IKM-DES2005- (5).PDF - USU INSTITUTIONAL REPOSITORY

Download SKABIES DI PONDOK PESANTREN ULUMU QUR'AN STABAT ... (Setyowati, 1987) of Santri in Pondok Pesantren will suffer from Scabies Disease. S...

0 downloads 304 Views 71KB Size
H HA ASSIILL PPEEN NEELLIITTIIA AN N

PERILAKU SANTRI DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT SKABIES DI PONDOK PESANTREN ULUMU QUR’AN STABAT Lita Sri Andayani Departemen Pendidikan Kesehatan & Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT Based on the environment of Pondok Pesantren addition to health behavior of the Santri, Pondok Pesatren is a place which has higher for transmission of some diseases. The population density in almost every Pondok Pesantren is very high, where every room with 15m2 width is occupied up to 15 people. This is not the ideal standard for health which should be 3m2 width per person (Depkes RI, 1995). There is high morbidity rate in Santri, especially in certain skin diseases including Scabies. There are some reports mentioned that 25,49% (Bapelkes Salaman, 1991), 24,42% (Puskesmas Salam, 1997), 59,24% (Setyowati, 1987) of Santri in Pondok Pesantren will suffer from Scabies Disease. Scabies disease is a skin disease which caused by a tick named “Sarcoptes Scabiei var Hominis”. Scabies is not a threatened life disease in human; however itchy symtom at night time will be the most disturbances for activity and productivity. Scabies disease will easily spread in some places which have; high population density, low health environment, lower socio economic level, and closed contact between persons. Scabies has tendency to spread and affect adults and school age (Bukhart, 1983). This study has been done at Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat to know the behavior of the santri in prevention of spreading scabies disease. The results of study showed that the knowledge of prevention scabies disease, majority santri has moderate level of knowledge (56%), only 14 % of santri who has high knowledge on prevention of scabies disease. The attitude of the santri towards prevention of scabies disease, there is only 10 % of santri who has good attitude, and majority santri has moderate attitude. Majority santri (44 %) has bad practice in order to prevent spreading scabies disease in their community. Key words: scabies, pesantren, and behavior PENDAHULUAN Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh karena infestasi tungau yang disebut “Sarkoptes scabiei var hominis”. Skabies tidak membahayakan manusia namun adanya rasa gatal pada malam hari merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas. Penyakit scabies banyak berjangkit terutama di: (1) lingkungan yang padat penduduknya, (2) lingkungan dengan tingkat kebersihan kurang, (3) lingkungan sosial ekonomi rendah, dan (4) lingkungan pergaulan yang akrab. Skabies cenderung tinggi pada

172

anak-anak usia sekolah dan remaja (Burkhart, 1983). Pondok Pesantren dilihat dari segi kondisi lingkungan pondok serta perilaku kesehatan santri mempunyai risiko yang cukup besar terhadap penularan penyakit. Menurut berbagai laporan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, yaitu 1 kamar tidur dengan luas kamar 15 m2 dihuni sampai 15 orang. Hal ini belum memenuhi standar hunian kamar, yaitu 3 m2/tempat tidur/orang (DepKes RI, 1995). Angka kesakitan para santri cukup tinggi khususnya jenis penyakit kulit tertentu, yaitu Skabies sebesar 25,49% (Bapelkes Salaman,

1991), 24,42% (Puskesmas Salam, 1997), 59,24% (Setyowati, 1987). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang berkaitan dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren adalah sebagai berikut: (1) penyakit scabies merupakan penyakit kulit yang banyak diderita oleh santri, (2) kasus terjadi pada daerah padat penghuni dan jumlah kasus banyak pada anak usia sekolah, (3) banyaknya kasus karena perilaku pencegahan terhadap penyakit scabies masih rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui Perilaku santri dalam upaya pencegahan scabies di pondok pesantren. Dengan pencegahan scabies, berarti seseorang akan berdaya upaya secara pribadi untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan sendiri. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Untuk mengetahui Perilaku Santri dalam upaya pencegahan penyakit Skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat. Tujuan Khusus: 1. Untuk mengetahui pengetahuan santri dalam upaya pencegahan penyakit scabies. 2. Untuk mengetahui sikap santri dalam upaya pencegahan penyakit scabies. 3. Untuk mengetahui tindakan santri dalam upaya pencegahan penyakit scabies. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan tujuan untuk mengetahui perilaku santri dalam upaya pencegahan penyakit Skabies di pondok pesantren. Populasi dalam penelitian ini adalah para santri yang tinggal di Pesantren Ulumu Qur’an Stabat. Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah santri yang tinggal di Pondok Pesantren sebanyak 50 orang, dengan kriteria: a. Umur dibatasi 10-15 tahun b. Tinggal di Pondok Pesantren minimal 1 tahun. Data diambil melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner & pengamatan langsung. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) Lita Sri Andayani

Karakteristik Responden Karakteristik responden ditinjau berdasarkan umur, dan jenis kelamin. Ditinjau dari umur responden terbanyak berumur 13 tahun, yaitu sebanyak 50 %. Dan yang terendah yaitu berumur 12 tahun sebanyak 6 %. Tabel 1.

