II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH

Download liter/hari, tetapi rata-rata produksi 10 liter/hari atau 3.050 kg susu 1 kali masa laktasi. Di Amerika ... bulan antara masa beranak dan sa...

0 downloads 417 Views 99KB Size
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrata

Class

: Mamalia

Sub class

: Theria

Infra class

: Eutheria

Ordo

: Artiodactyla

Sub ordo

: Ruminatia

Infra ordo

: Pecora

Famili

: Bovidae

Genus

: Bos (cattle)

Group

: Taurinae

Spesies

: Bos taurus (Sapi Eropa) Bos indicus (Sapi India/Sapi Zebu)

Sapi perah Fries Holland atau FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein sedangkan di Eropa disebut Friesian adalah sapi perah dengan produksi susu tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya dengan kadar lemak susu yang rendah rata-rata 3,7%. Sapi FH berukuran besar dengan totol-totol warna hitam dan putih di sekujur tubuhnya. Dalam arti sempit, sapi FH mempunya ciri-ciri warna belang hitam putih, pada dahi terdapat pola hitam putih berbentuk segitiga. Dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna

8 putih. Tanduk kecil-pendek menjurus ke depan. Sapi FH bersifat tenang, jinak sehingga mudah dikuasai, tidak tahan panas, tapi mudah beradaptasi, dan lambat menjadi dewasa. Di Indonesia sapi jenis FH ini dapat menghasilkan susu 20 liter/hari, tetapi rata-rata produksi 10 liter/hari atau 3.050 kg susu 1 kali masa laktasi. Di Amerika sapi FH ini dapat memproduksi lebih dari 7.000 kg susu dalam 1 kali masa laktasi (Sudono dkk., 2003). Sapi FH juga bisa dimanfaatkan sebagai sapi pedaging, karena sapi FH mempunyai karkas yang berkualitas baik dan tubuh yang cukup besar. Diantara jenis sapi perah, FH memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar jenis sapi perah yang lainnya. Berat badan sapi FH jantan 800-900 kg, sedangkan yang betina 600-625 kg dan tingginya rata-rata 1,35 meter (Budi, 2006). Bobot lahir anak mencapai 43 kg (Sudono dkk., 2003) dan bisa mencapai bobot lahir 48 kg (Bath dkk., 1985). Umumnya sapi FH dikawinkan pertama kali umur 18-21 bulan dan beranak umur 28-30 bulan. Pertumbuhan tubuh maksimum dicapai pada umur 7 tahun dengan kisaran 6-8 tahun. Berat pedet yang baru dilahirkan berkisar antara 2545 kg atau sebesar 10% dari berat induk (Ensminger, 1980). Pertumbuhan pedet dapat mencapai 0,9 kg per hari sehingga baik untuk penghasil daging (Pane, 1986).

2.2 Masa Laktasi Sapi Perah Masa Laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara masa beranak dan saat masa kering kandang. Sapi mulai berproduksi setelah melahirkan anak, kira-kira setengah jam setelah sapi itu beranak. Produksi susu sudah mulai keluar dan saat itulah masa laktasi dimulai. Namun, sampai dengan 4-5 hari yang pertama produksi susu tersebut masih berupa colostrum yang

9 sangat baik untuk pedet untuk pertumbuhan pada kehidupan awal. Menurut Alim dan Hidaka (2002) masa laktasi menjadi tiga yaitu: masa laktasi awal (3 bulan setelah melahirkan), masa laktasi tengah (3-6 bulan) dan masa laktasi akhir (lebih dari 6 bulan).

