DEMOKRASI, PEMBAJAKAN ELIT DAN KONTRAKSI POLITIK PEMBANGUNAN

Download politik dan politik pembangunan pertanian dalam kerangka mencari opsi ... sebagai basis analisis, yakni kuasa politik dan ekonomi. ..... Ju...

0 downloads 444 Views 97KB Size
Politik Pertanian Indonesia

DEMOKRASI, PEMBAJAKAN ELIT DAN KONTRAKSI POLITIK PEMBANGUNAN PERTANIAN Lukas R. Wibowo dan Handoyo

PENDAHULUAN Pembangunan pertanian terus diintensifkan baik secara kelembagaan, teknologi maupun sosial ekonomi politik. Peningkatan intensitas pembangunan pertanian ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas hasil pertanian. Berbagai data menunjukkan bahwa justru ada kemandegan produktivitas di berbagai komoditas. Arus deras impor pun akhirnya menjadi pilihan instan untuk mengatasi problem komoditas yang tidak disadari semakin menenggelamkan harapan, kredibilitas dan kapasitas petani dan pertanian sebagai penopang pembangunan nasional. Sementara di sisi lain, proses diferensiasi sosial berbasis keagrariaan semakin menajam, membuat harapan besar para petani akan masa depannya semakin meredup seiring dengan proses fragmentasi lahan-lahan pertanian. Tulisan ini mencoba mendiskusikan persepektif perkembangan demokrasi politik dan politik pembangunan pertanian dalam kerangka mencari opsi jalan keluar dari berbagai krisis yang melingkupinya, seperti krisis pangan, kedaulatan dan legitimasi kelembagaan di tengah semakin derasnya neoliberalisme. Argumentasinya adalah selama ini pembangunan pertanian hanya dikupas dari sisi teknis dan sosial ekonomi (Lihat: Suradisastra, 2011; Andri, 2006; Syahrani, 2001) dan aspek mikro pemberdayaan petani (Karsidi, 2002) serta komunikasi pembangunan pertanian (Kifli, 2007). Belum banyak yang mencoba membedah pembangunan pertanian dari frame perkembangan demokrasi politik, terutama dari perkembangan transreformasi politik dari otoriterisme sampai pada era transisi demokrasi. Dalam membedah dinamika politik pembangunan pertanian, maka saya akan menggunakan dua variabel utama sebagai basis analisis, yakni kuasa politik dan ekonomi.

DEMOKRASI, JEBAKAN DEMOKRASI DAN PRAGMATISME Sebelum jauh pembaca masuk ke dalam tulisan yang argumentatif ini, walaupun mungkin para pembaca telah mengetahui apa itu demokrasi, namun penulis berpikir tidak ada salahnya penulis menuliskan tawaran makna demokrasi dari beberapa literatur demi mulusnya proses pemahaman kita tentang jebakan demokrasi dan pragmatisme pada tulisan ini. Mungkin sebagian besar ilmuan politik setuju dengan tawaran Cohen (1971) yang memaknai demokrasi secara fundamental sebagai partisipasi masyarakat dalam ikut serta pada pembuatan kebijakan. Dalam

