KINERJA KELOMPOK TANI DALAM SISTEM USAHA TANI PADI

Download Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003. 1 ... Indikator kinerja kelompok tani berdasarkan SK Mentan No. .... Sumber: Balai Informasi Pertani...

5 downloads 762 Views 533KB Size
KINERJA KELOMPOK TANI DALAM SISTEM USAHA TANI PADI DAN METODE PEMBERDAYAANNYA Sri Wahyuni Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK Terdapat 17 kelembagaan dalam usaha tani padi, dimana kelompok tani mempunyai peran yang cukup penting dalam hampir setiap tahapan usaha tani. Namun, mayoritas kelompok masih dalam tingkatan pemula dengan kinerja yang rendah. Indikator kinerja kelompok tani berdasarkan SK Mentan No. 41/Kpts/OT.210/1992 mendekati sempurna sehingga implementasinya menuntut usaha yang serius. Dari hasil temuan di lapang diketahui bahwa faktor-faktor yang menentukan kinerja kelompok tani adalah jumlah anggota, struktur dan aset kelompok, status anggota kelompok dalam pemilikan lahan, kredibilitas pengurus, dan kelembagaan penunjang. Tiga metode pemberdayaan kelompok yang dapat diterapkan meliputi: 1) sosialisasi program yang diawali dengan perkenalan antara fasilitator dan petani dilanjutkan dengan penjelasan enam isu penting tentang program yaitu: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana; 2) menerapkan pendekatan partisipatif dan bottom-up; dan 3) mengikutsertakan ibu tani yang berperan sebagai motivator dalam adopsi serta sosialisasi teknologi. Kata kunci: Kelompok tani, kinerja, padi, usaha tani, motivasi

ABSTRACT Farmers group's performance on rice farming system and empowerment's methods There are 17 existing institutions in rice farming systems in which farmer groups play an important role in every stage of farming activities. However, the majority of the groups are considered as beginners, performing very low achievement. The indicators of group’s performance stated by the Minister of Agriculture Act. No. 41/Kpts/ OT.210/1992 is nearly perfect, therefore, its implementation needs serious efforts. Field observations revealed that there are several factors determining the group’s performance, namely the number of group member, structure and assets of group, the status of members in land ownership, the credibility of the group’s leader and the role of supporting institutions. Three methods for the group’s empowerment were aplied namely: 1) socialization of group’s programs starting with introducing each other between the facilitators and farmers followed by explanation about six issues of the program such as what, why, when, who, where, and how, 2) implementing the program through participation and bottom-up approach in every stage of the program, and 3) development of women in the programs to enhance the adoption and socialization of the technologies. Keywords: Farmers association, job performances, rice, farming systems, motivation

P

ermasalahan sosial dalam pengembangan pertanian akhir-akhir ini disadari sebagai faktor yang menentukan keberhasilan adopsi teknologi di tingkat petani. Di antara berbagai permasalahan sosial yang ada, kelembagaan merupakan salah satu faktor yang perlu dicermati untuk mengetahui kelembagaan yang perlu mendapatkan prioritas berkaitan dengan upaya meningkatkan usaha tani khususnya padi. Menurut Yandianto (1997), kelembagaan adalah pola perilaku manusia Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

yang sudah mapan. Lumis (1964) memberikan pengertian yang lebih luas bahwa kelembagaan mengandung dua pengertian, yaitu: 1) hubungan timbal balik atau interaksi yang berulang-ulang dan membentuk reaksi sosial yang persisten; dan 2) suatu kejadian yang mempengaruhi secara nyata tindakan atau cara berpikir suatu individu/masyarakat. Pengertian kelembagaan yang secara operasional mudah dimengerti dan dijumpai di lapang adalah yang dikemukakan oleh Wariso (1998), bahwa kelembagaan dikelompok-

kan ke dalam dua pengertian, yaitu institut dan institusi. Institut menunjuk pada kelembagaan formal, misalnya organisasi, badan, dan yayasan mulai dari tingkat keluarga, rukun keluarga, desa sampai pusat, sedangkan institusi merupakan suatu kumpulan norma-norma atau nilainilai yang mengatur perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Dari pengertian kelembagaan tersebut maka yang dimaksud dengan kelembagaan dalam sistem usaha tani (SUT) adalah kelembagaan formal dan institusi/norma1

norma yang berkaitan dengan semua tahapan kegiatan dalam SUT, mulai dari persiapan lahan sampai pemasaran hasil. Berdasarkan hasil penelitian Alihamsyah et al. (2000); Ananto et al. (2000); Pranaji et al. (2000), terdapat 17 kelembagaan yang ada di tingkat desa yang berkaitan dengan SUT padi. Tujuh belas kelembagaan tersebut adalah: 1. Kelompok tani 2. Kelompok wanita tani 3. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) 4. Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) 5. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) 6. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) 7. Koperasi Tani (Koptan) 8. Koperasi Unit Desa (KUD) 9. Kelompok arisan 10. Kelompok simpan pinjam 11. Kios saprodi 12. Pedagang pengumpul/tengkulak 13. Pasar 14. Jasa angkutan 15. Jasa alsintan 16. Kilang padi 17. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Peran kelembagaan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa ada tiga kelembagaan utama yang diperlukan hampir di setiap kegiatan usaha tani padi, yaitu kelompok tani sebagai pemegang peran terpenting, diikuti oleh PPL dan jasa alsintan. Pentingnya kelompok tani tersebut didukung oleh banyaknya jumlah kelompok tani di Indonesia yang mencapai 254.898 kelompok (Pusat Penyuluhan Pertanian 2001). Jumlah kelembagaan lainnya adalah Koptan 8.498 buah, LSM 525, yayasan 142, dan KTNA 152 buah. Karena banyak dan pentingnya peran kelompok tani maka kinerjanya perlu ditelaah lebih lanjut. Untuk menelaah kinerja kelompok tani dalam memajukan usaha tani padi dilakukan analisis kelembagaan. Menurut Taryoto (1995), analisis kelembagaan dalam bidang pertanian adalah analisis yang ditujukan untuk memperoleh deskripsi mengenai suatu fenomena sosial ekonomi pertanian yang berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi, yang mencakup

dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, dinamika perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku interaksi disertai analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari hasil interaksi. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam analisis kelembagaan, penekanannya terletak pada proses interaksi antara dua individu atau lebih yang mencakup tiga kategori yaitu: 1) aturan-aturan/kesepakatan; 2) kinerja dinamika; dan 3) hasil akhir. Ketiga kategori tersebut digunakan untuk menganalisis eksistensi kelompok tani. Setelah mengetahui kinerja kelompok selanjutnya dikemukakan berbagai temuan program pemberdayaan dalam usaha meningkatkan kinerja kelompok tani. Makalah ini menguraikan kelembagaan yang pengelompokannya mengacu pada Wariso (1998) dikaitkan dengan kegiatan dalam SUT khususnya padi dan dibatasi pada kelembagaan formal, yaitu kelompok tani.

KELOMPOK TANI Tabel 1. Peranan kelembagaan formal dalam kegiatan usaha tani padi. Jenis kegiatan dalam usaha tani padi Penentuan jenis komoditas Penentuan teknologi yang diterapkan Pengadaan benih

Kelembagaan PPL

Kelompok tani

X X

X X

Pemda BPTP

X

KUD, Koptan, Kios KUD, Koptan, Kios KUD, Koptan, Kios Koptan

Pengadaan pupuk

X

Pengadaan pestisida

X

Pengadaan alsintan Waktu pengolahan tanah Pelaksanaan pengolahan tanah Pengairan Waktu persemaian Waktu tanam Pengendalian gulma Penyiangan Panen Perontokan Pengeringan Penyimpanan Pengolahan hasil

X X X

Jumlah

X X X X

6

Jasa alsintan

Lainnya

X P3A

X X X X X

13

X X X X X 6

Sumber: Alihamsyah et al. (2000); Ananto et al. (2000); Pranaji et al. (2000).

2

Kelompok tani dibentuk berdasarkan surat keputusan dan dimaksudkan sebagai wadah komunikasi antarpetani, serta antara petani dengan kelembagaan terkait dalam proses alih teknologi. Surat keputusan tersebut dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan atau tolok ukur untuk memonitor dan mengevaluasi kinerjanya. Kinerja tersebut akan menentukan tingkat kemampuan kelompok.

Indikator Kinerja Kelompok Tani Penilaian kinerja kelompok tani didasarkan pada SK Mentan No. 41/Kpts/OT. 210/ 1992 yang indikatornya seperti tertera pada Tabel 2. Kegiatan penilaian melibatkan kelembagaan terkait dengan prosedur sebagai berikut: 1) penelaahan laporan dan kegiatan lapang; 2) penilaian oleh Tim yang terdiri atas PPL, petugas tingkat desa, kecamatan dan kabupaten; 3) penyerahan hasil penilaian kepada camat, selanjutnya kepada dinas pertanian kabupaten/kota; 4) pengecekan oleh dinas pertanian tingkat propinsi. Berdasarkan nilai yang dimiliki oleh kelompok tani selanjutnya ditentukan jenjang yang Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

Tabel 2. Tolok ukur penentuan tingkat kemampuan kelompok tani (didasarkan pada lima jurus kemampuan kelompok). Jurus kemampuan

Nilai

Kemampuan merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usaha tani (termasuk pascapanen dan analisis usaha tani) dengan menerapkan rekomendasi yang tepat dan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal

300

Kemampuan melaksanakan dan menaati perjanjian dengan pihak lain

100

Kemampuan memupuk modal dan memanfaatkannya secara rasional

100

Kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga antara kelompok dengan KUD

200

Kemampuan menerapkan teknologi dan memanfaatkan informasi serta kerja sama kelompok yang dicerminkan oleh tingkat produktivitas dari usaha tani anggota kelompok

300

Jumlah

1.000

Sumber: Balai Informasi Pertanian Jakarta (1992).

layak disandang oleh kelompok tani yang bersangkutan (Tabel 3). Indikator di atas merupakan hasil penyempurnaan indikator sebelumnya (8 indikator) yang diciptakan oleh Slamet (1987) yaitu: 1) tujuan kelompok; 2) struktur kelompok; 3) fungsi tugas; 4) tekanan pada kelompok; 5) pembinaan kelompok; 6) kekompakan; 7) suasana kelompok; dan 8) efektivitas kelompok. Indikator tersebut di antaranya diaplikasikan oleh Suyatna (1982) untuk melihat kedinamisan kelompok sosial tradisional di Bali, dan menyimpulkan bahwa tekanan pada kelompok merupakan faktor penting bagi keberhasilan kelompok. Utomo et al. (1990) juga menggunakan indikator tersebut untuk mengevaluasi kelompok pengrajin Nusa Indah di Tasikmalaya dan menyimpulkan bahwa homogenitas anggota kelompok memegang peranan sangat penting dalam memajukan kelompok. Kedua temuan ini di samping menunjukkan bervariasinya Tabel 3 . Klasifikasi kelompok tani berdasarkan kemampuannya. Klasifikasi

Jumlah nilai

Pemula Lanjut Madya Utama

250 251 − 500 501 − 750 751 − 1.000

Sumber: Balai Informasi Pertanian Jakarta (1992). Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

faktor penentu dalam dinamika kelompok, juga memperkaya informasi dan melengkapi faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kinerja kelompok.

