Bab V Kesimpulan dan Saran BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA

HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENERAPAN . ... Perkembngan pergaulan dalam bernegara tidak hanya ... Hukuman disiplin ...

21 downloads 525 Views 117KB Size
Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan analisis kasus tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta penjatuhan sanksi dalam tindak memberantas tindak pidana perpajakan. Bab V

Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan yang cenderung meningkat saat ini. BAB II

HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENERAPAN

A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan aturan fundamental dalam mengelola dan mengatur hubungan antara aparat pajak dan wajib pajak. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK. 03/2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau

Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. 1. Kejahatan di Bidang Perpajakan Perkembngan pergaulan dalam bernegara tidak hanya menimbulkan pengaruh yang bersifat positif, tetapi termasuk pengaruh yan besifat negatif. Kedua pengaruh ini harus dihadapi

dan bahkan memerlukan pencegahan atau penanggulangan melalui isntrumen

hukum. Pengaruh yang bersifat positif sangant menunjangkelangsungan pemerintah negara untuk mensejahterakan warganya sebagaimana yang diamanatkan dalam pembuknaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) 36. Pengaruh yang bersifat negatif merupakan hambatan atau kendala yang dihadapi oleh negara untuk mencapai tujuananya. Misalnya, kejahatan di bidang perpjakan yang dapat memperngaruhi kelangsungan pembiayaan negara sehingga negara tidak mampu menciptakan kesejahteraan. Kejahatan di bidang perpajakan berada dala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara . kejahatan di bidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak yang mengararahkan pegawai pajak, waib pajak, pejabat pajak, atau pidhak lain agar menaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini didasarkan bahwa hukum pajak tidak dapat memberikan suatu kegunaan (kemanfaatan) bila pihak-pihak dalam kedudukan sebagai stakeholder tidak memeliki rasa keadilan dalam menunaikan atau melaksanakan tugas maupun kewajiban hukum masing-masing. 37 Ketika Kejahatan di bidang perpajakan telah memenuhi unsur-unsur delik pajak, berarti pelaku kejahatan wajib dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam kaidah hukum pajak. 38 Apabila ditelusuri sanksi pidana sebagai suatu ancaman hukuman yang 36

Muhammad Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1. 37 Ibid, hlm. 2. 38 Ibid

ditujukan kepada pelaku kejahatan yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, hanya berupa hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. 39 Ketiga jnis hukuman ini berada pada tataran hukuman pokok. Dalam arti ketika ditelusuri ancaman hukuman yang boleh dikenakan kepada pelaku kejahatan di bidang perpajakan, ternyata tidak mengaitkan hukuman tambahan sebagaimana dikenal pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 40 Adapun jenis hukuman yang diatur pada Pasal 10 KUHP, adalah sebagai berukut: 1. Pidana Pokok, terdiri dari: 41 a. pidana mati; b. pidana penjara; c. pidana kurungan; dan d. denda. 2. Pidana Tambahan, terdiri dari: 42 a. pencabutan hak-hak tertentu; b. perampasan barang-barang tertentu; dan c. pengumuman putusan hakim. Lain lagi halnya, bila pelaku kejahatan di bidang perpajakan berstatus atau berkedudukan sebagai pewagai negari sipil, seperti pegawia pajak dapa dikenakan hukuman disiplin pegawai negeri sipil. Karena, ketentuan yang berlaku bginya dibolehkan berdasarkan Pasal 36 ayat (2) UUKUP. 43 Hal itu pun, terlebih dahulu harus diadukankepada lembaga yang khusus diadakan pada kementrian keuangan untuk pengenaan hukuman disiplin

39

Ibid Ibid, hlm. 4. 41 Ibid, hlm. 5. 42 Ibid 43 Ibid 40

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP NO. 5 Taun 2010). 44 Adapun tingkat dan jenis hukuman didipli pegawai negeri sipil sebagaimana ditentukan dalam PP NO. 53 Tahun 2010, adalah sebagai berikut. 1. Hukuman disiplim ringan, terdiri dari: 45 a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis. 2. Hukuman disiplin sedang, terdiri dari: 46 a. penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. 3. Hukuman disiplin, berat terdiri dari: 47 a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah salam 3 (tiga) tahun; b. pemindaan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil; dan e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pewagai negeri sipil. Begitu pula, ketika pelaku kejahatan di bidang perpajakan dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dengan kedudukan sebagai pegawai negeri sipil, hanya boleh dikenakan hukuman berdasarkan kaidah hukum pajak yang berlaku baginya berupa hukuman pokok. Sementara hukuman tambahan sebagaimana ditentukan pada Pasal 10 KUHP tidak boleh 44