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

111

Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian

ensiklopedia pemerintah dan politik (Hawkesworth dan Kogan, eds, 2002) tidak ditemukan terminologi tunggal demokrasi, namun tertulis terminologi "demokrasi liberal" dimana kata "liberal" dimaknai dua hal di dalam konteks sistem-sistem politik. Pertama, mereka mengklaim bahwa demokrasi berdiri diatas pengertian responsifnya terhadap harapan-harapan warga negara, tidak terhadap kepentingan yang "dianggap terbaik" dari warga negara yang didefinisikan oleh penguasa (pemerintah) atau oleh sistem ideologi. Kedua, harapan-harapan dari golongan mayoritas tidak untuk menunggangi hak politik dan hak sipil dari golongan minoritas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terminologi "demokrasi liberal" mempunyai makna posisi tawar yang implisit antara wakil pemerintah dan warga negaranya. Posisi tawar adalah legitimasi milik pemerintah yang merupakan pengharapan patuhnya terhadap hukum pemerintah yang bergantung pada klaim untuk melakukan apa yang warga negara akan lakukan. Pengaturan spesifik yang mengatur posisi tawar tersebut dan pengaturan aturan yang mengatur legitimasi posisi tawar tersebut adalah pemilihan secara politik yang kompetitif (Powell, 2002). Secara genealogis, demokrasi liberal merupakan sebuah fenomena di abad sembilan belas (19). Pada abad itu terdapat 48 negara merdeka yang mempunyai sistem pemilihan langsung dengan persyaratan yang tidak ketat bagi pemilih yang terlibat. Pada tahun 1870 hanya Amerika, Prancis dan Swiss yang mempunyai pendekatan hak pilih hanya milik orang dewasa laki-laki saja dan dimana hak pilih untuk perempuan akan berlaku beberapa tahun kemudian (Powell, 2002). Pada tahun 1929-1930 menyusul 22 negara yang bergabung dengan 65 negara lainnya yang telah menganut demokrasi (Gerlich 1973 dan Rokkan 1961 dalam Powell, 2002). Sebagian besar dari negara-negara tersebut mengalami kolaps menyusul kekacauan global yang diakibatkan depresi ekonomi pada awal 1930-an. Setelah kemenangan sekutu pada perang dunia kedua dan hancurnya kolonial kerajaan Eropa, menyebarnya praktik demokrasi liberal tidak dapat dibendung. Banyak negara dunia ketiga seperti Nigeria, Ghana dan Pakistan memulai demokrasi namun menurut Powell (2002), sistem tersebut tidak dapat membantu menyetabilkan sistem politik mereka. Sejak tahun 1950an walau naik turun namun negara yang menganut demokrasi liberal terus bertambah. Beberapa negara dengan rejim otoriter seperti Spanyol, Yunani, Turki dan Argentina berubah haluan ke demokrasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada tahun 1960-1970an sekitar seperempat negara merdeka di dunia menganut demokrasi (Lijphart, 1984; Powel 1982). Tahun 1985, sepertiga rejim di dunia dapat diklasifikasikan menganut demokrasi liberal namun kestabilan dari negara-negara tersebut sangat diragukan (Coppedge dan Reinicke 1988). Beberapa literature juga menyebutkan secara mengejutkan negara-negara dengan rejim control yang ketat seperti Hungaria, Polandia, Jerman Timur dan Ceko berubah rejim demokrasi pada tahun 1989. Dalam perjalanannya, praktik demokrasi yang dipercaya merupakan bagian dari mega proyek modernisasi mempunyai banyak variasi menyesuaikan perkembangan politik di negara penganutnya. Beberapa variasi tersebut adalah sistem kesatuan atau federal, sistem presidensial atau parlementer dan sistem dua partai atau multi partai. Pada negara demokrasi yang stabil terdapat pengaturan pada sebuah

112

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

Politik Pertanian Indonesia

terminologi bernama “konstitusi” (baik berupa dokumen tertulis atau sebuah rangkaian praktik dan undang-undang). Konstitusi tersebut menyangkut dua hal: pertama, bagaimana hukum atau kebijakan dibuat (decision rule) dan kedua, bagaimana para pembuat hukum tersebut dipilih (election rules) yang mengkonstruksi sebuah logika fundamental atas konseptual bahwa semua kebijakan yang diproduksi mencerminkan derajat inklusivitas. Penjabaran dari “decision rule” adalah derajat inklusivitas tersebut salah satunya diwarnai oleh bagaimana hubungan dan pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutifnya. Pada sistem parlemen seperti kebanyakan Negara di Eropa, pihak eksekutif yaitu perdana menteri dipilih oleh parlemen dan parlemen juga dapat membatalkannya. Pihak eksekutif dapat mendominasi legislatif, namun keduanya mempunyai hubungan yang dekat dan erat. Sedangakan berdiri dihadapan sistem tersebut adalah presidensial seperti di Amerika dan Indonesia dimana legislatif dan pihak eksekutif dipilih oleh rakyat secara terpisah dan keduanya mempunyai sumber daya yang terpisah dalam membentuk logika pengambilan keputusan. Keseimbangan diantara keduanya akan bergantung pada masing-masing kekuasaannya yang spesifik sebagaimana inter koneksi dari partai kontrol. Ketika partai kontrol terpecah, sistem presidensial akan lebih menjadi sebuah sistem yang tidak terpengaruh dengan kemayoritasan dan membutuhkan koalisi-koalisi yang lebih luas. Bacaan lebih lanjut adalah kasus Perancis dan Finlandia yang berada di bawah rejim semi presidensial (Duverger, 1980). Beralih ke logika “election rules” dimana hal ini merupakan salah satu kritik dari demokrasi. Seperti yang dinyatakan Riker (1982), dimana sebenarnya para ilmuan politik pada abad Sembilan belas telah melihat bahwa aturan pemilihan pada pemilihan umum (pemilu) –yang dikenal dengan first-past-the-pos (“winner-takes-all', or 'simple plurality') akan menuntun pada eksklusi partai-partai kecil dan terbentuknya mayoritas. Duverger (1980) melihat aturan tersebut akan melahirkan sistem dua partai dimana proses menjadi mayoritas merupakan efek dari dua hal yaitu efek mekanikal dari agregasi pilihan dan efek psikologis dari pemilih dan politikus yang menghindari efek mekanikal tersebut.