Kinerja Kelompok Tani Berbagai penelitian tentang kelompok tani telah dilakukan dengan tolok ukur yang berbeda-beda. Perbedaan tolok ukur ini mungkin disebabkan peneliti belum mengetahui tolok ukur yang ada, atau telah mengetahui tetapi tidak mungkin menerapkannya karena berbagai keterbatasan. Faktor lainnya adalah peneliti mempunyai kepentingan tertentu terhadap suatu aspek yang hendak diteliti. Zakiah et al. (2000) telah mengamati dinamika kelompok tani berdasarkan SK Mentan No. 41/Kpts/OT.210/1992 di wilayah Proyek Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (Integrated Swamps Development Project = ISDP). Proyek ini implementasinya dimulai tahun 1994/95 sampai 2000 di Riau, Jambi, Palembang, dan Kalimantan Barat. Disimpulkan oleh Zakiah et al. (2000) bahwa menurunnya dinamika kelompok disebabkan oleh faktor teknis dan faktor sosial. Faktor teknis di antaranya adalah kegagalan panen oleh berbagai sebab seperti serangan hama dan kondisi air, sedangkan faktor sosial yang utama adalah realisasi dari perencanaan yang sudah

disepakati yang selalu tidak bisa ditepati. Faktor sosial lainnya adalah kurangnya kepercayaan anggota terhadap pengurus dalam mengelola modal kelompok, keberadaan petugas yang dapat membina kelompok, dan rendahnya kemampuan untuk menjalin hubungan dengan lembaga lain khususnya dengan koperasi unit desa (KUD). Ditegaskan bahwa hubungan kelompok dengan KUD sangat menentukan dinamika kelompok. Kelompok yang semula sudah mencapai jenjang utama, setelah KUD-nya tidak aktif lagi, dinamikanya menurun (kasus Bunga Raya-Riau), sedangkan kelompok yang KUD-nya aktif, dinamikanya makin tinggi (kasus Jati Baru, Riau). Keberlangsungan kelompok tani Parit Keladi di Pontianak juga karena didukung berbagai faktor penentu yaitu karakteristik lahan yang baik dan kelembagaan yang mendukung (tidak hanya petugas ISDP tetapi juga para isteri petugas yang mendorong ibuibu tani, PPL, lembaga swasta, dan KUD). Penelitian kinerja kelompok yang ditinjau dari delapan tolok ukur yaitu: 1) usia kelompok; 2) keanggotaan; 3) luas areal usaha tani; 4) bidang usaha; 5) kerja sama yang dilakukan dalam kelompok; 6) aset yang dimiliki; 7) hubungan petani dengan kelembagaan disekitarnya; dan 8) persepsi petani terhadap usaha tani telah dilakukan di Jawa Barat (Mayrowani dan Djamal 2001), Jawa Tengah (Saptana et al. 2001), Jawa Timur (Wahyuni dan Hendayana 2001) dan Sumatera Utara (Hartati dan Wahyuni 2001). Tolok ukur utama (5−7) dalam penelitian tersebut pada dasarnya sama dengan tolok ukur SK Mentan No. 41/Kpts/OT.210/1992, sedangkan tolok ukur 1−3 adalah sebagai pelengkap informasi tentang karakteristik kelompok tani. Syam et al. (2000) telah melakukan baseline survai kelompok tani di 13 propinsi di Indonesia dengan tolok ukur yang sebagian mengadopsi Slamet (1987) dan sebagian SK Mentan No. 41/ Kpts/OT.210/1992 sehingga meliputi: 1) usia kelompok; 2) jumlah anggota kelompok; 3) struktur organisasi; 4) hamparan; dan 5) tingkatan kelompok. Temuan penting dari penelitian Syam et al. (2000) adalah bahwa usia kelompok ternyata tidak menjamin kinerja kelompok. Kelompok yang sudah mencapai tingkat madya dan berusia tua dinilai sudah tidak dinamis lagi malahan mengarah ke kelompok yang tidak efektif. Petani juga menyadari kenyataan ini dan melaporkan bahwa umumnya semangat anggota 3

kelompok tidak stabil, pada awalnya sangat bersemangat namun kemudian sedikit demi sedikit menurun. Di Sumatera Utara petani menyatakan bahwa mereka mau berkumpul hanya jika ada insentif (Hartati dan Wahyuni 2001). Jumlah anggota kelompok tani sangat bervariasi dan ada kecenderungan bahwa makin banyak anggota kelompok makin rendah persentase keaktifannya dalam pertemuan kelompok. Disimpulkan bahwa jumlah anggota kelompok yang ideal adalah 30− 40 orang (Wahyuni dan Hendayana 2001). Struktur organisasi kelompok umumnya hanya terdiri atas ketua, sekretaris, dan bendahara, namun di Jawa Timur (Wahyuni dan Hendayana 2001) ada pula kelompok yang mempunyai seksi pemasaran dan permodalan yang ternyata menunjukkan majunya kelompok tersebut. Temuan di Jawa Timur ini didukung oleh Syam et al. (2000) yang melaporkan bahwa struktur kelompok yang hanya terdiri atas ketua, sekretaris, dan bendahara menunjukkan kinerja yang rendah. Syam et al. (2000) serta Wahyuni dan Hendayana (2001) melaporkan bahwa luas lahan kelompok tani bervariasi, namun petani cenderung memiliki status yang sama, yaitu sebagai penyewa atau penggarap. Status tersebut merupakan salah satu penyebab petani sulit untuk mengambil keputusan dalam kegiatan usaha tani, yang akhirnya mempengaruhi keikutsertaannya dalam anggota kelompok tani dan adopsi teknologi. Menurut Wahyuni dan Hendayana (2001), aset kelompok tani yang utama adalah uang, kemudian gudang yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pertemuan kelompok, dan terakhir alsintan. Aset yang dimiliki kelompok merupakan cermin kemajuan kelompok dan berfungsi sebagai faktor pengikat anggota. Namun, untuk mencapai aset yang tinggi diperlukan pengurus yang bisa dipercaya. Menurut Pranaji dan Sumarga (2000), seorang pemimpin kelompok sangat besar pengaruhnya terhadap daya saing kelompok tani. Aset alsintan menempati urutan terakhir karena walaupun kelompok tidak memiliki alsintan, anggota masih bisa meminjamnya dari petani lain yang lebih mampu. Pengetahuan petani umumnya hanya terbatas pada budi daya tanaman karena materi tersebutlah yang paling sering disuluhkan. Penyuluhan/ bimbingan tentang aspek lain seperti pemasaran hasil, agribisnis, dan koperasi sangat diperlukan. 4