2.3 Peternakan Sapi Perah Rakyat Menurut Subandriyo dan Adiarto (2009), ciri usaha peternakan sapi perah rakyat adalah: a. skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga, b. dilakukan sebagai usaha sambilan c. menggunakan teknologi sederhana d. bersifat padat karya dan berbasiskan pada anggota keluarga e. kualitas produknya bervariasi. Sebagian besar peternakan sapi perah di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan kepemilikan ternak 2-4 ekor per peternak. Pengelolaan usaha ternak sapi perah ini masih dilakukan dengan cara tradisional dengan melibatkan semua anggota keluarga. Usaha tenak ini bersifat non komersial dengan tingkat pendapatan yang rendah dan tidak ekonomis. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi Fries Holland (FH) yang memiliki produksi susu yang tinggi (Sudono 1999). Menurut Kusnadi dan Juarini (2007), walaupun usaha pemeliharaan sapi perah belakangan ini sudah begitu berkembang dan sudah dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian, namun pada kenyataannya pendapatan dari usaha tersebut masih relatif kecil, dimana untuk menutupi kebutuhan hidup peternak dan keluarganya pun masih kesulitan. Hal ini berakibat dalam pengembangan usaha

10 pemeliharaan sapi perah. Kondisi ini dibuktikan dengan perkembangan populasi sapi perah yang sangat lamban. Peningkatan populasi sapi perah selama periode tahun 1997–2003 misalnya hanya rata-rata 1,69% per tahun. Peningkatan populasi sapi perah yang lamban yang berarti juga pengembangan usaha pemeliharaan sapi perah yang lamban, berakibat kepada rendahnya peningkatan produksi susu nasional. Selama periode tahun 1997–2003 permintaan konsumen susu mencapai rata-rata 4,5% per tahun.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Sapi Perah Karakteristik fisik pada sapi perah merupakan sifat kualitatif dimana sifat ini tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan secara tegas misalnya warna bulu, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Menurut Warwick dkk (1990) sifat kualitatif adalah sifat luar yang tampak atau bahkan tak ada hubungannya dengan kemampuan produksi seperti warna, bentuk dan panjang ekor, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Secara praktis karakteristik fisik sapi perah ditentukan oleh pejantan yang digunakan.

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Sapi Perah Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponenkomponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia termasuk air, lemak, protein dan abu (Soeparno, 1998). Suatu individu erat kaitannya dengan perkembangan dimana perkembangan adalah perubahan bentuk suatu komformasi tubuh, termasuk perubahan struktur tubuh, perubahan

11 kemampuan dan komposisi, Jadi dalam pertumbuhan seekor ternak ada dua hal yang terjadi, yaitu (1) bobot badannya meningkat sampai mencapai bobot badan dewasa, yang disebut pertumbuhan dan (2) terjadinya perubahan konformasi dan bentuk tubuh serta berbagai fungsi dan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu menjadi wujud penuh yang disebut perkembangan. Perubahan bentuk tubuh atau dalam hal pertambahan berat badan sangat berguna untuk seleksi pada pemuliaan ternak sebagai petunjuk dalam performan kondisi pada “grazing” atau feedlot, meskipun demikian yang penting bahwa semakin mendekati dewasa tubuh pertambahan berat badan semakin rendah (Wello, 2007). Secara umum pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. 1. Faktor Genetik Bibit yang baik akan dihasilkan dari induk yang baik, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu sangatlah penting untuk melakukan seleksi induk dalam suatu populasi sapi perah. Selain itu pejantan yang digunakan juga memegang peranan penting yang akan menentukan pertumbuhan keturunannya. 2. Faktor Lingkungan Pakan sapi perah menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi susu, serta bisa mempengaruhi kesehatan sapi, baik kesehatan tubuh maupun kesehatan reproduksinya. Secara umum, pakan sapi perah adalah hijauan (rumput) dan konsentrat sebagai pakan penguat. Meskipun demikian, pemberian pakan harus sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu dan produksinya susunya. Pakan sapi yang diberikan pada ternak harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: bahan pakan yang digunakan harus mudah didapat, tersedia terus menerus atau sepanjang tahun, harga relatif murah,

12 tidak mengandung racun, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan mempunyai nilai gizi (Anggorodi, 1979). Sapi perah membutuhkan kondisi lingkungan yang ideal untuk memaksimalkan pertumbuhan dan produksi susunya. Untuk mencapai produksi yang optimal sapi perah sebaiknya dipelihara di tempat yang bersuhu rendah. Suhu lingkungan yang optimum untuk sapi perah dewasa berkisar antara

5-

21 ºC, sedangkan kelembaban udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah sebesar 60% dengan kisaran 50-75% (Adriyani dkk.,1980). Jika sapi perah ditempatkan pada lingkungan yang panas maka akan menyebabkan potensi stress yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun produksi. WIilliamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa temperatur kritis pada sapi Friesian Holstein adalah 21-27 °C.