DARI OTORITERISME MENUJU TRANSISI DEMOKRASI Paska lengsernya Soekarno, kebijakan Orde Baru berubah drastis dengan berusaha memberangus semua aspek yang berbau Soekarno, seperti pembaharuan agraria. Suatu proses yang di postulatkan oleh Wiradi (2005) sebagai deSoekarnoisasi. Secara sistematis proses framing berlangsung dengan mengedepankan nilai-nilai pragmatism, tanpa idealism dan tanpa kesadaran politik. “Politik no dan ekonomi yes” adalah slogan indoktrinasi dalam kesadaran publik untuk membungkam berbagai bentuk perlawan dan idelogis Soekarnois. Konsep pembangunan betting on strong dan revolusi hijau lahir dianggap pilihan ideal bagi pembangunan ekonomi dan pertanian sekaligus sebagai alternatif reforma agraria dan pada tahun 1980-an Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan namun gagal mengelola konflik

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

113

Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian

berbasis lahan dan semakin masuk ke dalam arus besar neoliberalisme melalui berbagai paket deregulasi. Paska Orde Baru telah terjadi disorientasi dan tidak ada grand design politik pembangunan pertanian. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat teknis, tanpa mengkaitkan secara serius landasan-landasan filosofis ideologi negara (Wiradi, 2005). Lonceng kematian semakin berbunyi nyaring seiring dengan semakin kuatnya pasar dan pembajakan elit atas demokrasi. Gambar 1, mengilustrasikan bahwa secara politik tidak ada perubahan fundamental dalam politik pembangunan pertanian. Politik pembangunan pertanian tetap menanggalkan landasan filosofis dan ideologis negara. Penekanan pembangunan pertanian tidak pernah jauh bergeser dari hal-hal yang bersifat teknis dan menempatkan aktor-aktor kuasa kapital ekonomi kuat sebagai kekuatan utama di sisi lain secara bersamaan menyerahkan kedaulatan diri pada mekanisme pasar bebas.

Otoriter

Transisi demokratis

Politik no

Grand design

De-soekarnoisasi

Disorientasi

Betting on the strong

Revolusi hijau

Kebijakan teknis

Landasan filosofis dan ideologis negara: Pertanian dan reforma agraria

Gambar 1: Politik Pembangunan Pertanian dari Otoriterisme Menuju Transisi Demokratis