Hasil Akhir Eksistensi Kelompok Tani Dari hasil-hasil temuan yang telah dikemukakan diperoleh gambaran bahwa kinerja mayoritas kelompok tani masih rendah dan memerlukan bimbingan. Hal ini disebabkan mayoritas kelompok tani masih pada tingkatan pemula (Tabel 4). Berbagai usaha untuk meningkatkan kinerja kelompok telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan tersebut dapat dipetik suatu pendekatan atau metode pemberdayaan yang mampu mendorong peningkatan kinerja kelompok tani.

PEMBERDAYAAN KELOMPOK TANI Pemberdayaan (empowerment) berarti memberikan motivasi dan dorongan ke-

pada masyarakat/individu untuk menggali potensi yang dimiliki untuk kemudian ditingkatkan kualitasnya agar mampu mandiri (Studio Driya Media 1994). Salah satu metode pemberdayaan untuk memaksimalkan kinerja kelompok tani yang telah dilakukan adalah corporate farming (CF), yaitu suatu program yang menawarkan kerja sama dalam pengelolaan usaha tani agar memberikan hasil maksimal. Pengkajian CF secara khusus diawali dengan sosialisasi program tentang manfaat dan keuntungan mengelola usaha tani secara bersama-sama diikuti dengan kesepakatan oleh petani untuk melaksanakan kegiatan yang akan dilakukan secara berkelompok dan kegiatan yang masih akan dilakukan secara individu. Setelah sosialisasi, terdapat enam kegiatan yang disepakati untuk dilakukan bersama di semua propinsi yaitu: 1) penentuan teknologi yang diperlukan; 2) jenis komoditas yang diusahakan; 3) paket teknologi yang diperlukan; 4) pengadaan saprodi; 5) pengadaan alsintan; dan 6)

Tabel 4. Jumlah kelompok tani di Indonesia berdasarkan tingkatan kelompok. Tingkatan kelompok tani - nelayan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Jumlah

Pemula

Belum punya Jumlah tingkatan

Lanjut

Madya

Utama

3.434 6.044 2.954 5.099 3.047 5.476 2.693 4.971 347 7.814 6.476 56 9.441 1.214 3.859 3.301 2.077 3.444 4.651 3.499 3.475 5.345 1.739 4.390 2.161 1.842

2.564 5.452 2.572 2.135 2.041 5.083 546 5.079 118 14.174 12.951 1.590 11.871 1.115 2.001 583 985 3.556 1.390 1.170 1.406 6.197 3.771 638 101 237

1.116 3.116 858 587 578 3.184 75 1.397 45 9.711 11.936 1.849 3.793 1.265 390 41 147 999 230 292 215 2.253 2.688 62 20 35

153 716 79 48 45 2.021 4 119 5 2.366 4.419 346 395 1.609 61 3 8 244 27 33 7 269 443 0 1 0

304 1.780 69 386 0 238 0 0 23 0 7 0 0 0 0 1.173 347 239 100 0 20 0 0 1.066 0 592

7.571 17.108 6.532 8.255 5.711 16.002 3.318 11.566 538 34.065 35.789 3.841 25.500 5.203 6.311 5.101 3.564 8.482 6.398 4.994 5.123 14.064 8.641 6.156 2.283 2.706

98.849

89.326

46.882

13.421

6.344

254.822

Sumber: Pusat Penyuluhan Pertanian (2001).

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

pengairan (Tim Pokja Teknologi Pusat 2000). Kegiatan yang umumnya masih dilakukan secara individu di semua propinsi adalah: 1) penyemaian; 2) penyiangan; 3) pengeringan; 4) penyimpanan; dan 5) pengolahan hasil. Di Sumatera Utara, petani sepakat melakukan enam kegiatan secara bersama, sedangkan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali, terdapat 11 kegiatan yang telah dilakukan secara bersama-sama. Memperhatikan lebih banyaknya kegiatan yang dilakukan secara bersama dapat disimpulkan bahwa tujuan CF untuk mengelola usaha tani secara bersama pada prinsipnya sudah bisa diterima petani. Kegiatan bersama tersebut berhasil karena diawali dengan sosialisasi program terlebih dahulu. Pemberdayaan kelompok dilakukan pula oleh beberapa peneliti yang terlibat dalam proyek ISDP. Kegiatan pemberdayaan dilakukan karena setelah 3 tahun proyek berjalan, adopsi teknologi masih rendah, padahal tingkat pengetahuan petani tentang teknologi usaha tani cukup baik. Untuk mencari penyebab belum diadopsinya teknologi yang dianjurkan selanjutnya diadakan program aksi (pemberdayaan) sesuai dengan permasalahan dan kondisi masing-masing petani kooperator. Hasilhasil yang telah dicapai selama tahun 1997−1999/2000 pada tujuh kelompok tani dilaporkan oleh beberapa peneliti di antaranya Herawati et al. (2000); Ratna dan Wahyuni (2000); Tamara et al. (2000); Wahyuni dan Sukardja (2000); Wiryawan et al. (2000) . Program pemberdayaan utama yang dilakukan adalah mengikutsertakan para ibu tani dalam penyuluhan teknologi usaha tani. Kegiatan ini dilakukan mengingat ibu tani sangat berperan dalam usaha tani (Herawati et al. 2000), tetapi selama 3 tahun perjalanan proyek, ibu tani tersebut belum dilibatkan langsung dalam usaha-usaha pengenalan teknologi usaha tani. Dengan memberdayakan para ibu tani diharapkan pengetahuan mereka meningkat yang selanjutnya diharapkan dapat memotivasi para bapak tani serta mendidik anak-anaknya untuk menerapkan teknologi yang dianjurkan. Penyuluhan dilakukan melalui kelompok wanita dengan membentuk kelompok ibu tani atau kelompok wanita tani (KWT) pada kelompok yang belum mempunyai KWT. Bagi ibu tani yang sudah mempunyai kelompok, misalnya kelompok arisan atau Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