Karakteristik umur

No. 1. 2. 3. 4.

Umur Responden 12 Tahun 13 Tahun 14 Tahun 15 Tahun Jumlah

responden

berdasarkan

n 3 25 7 15 50

% 6 50 14 30 100

Karakteristik responden ditinjau dari jenis kelamin. ternyata 74% perempuan dan 26% lakilaki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2. No. 1. 2.

Karakteristik responden jenis kelamin

Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah

berdasarkan

n 13 37 50

% 26 74 100

Pengetahuan Responden Yang dimaksud dengan pengetahuan di sini adalah segala sesuatu yang diketahui responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies. Meliputi pengertian penyakit scabies, cara penularan baik langsung maupun tidak langsung, masa inkubasi kuman scabies, gejalagejala penyakit scabies, daerah yang paling sering terkena, dan cara-cara pencegahan agar tidak tertular. Tingkat pengetahuan responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 7 responden (14%) berpengetahuan baik, 28 responden (56%) berpengetahuan sedang dan 15 responden (30%) yang berpengetahuan jelek. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. No. 1. 2. 3. Jumlah

Distribusi responden pengetahuan

Pengetahuan Responden Baik Sedang Kurang

berdasarkan n 7 28 15 50

% 14 56 30 100

173

Tingkatan atau kualitas pengetahuan menurut Notoatmodjo (1993), dapat dikelompokkan atas 6 (enam) tingkatan, di mana setiap tingkatan merupakan urutan proses dari tingkat paling rendah sampai tertinggi. Dengan kemampuan mengetahui mulai dari tingkatan paling rendah sampai tertinggi akan memberikan kontribusi yang positif dalam menentukan kualitas pengetahuan santri dalam upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren. Tingkatan pertama adalah “tahu” (know), diartikan sebagai kemampuan mengingat suatu materi yang telah dipelajari atau didengar sebelumnya, termasuk mengingat kembali (recall). Dalam kaitannya pengetahuan santri dalam upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren, rata-rata santri pernah mendengar, namun tidak mempelajari secara khusus apa dan bagaimana penyakit scabies secara lebih mendalam. Dalam penelitian ini 56% responden berpengetahuan sedang karena pernah mendengar dan sedikit mengetahui tentang upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren, kerena sudah pernah mendengar di bangku sekolah. Tingkatan kedua dalam konsep pengetahuan adalah “memahami” (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Setelah santri mengetahui tentang upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren, maka akan berlanjut ke tahap memahami. Kemampuan santri dalam memahami upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren, ditentukan oleh seberapa banyak materi tentang upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren yang diingatnya, serta seberapa tinggi kemampuan santri dalam mengartikan dan memberikan makna terhadap materi upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren tersebut. Tingkatan ketiga pada konsep pengetahuan adalah “aplikasi” (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang sudah diketahuinya pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Kemampuan seseorang dalam mengaplikasikan suatu konsep ke dalam bentuk yang nyata di lapangan dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat pengetahuan. Dalam tingkatan pengetahuan ini,

174

hampir semua responden tidak mampu, artinya santi belum punya kemampuan untuk mengaplikasikan dalam kehidupannya dalam hal upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren. Pada tingkatan pengetahuan selanjutnya, yaitu “analisis” (analysis), “mengsintesis” (synthesis), maupun “mengevaluasi” (evaluation), hampir tidak ada informan yang mencapai pengetahuan sampai pada tingkatan tersebut. Secara umum pengetahuan sebagian besar responden pada tahap mengetahui, dan sebagian kecil pada tahap memahami. Sikap Responden Sikap di sini merupakan pandangan, pendapat responden dalam upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren, meliputi sikap responden tentang pentingnya kebersihan diri, sikap responden memutus cara penularan baik langsung maupun tidak langsung dengan meminjamkan pakaian, perlengkapan tidur kepada teman, dan sikap responden agar tidak tertular. Tingkat sikap responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 5 responden (10%) bersikap baik, 36 responden (72%) bersikap sedang, dan 9 responden (18%) yang bersikap jelek. Tabel 4. No. 1. 2. 3.