114

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

Politik Pertanian Indonesia

AKTOR DI PUSARAN RELASI KUASA POLITIK DAN EKONOMI Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sekitar tahun 1998/1999 merupakan implikasi nyata dari pembangunan ekonomi yang sentralistis dimasa lalu (Syahrani, 2001). Telah lima belas tahun kita keluar dari krisis, namun secara kuantitatif dan kualitatif pembangunan kita masih belum secara signifikan mampu mengangkat kualitas yang lebih baik dari warganya, khususnya petani. Pertumbuhan yang positif tidak diikuti oleh menurunnya kesenjangan ekonomi masyarakat. Gini rasio bahkan merangkak naik dari sekitar 0,29 tahun 1990 menjadi 0,41 tahun 2013. Catatan BPS (2014) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 28 juta pada tahun 2013 dan dari jumlah tersebut penduduk miskin pedesaan mencapai 17,92 juta jiwa. 90 persen dari penduduk miskin pedesaan ini ternyata bukan penduduk yang menganggur tetapi dalam kondisi bekerja dan walau telah bekerja keras mereka tetap miskin (Mulyanto, 2013). Walau akhir-akhir ini pemerintah telah memunculkan berbagai jargon-jargon dalam pembangunan nasional, termasuk di sektor pertanian seperti desentralisasi ekonomi, ekonomi kerakyatan, pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi (Syahrani, 2001), dan kebijakan-kebijakan pro-petani (Suseno, dan Suyatna, 2007). Namun berbagai jargon tersebut tampaknya hanya sekedar retorika politik dan akan berujung tanpa makna bila tidak ada perubahan-perubahan yang fundamental dalam relasi kuasa ekonomi dan politik dalam kontek dinamika pewacanaan transisi demokrasi politik yang telah semakin menghegemoni ruang publik. Dalam tulisan ini, maka penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis-antropologis dalam membahas relasi kuasa politik dan ekonomi dengan titik sentral bagaimana aktor-aktor politik membentuk, mengkonstruksikan, dan memanipulasi relasi kuasa berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya demi berbagai kepentingan dirinya dan kelompoknya. Mubyarto (2004) mendefinisikan pengertian politik dalam perkataan politik pertanian, kadang-kadang diasosiasikan dengan politik yang berkaitan dengan caracara kelompok masyarakat mencapai tujuan politiknya. Karena, penulis berkeyakinan, bahwa pendekatan ini akan cukup ampuh untuk membuka misteri invisible hand yang mengontrol dan mengendalikan jalanya politik pembangunan pertanian. Sebab, kekuasaan dari perspektif antropologi dilihat sebagai struktur yang dinamis, relasional, dan situasi strategis dengan memfokuskan pada tindakan dan aktor-aktor akan lebih mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana kekuasaan bekerja di parlemen (Subkhan, 2013), atau pun di field lainnya seperti di arena pembangunan pertanian. Subkhan (2013) menjelasakan dimana dalam kajian politik, kuasa dan kekuasaan seringkali dipandang sebagai kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh. Sebenarnya power atau kekuasaan itu apa? Seseorang memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan yang lain. Bagi Dahl (2001) kekuasaan ditempatkan dalam posisi relasional dengan orang lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksa orang lain untuk melakukan apa yang diingini. Berbeda Gidden (1984)

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

115

Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian

melihat kekuasaan bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya seperti misalnya pertanian merupakan media yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan sebagai bagian dari proses reproduksi sosial. Sedangkan Wolf (1990) dalam Subkhan (2013) menjelaskan bahwa kekuasaan harus dipahami bukan hanya beroperasi dalam konteks atau domain namun juga mengorganisasikan dan mengatur konteks itu sendiri. Sementara Foucoult (1980) memahami kekuasaan tidak hanya beroperasi dalam mekanisme fomal instrumen pendisiplinan warga, seperti penjara tetapi juga melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesejahteraan dan pembangunan. Kekuasaan bukan hubungan searah yang bersifat subjektif. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu. Kekuasaan tidak bias dilokalisasi sebagai milik seseorang atau melekat pada aparat negara. Kekuasaan adalah akibat keseluruhan dari posisi strategis mereka. Kekuasaan itu ada dimanamana (omniscient) dan menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat (Haryatmoko, 2002; Dahl, 2001). Demikian juga dalam era transisi dari otoriterisme menuju demokrasi liberal, para aktor pemegang kuasa politik terutama yang duduk di partai politik dan aktor pemegang kuasa ekonomi, meminjam Wolf (1990) mereka juga bekerja dengan mengorganisasi, memobilisasi dan mengatur konteks. Politik uang (Sujito, 2012), yang sudah menjadi rahasia umum, telah mereproduksi para pemeganga kuasa ekonomi dan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan jangka pendek mereka. Selain itu para pemegang kuasa ekonomi dan politik juga turut andil bagi runyamnya politik pembangunan pertanian. Berbagai kebijakan pertanian yang dilakukan di era transisi demokrasi, menjadi tidak bermakna ketika diaplikasikan di lapangan. Seperti misalnya kebijakan perlindungan terhadap lahan pertanian. Banyak kasus perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, baik untuk perkebunan maupun perumahan dan peruntukkan lainnya terjadi di berbagai daerah dan wilayah, seperti di Kalimantan Tengah. Misalnya, dari luas total 500.854 hektar daerah irigasi dan rawa yang diperuntukan bagi lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kalimantan Tengah, sekitar 29.431 hektar berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Saluran irigasi ditimbun dan diratakan dengan tanah. Saluran irigasi yang sudah dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum sejak tahun 1990 justru ditimbun tanah lalu dijadikan kebun sawit tahun 2000-an. Tidak ada komunikasi dan koordinasi antara pemerintah kabupaten, perusahaan perkebunan sawit, dan dinas PU provinsi. Lahan yang sudah berubah fungsi itu antara lain tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat, Seruyan, dan Kotawaringin Timur. Di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau juga terjadi hal yang sama walau telah ada Undang-Undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (Kompas, Sabtu 29 Maret 2014). Perubahan ini bukan saja membuktikan besarnya pengaruh pasar tetapi juga hegemoni kuasa ekonomi dan politik lokal yang seringkali bertautan dengan pemegang kekuatan kuasa ekonomi dan politik di tataran nasional.