pengajian, kegiatan kelompok ditambah dengan peningkatan pengetahuan tentang usaha tani. Berikut ini dikemukakan beberapa proses pemberdayaan untuk menunjukkan bervariasinya pendekatan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan pengetahuan ibu tani karena respons mereka yang berbeda. Penyajian proses pemberdayaan dalam tulisan ini mengacu pada pendekatan kualitatif (Casley dan Khumar 1988) yang menekankan pentingnya deskripsi tentang situasi, kejadiankejadian, perilaku, dan kutipan langsung dari kalimat-kalimat yang dipakai dalam berkomunikasi.

Kasus Pemberdayaan KWT di Desa Parit Keladi, Pontianak Kasus pemberdayaan KWT di Desa Parit Keladi berikut ini disarikan dari laporan Wahyuni dan Sukardja (2000). Setelah terbentuknya KWT, ibu-ibu tani selalu mengadakan kegiatan usaha tani secara berkelompok. Kegiatan usaha tani yang mula-mula dilakukan pada MK 1998 adalah berkebun secara berkelompok yang dilakukan di salah satu lahan anggota secara cuma-cuma. Kebun ditanami kangkung, jagung manis, kacang panjang, dan ubi, yang memberikan hasil bersih Rp 300.000 setiap guludan berukuran sekitar 40 m x 4 m (tanpa memperhitungkan biaya tenaga anggota kelompok). Menjelang MH 1998/99, KWT diberikan bimbingan kegiatan usaha tani padi, yang meliputi penanaman dan pemupukan dengan harapan ibu tani mengetahui secara tepat tentang jenis pupuk yang harus diberikan untuk tanaman padi. Setelah diberikan bimbingan, para ibu dievaluasi pengetahuannya dengan mewawancarai mereka secara individu tentang pemahaman mereka mengenai manfaat "tandur jajar". Ternyata persentase ibu tani yang mengetahui manfaat "tandur jajar" dalam meningkatkan produksi padi relatif rendah, hanya 10%. Berdasarkan data ini, usaha peningkatan pengetahuan ditindaklanjuti dengan demonstrasi plot. Semua ibu tani sudah mengenal jenis dan warna pupuk walaupun sebagian besar mereka masih belum mengetahui takaran yang tepat serta manfaatnya. Mengingat memberikan teori saja tanpa praktek dianggap kurang efektif dalam meningkatkan pengetahuan maka disarankan agar mereka mempraktekkan ilmu

yang telah diberikan. Ternyata saran tersebut diterima dan berdasarkan keputusan kelompok, lahan salah satu petani seluas 5 anggar (0,167 ha) disewa dengan harga Rp 50.000. Pada MH 1999/ 2000 lahan tersebut ditanami padi Cisadane yang bibitnya diperoleh dari proyek. Pengolahan lahan dikerjakan oleh kelompok bapak tani dan kegiatan selebihnya dilakukan oleh kelompok wanita tani. Dari kegiatan tersebut diperoleh hasil 800 kg padi (1 ha = 4.790 kg) yang selanjutnya dijual dengan harga Rp 1.500/kg sehingga mereka memperoleh uang Rp 1.200.000. Hasil yang dicapai tersebut (4,79 t/ha) ternyata lebih tinggi dari hasil padi lahan rawa yang maksimal hanya mencapai 3 t/ha. Hasil ini memberikan bukti kepada ibu tani bahwa dengan pemupukan yang sesuai anjuran, produksi padi akan meningkat. Uang hasil penjualan padi tersebut dimasukkan ke dalam kas kelompok yang selanjutnya disimpanpinjamkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan bunga pinjaman 5%/tahun, sampai dengan Maret 2000 KWT Sri Utami mempunyai modal sebesar Rp 2.200.000. Uraian di atas menggambarkan bahwa usaha peningkatan pengetahuan ibu tani kelompok Sri Utami di Parit Keladi ternyata memberikan hasil yang jelas bagi peningkatan kesejahteraan keluarga tani. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh intensifnya bimbingan yang diberikan oleh petugas lapang dan jalinan kerja sama dengan PPL maupun dukungan dari isteri seluruh petugas ISDP yang rajin menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh kelompok. Di samping keberhasilan dari aspek ekonomi, KWT Sri Utami juga mampu mendorong terjadinya difusi teknologi bagi petani, khususnya ibu tani. Difusi terjadi karena ketua kelompok tani Sri Utami berpindah tempat tinggal ke rukun warga (RW) lain. Di tempat yang baru, ketua kelompok tersebut mendirikan kelompok wanita tani pada tanggal 23 Oktober 1999 dengan nama Sri Melati. Di samping kegiatan usaha tani, kelompok Sri Melati juga mempunyai kegiatan industri rumah tangga yaitu pembuatan keripik pisang, minyak kelapa, dan tikar dari daun lontar. Program pemberdayaan yang cukup mengesankan dilakukan pada akhir MH 1998/99 saat harga padi cukup rendah sehingga petani merasa sayang untuk 5