Ibid Ibid 46 Ibid, hlm. 6. 47 Ibid 45

dikenakan karena tidak ditentukan dalam UUKUP. Namun, hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 boleh dikenakan terhadap wajib pajak orang pribadi dalam kedudukan sebagai pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan bahwa telah melanggar sumpah/janji sebagai pegawai negeri sipil. 48 Perundang-undangan perpajkan dengan jelas menyebutkan perbuatan pidana di bidang perpajakan dengan istilah “Tindak Pidana Perpajakan”. Tindak pidana itu meliputi: 49 a. Tindak Pidana Surat Pemberitahuan (SPT); b. Tindak Pidana NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak); c. Tindak Pidana Pembukuan; d. Tindak Pidana tidak Menyetorkan Pajak yang telah dipotong atau dipungut; e. Tindak Pidana Pembocoran Rahasia; Tindak Pidana di bidan perpajakan atau dalam peristilah lain disebut tindak Pidana Fiskal antara lain: 50 a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang atau oleh badan melalui orang; b. yang memenui perumusan Undang-Undang; c. yang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana; d. yang melaan atau bertentangan dengan hukum; e. yang merugikan masyarakat/ oarang f. yang dilakukan dibidang perpajakan 2. Kaidah Hukum Pajak Hukum pajak sebagai hukum positif merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum publik. Substansi hukum pajak memuat kaidah hukum tertulis karena dalam kenyataannya

48

50

Ibid Ibid

49

Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hlm. 95

bahwa kelahirannya didasarkan pada Undang-Undang Pajak sebagai produk politik dari Dean Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Ketentuan ini tersebar dalam berbagai UndangUndang pajak yang bersifat formal maupun bersifat materiil. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kepada pihak-pihak yang terkait dengan hukum pajak agar memahami kaidah hukum pajak dalam pelaksanaan dan penegakannya, baik diluar maupun dilembaga peradilan pajak, dengan demikian hukum pajak tidak mengenal keberadaan kaidah hukum pajak tidak tertulis karena kelahirannya tidak dilandasi dengan praktik perpajakan didalam masyarakat. 51 Di samping itu, dikenal pula kaidah hukum pajak yang bersifat umum maupun bersifat abstrak dan terarah kepada pihak-pihak yang diharapkan menaati hukum pajak. Sehingga menurut Jimly Asshiddiqie karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu tertentu. 52 Kaida hukum yang bersifat umum maupun bersifat abstrak, inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah ukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Munculnya kejahatan di bidang perpajakan, didasarkan pada kaidah hukum pajak yang berupaya membedakan dalam bentuk seperti “karena kelalaian” atau “dengan kesengajaan”. 53 Adanaya perbedaan itu tergantung pada niat dari pelaku untuk mewujudkan perbuatannya yang terjaring dalam kaida hukum pajak. Sebenarnya kejahatan dibidang perpajakan muncul karena didasarkan pada niat pelakunya saat melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. 54 3. Jenis Kejahatan di Bidang Perpajakan Kejahatan yang terkait dalam pelaksanaan hukum pajak memiliki keanekaragaman, karena didasarkan pada berbagai kepentingan yang hendak dilindungi terutama kepentingan terhadap 51