116

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

Politik Pertanian Indonesia

Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat kompetisi adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian, persaingan itu muncul karena akibat fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi (Freastoni dan Sirajuddin, 2010). Berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala eksplorasi (skala 1: 1.000.000) untuk seluruh wilayah Indonesia, ternyata lahan-lahan yang sesuai untuk pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan yang sesuai untuk lahan tanaman pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering. Serta seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002). Dalam konteks yang lebih luas, penyusutan tanah-tanah pertanian dapat pula menimbulkan persoalan ekonomi dan goncangan politik karena penyusutan tersebut berpotensi menciptakan kelangkaan pangan di masa mendatang (Freastoni dan Sirajuddin, 2010).

REFORMASI POLITIK DALAM ARENA PEMBANGUNAN PERTANIAN Reformasi politik dalam arena pembangunan pertanian umumnya dilakukan melalui fungsi-fungsi yang melekat pada DPR diantaranya budgeting, melalui pembuatan instrumen peraturan perundangan, dan pengawasan. Reformasi politik juga seringkali dilakukan melalui lobi-lobi pembahasan. Tidak mengherankan bila misalnya perda tata ruang atau peraturan tentang keruangan seringkali berhenti di tengah jalan karena kuatnya konflik kepentingan dari para aktor pemegang kuasa politik dan ekonomi. Pertempuran kepentiangan di arena kebijakan publik seperti ini tentunya berdampak terhadap tersingkirnya aspirasi masyarakat. Ruang kebijakan seolah hanya menjadi ruang dari sekelompok elit. Reformasi politik di arena pembangunan pertanian juga terjadi melalui dinamika perkembangan dan perubahan struktur sosial yang menurut Gidden (1994), terus bergerak. Para pemegang kuasa politik dan ekonomi terus berusaha mengkooptasi problem-problem publik demi kepentingan mereka. Misalnya dalam kasus perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke perkebunan atau perambahan kawasan untuk perkebunan sawit, para oknum pemegang kuasa politik dan ekonomi seringkali berada di belakang mereka memperjuangkan hak-hak masyarakat namun sejatinya mereka memperjuangkan hak-hak mereka sendiri karena mereka sesungguhnya menjadi bagian yang memiliki kepentingan menguasai sumber daya lahan dan orang untuk penguatan posisi politik dan ekonomi mereka.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