menjual padinya. Namun, petani harus membayar pinjaman saprotan dan upah tenaga kerja untuk membuat guludan. Kelompok Sri Melati sudah berusaha mencari pinjaman uang namun tidak berhasil. Untuk menunjukkan empati, setiap anggota kelompok diberi pinjaman tanpa bunga dan tanpa jaminan sebesar Rp 10.000 yang dibayarkan setelah panen ubi jalar. Dengan kesadaran tinggi ternyata kelompok tersebut mengembalikan pinjaman sejumlah yang mereka pinjam. Kegiatan pemberdayaan di Parit Keladi diakhiri pada TA 1998/99. Untuk menjaga keberlanjutan kelompok, sebelum program aksi berakhir, mereka dibekali Falsafah Kelompok yaitu "Margo Mujur Asih" yang intinya sebagai berikut: "Jika suatu kelompok ingin maju (MA) maka harus berani menanggung risiko (R). Semua kegiatan hendaknya dikerjakan secara gotong royong (GO), musyawarah (MU), jujur (JUR), adil (A), dan bisa ditelesih (SIH) atau ditelusuri". Setelah tidak ada program pemberdayaan, dilakukan komunikasi melalui surat menyurat tentang kegiatan kelompok dan kemajuannya. Dari proses pemberdayaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan yang dilakukan secara partisipatif dan dimulai dari bawah ternyata memberikan hasil secara ekonomis maupun sosial. Secara ekonomis dapat dilihat dari peningkatan pendapatan, sedangkan secara sosial dari peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan spiritual.

Pemberdayaan Kelembagaan di Lambur-II, Jambi Pemberdayaan KWT di Lambur-II dilaporkan oleh Tamara et al. (2000). Tidak seperti di Parit Keladi, KWT di Lambur-II sangat enggan menerima petugas dan peneliti sehingga dilakukan pendekatan khusus dengan memberikan pengertian bahwa mereka adalah hanya sebagian kecil dari petani lahan rawa yang terpilih mendapatkan perhatian dan bantuan pemerintah. Kesempatan ini perlu disyukuri karena masih banyak petani yang sebenarnya memerlukan bantuan tetapi belum terlayani. Kemudian dijelaskan pula di mana saja program ISDP dilakukan. Kesulitan lain dalam introduksi teknologi di Lambur-II adalah sangat bervariasinya kondisi lahan sehingga 6

produksi dan komoditas yang ditanam juga bervariasi. Untuk itu diberikan penjelasan khusus kepada petani tentang teknologi yang dihasilkan oleh ISDP, bahwa sebenarnya teknologi lahan rawa yang diperkenalkan kepada mereka merupakan hasil uji coba selama bertahuntahun dan teknologi tersebut masih memerlukan adaptasi pada kondisi lahan di Lambur-II. Pemberdayaan KWT di Lambur-II berjalan agak tersendat, namun kegiatan kebun kelompok dan industri rumah tangga mampu memberikan sumbangan uang kas kelompok yang berarti sehingga bisa dipakai untuk membuat kios kelompok. Kios dikelola oleh salah satu anggota kelompok dan menunjukkan kemajuan yang pesat. Namun, tiba-tiba pengelola kios tersebut memutuskan untuk mengembalikan modal kelompok dan mengelola kios secara pribadi (Tamara et al. 2000). Anggota kelompok merasa diperdayakan dengan kenyataan ini, dan akhirnya kelompok bubar dan sulit untuk dibina kembali. Usaha peneliti untuk memotivasi mereka dengan melihat aspek positif dari kasus tersebut, jika ada modal, potensi seseorang bisa berkembang, ternyata tidak berhasil. Anggota kelompok yang semula membeli bahan keperluan rumah tangga di kios kelompok beralih ke kios lain sehingga kios yang dikelola anggota kelompok menjadi mundur dan akhirnya bangkrut. Kasus ini memberikan pelajaran kepada petani bahwa kekompakan merupakan modal keberhasilan karena hidup ini saling membutuhkan. Kegagalan dari KWT Lambur-II ini juga disebabkan oleh kurang tegasnya hak dan kewajiban antara pengurus dan anggota. Berdasarkan pengalaman ini, pemberdayaan kelompok di lokasi lain dilakukan dengan memperhatikan masalah administrasi, termasuk buku catatan simpan pinjam serta pembuatan AD-ART. Untuk menghindari masalah-masalah yang terjadi dalam kelompok, mereka diingatkan untuk selalu melaksanakan falsafah kelompok "Margo Mujur Asih" .

mengisi sangat berguna bagi peningkatan kesejahteraan keluarga. Dengan memberikan informasi dan pengarahan dalam pertemuan kelompok ternyata sudah mampu melahirkan KWT Sumber Rejeki. Informasi lain yang diberikan adalah contoh-contoh berkembangnya jasa simpan pinjam dari berbagai KWT yang dimulai dari berbagai kegiatan yang dilakukan secara berkelompok seperti jimpitan dan iuran kelompok. Kegiatan kemudian berkembang sampai anggota tidak perlu membayar iuran tetapi sebaliknya mendapatkan sisa hasil usaha setiap bulan dan setiap tahun. Kerja sama kelompok diwujudkan dalam kegiatan penanaman. Kegiatan tersebut semula dikerjakan dengan mengupah secara individu, namun kemudian dikerjakan oleh KWT secara bergilir dari satu anggota ke anggota lain. Biaya yang seharusnya dibayarkan jika mengupah dimasukkan ke kas kelompok yang selanjutnya disimpanpinjamkan untuk keperluan usaha tani (pembelian saprotan) maupun keperluan lainnya seperti untuk modal pembuatan tempe dan kerajinan dari bambu. Melalui kegiatan semacam ini KWT Sumber Rejeki terus bertambah modalnya hingga mencapai Rp 4.987.250 pada bulan Maret 2000. Kerja sama kelompok juga diwujudkan dalam bentuk pemberantasan hama tikus yang menuntut kekompakan masyarakat sekitar lokasi kooperator, karena sumber sarang tikus berada di lahan desa yang tidak dimanfaatkan (bongkor). Untuk membantu petani mengatasi permasalahan ini, individu dan instansi di tingkat desa yang terkait dengan proyek diundang dalam suatu pertemuan kelompok. Pertemuan ternyata dapat menyelesaikan masalah di mana Kepala Desa membantu menggerakkan masyarakat untuk bergotong royong membuka lahan hutan yang menjadi sarang tikus.