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 7. 52 Ibid 53 Ibid 54 Ibid

pendapatan negara. Keanekaragaman kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan kaidah hukum pajak yang wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak berdasarkan tugas da kewajiban di bidang perpajakan. 55 Kaidah hukum pajak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas merupakan tanggung jawab pegawai pajak maupun pejabat pajak. Sementara itu, kaidah hukum pajak yang terkait dengan pemenuhan kewajiban merupakan tanggung jawab wajib pajak dan pihak lain. 56 Kejahatan dibidang perpajakan tidak boleh digolongkan kedalam kejahatan yang bersifat menimnulkan kerugian pada keuangan negara dan perekonomian negara. 57 Oleh karena itu unsur, unsur kerugian dan keuangan negara atau pereonomian negara merupakan salah satu unsur delik korupsi, sebaliknya kejahatandi bidang perpajakan memiliki unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendatapan negara”. 58 Dalam arti delik pajak memiliki unsur kerugian yang berbeda dengan usnur kerugian pada delik korupsi. Walaupun demikian, baik delikpajaknmaupun delik korupsi, keduanya merupakan kejahatan yang berada diluar jangkauan KUHP kerena diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang yang berbeda. 59 Pertimbangannya adalah pada adanya asas hukum “lex specialis derogat legi generali”. Misalnya, delik pajak telah diatur dalam hukum pajak, khususnya dalam UUKUP, sementara itu delik korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua jenis delik ini diatur dalam peraturan hukum yang berbeda sehingga tida boleh disamakan antara delik pajak dan delik korupsi, walaupun salah satu unsur delik hampir sama, tetapi tetap memiliki perbedaan substansif. 60

55

Ibid, hlm. 8 Ibid 57 Ibid 58 Ibid 59 Ibid 60 Ibid 56

Kejahatan di bidang perpajakan merupakan awal dari delik pajak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun jenis kejahatan dibidang perpajakan, antara lain sebagai berikut: 61 1. Menghitung atau menetapkan pajak; 2. Bertindak diluar kewenangan; 3. Melakukan pemerasan dan pengancaman; 4. Penyalahgunaan kekuasaan; 5. Tidak mendaftarkan diri tau melaporkan usahanya; 6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; 7. Pemalsuan suart pemberitahuan; 8. Menyalahgunakan nomor pokok wajib pajak; 9. Menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak; 10. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak; 12. Menolak untuk diperiksa; 13. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain; 14. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; 15. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan; 16. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut; 17. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; 18. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;

61

Ibid, hlm. 10.

19. Tidak memberikan keterangan atau bukti; 20. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak; dan 21. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi; 22. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajak dan pihak lain; 23. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan; 24. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan; 25. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak; 26. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan wajib pajak; Upaya untuk menghindari agar tidak terjadi kejahatan dibidang perpajakan tergantung kepada perilaku dan kepatuhan untuk melaksanakan tugas, kewajiban, dan larangan. Penghindaran untuk tidak melakukan kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan hukum yang dihararapkan menjadi dasar panutan agar tidak dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. 62 Inilah yang merupakan substansi hukum pajak berupa terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara. 63 Kalau dicermati secara seksama, berbagai kejahatan di bidang perpajakan karena pelaksanaan hukum pajak, korbannya lebih banyak terarah kepada negara dibandingkan kepada wajib pajak. Keberadaan hukum pajak sebagai hukum positif pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan negara dengan tidak mengabaikan kepentingan wajib pajak. 64 Perlindungan kepada negara selalu mengarah kepada penerapan sanksi pidana maupun sanksi disiplin terhadap kejahatan yang dapat menimbulkan kerugian pada negara. B. Ketentuan Tindak Pidana Korupsi 1. Undang-Undang Korupsi dalam Ruang Lingkup Perpajakan 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

62

Ibid, hlm. 11 Ibid 64 Ibid, hlm. 12. 63

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU. No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (UU ini sebagai pengganti dari UU No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana korupsi). Adapun tujuan dengan di Undangkannya Undang-Undang Korupsi ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. 65 Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah: •



Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)

Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan,

65

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidaan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 18.

termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 66 •

berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.



berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut:

kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ). Undang-Undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. 67 Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan 66 67

Ibid, hlm. 20 Ibid, hlm. 20

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1. 68 Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut: 69 •

Pengembalian kerugian

keuangan negara atau perekonomian negara tidak

menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya. 70 Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak diatur sebelumnya yakni dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu undang-undang no. 3 Tahun 1971. 71 Undang-undang ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga 68

Ibid Ibid, hlm 21 70 Ibid, hlm. 22 71 Ibid 69

pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18. 72 Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2). 73 Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. sedangkan proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27). 74 Pembuktian Terbalik: 75 Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37). 72