117

Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian

PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM CENGKRAMAN OLIGARKI POLITIK Hasil perjuangan demokrasi adalah perubahan nyata dimana ada perubahan konfigurasi dan konstelasi kekuatan politik. Subkhan (2013) menjelaskan dimana Pasca reformasi 1998, tidak ada lembaga negara yang memiliki kekuasaan sedemikian besar seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atau pun DPRD. Perubahan kewenangan kekuasaan yang paling radikal adalah pada kekuasaan DPR sebagai pembentuk undang-undang. DPR saat ini memiliki otoritas yang jauh lebih luas dibandingkan pada zaman orde baru. Kalau dulu DPR sekedar lembaga yang melegitimasi kebijakan pemerintah, maka saat ini DPR merupakan lembaga yang menentukan kebijakan pemerintah. Kekuatan yang besar dan posisi politik yang krusial telah mendudukkan para aktor politik di parlemen sangat vital. Namun, bagi Subkhan (2013), implikasi dari kekuasaan parlemen yang demikian besar berpotensi terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan. Ungkapan dari Lord Acton (1834-1902) dalam Subkhan (2013) , power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely menemukan relevansinya dalam kasus praktek politik di parlemen. Kekuasaan parlemen yang demikian besar, tanpa diimbangi dengan sistem yang bersih dan integritas anggotanya menyebabkan parlemen seolah menjadi sarang utama kasus-kasus korupsi besar di Indonesia. Banyak anggota parlemen yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi dan partainya. Walau demokrasi dipercaya sebagai sistem politik yang terbaik dari yang terburuk namun demokrasi tidak bisa menjamin lahirnya aktor-aktor pemegang kuasa politik dan kuasa ekonomi yang demokratis. Apa yang terjadi di Indonesia, demokrasi justru telah melahirkan para pemegang kuasa ekonomi dan politik yang pragmatis yang tidak menghendaki lahirnya demokrasi ekonomi dalam diskurus politik pembangunan pertanian. Sebab, demokrasi ekonomi dalam pembangunan pertanian justru dianggap menjadi penghambat terbesar dalam proses akumulasi capital dan kekuasaan politik. Adalah wajar bila di beberapa daerah yang kaya akan sumber daya lahan dengan tenurial yang tidak jelas, berbagai oknum pemegang kuasa politik dan ekonomi saling berkompetisi dan bekerjasama untuk memperebutkan sumber daya lahan untuk dijadikan kebun sawit ataupun pertambangan liar. Bahkan banyak lahanlahan yang secara legal diperuntukan untuk pertanian lahan basah justru banyak yang di rubah untuk perkebunan baik secara legal maupun illegal. Di sisi lain secara institusional, ada kecenderungan politik pembangunan pertanian hanya ditentukan oleh oligarki politik. Paska Orde Baru, yang diikuti oleh kemunculan berbagai partai politik baik yang bersifat ideologis maupun pragmatis secara langsung maupun tidak langsung telah berkorelasi terhadap perubahan garis politik pembangunan pertanian. Harga yang harus dibayar di era transisi demokrasi ini adalah ada tendensi terjadinya pemudaran ideologi dan disorientasi perjuangan partai politik. Akibatnya garis politik pembangunan pertanian menjadi lebih kental warna politiknya ketimbang misi dasar, kerangka nilai emansipasi dan empati bagi pembebasan petani melalui pertanian. Sujito (2012), menyebutnya ada tiga hal yang