Program Pemberdayaan di Sidomukti, Jambi

Secara komparatif Ratna dan Wahyuni (2000) melakukan pemberdayaan dengan memberikan pinjaman modal kepada kelompok bapak tani maupun wanita tani masing-masing Rp 500.000. Pemanfaatan uang sepenuhnya diserahkan kepada kelompok, sedangkan petugas lapang maupun peneliti hanya bertindak sebagai

Pemberdayaan KWT di Sidomukti menurut Wiryawan et al. (2000) cukup dilakukan dengan memberikan motivasi bahwa kekompakan dan kegotongroyongan, kebersamaan, dan saling

Program Pemberdayaan di Kayu Agung, Palembang

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

fasilitator. Setelah 1 tahun, ternyata kelompok bapak tani tidak mau mengembalikan uang, dengan alasan uang tersebut adalah uang pemerintah dan sudah diserahkan kepada kelompok. Untuk memotivasi petani agar disiplin dalam pengembangan modal diberikan penjelasan bahwa uang yang dipinjamkan kepada mereka adalah pinjaman dari Bank Dunia yang harus dikembalikan. Jika pengembangan modal di tingkat kelompok tersendat maka usaha tani secara umum juga tidak berkembang dan pendapatan nasional juga tidak bertambah baik sehingga pemerintah menemui kesulitan dalam membayar hutang. Dijelaskan kepada petani bahwa proyek ISDP bukan seperti proyek inpres desa tertinggal (IDT) atau jaring pengaman sosial (JPS) yang berupa hibah, tetapi proyek yang mendapat bantuan pinjaman dan berjalan hanya selama 5 tahun. Pengembangan modal kepada KWT nonkooperator berjalan cukup baik. Modal dimanfaatkan untuk pengadaan pupuk karena harga pupuk sangat tinggi serta jarak kios relatif jauh. Pada akhir tahun penelitian, uang pinjaman sebesar Rp 500.000 berkembang menjadi Rp 1.200.000.

Program Pemberdayaan di Kelompok Tani Harapan Jaya, Riau Masalah yang dihadapi oleh petani kooperator di Harapan Jaya adalah terbengkalainya lahan (Herawati et al. 2000) karena sebagian besar petani bekerja di luar pertanian sebagai buruh untuk mendapatkan uang tunai. Menurut pengakuan petani, terbengkalainya lahan disebabkan saluran air yang dibuat oleh petugas pekerjaan umum (PU) terlalu dalam sehingga lahan usaha berada di atas saluran air. Keadaan ini menyulitkan petani dalam mengelola lahan terutama pada musim kemarau, padahal sebelum ada penggalian saluran air, keadaan

usaha tani cukup baik. Pengalaman ini membuat petani ragu atau sulit menerima kedatangan proyek/intervensi pemerintah karena dikhawatirkan akan merusak kondisi yang sudah ada. Memperhatikan keadaan demikian kemudian dilakukan usaha khusus untuk mendekati mereka. Pendekatan diawali dengan perkenalan petugas kemudian dilanjutkan dengan memberikan informasi lain yang dapat meyakinkan petani bahwa ada motivasi kuat dari petugas untuk membantu petani. Proses untuk sampai ke program pemberdayaan agak lambat. Setelah memperkenalkan diri ternyata petugas juga harus mengenal petani lebih akrab. Dirasakan bahwa mengenal petani dengan menyebut namanya dapat mempercepat keakraban. Memperhatikan hal tersebut, dalam acara perkenalan dengan anggota kelompok, setiap anggota diminta menyebutkan namanya, statusnya dalam kelompok tani atau kelembagaan desa dan menceritakan secara singkat pengalamannya berkaitan dengan usaha tani. Pada pertemuan selanjutnya mereka diminta menuliskan namanya pada kertas yang telah disediakan. Bagi yang belum bisa menulis dibantu oleh petugas. Cara ini ternyata membuat peneliti lebih mudah mengingat nama-nama petani dan petani menampakkan respons keakraban. Di samping itu, petani merasa perlu mendapatkan informasi atau pengetahuan lain selain tentang usaha tani. Program pemberdayaan lainnya adalah mengalirkan air sampai ke lahan usaha dengan melibatkan LSM dan PU, sehingga dalam waktu 4 bulan setelah kontak pertama, pembuatan tabat berhasil direalisasikan. Selain itu, untuk mengatasi lahan bongkor, ibu-ibu tani dimotivasi melalui penjelasan bahwa lahan tersebut merupakan sumber hama dan usaha tani mereka akan sia-sia jika lahan tersebut dibiarkan tidur (bongkor). Mereka menyadari hal tersebut dan berhasil menyadarkan para suaminya sehingga 60% dari total lahan bongkor dapat tergarap pada MH 1998/99. Bersamaan

dengan pembukaan lahan, ibu-ibu tani dibimbing mengenai cara budi daya tanaman sesuai dengan komoditas yang diusahakan dan dilatih tentang pengamatan hama terpadu. Keberlanjutan usaha tani di Harapan Jaya ternyata sulit dipertahankan antara lain karena kurang intensifnya binaan yang diberikan, kesempatan bekerja di luar pertanian yang cukup menggiurkan misalnya penggalian pasir secara bebas, adanya proyek pembuatan jalan, atau sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kelompok tani mempunyai peranan penting dalam pengembangan usaha tani, namun 40% kelompok tani masih berada pada tingkatan pemula. Faktor yang mempengaruhi kinerja kelompok di antaranya adalah jumlah anggota, struktur dan aset kelompok, status anggota kelompok dalam pemilikan lahan, kredibilitas pengurus, dan kelembagaan penunjang. Untuk meningkatkan kinerja kelompok tani perlu dilakukan pemberdayaan yang diawali dengan perkenalan antara petugas/peneliti dan petani; serta sosialisasi program yang menjawab enam pertanyaan yaitu apa, mengapa, siapa, di mana, kapan, dan bagaimana. Keberhasilan pemberdayaan dapat dicapai jika dilakukan mulai dari bawah. Bersifat partisipatif, serta mengikutsertakan wanita tani. Untuk meningkatkan usaha tani padi maka kinerja kelompok tani perlu ditingkatkan dengan memperhatikan hal-hal berikut: jumlah anggota maksimal 30, struktur kelompok dilengkapi dengan seksi pemasaran dan permodalan, memperhatikan status anggota kelompok dalam pemilikan lahan, memilih ketua kelompok yang solid, serta menjalin kerja sama aktif dengan lembaga penunjang.

DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi, S. Wahyuni, E. Suhartatik, Astanto, F. Tangkuman, K. Nugroho, dan N. Sutrisna. 2000. Karakterisasi Wilayah PengembangJurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003

an ISDP Propinsi Jambi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 127 hlm.

Ananto, E.E., Astanto, Sutrisno, dan R. Tahir. 2000. Prospek pengembangan alat mesin pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 7 hlm.

7

Balai Informasi Pertanian Jakarta. 1992. Petunjuk pelaksanaan penilaian tingkat kemampuan kelompok tani. Departemen Pertanian, Jakarta. 12 hlm. Casley, D.J. and K. Khumar. 1988. The Collection, Analysis and Use of ME Data. John Hopkins University Press, Baltimore, London. 174 pp. Hartati, S. dan S. Wahyuni. 2001. Laporan pengkajian kinerja dan arah pengembangan BPP di Sumatera Utara. Badan Urusan Ketahanan Pangan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 21 hlm. Herawati, T., Suwalan, S. Haryono, dan S. Wahyuni. 2000. Peranan wanita tani dalam usaha tani keluarga di lahan rawa pasang surut. Dalam Prosiding Seminar Nasional Lahan Rawa, Cipayung 25−27 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Buku 2: hlm. 247−258. Lumis, C.P. 1964. Social Systems. Essay on Their Persistence and Change. Van Nostrand Company, London. p. 369. Mayrowani, H. dan E. Djamal. 2001. Laporan pengkajian kinerja dan arah pengembangan BPP di Jawa Barat. Badan Urusan Ketahanan Pangan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 8 hlm. Pranaji, T. dan A. Sumarga. 2000. Pengembangan kelompok tani sebagai basis ekonomi pertanian. Laporan kemajuan dan bahan diskusi terbatas di Balai Latihan Pertanian, Denpasar-Bali, 22 November 2000. 12 hlm. Pranaji, T., S. Wahyuni, E.L. Hastuti, J. Situmorang, A. Setyanto, dan C. Muslim. 2000. Perekayasaan Sosiobudaya dalam Percepatan Transformasi Masyarakat Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 154 hlm. Pusat Penyuluhan Pertanian. 2001. Laporan. Tahunan. Departemen Pertanian, Jakarta. 6 hlm.

8

Ratna, D. dan S. Wahyuni. 2000. Pemberdayaan kelompok wanita tani dalam difusi dan adopsi teknologi SUT Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 11 hlm.

Tim Pokja Teknologi Pusat. 2000. Pengkajian Corporate Farming di 7 Propinsi. Laporan Sintesa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 221 hlm.

Saptana, M. Iwan, dan Siswanto. 2001. Laporan pengkajian kinerja dan arah pengembangan BPP di Jawa Timur. Badan Urusan Ketahanan Pangan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 23 hlm.

Utomo, B.S., D.R. Sugiarto, A. Sudelie, dan M. Mardiharini. 1990. Evaluasi hasil pembinaan kelompok pengrajin oleh Yayasan Pekerti. Kasus KSP Nusa Indah. Project Working Paper Series Pusat Studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor (No. A1). 23 hlm.

Slamet, M. 1987. Dinamika Kelompok. Fakultas Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor, Bogor. 123 hlm. Studio Driya Media. 1994. Berbuat Bersama Berperan Setara. Pengkajian dan Perencanaan Program Bersama Masyarakat. Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Studio Driya Media. hlm. 247. Suyatna, IG. 1982. Ciri-ciri Kedinamisan Kelompok Sosial Tradisional di Bali dan Pengaruhnya dalam Pembangunan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 165. Syam, A., M. Syukur, N. Ilham, dan Sumedi. 2000. Baseline survai program pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 1−12. Tamara, E., G. Wiryawan, Suwalan, S. Wahyuni, Jumakir, dan U. Kusnadi. 2000. Pemberdayaan kelompok tani di Lambur-II, Jambi. Prosiding Seminar Nasional Lahan Rawa, Cipayung 25−27 Juli. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 145−151. Taryoto, A.H. 1995. Analisis kelembagaan dalam penelitian sosial ekonomi pertanian. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 1−41.

Wahyuni, S. dan M. Sukardja. 2000. Kelembagaan penunjang "Acquisition System" teknologi sistem usaha tani pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Lahan Rawa. Cipayung 25−27 Juli. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 392−402. Wahyuni , S. dan R. Hendayana. 2001. Laporan Pengkajian Kinerja dan Arah Pengembangan BPP di Jawa Timur. Badan Urusan Ketahanan Pangan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 40 hlm. Wariso, R.M. 1998. Penelitian pemberdayaan kerja sama kelembagaan. Integrated Swamp Development Project, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 7 hlm. Wiryawan, IG., H. Supriadi, S. Wahyuni, E. Tamara, dan S. Suwalan. 2000. Analisis dan rekayasa kelembagaan penunjang pengembangan teknologi usaha tani pasang surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 1−12. Yandianto. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. M25, Bandung. hlm. 314. Zakiah, E.E. Ananto, dan D.E. Sianturi. 2000. Laporan Tahunan 1999/2000. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 1−15.

Jurnal Litbang Pertanian, 22(1), 2003