2.6 Seleksi Sapi Perah Kemampuan memilih atau menyeleksi ternak untuk menghasilkan keturunan yang lebih baik dari pada tetuanya merupakan faktor yang sangat penting dalam manajemen pembiakan sapi. Seleksi merupakan suatu tindakan terencana yang dilakukan untuk memilih ternak yang mempunyai sifat unggul dan mempunyai nilai ekonomi untuk dikembangkan. Pada dasarnya memilih ternak dapat dilakukan melalui cara visual atau kualitatif dan melalui cara pengukuran atau kuantitatif. Pemilihan secara visual sering dilakukan peternak terutama sewaktu memilih ternak untuk dijadikan induk maupun bakalan. Karakter visual yang menjadi dasar memilih ternak meliputi bentuk tubuh, warna kulit, bentuk tanduk, bentuk kepala, bentuk moncong, panjang leher, warna rambut atau bulu, panjang ekor dan lain-lain. Bentuk luar ini selalu dihubungkan dengan potensi sifat unggul

13 yang diharapkan dimiliki oleh ternak tersebut. Pada umumnya sifat unggul yang diinginkan peternak adalah kecepatan pertumbuhan, kejinakan atau temperamen yang baik, kemampuan mengkonsumsi pakan berserat tinggi, daya tahan terhadap penyakit, kesuburan reproduksi, produksi air susu dan banyak yang lainnya (Panjahitan, 2010). Metode yang relatif dapat diandalkan dalam seleksi sapi perah adalah menilai (menyeleksi) ternak berdasarkan melalui pendugaan kemampuan genetik produksi susu yang dicerminkan oleh dugaan nilai pemuliaan (breeding value). Nilai pemuliaan (NP) merupakan kedudukan relatif ternak secara genetik di dalam populasinya. Ternak-ternak yang memiliki NP di atas rata-rata populasinya yang akan mengekspresikan keunggulan jika dipelihara (Mark dkk., 2005; Nielsen dkk., 2005). Kendala yang dihadapi untuk memperoleh nilai dugaan NP adalah perlu adanya program pemuliaan dalam waktu dan dana yang cukup memadai, dan hal ini biasanya sulit untuk dikerjakan oleh peternakan rakyat. Oleh karena itu ukuran tubuh dapat dijadikan alternatif pada seleksi sapi perah.

2.7 Persilangan Sapi Perah FH Sapi perah di Indonesia berasal dari sapi impor dan hasil dari persilangan sapi impor dengan sapi lokal. Pada tahun 1955, di Indonesia terdapat sekitar 200.000 ekor sapi perah dan hampir seluruhnya merupakan sapi FH dan keturunannya (Prihadi,1997). Perkawinan silang dapat meningkatkan produktivitas dan mutu genetik, namun membutuhkan biaya besar dan harus dilakukan secara bijak dan terarah, karena dapat mengancam kemurniaan ternak asli (Rusfidra, 2006). Hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi FH sering disebut sapi Peranakan Friesian

14 Holstein (PFH). Sapi ini banyak dipelihara rakyat terutama di daerah Boyolali, Solo, Ungaran, Semarang, dan Jogjakarta (Prihadi,1997). Sapi PFH merupakan sapi perah yang telah lama dipelihara oleh peternak. Sapi perah lokal yang banyak dikenal yaitu sapi Grati. Sapi Grati adalah sapi perah lokal yang telah beradaptasi dan berkembang di wilayah dataran rendah Pasuruan. Sapi Grati merupakan hasil persilangan antara sapi lokal (Sapi Jawa, Sapi Madura) dengan sapi-sapi Ayrshire, Jersey dan Friesian Holstein (Payne, 1970). Menurut Badan Standardisasi Nasional (2008), bibit sapi perah Indonesia adalah bibit sapi tipe perah yang lahir dan beradaptasi di Indonesia dan mempunyai ciri serta kemampuan produksi sesuai persyaratan tertentu sebagai bibit yang bertujuan untuk produksi susu dan menghasilkan anak.