118

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

Politik Pertanian Indonesia

menjadi penyebabnya. Pertama, corak politik berbiaya tinggi yang tengah berlangsung mengakibatkan politisi kian membabi buta mencari uang demi membiayai sepak terjangnya meraih posisi kekuasaan, sekalipun dengan cara-cara yang illegal. Kedua, lemahnya kontrol publik, terutama konstituen atas perilaku politisi parpol. Bahkan, ironisnya konstituen juga terperangkap oleh arus pragmatism. Ketiga, manajemen parpol yang oligarki mengakibatkan politik menjadi tidak akuntabel dan gagal menjalankan sebagai lembaga representasi. Saat ini hampir sulit untuk membedakan antara partai yang berideolgi kuat dengan yang pragmatis. Katakanlah antara partai-partai tradisional yang muncul semenjak era Orde Baru, yang dianggap berideologi kuat dan partai yang tumbuh paska reformasi yang dianggap pragmatis, tetapi ketika mereka menjadi pemegang kekuasaan, perbedaan tersebut menjadi tidak ada batasnya lagi dan seolah-olah menjadi cair. Partai ideologis pun tak jarang terjebak dengan koalisi pragmatis dalam menjalankan pemerintahan. Program-program pembangunan yang dijalankan walau dibungkus oleh istilah-istilah yang kental dengan nuansa ideologis, seperti bantuan sosial, jaring pengaman sosial, BLSM, ekonomi kerakyatan, perlindungan dan pemberdayaan petani dan pertanian, namun pada prakteknya justru dimanfaatkan sebagai instrumen untuk kepentingan jangka pendek penguatan penguasaan sumbersumber ekonomi dan politik. Politik pembangunan pertanian hanya ditentukan oleh koalisi dari partai politik sehingga outcome yang dicapai pun tidak pernah optimal karena dibebani oleh kepentingan dari elit partai bahkan banyak yang dijadikan sapi perahan partai. Ideologi pembangunan yang kapitalistik, perkembangan demokrasi politik yang tidak diikuti oleh kemajuan dalam demokrasi ekonomi, pada dasarnya telah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dan kontraksi-kontraksi dalam politik pembangunan pertanian. Kontraksi-kontraksi ini menjalar dari pusat ke daerah-daerah dan sampai ke tingkat komunitas. Berbagai indikator yang bisa dijadikan indikasi terjadinya kontraksi adalah bisa dilihat dari adanya perebutan akses terhadap sumber daya lahan, marginalisasi pertanian dan petani serta ketidakjelasan ketata ruangan. Jalan panjang memang harus dilalui untuk membangun politik pembangunan pertanian yang menyejahterakan masyarakat. Penguatan peran negara dan reforma agrarian serta konsolidasi demokrasi dalam rangka mereduksi kecederungan terjadinya seperti yang diistilahkan Sujito (2012) sebagai pendangkalan politik, adalah jalan yang harus ditempuh untuk mengurangi kontraksi dalam politik pembangunan pertanian.

PENUTUP Peningkatan intensitas pembangunan pertanian ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas hasil pertanian. Berbagai data menunjukkan bahwa justru ada kemandegan produktivitas di berbagai komoditas. Arus deras impor pun akhirnya menjadi pilihan instan untuk mengatasi problem komoditas yang tidak disadari semakin menenggelamkan harapan, kredibilitas dan kapasitas petani dan

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

119

Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian

pertanian sebagai penopang pembangunan nasional. Sementara di sisi lain, proses diferensiasi sosial berbasis keagrariaan semakin menajam, membuat harapan besar para petani akan masa depannya semakin meredup seiring dengan proses fragmentasi lahan-lahan pertanian. Konsep pembangunan betting on strong dan revolusi hijau lahir dianggap pilihan ideal bagi pembangunan ekonomi dan pertanian sekaligus sebagai alternatif reforma agraria dan pada tahun 1980 an Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan namun gagal mengelola konflik berbasis lahan dan semakin masuk ke dalam arus besar neoliberalisme melalui berbagai paket deregulasi. Paska Orde Baru telah terjadi disorientasi dan tidak ada grand design politik pembangunan pertanian. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat teknis, tanpa mengkaitkan secara serius landasan-landasan filosofis ideology negara. Lonceng kematian pembangunan pertanian semakin berbunyi nyaring seiring dengan semakin kuatnya pasar dan pembajakan elit atas demokrasi. Dalam era transisi dari otoriterisme menuju demokrasi liberal, para aktor pemegang kuasa politik terutama yang duduk di partai politik dan aktor pemegang kuasa ekonomi, bekerja dengan mengorganisasi, memobilisasi dan mengatur konteks. Reformasi politik di arena pembangunan pertanian juga terjadi melalui dinamika perkembangan dan perubahan struktur sosial yang terus bergerak. Para pemegang kuasa politik dan ekonomi terus berusaha mengkooptasi problem-problem publik demi kepentingan mereka. Politik uang telah mereproduksi para pemegang kuasa ekonomi dan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan jangka pendek mereka. Ideologi pembangunan yang kapitalistik, perkembangan demokrasi politik yang tidak diikuti oleh kemajuan dalam demokrasi ekonomi, pada dasarnya telah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dan kontraksi-kontraksi dalam politik pembangunan pertanian. Penguatan peran negara dan reforma agraria serta konsolidasi demokrasi dalam rangka mereduksi kecederungan terjadinya seperti yang diistilahkan Sujito (2012) sebagai pendangkalan politik, adalah jalan yang harus ditempuh untuk mengurangi kontraksi dalam politik pembangunan pertanian. Walau demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik dari yang terburuk namun demokrasi tidak bisa menjamin lahirnya aktor-aktor pemegang kuasa politik dan kuasa ekonomi yang demokratis. Apa yang terjadi di Indonesia, demokrasi justru telah melahirkan para pemegang kuasa ekonomi dan politik yang pragmatis yang tidak menghendaki lahirnya demokrasi ekonomi dalam diskursus politik pembangunan pertanian. Itulah parasit dan patologi demokrasi yang harus kita berantas bersama sampai ke akar-akarnya bagi keberdayaan pembangunan pertanian.