Distribusi sikap

Sikap Responden Baik Sedang Kurang Jumlah

responden n 5 36 9 50

berdasarkan % 10 72 18 100

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (1993), terdiri dari 4 (empat) tingkatan, di mana setiap tingkatan merupakan tahapan yang menunjukkan kualitas dari kemampuan seseorang dalam memandang permasalahan secara luas. Dalam hal ini bagaimana santri memandang upaya pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren. Tingkatan pertama dari konsep sikap yang disebutkan adalah tahap “menerima” (receiving), tahap ini diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Apabila santri dalam menerima stimulus yang diberikan dalam upaya pencegahan penyakit scabies di pondok

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) Lita Sri Andayani

pesantren, maka kemampuan mereka untuk menentukan sikap yang benar akan semakin baik dan tinggi, sebaliknya apabila kemampuan menerima stimulus kurang baik, maka dalam menentukan sikap juga akan kurang baik. Pembentukan sikap pada seseorang merupakan proses yang dipengaruhi oleh aspek emosional, pengalaman di masa lalu, pengetahuan serta kondisi lingkungan di mana orang tersebut berada. Sesuai konsep Perilaku Kesehatan yang dikembangkan ilmu Kesehatan masyarakat, bahwa sikap merupakan bentuk respons terhadap suatu stimulus yang dapat dikategorikan sebagai tindakan tersembunyi (belum nyata). Sikap yang terbentuk akan menunjukkan bagaimana tingkat kemampuan seseorang dalam menanggapi/merespons stimulus yang terjadi. Peneliti berasumsi bahwa responden bersikap sedang dengan jumlah terbanyak, karena setelah mereka mendapat pengetahuan yang cukup maka responden belum bisa bersikap baik karena keterbatasan yang responden hadapi di pesantren, yaitu mereka memang harus tidur dalam kamar yang sudah ditentukan, dengan jumlah orang yang banyak dalam 1 kamar (melebihi batas normal). Santri juga tidak dapat menolak untuk tidak saling meminjamkan peralatan tidur (bantal, guling, selimut) dan perlengkapan mandi (handuk), hal ini mungkin disebabkan keterbatasan perlengkapan yang responden miliki. Tindakan Responden Tingkat tindakan responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 15 responden (30%) bertindakan baik, 13 responden (26%) bertindakan sedang, dan 22 responden (44 %) yang bertindakan jelek. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. No. 1. 2. 3.

Distribusi tindakan

responden

Tindakan Responden Baik Sedang Kurang Jumlah

berdasarkan n 15 13 22 50

% 30 26 44 100

Pada aspek tindakan responden, peneliti mengajukan pertanyaan terbuka dan observasi langsung. Sehingga didapat hasil sebagai berikut, secara umum pada pertanyaan berapa x

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) Lita Sri Andayani

responden mandi dalam sehari sebagian besar mandi lebih dari 2 x sehari. malahan ada yang mandi 3x sehari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6.

Distribusi responden berdasarkan tindakan berapa kali mandi dalam sehari

No. 1. 2.

Berapa Kali Mandi 2 kali 3 kali Jumlah

n 42 8 50

% 84,0 16,0 100

Demikian juga pada pertanyaan berapa kali ganti baju dalam sehari. Sebagian besar menajwab 2-3 x sehari berganti baju. Hal ini sudah cukup baik berarti responden sudah mengerti dan bertindak baik yaitu mengganti bajunya ketika mandi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7.

No.

Distribusi responden berdasarkan tindakan berapa kali ganti baju dalam sehari Berapa Kali Ganti Baju 1 kali 2 kali 3 kali Jumlah

1. 2. 3.

n

%

8 27 15 50

16 54 30 100

Untuk pertanyaan menjemur handuk, hanya 46% yang menjawab ya menjemur handuk, 30% menjawab kadang-kadang, dan 24% menjawab tidak menjemur handuk. Dan dari mereka yang menjawab menjemur handuk, semua responden (100%) menjawab menjemur di jemuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. No. 1. 2. 3.

Distribusi responden berdasarkan tindakan menjemur handuk

Menjemur Handuk Ya Kadang-kadang Tidak Jumlah

n 23 15 12 50

% 46 30 24 100

Untuk pertanyaan berapa kali responden mengganti sprei dalam 1 bulan. 36% menjawab 2 kali sebulan, 16% menjawab 3 kali sebulan, dan 40% menjawab 4 kali sebulan. Dalam hal ini memang sudah menjadi peraturan pondok pesantren untuk siswanya harus mencuci dan

175

mengganti sprai 1 x dalam seminggu (4 x dalam sebulan). Namun dengan alasan sering hujan beberapa siswa pesantren tidak dapat melakukannya 4 kali dalam sebulan. Mengganti sprai 1 kali dalam seminggu memang salah satu upaya pencegahan yang baik agar kuman scabies tidak dapat berkembang biak. Karena kuman scabies akan mati bila kena deterjen dan dijemur di panas matahari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.

kuman scabies. Dan di sini terlihat, bahwa belum tentu pengetahuan baik, sikap sedang maka tindakan akan baik. Dari hasil penelitian ini sudah terlihat bahwa walaupun responden berpengetahuan baik, sikap sedang, ternyata tindakan jelek, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Distribusi responden berdasarkan tindakan meminjamkan pakaian No.

