayu, serutan dan serbuk gergaji merupakan pilihan yang terbaik asalkan berasal dari jenis kayu keras yang tidak banyak mengandung resin, getah dan damar. Sabut kelapa, kulit kelapa yang terdiri dari serat yang terdapat diantara kulit dalam yang keras (batok), tersusun kira – kira 35 % dari berat total buah kelapa yang dewasa. Kompisisi kimia sabut kelapa dapat dilihat Tabel 2 berikut. Tabel 2. Komposisi Sabut Kelapa Komponen Kimia

Berat Kering (%)

Pektin Hemiselulosa Lignin Selulosa Mineral

14,06 7,69 30,02 18,24 5,0

Sumber : Grimwood (1975) dalam Siswina (2011)

4. Perlakuan sebelum pengasapan Proses pengasapan ada beberapa perlakuan yang harus di perhatikan dalam menetukan mutu hasil produk akhir yaitu salah satunya dengan perlakuan. Faktor lain yang berpengaruh pada mutu ikan asap adalah jumlah asap dan ketebalan asap. Selain itu mutu ikan asap berpengaruh apabila sudah mengalami kemunduran mutu sehingga produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan. Jumlah asap dan ketebalan asap turut berpengaruh pada produk dalam hal cita rasa, bau dan warna.

13

2.4 Standar Mutu Produk Ikan Asap Spesifikasi produk akhir yang diharapkan ialah ikan asap dan produknya harus bebas dari mikroorganisme dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia, bebas dari parasit yang berbahaya bagi manusia dan tidak mengandung bahan apapun yang berasal dari mikroorganisme, bebas dari kontaminan kimia, bebas dari bahan yang tidak dikehendaki dan parasit dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Proses pengolahan ikan asap harus memenuhi Good Manufacturing Practice (GMP) dan harus memenuhi semua ketentuan yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission mengenai residu pestisida dan bahan tambahan pangan (Codex Alimentarius 1979). Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap menurut SNI 2725.1:2009 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Asap Jenis Uji a. Organoleptik* b. Cemaran mikroba - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Staphylococcus aureus - Vibrio cholerae c. Kimia - Kadar air* - Kadar histamin - Kadar garam CATATAN *) Bila diperlukan

Satuan

Persyaratan

Angka(1-9)

Minimal 7

Koloni/g APM/g per 25 g Koloni/g per 25 g

Maksimal 5x105 Maksimal<3 Negatif Maksimal 5x103 Negatif

% fraksi massa mg/kg % fraksi massa

Maksimal 60 Maksimal 100 Maksimal 4

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009)

14

2.5 Fenol Whittle & Howgate (2000) mengemukakan bahwa senyawa fenol merupakan komponen aromatik yang terdapat pada asap kayu dan berperan dalam mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh adanya bakteri. Fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga fenol dapat memperpanjang masa simpan produk asapan. Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperatur pirolisis (perubahan terjadi karena panas) kayu. Menurut Girard (1992), bahwa kuantitas fenol pada kayu sangat bervariasi yaitu antara 10-200 mg/kg. Berdasarkan penelitian Toth dan Potthast (1984) melaporkan bahwa jumlah fenol mulai dari sangat rendah (0,06 mg/kg) hingga sangat tinggi (5000 mg/kg) atau 0,0006-0,5%. Fenol berperan penting dalam pembentukan citarasa khas ( smoky flavor ). Selain itu fenol juga berfungsi memberikan efek bakteriostatik pada produk serta sebagai antioksidan yang mencegah perubahan oksidatif pada produk yang diasapi. fenol juga berperan dalam pembentukan warna karena reaksi antara senyawa fenol dengan aldehid tak jenuh membentuk senyawa coklat (browning).. Sikorsi (1994) menyatakan bahwa fenol memiliki aktivitas antimikroba dan

juga

bersifat

sebagai

antioksidan.

Sedangkan

Armstrong (200&),

mengemukakan bahwa fenol terkandung dalam asap ialah salah satunya dihasilkan degradasi panas dari lignin yang berasal dari yang terkandung dalam kayu. Lignin merupakan polimer fenolik penting dapat menimbulkan karakteristik kayu berwarna coklat (browning). Swastawati et al. (2007) mengemukakan bahwa penampakan produk menjadi mengkilap dan rasa yang spesifik (flavour asap) juga dipengaruhi oleh kandungan fenol dalam produk yang diasap. Fenol dapat 15

digunakan sebagai indeks kualitas dari hasil pengasapan ikan. Kandungan fenol yang terlalu tinggi akan cenderung untuk menghasilkan Hidrokarbon Polisiklis Aromatis (HPA) yang bersifat karsinogen. 2.6 Penggaraman Menurut Harris dan Karmas (1998), bahwa penggaraman merupakan suatu kombinasi dari proses fisika dan kimia, yaitu terjadinya proses penetrasi garam ke dalam jaringan daging ikan dan menyebabkan keluarnya air dari jaringan yang menghasilkan perubahan berat. Dengan adanya pengaraman, kadar air dalam tubuh ikan mengalami penurunan sampai batas tertentu, dimana kegiatan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan pada ikan dapat dihambat. Pada konsentrasi agak rendah garam memberikan pengaruh terhadap citarasa tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, garam juga menunjukkan kerja bakteriostatik bersifat sebagai pengawet. Borgstrom (1995), menyatakan bahwa penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan lemak ikan, ketebalan dan kesegaran daging ikan, suhu, konsentrasi dan kemurnian garam serta metode penggaraman yang digunakan. Jika bakteri dan kapang ditempatkan dalam larutan garam yang pekat dengan kadar air 30-40%, maka akan terjadi proses osmosis dimana air di dalam sel akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan garam. Sel mikroba akan mengalami plasmolisis dan terhambat kegiatannya bahkan bisa mati (Winarno et al. 1980). Menurut Fardiaz et al. (1995) mekanisme pengawetan garam (NaCl) dalam proses penggaraman ikan adalah sebagai berikut : (1) Garam NaCl dalam larutannya akan terurai menjadi anion (Na+) yang menghambat pertumbuhan 16

bakteri dan kation (Cl-) yang dapat menurunkan daya larut O2 dari udara dan merupakan racun bagi bakteri, (2) Bekerjanya sistem osmosa terhadap bakteri hidup, karena sel-sel bakteri hidup bekerja sebagai membran yang semipermiabel, maka larutan garam yang ada disekelilingnya dapat menarik air sehingga terjadi plasmolisis pada tubuh bakteri, (3) Dehidrasi adalah suatu peristiwa kekurangan air akibat plasmolisis dimana air yang ada dalam sel bakteri tertarik keluar yang mengakibatkan hancurnya dinding sel bakteri sehingga terjadi pengeringan, (4) Garam dalam kadar yang tinggi akan mengekstraksi air dari ikan maupun bakteri, sehingga menghilangkan syarat hidup bakteri pembusuk (penurunan Aw) dan rusaknya bakteri sehingga dapat menyebabkan ikan menjadi awet.

17