Ibid Ibid 74 Ibid, hlm. 23 75 Ibid, hlm. 26 73

Peran Serta Masyarakat: 76 Undang-undang ini juga memberikan peran serta masyarakat dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta diberikan perlindungan hukum dan penghargaan setinggi-tingginya oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 41 UU ini dan Pasal 102, 103 KUHAP). B. Bentuk-Bentuk Korupsi Adapun bentuk-bentuk dari korupsi adalah sebagai berikut: 77 1. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan) 2. Perbuatan melawan huku memperkaya diri/orang atau badan lain yang merugikan keuangan/ perekonomian negara. 3. Penggelapan dalam jabatan. 4. Pemerasan dalam jabatan 5. Tindak Pidana yang berkaitan dengan pemborongan. C. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Adapun Upaya-upaya dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut: 78 1. Upaya Pencegahan (Preventif) 1. Menanamkan aspirasi, semangat, dan spirit nasional yang positif dengan mengutamakan kepentingan nasional. 2. Para pemimpin dan pejabat, selalu dihimbau untuk memberikan keteladanan dengan mematuhi pola hidup sederhana dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi.

76

Ibid, Ibid, hlm. 28. 78 Ibid, hlm. 32 77

3. Demi kelancaran pelayanan admisnistrasi pemerintah, untuk para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua. 4. Menciptakan aparatur pemerintah yang disiplin kerja yang tinggi. 2. Upaya Penindakan (Kuratif) Berdasarkan kasus yang penulis angkat dalam skripsi ini, upaya penindakan yang telah dilakukan berupa: 1. Pemblokiran tehadap 10 rekening di Bank Panin dan 11 rekening di Bank BCA yang kesemuaannya atas nama Gayus Halomoan P Tambunan dan seluruhnya berjumlah Rp. 28.400.000.000,00 (dua puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah). 2. Di tetapkannya Gayus Halomoan P Tambunan sebagai tersangka dan dilakukannya penyidikan, hingga ditetapkan menjadi terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 3. Menghukum Gayus Halomoan P Tambunan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. 3. Upaya Edukasi Masyarakat 1.Memiliki rasa tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial. 2. Tidak bersikap apatis, karena hal ini akan merugikan masyarakat sendiri. 3. Melakukan kontrol setiap pada kebijakan, terutama yang dilaksanakan oleh pemerintah desa, kecamatan, dan seterusnya sampai tingkat pusat/nasional. 4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya, 5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dlam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas. 4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) 1. Indonesia Corruption Watch (ICW)

Indonesia Corruption Watch adalah sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang mempunyai misi mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. 2. Transparancy International (IT) Transparancy International adalah sebuah lembaga internasional yang bertujuan memerangi korupsi publik. Organisasi in bersifat nirlaba tidak mencari keuntungan. C. Hubungan Tindak Pidana Perpajakan dan Tindak Pidana Korupsi 1. Asas Pidana Concurcus Idealis 1. Pengertian Asas Concurcus Idealis Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk,concursus ini diatur didalam KUHP Bab. VI, adalah sebagai berikut : 79 1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) 2. Concursus Berlanjut (Pasal 64 KUHP) 3. Concursus Realis (Pasal 65 – 71 KUHP) KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab. VI Pasal 63 – 71. Dalam rumusan pasal maupun Bab. IX, KUHP tidak memberikan definisi perbarengan tindak pidana (Concursus). Namun, dari rumusan pasal-pasalnya dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian pidana bagiconcursus sebagai berikut. 1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281.

79

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya 1997), hlm. 677.

Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksismumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP. Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341. 2. Concursus Berlanjut (Pasal 64 KUHP) Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:

80

a. harus ada satu keputusan kehendak b. masing-masing perbuatan harus sejenis c. tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.

80

Adami Chazawi, SH, Pelajaran Hukum Pidana Bagian, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 129.

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatankejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. 3. Concurcus Realis Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masingmasing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu:

81

a. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlahmaksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambahsepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun. b. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak

81

Ibid, hlm. 141

boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan. Jadi dalam kasus tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Gayus Halomoan P Tambunan ini terdapat hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dapat dibuktikan melalui Bab VII Ketentuan Khusus Pasal 36A ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: 82 “pegawai pajak yang dengan masud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk mmbayar, atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjaka sesuatu untuk dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentng Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Pasal 43A ayat (3): 83 “Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Diektorat Jendral Pajak yang tersangkut wajib diproses diproses menurut ketentuan hukum tindak pidana korupsi”.

82 83

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), (Bandung: Fokus Media, 2010), hlm. 54. Ibid, hlm. 61.