Tabel 9.

Distribusi responden berdasarkan tindakan berapa kali ganti sprei

No.

Berapa Kali Ganti Sprei 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali Jumlah

1. 2. 3. 4.

n

%

18 8 20 4 50

36 16 40 8 100

Pada pertanyaan berapa kali menjemur tilam, bantal dalam sebulan, hasil penelitian menunjukan 38% responden yang menjawab 2 kali dalam sebulan, dan hanya 24% yang menjawab 4 kali dalam sebulan. Seharusnya nilai yang terbaik adalah 4 kali dalam sebulan responden harus menjemur tilam, bantal (perlengkapan tidur). Karena kuman scabies paling senang hidup dan berkembang biak di perlengkapan tidur. Dengan menjemur perlengkapan tidur seminggu 1 kali (4 kali dalam sebulan) diharapkan kuman scabies akan mati terkena sinar matahari dan dapat mengurangi perkembangbiakannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan tindakan berapa kali menjemur tilam, bantal dalam sebulan No. 1. 2. 3. 4. 5.

Menjemur tilam, bantal dalam sebulan 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali 7 kali Jumlah

n

%

19 8 12 10 1 50

38 16 24 20 2 100

Pada pertanyaan pernah meminjamkan pakaian, 94% responden menjawab pernah meminjamkan pakaian pada teman responden. Dan ini merupakan hasil yang tidak diharapkan peneliti, karena dengan meminjamkan pakaian pada teman berarti memudahkan penularan

176

1. 2.

Pernah Meminjamkan Pakaian Pernah Tidak Pernah Jumlah

n

%

47 3 50

94 6 100

Pada pertanyaaan pernah meminjam perlengkapan tidur (bantal, guling, selimut) pada teman sesama penghuni pondok pesantren, menunjukkan hasil 60% tidak perah meminjamkan dan hanya 40% yang pernah meminjamkannya. Sebaiknya memang tidak meminjamkan bantal, guling dan selimut, karena barang-barang tersebut dapat menularkan kuman scabies dari penderita kepada orang lain. Apalagi bila perlengkapan tidur tersebut tidak pernah di jemur ataupun di cuci dalam jangka waktu yang lama. Maka kemungkinan jumlah kuman scabies yang ada di perlengkapan tidur itu banyak sekali dan sangat besar risiko untuk menularkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Distribusi responden berdasarkan tindakan meminjam bantal, guling, selimut No. 1. 2.

Pernah Meminjam Bantal, Guling, Selimut Pernah Tidak Pernah Jumlah

Jumlah

Persen

20 30 50

40 60 100

Selanjutnya pada pertanyaan di mana responden akan pergi berobat bila terkena penyakit scabies. Sebanyak 64% menjawab akan pergi ke dokter, 24% menjawab akan pergi ke puskesmas, dan 12% berobat ke rumah sakit. Dalam hal ini tindakan responden sudah cukup baik. Artinya responden akan pergi mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) Lita Sri Andayani

Tabel 13. Distribusi responden berdasarkan tindakan kemana berobat bila terkena scabies Tempat Berobat No n % Skabies 1. Rumah Sakit 6 12 2. Dokter 32 60 3. Puskesmas 12 24 Jumlah 50 100

KESIMPULAN 1. Tingkat pengetahuan responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 7 responden (14%) berpengetahuan baik, 28 responden (56%) berpengetahuan sedang, dan 15 responden (30%) yang berpengetahuan jelek. 2. Tingkat sikap responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 5 responden (10%) bersikap baik, 36 responden (72%) bersikap sedang, dan 9 responden (18%) yang bersikap jelek.

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) Lita Sri Andayani

3.

Tingkat tindakan responden dalam usaha pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 15 responden (30%) bertindakan baik, 13 responden (26%) bertindakan sedang, dan 22 responden (44%) yang bertindakan jelek.

DAFTAR PUSTAKA Azwar, S., 1995, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Liberty, Yogyakarta. Notoatmodjo, S., 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Andi Offset, Yogyakarta. Notoatmodjo, S., 1993, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Siregar, R.S., 1992, Saripati Penyakit Kulit, EGC, Jakarta Ramli A, 1987, Kamus Kedokteran, Djambatan, Jakarta. WHO, 1992, Pendidikan Kesehatan Pedoman Pelayanan Kesehatan Dasar, Penerbit ITB & Udayana, Bandung.

177