120

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

Politik Pertanian Indonesia

DAFTAR PUSTAKA Andri,

K.B. 2006. Perspektif Pembangunan Vol.6/XVIII/Maret 2006.

Wilayah

Pedesaan.

INOVASI

Cohen, C. 1971. Democracy. New York. Free Press. Coppedge, M. And Reinicke, W. 1988. ‘A scale of polyarchy’, in R.D. Gastil (ed.) Freedom in the World: Political Rights and Civil Liberties 1987-1988. New York. Freedom House. Dahl, Robert A., 1957. The Concept of Power, Behavioral Science, 2:3 (1957:July) p.201. Duverger, M. 1980. ‘A new political system model: semi-presidential government’. European Journal of Political Research 8:165-87. Freastoni, A., dan Sirajuddin. 2010. Politik Hukum Perlindungan Lahan Pertanian dan Hak Asasi Petani sebagai Instrumen Mewujudkan Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2, November 2010. 149. Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Colin Gordon, ed. and trans. Brighton, England: Harvester Press. Giddens, A. 1984. The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Cambridge: Polity Press Haryatmoko. 2002. Kekuasaan melahirkan anti kekuasaan: menelanjangi mekanisme dan teknik kekuasaan bersama Foucoult. No. 1-2 tahun ke 51, Basis Januari-Februari 2002. Karsidi, R. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Petani dan Nelayan Kecil. Pernah disampaikan dalam Semiloka Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Tengah dalam rangka Pelaksanan Otda, Badan Pemberdayaan Masyarakat Jateng, di Semarang 4-6 Juni 2002 Kompas, Sabtu, 29 Maret 2014. 29.431 Hektar Lahan Jadi Kebun Sawit. Kifli, G.C. 2007. Strategi Komunikasi Pembangunan Pertanian pada Komunitas Dayak di Kalimantan Barat. Agricultural Development Communication Strategy of Dayak Community in West Kalimantan. FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 25 No. 2, Desember 2007 : 117 – 125 Mubyarto. 1994. Politik pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan Jakarta 1994. Riker, W.H. 1982. Liberalism Against Populism. San Francisco. W.H. Freeman.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian

121

Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian

Suradisastra, K. 2011. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Mempercepat Pembangunan Sektor Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(2), 2011: 118-136 Syahrani, H.A.H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Daerah. The Application of The Agropolitant and Agribusiness In Regional Economy Development. FRONTIR Nomor 33, Maret 2001 Suseno, D., dan Suyatna, H. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani. Jurnal Sosial dan Politik Vol. 10, No. 3 Maret 2007. Subkhan, I. 2013. Kuasa Parlemen dalam Perspektif Antropologi Kekuasaan. Diunduh pada tanggal 28 April 2014 dari http://anthropower.wordpress.com/ 2013/06/16/kuasa-parlemen-dalam-perspektif-antropologi-kekuasaan/ Sujito, A. 2012. Pendakalan Politik. IRE Yogyakarta. Wiradi, G. 2005. Politik Pertanian/Agraria di Indonesia. Makalah ringkas disampaikan dalam acara Workshop Pertanian YLBHI bertema Tantangan dan Masa Depan Pertanian di Hotel Seruni, Cisarua tanggal 2 Mei 2005. Wolf, Eric. 1982. Europe and the People without History. Berkeley, CA: University of California Press. _________. 1990. “Distinguished Lecture: Facing Power—Old Insights,

122

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian