KONDISI EKOLOGI DAN POTENSI EKOWISATA DI KAWASAN AIR TERJUN TIMBULUN, NAGARI SUNGAI NANAM, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT
RIRI ENGGRAINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kondisi Ekologi dan Potensi Ekowisata di Kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013
Riri Enggraini NIM C251110
RINGKASAN RIRI ENGGRAINI. Kondisi Ekologi dan Potensi Ekowisata di Kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan MAJARIANA KRISANTI. Kawasan Air Terjun Timbulun adalah kawasan yang indah dengan aliran sungainya merupakan sebagai salah satu sumberdaya perairan di Nagari Sungai Nanam. Sumberdaya ini memiliki nilai yang sangat penting bagi masyarakat di sekitar kawasan, seperti untuk air minum dan kawasan wisata air. Adanya aktivitas manusia di sekitar kawasan, seperti aktivitas pertanian, dan kegiatan wisata yang tidak terkendali dikhawatirkan dapat mengakibatkan degradasi terhadap lingkungan kawasan Air Terjun Timbulun. Wisata sebagai salah satu aktivitas perekonomian yang berkembang dengan cepat, menyebabkan adanya perkembangan sektor lain sebagai pendukung kegiatan, yang kemudian dapat berdampak negatif terhadap kawasan, seperti transportasi dan penginapan, sehingga perlu adanya pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi ekologi sumberdaya perairan berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologi perairan serta menentukan potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun. Pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan dilakukan di 3 stasiun dari Februari 2013 hingga Maret 2013. Analisis utama yang dilakukan adalah analisis ekologi kawasan Air Terjun Timbulun dan pembuatan matriks potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Air Terjun Timbulun memiliki kondisi ekologi lingkungan perairan yang masih sangat alami dan belum mendapat gangguan dan pencemaran dari aktivitas manusia. Berdasarkan hasil kajian ekologi yang dilakukan maka diperoleh 11 komponen lingkungan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek dalam aktivitas ekowisata di kawasan Air Terjun Timbulun yaitu ketinggian air terjun, luas kolam air terjun, pemandangan alam, keberadaan burung dan ikan, luas hamparan daratan, tutupan vegetasi, arus dan warna air. Nilai potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun adalah 77,77% atau berpotensi untuk pengembangan kawasan ekowisata. Dalam pengembangan potensi ekowisata di dalam kawasan harus memperhatikan kondisi ekologis terutama beberapa parameter kunci dalam ekosistem seperti suhu, DO dan BOD sehingga pengelolaan dan pemanfaatan potensi kawasan, khususnya untuk aktivitas ekowisata dapat lestari dan berkelanjutan. Kata kunci: Air Terjun, Ekologi, Ekowisata, Potensi, Timbulun
SUMMARY RIRI ENGGRAINI. Ecological Condition and Ecotourism Potency at Timbulun Waterfall area, Sungai Nanam Village, Solok District, West Sumatera. Supervised by FREDINAN YULIANDA and MAJARIANA KRISANTI. Timbulun Waterfall area is a beautiful place with the stream current as one aquatic resource at Sungai Nanam Village. These resources have an important value for community in area, such as drinking water and tourism. However, human activities around the area, such as agriculture and tourism activities are not control will effect for degradation in Timbulun Waterfall area. Tourism is one the economic activities that increase fast. This condition causes development of other sector that gives negative effect at area, such as transportation development and home stay. Therefore, management is a must. This study was carried out to asses the resources quality condition based on variable of physic, chemical, and biochemical aquatic. Observation of environmental variable came from 3 stations during February 2013 to March 2013. The Analysis was done mainly ecological analysis in Timbulun Waterfall area and potential matrix of ecotourism area in Timbulun Waterfall. This result of study shows that Timbulun Waterfall area has ecological aquatic environmental condition is very natural and not yet disturbance and pollution from human activities. Based on ecological analysis shows that there are 11 potential of environmental component to development as object in ecotourism activities in Timbulun Waterfall area, such as waterfall height, waterfall pool, natural scenery, bird and fish existance, topography, vegetation coverage, current and water color. Potential value of ecotourism in Timbulun Waterfall area is 77.77% or has potential for ecotourism development. Development potential of ecotourism area must be based ecological condition, especially to key parameter in ecosystem, such as temperature, oxygen demand, and biochemical oxygen demand. Therefore, management and utilization potential area, especially for ecotourism activities can be continuing. Keywords: Ecology, Ecotourism, Potency, Timbulun, Waterfall,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONDISI EKOLOGI DAN POTENSI EKOWISATA DI KAWASAN AIR TERJUN TIMBULUN, NAGARI SUNGAI NANAM, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT
RIRI ENGGRAINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc
Judul : Kondisi Ekologi dan Potensi Ekowisata di Kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat Nama: Riri Enggraini NIM : C25111 0261
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
\
Dr.'Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua
Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Petaitan
YJ:Jfcl:H~IiiKL'lan
Pascasarjana
.-/'
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Tanggal Ujian: 26 Juli 2013
Tanggal Lulus:
0 4 SEP 2013
Judul : Kondisi Ekologi dan Potensi Ekowisata di Kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat Nama : Riri Enggraini NIM : C251110261
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua
Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian: 26 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Kondisi Ekologi dan Potensi Ekowisata di Kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Sumatera Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Ibu Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku penguji tamu. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman yang telah membantu terlaksananya penelitian ini selama di lapang dan teman-teman SDP 2011 yang telah memberikan semangat dan dukungannya hingga penelitian ini dapat terlaksana. Serta Ibu Siti, Ibu Anna, dan Ibu Wulan yang telah membantu selama analisis laboratorium. Terima kasih banyak juga penulis sampaikan kepada tim yang membantu aktifitas pengambilan data di lapangan penelitian (Suriya, Rici, Ayin, Angga, Hendro dan Buya). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik-adikku tercinta, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013 Riri Enggraini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................... DAFTAR GAMBAR .......................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... 1 PENDAHULUAN ...................................................................... Latar Belakang ............................................................................ Perumusan Masalah .................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................ Manfaat Penelitian ...................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. Ekosistem Sungai dan Air Terjun............................................... Parameter Fisik Perairan ............................................................ Parameter Kimia Perairan .......................................................... Parameter Biologi Perairan ........................................................ Ekowisata Perairan ..................................................................... Pengelolaan Berkelanjutan ......................................................... 3 METODE PENELITIAN ......................................................... Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................... Rancangan Penelitian ................................................................. Prosedur Pengamatan ................................................................. Pengambilan sampel parameter lingkungan perairan ......... Analisis Data ............................................................................... Analisis kondisi ekologis kawasan Air Terjun Timbulun .... Analisis potensi kawasan untuk ekowisata .......................... 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. Kondisi Umum Kawasan Penelitian .......................................... Analisis Ekologi Kawasan Air Terjun Timbulun ...................... Parameter fisika ..................................................................... Parameter kimia ..................................................................... Parameter biologi .................................................................. Analisis Ekowisata Kawasan Air Terjun Timbulun .................. Strategi Pengelolaan Kawasan Air Terjun Timbulun .............. 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ Kesimpulan .................................................................................. Saran ............................................................................................ DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................
vi vi v 1 1 1 3 2 3 3 4 5 6 8 9 9 9 10 11 11 14 14 15 16 16 18 18 22 23 29 34 39 39 39 40 46
DAFTAR TABEL
1
Parameter fisik perairan ..................................................................
11
2
Parameter kimia perairan ...............................................................
12
3
Parameter biologi perairan .............................................................
14
4
Posisi georafis stasiun penelitian ...................................................
17
5
Nilai rata-rata parameter fisika kawasan Air Terjun Timbulun .............................................................................
18
Nilai rata-rata parameter kimia kawasan Air Terjun Timbulun .............................................................................
22
7
Kelimpahan perifiton di kawasan Air Terjun Timbulun ..............
24
8
Indeks Keanekaragaman (H) dan Keseragaman (E) perifiton .....
25
9
Kepadatan serangga air di kawasan Air Terjun Timbulun ...........
26
10 Potensi kawasan yang dapat dikembangkan untuk aktivitas wisata di kawasan Air Terjun Timbulun .......................................
29
11 Matriks potensi ekowisata Air Terjun Timbulun ..........................
30
6
DAFTAR GAMBAR 1
Skema perumusan masalah parameter dan potensi kawasan sumberdaya Air Terjun Timbulun untuk pengembangan ekowisata .....................................................
2
2
Peta lokasi penelitian .......................................................................
9
3
Kondisi stasiun penelitian kawasan Air Terjun Timbulun ..........
17
4
Perbedaan kondisi Air Terjun Timbulun pada kondisi hujan dan kondisi setelah 2 minggu tidak hujan ............................
20
5
Persen (%) Kepadatan serangga air ................................................
27
6
Jenis-jenis ikan yang ditemukan di kawasan Air Terjun Timbulun ........................................................................
28
7
Kondisi vegetasi di sepanjang aliran sungai ..................................
32
8
Substrat batuan besar dan kerikil di perairan sungai dan air terjun .........................................................................
33
Pemandangan di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun ...............
33
9
10 Usulan Rencana tapak kawasan wisata Air Terjun Timbulun ......
35
11 Perencanaan desain pengembangan ekowisata di stasiun 2 dan 3 ................................................................................................
38
DAFTAR LAMPIRAN
1
Pertanyaan-pertanyaan kuisioner ...................................................
46
2
Foto hamparan daratan di kawasan Air Terjun Timbulun ............
47
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Kawasan Air Terjun Timbulun merupakan salah satu sumberdaya perairan di Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, yang memiliki potensi sebagai kawasan ekowisata baik dari segi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Kawasan ini memiliki karakteristik yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, karena kondisi perairan dan lingkungan sekitar masih sangat alami. Selain itu panorama pedesaan dan jalan lingkar bukit menuju kawasan air terjun yang cocok untuk pejalan kaki menambah keeksotisan kawasan ini. Secara ekologi, kawasan Air Terjun Timbulun merupakan habitat bagi berbagai flora dan fauna, dan berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Akan tetapi, berkembangnya kegiatan masyarakat di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun berupa kegiatan pertanian dan aktivitas wisata mengakibatkan adanya degradasi lingkungan di sekitar kawasan air terjun. Kegiatan tersebut seperti adanya penggundulan hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan aktivitas para pengunjung yang berpengaruh negatif terhadap kealamiahan kawasan air terjun dan lingkungannya. Apabila tidak dilakukan pengelolaan terhadap perkembangan kegiatan-kegiatan tersebut maka akan terjadi permasalahan yang serius terhadap kawasan Air Terjun Timbulun dan lingkungannya, yaitu hilangnya potensi sumberdaya perairan yang seharusnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, salah satunya yaitu potensi ekowisata. Ekowisata merupakan suatu kegiatan yang biasanya digunakan untuk mempelajari tentang biodiversitas, konservasi, dan ekologi (Zambrano et al. 2010). Ekowisata adalah salah satu strategi yang ideal untuk mencapai keseimbangan pengelolaan antara ekologi dan ekonomi di suatu kawasan (Bookbinder et al. 1998). Informasi terkait kondisi ekologi kawasan serta potensi ekowisata dari kawasan Air Terjun Timbulun masih sangat minim. Hal ini menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan secara bijaksana berdasarkan prinsipprinsip ekologi, sehingga pemanfaatan potensi kawasan dapat lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diperlukan adanya suatu kegiatan penelitian tentang kondisi ekologi lingkungan perairan kawasan Air Terjun Timbulun, yang kemudian digunakan untuk mengkaji potensi ekowisata kawasan, sehingga pengelolaan aktivitas wisata yang dilakukan tetap memperhatikan keseimbangan kondisi ekologi kawasannya. Perumusan Masalah Pengembangan kawasan ekowisata di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan aktivitas antropogenik di sekitar perairan tersebut. Faktor lingkungan berupa parameter fisika, kimia, dan biologi perairan sangat berpengaruh terhadap keberadaan biota, vegetasi, serta kondisi lingkungan yang menjadi daya tarik kegiatan ekowisata. Kondisi kualitas perairan juga sangat
2
berpengaruh terhadap kemampuan pulih diri suatu lingkungan akibat adanya pengaruh dari luar, seperti adanya pencemaran karena adanya aktivitas antropogenik, sehingga akan berpengaruh kepada daya dukung ekowisata kawasan tersebut dalam menerima jumlah pengunjung dan menjadi pembatas bagi kegiatan pengunjung di sekitar kawasan wisata. Faktor biofisik yang mempengaruhi daya dukung lingkungan bukan hanya faktor alamiah, melainkan juga faktor yang berasal dari kegiatan manusia atau aktivitas antropogenik. Suatu kawasan ekowisata sangat rentan terhadap penurunan kualitas lingkungan karena adanya campur tangan manusia, baik sebagai pengunjung maupun sebagai pengelola. Untuk itu, dibutuhkan kelengkapan data-data parameter lingkungan sehingga dapat dianalisis potensi kawasan Air Terjun Timbulun sebagai kawasan ekowisata. Selanjutnya dapat disusun strategi pengelolaan kawasan Air Terjun Timbulun (Gambar 1).
Gambar 1 Skema perumusan masalah parameter dan potensi kawsan sumberdaya Air Terjun Timbulun untuk pengembangan ekowisata
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi ekologi dan potensi ekowisata di kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, untuk pembuatan rancangan pengelolaan dan pengembangan kawasan.
3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi sumberdaya perairan Air Terjun Timbulun, serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya perairan Air Terjun Timbulun untuk kegiatan ekowisata di Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. .
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Sungai dan Air Terjun Sungai merupakan perairan sistem terbuka, dengan tipologi perairan yang mengikuti mekanisme aliran berdasarkan prinsip gravitasi yaitu alian satu arah (unidirectional). Massa air mengalir ke satu arah tertentu (Pratiwi et al. 2009). Ekosistem sungai merupakan interaksi secara alami berupa proses-proses ekologis antara materi sungai (air, ikan, dan kehidupan liar lainnya) dan jasa (transportasi, kekuatan air, kesuburan perairan) yang diperlukan oleh manusia. Air terjun adalah bagian yang curam dari batuan sungai dengan kemiringan antara 4 hingga 25%. Umumnya terdapat kolam dan aliran air yang jatuh, serta bebatuan di sekitarnya (Hauer dan Lamberti 2007). Air terjun dapat dibagi menjadi dua yaitu air terjun alami dan buatan. Air terjun alami biasanya terbentuk di daerah pegunungan karena memiliki tingkat erosi yang cepat. Proses terbentuknya membutuhkan waktu yang sangat lama. Setelah bertahun-tahun tebing lereng pegunungan berangsur-angsur terkikis dan akan membentuk jurang. Tebing lereng yang terkikis akan ikut terjatuh bersama aliran air, sehingga di bawah air terjun banyak ditemukan bebatuan kecil maupun besar. Jatuhnya bebatuan bersama aliran air ini juga yang mengakibatkan terbentuknya kolam di bawah air terjun karena adanya tubrukan antara batu-batu yang jatuh. Lingkungan air tawar yang mengalir dinamakan lotik, dengan tipe aliran unidirectional (satu arah), dimana perpindahan air terjadi karena adanya perbedaan ketinggian (kemiringan) dan adanya gravitasi. Erosi memindahkan sejumlah besar bahan terlarut dan tersuspensi dari daratan ke lautan. Sungaisungai kecil beberapa mengalir ke danau, dan terkadang masuk melalui sungai yang lebih besar. Kondisi hidrologi, kimia, dan karakteristik biologi sungai dipengaruhi oleh iklim, geologi, dan tutupan vegetasi di sepanjang perairan. Panas perairan/suhu perairan juga dipengaruhi oleh input, badan air, dan output. Input panas berasal dari radiasi cahaya matahari, presipitasi, dan dari air tanah. Selain itu volume air juga akan berpengaruh terhadap suhu perairan (Wetzel 2001). Aktivitas manusia yang semakin meningkat dan tuntutan akan kebutuhan hidup yang semakin tinggi akan berpengaruh terhadap keseimbangan dinamik ekosistem sungai. Peningkatan aktivitas ini termasuk pemanfaat ekosistem sungai untuk berbagai keperluan, seperti kegiatan pariwisata, domestik, kebutuhan air untuk industri, irigasi pertanian, dan transportasi (Karim 2004). Ekosistem sungai
4
sangat rentan terhadap pengaruh perubahan fisik, kimia dan bakteri. Perubahanperubahan ini penting dalam perencanaan kawasan yang berpengaruh kepada kesehatan manusia yang bertempat tinggal di sekitar atau sepanjang sungai (Niewolak 1999). Fragmentasi habitat, perubahan kondisi ekologis, dan hilangnya biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan permasalahan lingkungan yang umum terjadi saat ini (Dale dan Bayeler 2001). Monitoring kualitas air sungai penting dalam perencanaan kawasan untuk suatu pemanfaatan atau perbaikan lingkungan perairan. Permasalahan di sekitar sungai di antaranya erosi yang disebabkan oleh adanya kegiatan pertanian, pengambilan kayu, kebakaran hutan, dan sebagainya (Abdul et al. 2009). Kesehatan suatu perairan adalah gambaran dari integritas parameter fisika, kimia, dan biologi perairan tersebut (Butcher et al. 2003).
Parameter Fisik Perairan Parameter fisika yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air pada perairan mengalir adalah suhu, arus, debit, kedalaman, substrat, lebar sungai, dan lebar badan sungai. Kawasan sungai sangat rentan adanya erosi lahan, yang diakibatkan oleh: jumlah dan pola air terjun, kemiringan lahan, tingkat pengurangan vegetasi, tipe tanah, dan pengaruh perubahan iklim (Bartram dan Ballance 1996). Suhu merupakan variabel lingkungan yang sangat penting, tidak hanya musiman, tetapi juga fluktuasi harian, karena pada perairan tipikal dangkal suhu mudah dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan pendinginan pada malam hari, serta karena pengaruh angin (Williams 2006). Suhu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Effendi 2003). Selain itu suhu juga mempengaruhi perpindahan molekul, dinamika air, saturasi oksigen terlarut, laju metabolisme organisme, dan beberapa faktor lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan di perairan (Hauer dan Lamberti 2007). Kecepatan aliran sungai tidak tetap, kecepatan aliran bergantung pada kemiringan lahan dan pasokan airnya. Pada musim hujan aliran air lebih cepat daripada musim kemarau. Kecepatan aliran bervariasi antara 0-800 cm/detik, pada umumnya kecepatan aliran adalah kurang dari 300 cm/detik). Karena tingkat kecepatan aliran air sungai tidak tetap, substrat dasar sungai akan bervariasi, mulai dari berbatu hingga berlumpur (Pratiwi et al. 2009). Secara umum keberadaan vertikal mixing di dalam sungai mengakibatkan terjadinya arus dan percampuran air (Chapman 1996). Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi atau mengangkut bahan pencemar. Salah satu yang paling penting dari suatu proses geologi adalah kemampuan air untuk mengangkut material. Kemampuan air ini dinamakan debit air, debit air memiliki pengaruh yang signifikan terhadap distribusi flora dan fauna di perairan mengalir. Kemampuan aliran air suatu perairan juga bergantung pada kemiringan lahan (Gor 1996 in Hauer dan Lamberti 2007). Debit air dinyatakan sebagai volume yang mengalir pada selang waktu tertentu, dengan meningkatnya debit
5
maka kadar bahan-bahan alam yang terlarut ke suatu badan air akibat erosi meningkat secara eksponensial (Effendi 2003). Pada perairan mengalir ukuran dan tipe dari partikel substrat dasar, menjadi tempat perlindungan bagi biota-biota pada saat musim basah dan musim panas (Boulton 1989 in Williams 2006 ).
Parameter Kimia Perairan Parameter kimia yang dianalisis untuk menilai kondisi perairan di hulu sungai adalah oksigen terlarut (DO), BOD, dan pH. Keberadaan oksigen (DO) terlarut di perairan berkaitan dengan variabel lingkungan lain seperti intensitas cahaya matahari, suhu air, angin, dan arus (Lee dan Joseph 1995). Kadar oksigen terlarut di perairan mungkin berfluktuasi karena adanya aktivitas fotosintesis dan respirasi (Williams 2006). Whitney (1942) in Williams (2006) menemukan bahwa kadar oksigen terlarut mencapai maksimum menjelang atau sebelum gelap, dan ketika aktivitas fotosintesis berhenti kemudian digantikan oleh respirasi. Menurut Eriksen (1966), kekeruhan (turbidity) bisa menyebabkan stratifikasi beberapa parameter perairan, material yang tersuspensi akan membatasi kedalaman penetrasi cahaya matahari, ini akan membatasi aktivitas fotosintesis. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand/BOD) merupakan gambaran secara tidak langsung kadar bahan organik menjadi karbondioksida dan air, dan diukur pada suhu 20 0C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya. Kualitas suatu perairan secara kimia dipengaruhi oleh kondisi ekologi setempat, iklim, dan jarak dari laut (Chapman 1996). pH merupakan parameter yang penting di perairan, pada saat aktivitas fitoplankton di perairan meningkat, maka pH akan meningkat dan jumlah ion H+ berkurang (Ueda et al. 2000). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan. Perairan tawar alami memiliki nilai pH sekitar 7-8 (Effendi 2003). Nilai pH untuk air minum yang tidak akan memberikan pengaruh adalah 6-9 (WRC 2003 in Abdul 2009). Nilai pH tidak berpengaruh pada estetika atau nilai keindahan, tapi apabila untuk air minum akan berpengaruh kepada kesehatan manusia (Abdul 2009). Produktivitas perairan tawar secara umum dibatasi oleh keberadaan unsur P (fosfor), peningkatan unsur P di perairan berasal dari sumber internal hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme, dan sumber eksternal berasal dari luar perairan, sedangkan penurunan kadar P karena dimanfaatkan oleh fitoplankton dan organisme autotrof lainnya untuk tumbuh (Kopacek et al. 2000). Keberhasilan pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya, suhu yang mendukung, serta nutrien, salah satunya adalah keberadaan unsur P. Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas di biosfer. Nitrogen merupakan elemen utama yang membentuk kira-kira 10% dari berat panas cyanobacteria. Dibawah kondisi standar cyanobacteria menggunakan amonium, nitrat, amonia, dan asam amino untuk memenuhi kebutuhan nitrogen mereka (Pessarakli 2005). Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba jamur.
6
Amonia bebas (NH3 ) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut (Effendi 2003). Nitrit (NO2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat, dan antara nitrat dengan gas nitrogen. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan domestik. Kadar nitrit di perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Parameter Biologi Perairan Kondisi dinamika fisik perairan sungai mempengaruhi kondisi komunitas biologis biota sungai (Vannote et al. 1980 in Kohler et al. 2002). Komunitas biotik di gradien yang berbeda digunakan untuk melihat variabel lingkungan perairan terutama kimia air, komunitas biologi juga digunakan untuk melihat perbedaan tipe air. Monitoring secara biologi sangat berguna karena terdapat intergrasi langsung dengan alam (Soininen 2002). Alga hijau (green algae) biasanya banyak terdapat di daerah sungai yang dangkal, sedangkan di sungai yang lebih dalam didominasi oleh diatom (Kohler et al. 2002). Perifiton secara umum terdapat di semua permukaan sungai baik di hulu maupun di hilir, keberadaan perifiton sangat penting dalam proses produktivitas sistem perairan mengalir (Allan 1995 in Pizarro dan Vinocur 2000). Kedalaman sungai dan intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air akan mempengaruhi laju pertumbuhan fitoplankton selain keberadaan nutrien perairan (Reynolds et al. 1991 in Kohler et al. 2002). Perkembangan biomassa fitoplankton di sungai rendah karena adanya faktor pembatas yaitu arus air (Bellinger 2010). Selain fitoplankton, indikator biologis yang banyak digunakan di perairan sungai adalah makroavertebrata, ikan, alga, dan makrofita (Growns et al. 1995 in Burns dan Ryder 2001). Makrofita memiliki peran penting dalam stuktur dan fungsi ekosistem air tawar (Baattrup-Pedersen dan Riis 1999). Sebagai produsen primer makrofita berperan dalam siklus dan transfor mineral, menunjukkan hubungan antara sedimen, air, dan juga atmosfer (Cronin et al. 2006 in Vymazal 2008). Alga memiliki respon terhadap bahan pencemar dan beberapa digunakan sebagai sistem peringatan awal, karena alga memiliki kemampuan monitoring biologi berdasarkan informasi struktural dan fungsional (Burns dan Ryder 2001). Beberapa jenis vegetasi di tepian perairan juga mempengaruhi struktur komunitas avertebrata di sungai intermitten (Williams 2006). Serangga air merupakan salah satu biota yang dijadikan indikator bagi perairan mengalir (berarus). Beberapa jenis serangga air dijadikan sebagai indikator bagi perairan bersih, seperti keberadaan larva ulat kantung air, nimfa lalat sehari penggali, kepik pinggan, nimfa lalat sehari insang bercabang, nimfa lalat sehari pipih, dan nimfa lalat batu. Umunnya biota-biota ini banyak dijumpai di perairan hulu yang berarus deras dengan kandungan oksigen yang tinggi (Pratiwi et al. 2009). Suhu air berpengaruh terhadap banyaknya jumlah serangga
7
air untuk setiap spesies, karena setiap spesies memiliki toleransi atau rentang suhu tertentu untuk dapat hidup. Hal ini juga dikarenakan perbedaan fisiologis biota baik pernafasan maupun metabolisme (Thani dan Phalaraksh 2008). Ikan merupakan sumberdaya perairan yang sangat penting baik secara ekologi, maupun secara ekonomi. Perubahan lingkungan perairan dikarenakan adanya pengaruh dari luar akan mempengaruhi kondisi dan kelimpahan ikan. Sehingga proses dan mekanisme hubungan antara komponen biotik dan abiotik sangat penting untuk diketahui (Val 2006). Eksploitasi yang dilakukan secara intensif oleh manusia, seperti aktivitas pertanian, urbanisasi, pengalihan sungai, pembendungan dan penangkapan ikan, akan mempengaruhi morfologi sungai, pencemaran dan perubahan aliran air, perubahan habitat, fragmentasi hidrologi, hubungan biotik, dan erosi (Melcher et al. 2012). Bakteri bisa digunakan sebagai indikator suatu kondisi ekologi perairan (Kefalas et al. 2003). Jumlah bakteri coliform menjadi indikator untuk kriteria kualitas air kegiatan wisata, seperti untuk kegiatan berenang (Hakanson dan Bryhn 2008). Menurut data dari the European Commission untuk kualitas air pemanfaatan rekreasi, jumlah total coliform dan jumlah fecal coliform di dalam air yang berada di luar ruangan tidak boleh melebihi 500 dan 100 MPN/100 ml. Keberadaan jumlah total coliform dan jumlah fecal coliform di perairan alami dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik fisika-kimia (radiasi UV, sinar matahari, keberadaan alga toxic) dan biologi (konsumsi oleh protozoa dan zooplankton, aktivitas bakteriopage) (Niewolak 1999). Ekowisata Perairan Ekowisata merupakan suatu bagian dari pariwisata yang berkaitan dengan perjalanan mengunjungi suatu kawasan yang secara relatif masih belum terganggu, dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti, dan menikmati pemandangan alam yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang terdapat di wilayah tersebut (Ceballos dan Lascurian 1991 in Yulianda 2007). Menurut Hetzer (1965) in Bjork (2000) ekowisata merupakan wisata yang berdasarkan prinsip perlindungan alam dan sumberdaya archeologi seperti burung, dan beberapa hewan liar, dan lahan basah. Ekowisata pertama kali dikenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The Ecotourism Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonversi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat (Blangi 1993 in Linberg 1993). Ekowisata merupakan suatu kegiatan yang biasanya digunakan untuk mempelajari tentang biodiversity, konservasi, dan ekologi (Zambrano et al. 2010). Secara umum pariwisata telah menjadi industri sipil terpenting di dunia. Menurut dewan perjalanan dan pariwisata dunia (World Travel and Tourism Council-WWTC) saat ini pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dengan menghasilkan pendapatan dunia lebih dari $3,5 triliun pada tahun 1993 atau 6% dari pendapatan kotor dunia. Pariwisata merupakan industri yang lebih besar daripada industri kendaraan, baja, elektronik maupun pertanian. Industri pariwisata mempekerjakan 127 juta pekerja (satu dalam 15 pekerja di dunia). Secara keseluruhan industri pariwisata diharapkan meningkat dua kali pada tahun 2005 (WWTC 1992 in Linberg 1995)
8
Ekowisata merupakan salah satu strategi yang ideal untuk mencapai keseimbangan pengelolaan antara ekologi dan ekonomi di suatu kawasan (Bookbinder et al. 1998). Wallace dan Pierce (1996) in Fennell (2001) memberikan beberapa pandangan tentang struktur penting ekowisata, yang menyatakan bahwa ekowisata: meminimalkan pengaruh, meningkatkan kesadaran, memberikan kontribusi terhadap konservasi, keuntungan langsung untuk masyarakat lokal, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk menikmati kawasan alami. Masyarakat lokal bisa mendapatkan penghasilan dari apresiasi pengunjung terhadap sumberdaya alam, selain itu juga sebagai pemasukan bagi pengelolaan kawasan (Goodwin dan Roe 2001). Fungsi utama dari ekowisata adalah perlindungan kawasan alami, pengalaman wisata yang berkualitas, meransang pertumbuhan ekonomi lokal, pendidikan lingkungan, dan partisipasi masyarakat (Ross dan Wall 1999). Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan, karena ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan (Fandeli 2000).
Pengelolaan Berkelanjutan Badan perairan memiliki batas daya dukung terhadap masukan beban pencemar, yang berasal dari aktivitas antropogenik, dan penurunan kualitas air akan berakibat kepada kelangkaan air (UN-Water 2006), sehingga perlu adanya strategi pengelolaan perairan yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya air perairan darat merupakan upaya untuk merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi yang meliputi: konservasi, pendayagunaan, dan mitigasi bencana. Jadi, pengelolaan tidak hanya aspek pemanfaatan dalam jangka pendek tapi pemanfaatan tersebut sampai tidak terbatas (berkelanjutan). Kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan yang tepat sasaran memerlukan data dan informasi yang akurat dan lengkap (Fakhrudin et al. 2004). Pemanfaatan sumberdaya air dan perairan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup, yaitu menetapkan prinsip keselarasan antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi (Soenarno 2004). Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk melestarikan fungsi air, dengan melestarikan (conserve) atau mengendalikan (control), yaitu memelihara kondisi kualitas air sebagaimana kondisi alamiahnya. Kondisi alamiah air pada sumber air (mata air dan air tanah) secara umum sangat baik, namun apabila terjadi pencemaran, maka perlu waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya (Suzanna 2004). Konservasi suatu ekosistem perairan berupa pembangunan berkelanjutan dan pemeliharaan kualitas air. Perbedaan pemanfaatan akan membutuhkan kriteria kualitas air pula dan target manajemen yang berbeda pula, sebagai contoh kegiatan wisata yang fokus kepada keberlanjutan kegiatan memancing dan berenang akan membutuhkan kriteria indikator berupa kecerahan, kedalaman perairan, biomassa fitoplankton dan
9
konsentrasi bakteri (Hakanson dan Bryhn 2008). Untuk mendapatkan suatu gambaran kondisi lingkungan serta pengelolaan yang benar, maka perlu adanya gabungan dari ilmu lingkungan dengan ilmu sosial, gabungan dari dua pengelolaan ini akan menghasilkan pengelolaan sumberdaya yang lebih baik (Dale dan Bayeler 2001).
3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Air Terjun Timbulun, Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok Wilayah penelitian mencakup kawasan Air Terjun Timbulun dan lingkungan sekitar yang masih memberikan pengaruh kepada kawasan Air Terjun Timbulun baik secara ekologi maupun antropologi. Kawasan Air Terjun Timbulun secara geografis berada pada koordinat 100’50” - 100’58” Lintang Selatan dan 100047’19” - 100048’49” Bujur Timur (Gambar 2). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2013. Pelaksanaan penelitian terdiri atas: penelitian pendahuluan, pengambilan data dan analisis data. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2012 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan data.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
10
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan untuk mengetahui kondisi umum kawasan penelitian, maka ditetapkan tiga stasiun utama pengamatan paramater lingkungan Air Terjun Timbulun yang diharapkan dapat mewakili keseluruhan kawasan Air Terjun Timbulun. Adapun karakteristik dari masing-masing stasiun yang diamati adalah sebagai berikut (Gambar3): Stasiun 1 adalah mencakup perairan sungai di atas air terjun atau bagian sungai sebelum air terjun. Pada kawasan ini terlihat kondisi arus yang lebih tenang, lahan yang lebih landai, substrat lebih halus dibanding lokasi lainnya, serta tutupan kanopi yang lebih padat. Stasiun 2 Mencakup sekitar Air Terjun Timbulun, mulai dari batas air turun (terjun) hingga kolam air. Pada kawasan ini menjadi daya tarik utama karena kondisi kecuraman lahan, arus yang lebih deras, serta substrat berupa batuan besar. Selain itu tutupan kanopi pada lokasi air terjun lebih sedikit terbuka dibanding stasiun 1. Stasiun 3 Mencakup bagian hilir air terjun, mulai dari sungai sesudah kolam air terjun hingga batas perbukitan terluar yang menjadi batas kawasan Air Terjun Timbulun. Pada kawasan ini yang menjadi daya tarik utama adalah kondisi medan yang cukup menantang yang harus dilalui untuk mencapai kawasan air terjun. Terdapat beberapa air terjun berukuran kecil, serta kondisi substrat batuan yang sedikit lebih kecil dibanding stasiun 2. Sedangkan kondisi tutupan kanopi mulai terbuka.
Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penentuan potensi sumberdaya Air Terjun Timbulun untuk kegiatan wisata berdasarkan data-data parameter lingkungan (fisika, kimia, dan biologi). Data-data parameter lingkungan di analisis secara mendalam untuk memperoleh parameter-parameter utama yang berperan dalam ekosistem air terjun secara ekologis, sehingga dapat digambarkan kondisi ekosistem Air Terjun Timbulun secara utuh. Selain itu, dilakukan pula kajian literatur dan pendapat pada ahli (responden) untuk menilai parameter utama dan parameter pendukung kegiatan ekowisata air terjun, sehingga hasil kajian parameter baik secara primer maupun sekunder dapat dikombinasikan untuk mendapatkan kesimpulan yang valid. Responden yang digunakan adalah orangorang yang terlibat dengan kegiatan wisata baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti tim ahli, teknisi, akademisi, pembuat kebijakan, wisatawan, dan masyarakat sekitar. Parameter lingkungan dibagi berdasarkan peranannya, baik sebagai objek atau fungsi. Parameter sebagai objek berarti parameter lingkungan tersebut berpengaruh langsung atau menjadi daya tarik utama dalam kawasan wisata tersebut. Sedangkan parameter sebagai fungsi berarti parameter tersebut hanya menjadi parameter pendukung bagi kegiatan wisata, yang secara tidak langsung mempengaruhi kenyamanan aktivitas wisata. Hasil dari penilaian parameter lingkungan tersebut kemudian akan disusun menjadi matriks parameter lingkungan untuk kegiatan wisata, yang kemudian digunakan untuk menilai potensi kawasan Air Terjun Timbulun untuk ekowisata. Responden dimintai pendapat tentang kondisi kawasan wisata yang nyaman, kemudian dilakukan penilaian terhadap seberapa besar kenyamanan yang diinginkan wisatawan akan mempengaruhi kondisi ekologis kawasan, atau besarnya pengaruh kegiatan wisata terhadap kondisi ekologis kawasan.
11
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekuder. Data primer adalah data parameter lingkungan perairan yang diambil langsung di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang didapatkan dari literatur. Setiap nilai parameter yang didapatkan akan dikaji secara mendalam sehingga diketahui peran tiap paramater lingkungan yang diamati dalam aktivitas wisata maupun dalam ekosistem, kemudian dilakukan pembuatan matriks potensi ekowisata untuk menilai potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun berdasarkan komponen lingkungan perairan yang telah diamati dan dianalisis.
Prosedur Pengamatan Pengambilan sampel parameter lingkungan Perairan Parameter fisik Parameter fisik perairan yang diukur adalah suhu air, warna air, bau air, debit sungai dan air terjun, lebar sungai, lebar badan sungai, luas kolam air terjun, ketinggian air terjun, kemiringan lahan, substrat, hamparan daratan, kedalaman, arus sungai, dan kekeruhan (Tabel 1). Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi aktivitas wisata, pengukuran suhu dilakukan pada air dan udara menggunakan thermometer. Debit aliran adalah laju air (dalam bentuk volume air ) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Warna perairan yang diukur adalah warna tampak (apparent color) yaitu warna yang ditentukan langsung pada air yang tidak mengalami perlakuan, sehingga warna air tersebut disebabkan oleh semua bahan yang terlarut dan tersuspensi. Untuk pengukuran bau adalah kontak langsung dengan air sampel (receptor cell). Prinsip analisis sampel berdasarkan APHA 2012. Tabel 1 Parameter fisik perairan Parameter FISIK Suhu Warna air Bau air Debit air terjun Debit sungai Tinggi air terjun Lebar sungai Kemiringan lahan Hamparan daratan Kedalaman Arus Kekeruhan Luas kolam air terjun Kedalaman kolam
Satuan
Alat
Analisis
C m3/detik m3/detik m m
Thermometer Visual Receptor cell Tali, pemberat, stopwacth Tali, pemberat, stopwacth Meteran Meteran
In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ
% m2 cm cm/detik ntu m2 m
Busur derajat Meteran Tongkat berskala Tali, pemberat, stopwacth Turbidity meter Meteran Tongkat berskala
In situ In situ In situ In situ Eks Situ In situ In situ
0
12
Pengukuran nilai kekeruhan menggunakan alat turbidity meter yang dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kemiringan lahan dinyatakan dalam derajat atau persen. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkut air.
Parameter kimia Parameter kimia perairan yang dianalisis yaitu oksigen terlarut (DO), BOD, pH, total nitrogen, dan total fosfat (Tabel 2). Pengukuran parameter kimia dilakukan secara in situ, yaitu pengukuran nilai parameter langsung dilakukan di lokasi pengamatan. Oksigen terlarut (DO) merupakan jumlah mg/l gas yang terlarut di dalam air, berasal dari proses fotensintesa oleh fitoplankton atau tanaman air, dan difusi dari udara. Pengukuran kadar oksigen terlarut dalam air dilakukan menggunakan metode titrasi winkler. BOD (Biochemical Oxygen Demand) dapat menggambarkan suatu proses oksidasi bahan organik oleh mikroorganisme yang terjadi di perairan. Penentuan BOD ini dilakukan dengan cara menghitung kadar oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang terlarut di perairan dalam waktu 5 hari yang merupakan selisih kadar oksigen pada hari pertama dan hari kelima. Metoda ini menggunakan botol gelap dan botol terang. Botol terang langsung ditentukan kadar oksigen terlarutnya, sedangkan botol gelap disimpan dalam BOD inkubator pada suhu 20 oC selama 5 hari. Temperatur 20 oC dan waktu 5 hari merupakan temperatur dan waktu yang standar dalam penentuan BOD karena dianggap pada temperatur tersebut proses dekomposisi berjalan optimum dan sekitar 75% bahan organik telah terdekomposisi. Pengukuran nilai pH dilakukan menggunakan pH indikator. Pengukuran pH penting untuk dilakukan karena penurunan atau kenaikan pH karena adanya masukan zat dari luar perairan akan mengakibatkan tekanan (stress) pada organisme perairan (Glen dan Suter 2001). Pengukuran total fosfat dan total nitrogen dilakukan untuk mengetahui kandungan nutrien utama di perairan sebagai sumber hara bagi produsen primer. Prinsip analisis sampel berdasarkan APHA 2012. Tabel 2 Parameter kimia perairan
Parameter KIMIA
Satuan
Alat
DO
mg/l
BOD pH
mg/l -
Botol BOD, bahan titrasi winkler Botol terang/gelap pH indikator
Total fosfat
mg/l
spektrofometer
Total nitrogen
mg/l
spektrofometer
Analisis Winkler /In situ In situ In situ Ascorbic acid /Eks situ Phenate /Eks situ
13
Parameter biologi Parameter biologi berguna sebagai data pendukung dalam penilaian kondisi kawasan secara ekologi. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai indikator untuk menilai keindahan dan kelayakan kawasan untuk kegiatan wisata. Parameter biologi utama yang diamati sebagai indikator perairan dan objek wisata adalah perifiton sebagai produsen utama di perairan sungai, tumbuhan air, serangga air yang menjadi indikator kualitas air di perairan hulu, serta fecal coliform sebagai indikator perairan tercemar untuk kegiatan ekowisata (Tabel 3). Perifiton diambil dengan metode kerikan menggunakan sikat dan penggaris. Batu atau substrat diambil dari dalam air, kemudian dikerik dan ditambahkan aquades hingga 100 ml, kemudian dilakukan pengawetan dengan lugol sebelum diamati kelimpahannya. Kelimpahan perifiton dihitung dengan rumus:
Keterangan: K= Kelimpahan perifiton (ind/cm2 ), N = Jumlah 2 perifiton yang diamati, As = Luas substrat yang dikerik (a cm ) untuk penghitungan perifiton, At = Luas penampang permukaan cover glass (mm2), Acg = Luas amatan (mm2), Vt=Volume konsentrasi pada botol contoh (10 ml) untuk penghitungan perifiton , Vs=Volume konsentrasi dalam cover glass (ml). Serangga air diambil menggunakan surber. Surber ditaruh di perairan dengan posisi menentang arus air, kemudian substrat di dalam bingkai diganggu sekitar 15 menit, hingga diperoleh serangga air di dalam surber. Perhitungan nilai kepadatan serangga dihitung menggunakan rumus (Brower dan Zar 1992) :
Keterangan: K= Kepadatan serangga (individu/m2 ), a = Jumlah serangga yang ditemukan (individu), b = Luas bukaan surber (30 cm x 30 cm), 10000 = Konversi dari cm2 ke m2. Analisis data yang digunakan yaitu dengan melakukan analisis keanekaragaman dan keseragaman untuk perifiton dan serangga. Indeks Shannon yang biasa digunakan untuk menghitung keanekaragaman, dan keseragaman spesies yaitu (Shannon 1949; Shannon dan Weaver 1963 in Hossain et al. 2012):
Dan
Keterangan: H’= Indeks keanekaragaman, Pi = ni/N, E = Indeks keseragaman, s = jumlah taksa.
14
Pengumpulan data tumbuhan air dilakukan secara visual, kemudian dilakukan identifikasi untuk setiap jenis vegetasi yang ditemukan. Pengukuran kandungan fecal coliform dilakukan dengan menggunakan metode MPN (Most Probable Number) atau jumlah perkiraan terdekat menggunakan 5 seri tabung (APHA 2012). Pengambilan ikan dilakukan menggunakan peralatan bubu (perangkap), ikan yang didapat kemudian akan diidentifikasi secara meristik dan morfometrik.
Tabel 3 Parameter biologi perairan Parameter BIOLOGI Perifiton
Satuan
Alat
Analisis
ind/cm2
Sikat, penggaris, mikroskop
Eks situ
Ikan Tanaman air Vegetasi darat Fecal coliform Serangga air
Ind ind/100 ml Ind/m2
Kamera Kamera Kamera Botol steril Surber
In situ In situ In situ MPN/Eks situ Eks situ
Analisis Data Analisis kondisi ekologi kawasan Air Terjun Timbulun Parameter-parameter yang digunakan sebagai parameter pendukung aktivitas ekowisata, baik itu fisik, kimia, dan biologi kemudian diberi penilaian berdasarkan peranannya. Parameter tersebut dibagi atas dua peranan, yaitu sebagai objek atau fungsi. Penilaian peranan parameter dinilai berdasarkan studi literatur dan pendapat responden. Responden yang dipilih merupakan masyarakat sekitar, kepala jorong (desa) dan ahli ekowisata. Hasil dari penilaian ini akan menggambarkan kepentingan suatu parameter dalam kegiatan ekowisata air terjun, baik kepentingannya sebagai objek maupun fungsi, serta dapat diketahui parameter utama yang harus dipenuhi untuk ekowisata air terjun. Penilaian dilakukan dengan memberikan ranking untuk setiap parameter. Perangkingan dilakukan berdasarkan nilai baku mutu dan penilaian melalui literatur. Pembuatan ranking menggunakan metode Skala Linkert. Penskalaan dikaitkan dengan jenis data yang dihasilkan adalah ordinal. Skala ordinal bersifat mengklasifikasikan, dan klasifikasi tersebut sudah merupakan tingkatan. Sehingga dengan data ordinal ini angka sudah menunjukkan mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil, tetapi masing-masing klasifikasi tidak harus memiliki jarak yang sama (Suliyanto 2011). Hasil akhir yang diharapkan dari penilaian parameter ini adalah mengetahui peranan tiap parameter lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem kawasan Air Terjun Timbulun dan kemudian dapat menetukan komponen-komponen lingkungan yang berpotensi dikembangkan dalam kegiatan ekowisata.
15
Analisis potensi kawasan untuk ekowisata Potensi ekowisata kawasan diketahui melalui perhitungan matriks potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun. Matriks disusun berdasarkan hasil kajian ekologi yang telah dilakukan sehingga diperoleh komponen-komponen lingkungan yang berpotensi dikembangkan sebagai objek dalam aktivitas ekowisata. Urutan matriks dibuat berdasarkan tingkat peranan parameter yang sudah diketahui. Nilai matriks potensi ekowisata kawasan dibuat menggunakan skoring. Skor 3 untuk kategori sangat sesuai, skor 2 untuk kategori sesuai, dan skor 1 untuk kategori tidak sesuai. Nilai masing-masing kategori untuk parameter diperoleh melalui studi literatur. Setelah didapatkan matriks kesesuaian parameter untuk ekowisata air terjun, maka nilai pengukuran parameter di Air Terjun Timbulun disesuaikan dengan matriks. Nilai skor masing-masing parameter akan dijadikan masukan dalam perhitungan potensi kawasan untuk ekowisata. Perhitungan potensi kawasan kemudian dilakukan menggunakan teori perhitungan indeks. Sama halnya dengan perhitungan Indeks Kawasan Wisata (IKW) dalam ekowisata bahari dan danau (Yulianda 2007). Komponen ekowisata merupakan bagian dari masing-masing parameter ekologi yang memiliki peranan penting dalam aktivitas wisata baik sebagai objek maupun fungsi dalam kegiatan ekowisata. Liuab et al. (2012) menyatakan bahwa, untuk perhitungan nilai paramater berdasarkan hasil matriks ekowisata dihitung menggunakan hubungan antara faktor yang dipilih yang ditandai dengan skor dan bobot parameter. Formula matematika yang digunakan dalam perhitungan nilai parameter yaitu
Keterangan: f(x) = Nilai parameter ke-x, W = Bobot, F= Skor Kemudian untuk menentukan potensi kawasan digunakan rumus sebagai berikut: Potensi Kawasan Wisata = Keterangan: f(x) = Nilai parameter ke-x dan f(x) maksimum = Nilai maksimum perkalian bobot dan skor adalah 117. Berdasarkan Yulianda (2007) kriteria nilai atau kisaran potensi kawasan ekowisata berdasarkan perhitungan bobot dan skor yang sudah dimodifikasi adalah sebagai berikut: 83-100 %= Sangat berpotensi 50- <83 %= Berpotensi <50 = Tidak berpotensi
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kawasan Penelitian Air Terjun Timbulun berlokasi di bukit Air Muro bagian utara Sungai Nanam, dengan posisi geografis 1001’02”LS -100046’46” dan BT 1001’05” LS - 1000 47’16” BT. Nagari Sungai Nanam secara umum terletak di dataran tinggi dalam jajaran bukit barisan yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 8,25 Km, dimulai dari Batang Tantak (Bukit Rampuang) tapal batas dengan Kecamatan Payung Sekaki, bagian selatan dengan Lasuang Lakek Kenagarian Alahan Panjang Kecamatan Lembah Gumanti, melebar dari timur ke barat dimulai dari Bukit Janjang tapal batas dengan Kecamatan Hiliran Gumanti dan Tigo Lurah, sebelah barat dengan Bukit Cambai tapal batas dengan Kecamatan Danau Kembar dan Lembang Jaya sepanjang 4,5 Km (Pemerintah Sungai Nanam 2003). Suhu rata-rata Nagari Sungai Nanam berkisar antara 15-320C, dengan ketinggian rata-rata 1500 m di atas permukaan laut. Kawasan Air Terjun Timbulun secara geografis terletak di daerah tropis, sehingga mengalami dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kawasan ini terdiri atas sungai yang terbentang dari utara ke selatan sepanjang ±600 m, yang memiliki 4 air terjun dengan 1 air terjun utama dengan ketinggian ±10 m. Kawasan ini dikelilingi oleh 3 perbukitan yang secara kepemilikan merupakan kepunyaan dari 3 suku di Nagari Sungai Nanam, yaitu Suku Panai, Suku Caniago dan Suku Kutianyia. Kondisi kawasan Air Terjun Timbulun masih sangat alami, dengan tutupan bermacam-macam vegetasi tropis dan kualitas perairan yang masih baik. Selain itu, perbukitan yang mengelilingi kawasan Air Terjun Timbulun memiliki potensi sebagai kawasan wisata karena memiliki pemandangan yang sangat menarik, berupa pemandangan perkampungan Nagari Sungai Nanam dengan suasana kawasan pertaniannya. Kawasan Air Terjun Timbulun juga merupakan kawasan yang strategis karena sudah dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Terdapat 2 akses utama menuju kawasan, yaitu melalui jalan Sawah Liek Jorong Koto Sungai Nanam, atau melalui jalan lingkar bukit dari Jorong Lekok. Kawasan Air Terjun Timbulun berada di Nagari Sungai Nanam dengan jarak ± 78 Km dari Kota padang atau ± 68 Km dari Kota Solok. Aksesibilitas menuju kawasan Danau Diatas dapat dijangkau melalui tiga jalur, dimana jalur ini merupakan paket wisata yang ditawarkan Propinsi Sumatera Barat antara lain : (a) Padang – Kebun Teh Kayu Aro – Alahan Panjang (Danau Diatas, Panorama Danau Kembar, Wisata Terpadu, Kawasan Air Terjun Timbulun dan Agro Wisata) – Danau Singkarak –Tanah Datar/Bukittinggi, (b) Mandeh – Alahan Panjang (Danau Diatas, Panorama Danau Kembar, Wisata Terpadu, Kawasan Air Terjun Timbulun dan Agro Wisata) - Danau Singkarak – Tanah Datar/Bukittinggi, (c) Bukittinggi/Tanah Datar – Danau Singkarak - Alahan Panjang (Danau Diatas, Panorama Danau Kembar, Wisata Terpadu, Kawasan Air Terjun Timbulun dan Agro Wisata) – Mandeh – Padang. Jumlah stasiun penelitian yang dilakukan di kawasan Air Terjun terdiri atas 3 stasiun utama (stasiun 1, 2, dan 3) yang masing-masing stasiun terdiri atas 2 sub stasiun. Posisi geografis ke-3 stasiun tersebut disajikan pada Tabel 4.
17
No 1 2 3
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Tabel 4 Posisi georafis stasiun penelitian Koordinat Stasiun Lintang Selatan Bujur Timur 0 1 0’58” 100047’19” 0 1 0’42” 100047’45” 0 1 0’10” 100047’42”
Keseluruhan kawasan Air Terjun Timbulun yang memiliki potensi sebagai kawasan wisata yaitu ±18 ha. Secara ekologi kawasan ini memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Nagari Sungai Nanam. Saat ini masyarakat sekitar kawasan dan hampir 30% dari masyarakat Sungai Nanam memanfaatkan sumber mata air Air Terjun Timbulun sebagai sumber air minum, sehingga pengelolaan kawasan ini perlu dilakukan, selain sebagai wisata alternatif bagi masyarakat juga dalam rangka melindungi sumber air masyarakat. Hal ini perlu dilakukan karena saat ini banyak terjadi konversi hutan di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, sehingga dikhawatirkan akan merusak kawasan tersebut.
Stasiun 2
Stasiun 1
Stasiun 3
Gambar 3 Kondisi stasiun penelitian kawasan Air Terjun Timbulun
18
Substrat dasar dari ke-3 stasiun memiliki perbedaan, hal ini diduga dikarenakan kemiringan lahan dari ke-3 stasiun berbeda. Stasiun 1 memiliki kemiringan lahan yang lebih landai dari kawasan yang lainnya yaitu sekitar 0-30% memiliki substrat batuan sungai yang lebih halus. Stasiun 2 adalah kawasan air terjun dengan tingkat kemiringan lahan hampir 80%, substrat berupa batuan besar dengan rata-rata diameter 1 m. Sedangkan stasiun 3 memiliki tingkat kemiringan yang lebih beragam dari yang landai hingga terdapat air terjun dengan ketinggian 2-3 m serta memiliki substrat batuan yang lebih beragam, mulai dari yang berupa kerikil hingga batuan besar dengan diameter mencapai 2 m. Selain daya tarik air terjun, pemandangan, dan kesejukan kawasan, keberadaan batuan-batuan besar juga menjadi daya tarik para wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini.
Analisis Ekologi Kawasan Air Terjun Timbulun Parameter fisika Hasil pengukuran parameter fisika lingkungan perairan kawasan Air Terjun Timbulun memperlihatkan kondisi kawasan yang masih sangat alami dan belum mengalami pencemaran dari aktivitas manusia (Tabel 5). Tabel 5 Nilai rata-rata parameter fisika kawasan Air Terjun Timbulun
Kondisi parameter fisika pada ke-3 stasiun pengamatan mencakup kondisi suhu, arus, debit, warna, bau, air terjun, dan topografi lahan. Suhu merupakan variabel lingkungan yang sangat penting, tidak hanya musiman, tetapi juga fluktuasi harian, karena pada perairan tipikal dangkal suhu mudah dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan pendinginan pada malam hari, serta karena pengaruh angin (Williams 2006). Pada kawasan Air Terjun Timbulun, kondisi suhu dapat dikategorikan dingin hingga sejuk yaitu mulai dari 15 0C hingga 220C, namun pada musim panas dapat mencapai 32 0C. Sedangkan nilai suhu air saat
19
penelitian adalah sekitar 15 0C pada saat hujan dan 16 0C saat kondisi panas, sehingga dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan suhu air. Hal ini diduga dikarenakan pengaruh iklim mikro dari tutupan vegetasi di sekitar perairan yang menyebabkan sinar matahari tidak langsung mengenai perairan. Tentunya hal ini juga baik bagi kehidupan organisme di perairan, karena dapat menjadi shading bagi kenyamanan organisme di perairan. Kondisi suhu udara dan air merupakan elemen kunci proses ekowisata, karena terkait dengan kenyamanan bagi pengunjung dalam beraktivitas di kawasan. Gambaran kehidupan organisme memperlihatkan bahwa pertama kalinya mereka harus bisa beradaptasi dengan suhu lingkungan, kemudian sumberdaya air yang tersedia di lingkungan tersebut (Al-Sayed dan Al-langawi 2003). Suhu kawasan dapat menjadi daya tarik tertentu untuk peruntukan aktivitas wisata. Terutama bagi masyarakat yang biasa hidup di dataran rendah dengan suhu yang tinggi, mereka akan lebih tertarik untuk menikmati aktivitas wisata pada kawasan dengan suhu yang lebih dingin dan sejuk. Keberadaan suhu yang dingin dan sejuk umumnya terdapat di dataran tinggi dengan pegunungan yang masih memiliki hutan. Menurut Al-Sayed dan Al-langawi (2003) kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi keberadaan sumberdaya air, yaitu tidak adanya hujan pada musim kemarau panjang, atau tingginya tingkat penguapan pada suhu yang tidak normal (lebih tinggi). Tentunya kondisi seperti ini akan mempengaruhi keberadaan dan nilai keindahan dari Air Terjun Timbulun yang sebagian besar sumber air berasal dari air hujan. Kawasan Air Terjun Timbulun mengalami pengurangan debit karena tidak adanya air masuk dari air hujan pada musim panas, kondisi ini mulai terlihat pada saat dibandingkan antara kondisi hujan dan sesudah 2 minggu tidak hujan (Gambar 40). Kawasan dengan ekosistem yang baik memiliki kondisi morfologi yang masih alami dan belum mengalami perubahan oleh aktivitas manusia. Morfologi sungai dan air terjun yang diukur saat penelitian mencakup tinggi air terjun, kedalaman, lebar sungai dan lebar badan sungai. Gössling (1999) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas manusia, seperti peningkatan populasi, tekanan kerja, dan sempitnya lahan pemukiman, mengakibatkan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam, sehingga mengubah lansekap suatu kawasan. Kondisi fisik dari suatu perairan akan mempengaruhi adaptasi dari spesies-spesies yang hidup di dalamnya atau yang dinamakan dengan “lansekap spesies” yaitu bermacammacam kawasan ekologi serta dampaknya terhadap struktur dan fungsi ekosistem (Sanderson et al. 2002).
20
Kondisi Hujan
Kondisi setelah 2 minggu tidak hujan
Ganbar 4 Perbedaan kondisi Air Terjun Timbulun pada kondisi hujan dan kondisi setelah 2 minggu tidak hujan Kawasan Air Terjun Timbulun merupakan daerah hulu dari sungai-sungai besar yang mengalir menuju Samudera Hindia. Rata-rata daerah hulu adalah sungai-sungai yang mengalir dari sumber air berupa mata air, yang kemudian berkumpul menjadi sungai yang lebih besar. Sungai-sungai kecil ini merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang lebih besar, sehingga menjadi point utama dalam pengelolaan suatu daerah aliran sungai (DAS). Kondisi fisik suatu kawasan perairan harus menjadi pertimbangan dalam pengelolaan suatu kawasan untuk peruntukan tertentu seperti konservasi alam, khususnya untuk perencanaan kawasan oleh ahli (Jessel dan Jacobs 2005). Terdapat beberapa air terjun yang dapat menjadi objek wisata, dengan air terjun tertinggi adalah pada stasiun 2 yaitu ±10 m. Diharapkan dalam pengelolaan kawasan Air Terjun Timbulun sebagai kawasan ekowisata, struktur fisik merupakan pertimbangan utama. Hal ini dikarenakan beberapa jenis organisme yang hidup di perairan, seperti organisme bentik sangat bergantung pada kondisi fisik perairan, seperti kedalaman, substrat, dan hidromorfologi (Mereta et al. 2012). Sejak dahulu manusia sudah melakukan intervensi terhadap sungai, namun terkadang manusia tidak berhati-hati dalam memodifikasi karakteristik sungai tersebut, sehingga banyak sungai di dunia yang sudah mengalami perubahan dan rusak berat oleh aktivitas manusia dalam jangka panjang (Xu et al. 2012). Adanya kerusakan hidromorfologi perairan umumnya akan menimbulkan pengaruh berupa tekanan terhadap biota-biota sungai (Lautenschlager dan Kiel 2005). Kemiringan lahan ke-3 stasiun bervariasi, stasiun 1 lebih landai dengan kemiringan berkisar antara 0-30 %, stasiun 2 adalah stasiun yang paling curam yaitu berkisar antara 50-80 %. Sedangkan stasiun 3 memiliki kemiringan yang bervariasi dari 0 hingga
21
45 %. Kondisi kemiringan lahan yang berbeda kemudian mempengaruhi kondisi substrat, arus dan debit masing-masing perairannya. Keberadaan arus dan debit sungai dan air terjun di kawasan wisata merupakan salah satu daya tarik bagi aktivitas wisata. Rendahnya tingkat hujan rata-rata pertahun juga mempengaruhi arus aliran sungai (Judova´ dan Jansky´ 2005). Arus sungai pada stasiun penelitian berkisar antara 26,7-33,3 cm/detik, sedangkan arus arus terjun berkisar antara 63-150 cm/detik. Pada kawasan Air Terjun Timbulun tidak terdapat gangguan dari aktivitas manusia, sehingga arus dan debit perairan merupakan arus dan debit alami perairan tersebut. Kondisi ini bisa menjadi rona awal lingkungan, sehingga dapat dijadikan sebagai indikator adanya perubahan arus dan debit jika terdapat aktivitas manusia di sekitar kawasan. Meskipun demikian, perubahan juga mungkin dikarenakan adanya pengaruh dari faktor-faktor alamiah, seperti perubahan iklim. Fieseler dan Wolter (2006) menyatakan bahwa, sungai-sungai kecil sangat dipengaruhi oleh variabelvariabel fisik seperti iklim, suhu, morfologi, sumber air, arus, dan gangguangangguan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pembendungan dan pencemaran. Arus juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi perubahan kondisi geomorfologi dari badan perairan (Burneo dan Gunkel 2003). Kondisi dan perubahan arus sungai tidak hanya dipengaruhi oleh iklim, seperti musim hujan dan musim panas, tapi juga dipengaruhi oleh faktor gradien lingkungan. Isaac dan Hubert (2001) in Burneo dan Gunkel (2003) menyatakan bahwa, hubungan antara sungai di pegunungan dengan lingkungannya sangat erat, terutama kondisi geomorfologi karena adanya perubahan arus dan gradien sungai. Pengamatan kualitas air dilakukan pada bulan Februari dan Maret. Bberdasarkan time series curah hujan bulanan dari tahun 2007 hingga 2011 terlihat bahwa pada bulan Februari curah hujan rendah, sedangkan pada bulan Maret curah hujan cenderung lebih tinggi. Kondisi curah hujan juga dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dalam pengelolaan, terkait dengan pengaruhnya terhadap kondisi kawasan, terutama kondisi geomorfologi kawasan sebagai objek utama aktivitas wisata. Dubicki (2000) in Dubicki et al. (2005) menyatakan bahwa topografi kawasan memainkan peranan penting dalam proses presipitasi, massa udara lembab yang bertiup ke arah lereng pegunungan mempercepat jumlah pengembungan dan meningkatkan jumlah hujan. Kawasan Air Terjun Timbulun yang terdapat pada ketinggian 1500 dpl maka frekuensi hujan akan lebih tinggi. Yu et al. (2010) menyatakan bahwa, suhu dan curah hujan dipengaruhi oleh ketinggian kawasan, sedangkan aliran permukaan bisa diamati dalam kaitannya dengan musim hujan dan musim kemarau. Kondisi hidrologi dan kualitas air sangat sensitif terhadap perubahan iklim, termasuk perubahan kondisi suhu dan presipitasi (Wu et al. 2012). Aliran sungai adalah indikator penting untuk mengamati aktivitas antropogenik. Apapun aktivitasnya baik itu pertanian, peternakan, industri, dan aktivitas manusia lainnya sebagian besar memberikan pengaruh terhadap kualitas perairan (Judova´ dan Jansky´ 2005). Salah satu pengaruh aktivitas manusia terhadap perairan adalah meningkatnya kekeruhan, yang kemudian akan mengurangi nilai estetika dan menganggu kehidupan organisme dari perairan tersebut. Beberapa aktivitas di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun yang
22
berpotensi menimbulkan kekeruhan adalah pertambangan, aktivitas wisata, pertanian, dan aktivitas berburu. Rata-rata kondisi warna perairan selama penelitian adalah tidak berwarna dan tidak mengalami kekeruhan, hal ini dikarenakan pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari saat belum ada aktivitas masyarakat di sekitar kawasan, sehingga nilai kecerahan perairan mencapai 100% atau terlihat dasar perairan. Nilai kekeruhan berkisar antara 0,220,88 NTU, nilai ini masih dapat dikategorikan perairan jernih, karena maksimal baku mutu perairan untuk air yang jernih adalah 5 NTU (UU No 82 Tahun 2001), sehingga dapat dikatakan nilai kekeruhan Air Terjun Timbulun masih tergolong rendah. Kekeruhan di kawasan Air Terjun Timbulun lebih banyak disebabkan oleh hujan, sehingga partikel-partikel dasar terangkat ke permukaan dan menyebabkan perairan keruh. Parameter kimia Kondisi perairan kawasan Air Terjun Timbulun secara kimia, melalui pengamatan oksigen terlarut, BOD, pH, total nitrogen dan total fosfat terlihat masih normal dan tidak mengalami pencemaran (Tabel 6). Tabel 6 Nilai rata-rata parameter kimia kawasan Air Terjun Timbulun
Oksigen terlarut di kawasan Air Terjun Timbulun berkisar antara 6,2-7,2 mg/l dengan rata-rata 6,85 mg/l. Pengukuran oksigen terlarut dilakukan sebagai parameter pendukung yang dapat mencerminkan kondisi biota dan kesuburan perairan, karena oksigen terlarut merupakan senyawa kimia kimia utama yang dibutuhkan oleh biota-biota air. Konsentrasi oksigen terlarut pada perairan menjadi faktor kritis untuk kebanyakan organisme (Burneo dan Gunkel 2003). Selain itu, sebagai indikator kesuburan, oksigen terlarut dapat mencerminkan kondisi dari organisme penghasil oksigen, seperti perifiton dan tanaman air, serta dinamika air seperti arus. Perbedaan habitat organisme untuk hidup umumnya dipengaruhi oleh perbedaan ciri-ciri ekologis spesies, seperti kebiasaan makan dan kebutuhan oksigen terlarut, serta interaksi biotik (Sagnes et al. 2008). pH perairan yang diamati di setiap stasiun rata-rata sama yaitu 6,5. Kondisi pH masih termasuk normal yaitu pada kisaran 6-9. pH pada kisaran ini adalah pH yang ideal bagi kehidupan organisme atau biota perairan (Effendi 2003). Oksigen terlarut di perairan sungai berasal dari difusi antara air dan udara karena adanya pergerakan air, seperti adanya arus. Oksigen juga dapat berasal dari hasil fotosintesis organisme autotrof di sungai yaitu alga perifiton, dan tanaman air. Berdasarkan pengamatan di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun dengan
23
perairan yang berbatu, sehingga diduga penghasil utama oksigen terlarut di perairan berasal dari orgnisme perifiton dan difusi melalui arus air. Oksigen merupakan senyawa yang sangat penting bagi biota-biota di perairan, terutama bagi ikan dan serangga air yang umum ditemukan di kawasan ini, serta menjadi indikator bagi lingkungan perairan kawasan Air Terjun Timbulun. Dalam melakukan pengelolaan terhadap kawasan perairan ini hendaknya tetap dilakukan monitoring kondisi oksigen terlarut, karena dapat menggambarkan adanya perubahan kondisi perairan, serta masukan bahan pencemar. Hasil pengkuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) perairan Air Terjun Timbulun rata-rata 1,85 mg/l. Kebutuhan BOD merupakan gambaran secara tidak langsung kadar bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Chapman 1996). Kondisi BOD dapat menggambarkan kondisi bahan organik dan pencemaran di perairan. Berdasarkan pengamatan, di kawasan Air Terjun Timbulun tidak terdapat pencemaran yang berasal dari aktivitas manusia, rata-rata bahan organik yaitu berasal dari serasah-serasah daun pepohonan yang jatuh ke air. Keberadaan serasah ini menjadi penyumbang nutrien bagi perairan, serta sebagai makanan bagi biota-biota dasar pemakan detritus, seperti beberapa jenis serangga air. Selain bermanfaat sebagai sumber makanan bagi biota-biota dasar perairan, keberadaan serasah juga mempengaruhi struktur dari substrat perairan. Di kawasan perairan Air Terjun Timbulun terlihat bahwa stasiun 3 memiliki komposisi substrat serasah yang lebih banyak daripada stasiun lainnya. Komposisi serasah banyak ditemukan pada perairan dengan tutupan vegetasi yang rapat serta arus yang agak lambat, sehingga daun-daun yang jatuh ke perairan dapat menetap tanpa terbawa oleh arus. Pada kawasan-kawasan dengan karakteristik tersebut yaitu arus yang lambat dan memiliki komposisi substrat serasah yang lebih banyak, memperlihatkan nilai BOD yang lebih tinggi daripada daerah dengan arus kencang dan substrat yang di dominasi oleh kerikil. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di ke-3 stasiun pengamatan dapat dilihat bahwa konsentrasi total fosfat perairan berkisar antara 0,039 mg/l hingga 0,048 mg/l. Nilai tertinggi adalah terdapat pada stasiun 1, hal ini diduga karena stasiun 1 memiliki tutupan vegetasi yang lebih padat daripada stasiun 2 dan 3, serta arus yang lebih tenang, sehingga pengurairan bahan organik menjadi nutrien lebih efektif. Nilai konsentrasi total nitrogen (TN) yang terukur berkisar antara 0,281 mg/l hingga 0,299 mg/l. Kondisi total nitrogen di keseluruhan stasiun terlihat hampir seragam, diduga karena tidak adanya masukan bahan organik dari aktivitas manusia, sehingga kondisi nutrien perairan masih merupakan jumlah normal yang dihasilkan perairan secara alami. Produktivitas perairan tawar secara umum dibatasi oleh keberadaan unsur P (fosfor), peningkatan unsur P diperairan berasal dari sumber internal dan eksternal. Sumber internal berasal dari hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme, dan sumber eksternal berasal dari luar perairan. Penurunan kadar P terjadi karena dimanfaatkan oleh fitoplankton dan organisme autotrof lainnya untuk tumbuh (Kopacek et al. 2000). Keberhasilan pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya, suhu yang mendukung, serta nutrien, salah satunya adalah keberadaan unsur P. Parameter biologi Pengamatan parameter biologi kawasan mencakup kondisi keanekaragaman dan keseragaman perifiton, komposisi kepadatan serangga air, tutupan vegetasi,
24
keberadaan ikan dan burung di sekitar kawasan. Secara ekologi, organismeorganisme yang diamati merupakan bagian yang sangat penting dalam mendukung keseimbangan ekosistem kawasan Air Terjun Timbulun, terutama dalam rantai makanan dan produktivitas perairan. Pengamatan perifiton dilakukan pada substrat batuan di dasar sungai, batuan yang dikerik adalah batuan yang terendam air, tetapi masih mendapat paparan cahaya matahari (Tabel 7).
NO
Tabel 7 Kelimpahan perifiton di kawasan Air Terjun Timbulun Organisme Kelimpahan (ind/cm2) Stasiun 1
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2
Bacillariophyceae Achnanthes Amphiprora Cymbella Flagillaria Navicula Nitzhia Pleurosigma Strauroneis Chlorophyceae Melosira Oscillatoria
Stasiun 2
Stasiun 3
4 0 28 37 3 15 0 3
0 8 193 384 10 69 2 34
5 0 1050 544 20 87 0 7
17 6
12 673
279 348
Perifiton merupakan organisme autotrof yang menempel pada substrat yang beradaptasi terhadap kondisi perairan yang berarus. Perifiton merupakan salah satu penghasil oksigen di perairan sungai, terutama daerah hulu yang memiliki karakteristik fisik khusus yaitu dangkal dan berarus deras. Jenis-jenis perifiton yang banyak ditemukan pada ke-3 stasiun pengamatan rata-rata didominasi oleh fitoplankton yaitu dari kelas Bacillariophyceae dan Chlorophyceae. Karrasch et al. (2001) menyatakan bahwa, struktur dan proses ekologi dari kolom perairan baik autotrof maupun heterotrof dapat digambarkan oleh organisme plankton, terutama fitoplankton untuk perairan eutrofik. Beberapa jenis perifiton yang mendominasi yaitu Cymbella dan Flagillaria dari kelas Bacillariophyceae dan Oscillatoria dari kelas Chlorophyceae, dengan kelimpahan tertinggi pada stasiun 3. Hal ini diduga karena stasiun 3 memiliki tutupan vegetasi yang paling jarang di antara ke-3 stasiun, sehingga cahaya matahari lebih intensif masuk ke perairan dan memungkinkan untuk kehidupan perifiton. Kualitas air di sungai merupakan permasalahan penting dalam pengelolaan lingkungan perairan (Xu et al. 2012). Penilaian kondisi ekologi Berdasarkan parameter biologi kawasan Air Terjun Timbulun, menggunakan data kelimpahan perifiton untuk mendapatkan nilai indeks keanekaragaman (H) dan keseragaman (E). Perifiton merupakan salah satu flora perairan yang digunakan sebagai bioindikator dalam penilaian kualitas lingkungan perairan (Feld et al. 2002). Bioindikator tidak hanya menunjukkan interaksi jangka panjang, tapi juga perubahan mendadak faktor-faktor lingkungan. Perifiton merupakan salah satu
25
bioindikator yang digunakan untuk ekosistem sungai, karena sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan, selain itu perifiton juga merupakan dasar dari rantai makanan di ekosistem sungai (Li et al. 2010). Nilai indeks keanekaragaman (H) dan indeks keseragaman (E) di setiap stasiun baik berkisar antara 0,5-0,8 (Tabel 8). Kondisi ini hampir sama pada setiap stasiun. Kondisi keanekaragaman dan keseragaman jenis yang rendah akan sangat sensitif terhadap adanya gangguan terhadap lingkungannya, sehingga kondisi perairan dan komposisi dari komunitas perifiton dapat berubah-ubah, hal ini mengindikasikan kondisi perairan menjadi labil atau stabilitasnya rendah. Tabel 8 Indeks Keanekaragaman (H) dan Keseragaman (E) perifiton Stasiun 1 2 3
Spesies 8 9 8
H maks 0,9031 0,9542 0,9031
H 0,7484 0,5812 0,6205
E 0,8287 0,609 0,6871
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian terlihat bahwa kestabilan perairan sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan dan aktivitas manusia, seperti mudah menjadi keruh. Kondisi cuaca yang berubah-ubah seperti ada tidaknya hujan mengakibatkan perairan cepat menjadi banjir pada saat hujan, dan cepat menjadi kering pada saat panas. Perubahan kondisi ini dapat dilihat sesudah 2 minggu tidak hujan. Hal ini diduga disebabkan oleh morfologi badan perairan, dengan lebar sungai kecil dan dangkal. Perifiton merupakan organisme yang hidup di substrat yang masih dipengaruhi oleh keberadaan air dan cahaya matahari, sehingga perubahan kondisi perairan akan terlihat pula pada keberadaan perifitonnya. Lautenschla¨er dan Kiel (2005) menyatakan bahwa komposisi dan kepadatan beberapa jenis makrozoobentos, khususnya serangga air berhubungan dengan hidromorfologi dan pemanfaatan kawasan. Pemanfaatan lahan dapat berupa kegiatan-kegiatan sekitar perairan, seperti pertanian, pemukiman, dan kawasan alami. Sedangkan secara pemanfaatan kawasan di lokasi pengamatan seragam yaitu berupa kawasan alami tanpa adanya aktivitas manusia. Organisme yang mendominasi pada ke-3 stasiun adalah dari genus Epeorus sp. dan Rhitrogena sp. yang umum disebut lalat sehari dari ordo Ephemeroptera. Organisme ini hampir ditemukan di setiap stasiun, hal ini dikarenakan kondisi perairan di 3 stasiun masih belum tercemar dan memiliki karakteristik yang sesuai bagi kehidupan serangga air, baik kondisi morfologi maupun hidrologi perairan (Tabel 9). Burneo dan Gunkel (2003) menyatakan bahwa kelimpahan makroavertebrata, termasuk serangga air dipengaruhi oleh struktur dinamik perairan, parameter fisika (arus air pada saat hujan dan panas), parameter kimia, seperti oksigen dan sedimen tersuspensi. Sebagian besar atau beberapa jenis Ephemeroptera dan Plecoptera jumlahnya meningkat dari habitat dengan arus yang tinggi hingga rendah (Sagnes et al. 2008)
26
Tabel 9 Kepadatan serangga air di kawasan Air Terjun Timbulun Kepadatan (ind/m2) NO Organisme Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 COLEOPTERA Amphizoa 6 0 0 Hydrophilus 14 6 6 Pelonomus 0 11 0 Psephenus 11 0 11 2 DIPTERA Dasyhelea 11 0 0 3 EPHEMEROPTERA Epeorus 31 86 50 Ephemerella 0 22 61 Rhitrogena 64 44 78 4 HEMIPTERA Gerris 47 69 28 Microvelia 17 0 0 Vellidae 0 0 6 5 LEPIDOPTERA Pyralidae 0 11 0 6 ODONATA Macromia 6 0 0 7 TRICOPTERA Rhyacophila 0 6 0 Jenis-jenis dari ordo serangga air yang ditemukan di kawasan perairan Air Terjun Timbulun merupakan jenis-jenis organisme yang sensitif terhadap perubahan kondisi perairan, terutama pencemaran bahan organik dan kekeruhan. Perlu adanya pengelolaan yang hati-hati terhadap kawasan, agar tidak mengganggu keberadaan biota-biota serangga air tersebut. Tujuh ordo serangga air yaitu Coleoptera, Diptera, Ephemeroptera, Hemiptera, Lepidoptera, Odonata, dan Tricoptera. Pada ke-3 stasiun ditemukan kepadatan Ephemeroptera adalah yang paling tinggi dengan kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (Gambar 5). Sedangkan kepadatan terendah adalah famili Odonata, famili ini hanya ditemukan pada stasiun 3. Odonata juga hampir jarang ditemukan pada stasiun yang lainnya, dan hanya ditemukan pada stasiun 1. Hal ini diduga karena tutupan vegetasi pada stasiun 1 yang lebih rapat daripada stasiun lainnya, sehingga cukup nyaman bagi kehidupan biota dari ordo Odonata. Lorenz et al. (2004) menyatakan bahwa, avertebrata dasar digunakan sebagai indikator dari kualitas hidromorfologikal sungai, hubungan dan cerminan adanya degradasi sungai dan pemanfaatan lahan sekitar kawasan sungai. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi keberadaan serangga air adalah kecepatan arus, pH dan kondisi kimia perairan seperti kondisi oksigen terlarut (Scheder dan Waringer 2002). Makroavertebrata dasar perairan merupakan komponen kunci dalam rantai makanan di perairan yang berhubungan dengan bahan organik dan sumber-sumber
27
nutrien (serasah, ganggang, dan detritus) dengan level trofik yang lebih tinggi (Li et al. 2010). Perifiton umumnya memiliki laju reproduksi yang cepat dan siklus hidup yang pendek. Perifiton biasanya terdapat pada substrat dan secara langsung dapat merespon perubahan faktor lingkungan, seperti bermacam-macam perubahan fisik, kimia, dan biologi yang terjadi di sungai, termasuk suhu, perubahan level nutrien, perubahan arus dan grazing (Li et al. 2010). Patrick (1973) in Kumar dan Oommen (2009) menyatakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa diatom (Bacillariophyceae) dapat hidup dengan baik pada kisaran pH 7,0-8,0. Faktor-faktor lain seperti hidrokimia dan biologi juga berpengaruh terhadap kelimpahan perifiton. Kondisi kawasan Air Terjun Timbulun saat ini masih dipengaruhi oleh perubahan faktor-faktor alami. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya hendaknya harus tetap mempertahankan kondisi alaminya. Sebagai suatu habitat alami, perairan (sungai dan air terjun) sangat penting dalam mendukung kelimpahan spesies dan mempunyai nilai ekosistem yang kompleks (Dar dan Dar 2009). Perifiton merupakan sumber makanan bagi mikro dan makroavertebrata di sungai, sedangkan perifiton memperoleh nutrien dari bahan-bahan organik yang terurai di air, yang pada umumnya berasal dari serasah-serasah yang jatuh ke air (Artmann et al. 2003).
Gambar 5 Persen (%) Kepadatan serangga air Meyer et al. (2003) menyatakan bahwa perbedaan hidrologi sungai akan menyebabkan perbedaan pada karakteristik komunitas sungai. Komunitas serangga air akan berkurang sejalan dengan perubahan kondisi hidrologi dari hulu ke hilir. Moretti et al. (2007) menyatakan bahwa masukan bahan organik (Allochthonous organic matter) di perairan sungai merupakan sumber energi bagi komunitas biota perairan yang berasal dari vegetasi-vegetasi di sepanjang sungai. Ephemeroptera, Plecoptera, dan Tricoptera adalah beberapa kelompok organisme yang sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan. Umumnya kelompokkelompok ini digunakan sebagai bioindikator kualitas lingkungan sungai terhadap bermacam-macam gangguan, seperti pencemaran bahan organik, logam berat, degradasi hidromorfologi, dan eutrofikasi (Li et al. 2010). Diptera merupakan
28
salah satu jenis serangga air yang sangat sensitif dan merespon adanya degradasi morfologi habitat sungai. Larva dan pupa dari diptera umumnya ditemukan pada kondisi sungai yang memiliki aliran dan substrat dasar tertentu, sehingga biasa dikategorikan sebagai indikator perairan sungai yang baik (Lautenschla¨ger dan Kiel 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lautenschla¨ger dan Kiel (2005) diptera umumnya terdapat pada sungai-sungai dengan orde rendah yang berada pada dataran tinggi, biasanya famili ini tidak toleran terhadap suhu tinggi. Diptera biasanya tersebar pada kawasan perairan dengan suhu rendah yang dilingkupi oleh pepohonan dan tanaman sepanjang aliran sungai. Masih terdapatnya kelompok-kelompok organisme ini di kawasan Air Terjun Timbulun mengindikasikan kalau kawasan ini masih belum mengalami kerusakan dan gangguan dari aktivitas manusia. Pengamatan juga dilakukan terhadap sumberdaya perikanan di sekitar perairan. Hasil tangkapan ikan di kawasan Air Terjun Timbulun, ditemukan 2 jenis ikan yang dominan yaitu ikan Bada Tanah (Rasbora sumatrana) dan ikan Salarian (Homaloptera gymongaster) (Gambar 6). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa sering juga ditemukan beberapa jenis kepiting sungai dan beberapa jenis burung yaitu Marabah, Balan, Kudai, dan Ruak-ruak. Burung dan ikan merupakan biota utama yang menjadi daya tarik wisata alam.
(Homaloptera gymongaster)
(Rasbora sumatrana)
Gambar 6 Jenis-jenis ikan yang ditemukan di kawasan Air Terjun Timbulun Sumberdaya perikanan di kawasan Air Terjun Timbulun berperan penting dalam rantai makanan dalam ekosistem. Keberadaan ikan menjadi kontrol bagi perkembangan sumber makanannya, seperti ikan salarian yang merupakan ikan pemakan perifiton, sehingga keberadaan ikan ini bermanfaat dalam mengendalikan pertumbuhan perifiton. Selain itu, buangan dari biota-biota perairan juga menjadi penyumbang nutrien ke perairan, yang kemudian digunakan oleh orgnisme autotrof untuk tumbuh, sehingga tetap menyediakan makanan bagi biota pada level di atasnya. Begitu juga halnya dengan keberadaan burung dan biota-biota lainnya. Nilai total coliform yang terukur pada kawasan Air Terjun Timbulun berkisar antara 7-130 MPN/100ml, dengan rata-rata yaitu 73 MPN/100ml. Menurut baku mutu kualitas air PP NO. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menyatakan bahwa jumlah total coliform yang diperbolehkan untuk air baku pengolahan air minum
29
adalah ≤ 1000 koloni/100 ml. Sedangkan Niewolak (1999) menyatakan bahwa jumlah total coliform yang diperbolehkan untuk peruntukan wisata yang adanya kontak langsung dengan air adalah kurang dari 500 MPN/100ml.
Analisis Ekowisata Kawasan Air Terjun Timbulun
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi ekologi kawasan Air Terjun Timbulun, serta studi literatur dan responden, maka dapat disusun suatu komponen-komponen ekologi lingkungan perairan yang dapat dikembangkan untuk aktivitas ekowisata di kawasan Air Terjun Timbulun (Tabel 10). Komponen ekologi yang diambil merupakan hasil pengamatan parameter lingkungan yaitu mencakup paramater fisika, kimia, dan biologi yang menjadi objek utama dalam aktivitas wisata, serta berperan penting dalam mendukung suatu kegiatan wisata di kawasan Air Terjun Timbulun. Tabel 10 Potensi kawasan yang dapat dikembangkan untuk aktivitas wisata di kawasan Air Terjun Timbulun No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komponen Lingkungan Ketinggian air terjun Luas kolam Luas hamparan daratan Arus Warna Substrat Kemiringan lahan Pemandangan
Satuan m m2 m2 cm/detik derajat -
9. 10. 11.
Tutupan vegetasi Burung Ikan
% Jenis Jenis
Nilai 10 24 500 100 Tidak berwarna Kerikil 45 Air terjun, perbukitan, pepohonan, sungai 70 4 2
Komponen-komponen lingkungan tersebut adalah komponen yang dapat dikembangkan untuk aktivitas wisata, sehingga perlu dibuat suatu besaran atau penilaian kawasan secara menyeluruh untuk melihat tingkat potensi dari kawasan Air Terjun Timbulun sebagai kawasan ekowisata, dengan demikian dapat ditentukan pengelolaan yang tepat untuk setiap komponen lingkungan, baik yang berperan langsung dalam aktivitas wisata maupun keseimbangan ekologi. Oleh karena itu, dilakukan pembuatan matriks potensi ekowisata Air Terjun Timbulun dengan menggunakan kriteria-kriteria umum yang diperoleh baik dari pengamatan lapang, studi literatur maupun analisis responden. Matriks potensi ekowisata Air Terjun Timbulun disajikan pada Tabel 11. Masing-masing komponen diberikan skor dengan rentang 1-3 untuk tiap nilai komponennya dan bobot tiap komponen dengan kisaran 5, 3 dan 1 sesuai dengan fungsi dan nilai objek. Pembuatan matriks ini dilakukan untuk memudahkan dalam penilaian kawasan, serta dapat
30
digunakan untuk menentukan target pengelolaan yang tepat pada masing-masing komponen lingkungan dalam kawasan, sehingga aktivitas ekowisata dapat dilaksanakan dengan konsep yang benar, yaitu mempertimbangkan kondisi kawasan ekologi. Tabel 11 Matriks potensi ekowisata Air Terjun Timbulun No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Komponen Lingkungan Ketinggian terjun (responden)
Bobot
Satuan
air
Luas kolam air terjun (Responden)
Pemandangan (responden)
Burung (Yulianda 2007)
Ikan (Mistry et al. 2004) Luas hamparan daratan (Responden)
Substrat (Yulianda 2007)
Kemiringan lahan (responden)
5
5
5
5
5
3
3
3
m
m2
-
Jenis
Jenis
m2
-
Derajat
Nilai
Skor
>20
3
10-20
2
<10 >50
1 3
20-50
2
<20
1
Air terjun, perbukitan, pepohonan, sungai,
3
Air terjun dan 1 dari 3 pemandangan
2
Hanya 1 dari pemdangan
1
4
>5
3
2-5
2
<2 >5
1 3
2-5
2
<2 >500
1 3
200-500
2
<200
1
Kerikil dan batuan
3
Tanah
2
Lumpur
1
Landai (0-10)
3
Agak curam (20-45)
2
Curam (>45)
1
31
Tabel 11 Lanjutan No
Komponen lingkungan
Bobot
Satuan
Tutupan vegetasi 9.
(responden, Mutz et al. 2006)
3
%
Arus 10.
(Ot’ahel’ova´ et al. 2007)
1
cm/detik
Warna 11.
(Yulianda 2007) Keterangan:
1
-
Nilai
Skor
>80
3
50-80
2
<50 >70
1 3
30-70
2
<30 Tidak berwarna
1
Agak keruh
2
Keruh = nilai untuk kondisi Air Terjun Timbulun
3
1
Nilai Maksimum paramater = ∑(bobot x skor maksimum) = 117 Potensi ekowisata Air Terjun Timbulun = (91/117) x 100% = 77,77%
Nilai bobot tertinggi adalah 5 dengan komponen lingkungan berupa objek utama aktivitas ekowisata di Kawasan Air Terjun Timbulun yaitu jenis burung, jenis ikan, ketinggian air terjun, luas kolam air terjun, dan pemandangan alam. Ketinggian Air Terjun Timbulun sekitar 10 m cukup menjadi daya tarik bagi para pengunjung, para pengunjung juga dapat menikmati aktivitas bermain air disepanjang sungai dan kolam air terjun dengan luas sekitar 20 m2, namun karena luasan kolam yang terbatas tentunya mengakibatkan terbatasnya jumlah pengunjung yang boleh bermain air agar tidak terjadi kerusakan objek baik secara langsung maupun berpengaruh kepada komponen lingkungan lainnya seperti kekeruhan. Berdasarkan hasil perhitungan matriks potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun, maka diperoleh nilai potensi ekowisata kawasan sebesar 77,77% atau dapat dikatakan berpotensi dalam pengembangan kawasan ekowisata. Berpotensi yang dimaksudkan yaitu pengembangan dapat dilakukan dengan syarat melakukan perbaikan pada komponen-komponen yang nilai skor potensinya sedang. Potensi-potensi yang dapat dikembangkan dari komponenkomponen lingkungan tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda sesuai dengan skor dan bobotnya. Bobot dan skor tertinggi merupakan prioritas utama dalam pengelolaan kawasan wisata. Komponen lingkungan yang memiliki bobot dan skor yang lebih rendah harus dikelola secara hati-hati karena mungkin akan lebih rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Keberadaan ikan di kawasan Air Terjun Timbulun banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas pemancingan di sepanjang sungai.
32
Ikan Bada Tanah (Rasbora sumatrana) dan ikan Salarian (Homaloptera gymongaster) merupakan jenis-jenis ikan yang cukup banyak diminati oleh masyarakat sebagai makanan, dikarenakan rasa ikan yang sangat gurih. Jenis ikan di sekitar kawasan memang sedikit, tetapi jumlahnya cukup melimpah, terutama pada kawasan-kawasan yang belum mengalami pencemaran, terutama pencemaran dari aktiftitas pertanian. Mistry et al. (2004) menyatakan bahwa, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk aktivitas memancing, umumnya dibutuhkan lebih dari 4 jenis ikan untuk aktivitas memancing, pada kondisi perairan dengan jenis ikan yang kurang dari 2, kelimpahan ikan berkurang karena adanya pengaruh dari aktivitas sekitar perairan, maka kondisi tersebut digolongkan sebagai kondisi lingkungan yang terancam. Jenis dan kelimpahan ikan dipengaruhi pula oleh musim, pada musim kering umumnya hanya ditemukan 3 jenis ikan. Tutupan vegetasi disepanjang sungai dan di sekitar kawasan didominasi oleh pepohonan, terutama pohon pinus, serta semak belukar dan tumbuhan-tumbuhan tropis disepanjang aliran sungai. Mutz et al. (2006) menyatakan bahwa, keberadaan vegetasi di sepanjang aliran sungai sangat penting sebagai objek dalam penilaian estetika (keindahan lingkungan), sumber bahan organik secara alami untuk perairan, mengurangi erosi, penyaring runoff, serta diperlukan untuk perbaikan sungai secara alami. Beberapa vegetasi yang terdapat di sepanjang aliran sungai terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Kondisi vegetasi di sepanjang aliran sungai Substrat dasar dari perairan sungai dan air terjun di kawasan Air Terjun Timbulun didominasi oleh kerikil dan batuan besar (Gambar 8). Dominansi substrat berupa kerikil dikarenakan derasnya arus di hulu sehingga menghanyutkan tanah dan lumpur, hal ini menjadikan perairan lebih jernih karena sedikitnya lumpur. Jernihnya perairan menjadi suatu daya tarik bagi aktivitas wisata, karena perairan terlihat bersih dan nyaman untuk bermain air, atau sekedar duduk santai di pinggir sungai menikmati pemandangan. Pemandangan yang dapat dinikmati di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun adalah keberadaan air terjun, pepohonan, perbukitan, dan sungai (Gambar 9).
33
Gambar 8 Substrat batuan besar dan kerikil di perairan sungai dan air terjun Kemiringan lahan di kawasan Air Terjun Timbulun bervariasi mulai dari yang paling curam yaitu di sekitar air terjun di stasiun 2 hingga hamparan daratan yang landai yang terdapat di stasiun 1 dan 3. Rata-rata kemiringan lahan dari stasiun 3 ke stasiun 1 adalah sekitar 45 derajat atau agak curam. Daerah dengan hamparan daratan yang landai dapat menjadi tempat beristirahat bagi para wisatawan, sedangkan daerah yang curam akan menyulitkan wisatawan untuk mencapai kawasan dan mencari posisi yang aman untuk beristirahat. Namun, kecuraman lahan juga dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung yang ingin berpetualang menikmati alam, karena akan menjadi tantangan tersendiri, sehingga wisatawan akan mendapatkan kepuasan saat bisa mencapai kawasan yang diinginkan.
Gambar 9 Pemandangan di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun
34
Gambar 9 Lanjutan
Strategi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Air Terjun Timbulun
Ekowisata merupakan bentuk baru dari aktivitas wisata, yang menggabungkan antara alam dan manusia sebagai objeknya, aktivitas wisata ini tergantung kepada; lansekap kawasan (Zhang et al. 2010), keindahan alam, kondisi lingkungan yang masih alami, arsitektur, dan kebudayaan (Zhang 2012). Fungsi dari sumberdaya alam adalah menyediakan berbagai manfaat bagi manusia, baik berupa produk maupun jasa (Everard et al. 2012), ekowisata merupakan salah satu jasa lingkungan yang disediakan alam untuk manusia, sehingga manusia harus mengelola alam secara lestari dan berkelanjutan. Pengelolaan alam yaitu dengan cara mengelola dan melindungi lingkungannya secara menyeluruh, sehingga keharmonisan sistem di alam tersebut dapat dipelihara. Pada saat penelitian masih terdapat banyak permasalahan ekologi di sekitar kawasan, seperti konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan adanya kebakaran, hal ini jika tidak dikelola dengan baik tentunya akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas Air Terjun Timbulun, sehingga perlu dilakukan perencanaan kawasan berdasarkan potensi paramater ekologi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Chen et al. (2012) menyatakan bahwa, dalam perencanaan suatu kawasan, dibutuhkan pertimbangan lansekap ekologi, karena banyak ancaman yang akan terjadi pada suatu kawasan yaitu perusakan sumberdaya, pencemaran lingkungan, dan degradasi ekologi, terutama kegiatan wisata yang melibatkan banyak manusia. Keberadaan kawasan yang masih alami, dengan mempertahankan vegetasi di sekitar perairan akan menjadi penyaring masukan pencemar ke perairan sungai Gambar 10 merupakan usulan rencana tapak kawasan ekowisata Air Terjun Timbulun berdasarkan hasil analisis parameter dan potensi ekologi kawasan Air Terjun Timbulun. Di sekitar kawasan perairan diharapkan dapat ditanami dengan vegetasi, serta tidak ada lagi kawasan pertanian di sekitar perbukitan, yang kemudian diganti dengan kawasan wisata hutan dan panorama, sehingga masyarakat tetap memperoleh penghasilan dari kegiatan perlindungan kawasan tersebut.
35
Skala= 1:100 Gambar 10 Usulan rencana tapak kawasan wisata Air Terjun Timbulun Pengelolaan secara menyeluruh mencakup pengelolaan semua parameter lingkungan yang terkait, baik fisika, kimia, maupun biologi. Pendugaan kualitas perairan dapat melalui pengamatan parameter perairan, seperti; suhu, DO, dan BOD yang digunakan sebagai indikator pada perairan sungai. Pengukuran parameter tersebut sederhana, tapi sangat efektif dalam memprediksi kualitas perairan (Gyawali et al. 2013). Dalam penerapan konsep ekowisata, maka dilakukan perencanaan pembangunan infrastruktur kawasan sesuai dengan standar dan ciri-ciri ekologis kawasan. Berikut rencana pengelolaan habitat kawasan berdasarkan standar ekologis (Lindberg 1995): Pemeliharaan ekosistem harus merupakan prioritas utama diatas segalanya. Meletakkan bangunan-bangunan dan struktur-struktur pada tempat yang tidak memerlukan penebangan pohon-pohon penting dan menekan serendah mungkin gangguan terhadap objek alam lainnya. Memanfaatkan sedapat mungkin pohon-pohon yang ditebang oleh alam (seperti pohon-pohon yang dirobohkan oleh angin atau oleh sebab-sebab alam lainnya). Sistem jalan setapak seharusnya memperhatikan pola perjalanan dan habitat hidupan liar. Kontrol erosi harusnya diperhitungkan di seluruh penempatan bangunan dan jalan setapak. Memelihara daerah bervegetasi di sekitar sungai, dan tidak mengubah pola aliran air. Bangunan harus cukup terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga tidak mengganggu pola perjalanan hidupan liar dan pertumbuhan hutan. Penggunaan mobil dan kendaraan lain harus dibatasi dengan tegas. Sediakan tanda-tanda bagi jalan setapak untuk meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap lingkungan alam dan menciptakan aturan prilaku yang jelas.
36
Beri label secara tidak menyolok pada tipe-tipe tumbuhan/pohon di sekitar kawasan, untuk memberitahu pengunjung tentang jenis-jenis yang mungkin mereka temukan di sekitar daerah pelestarian. Gunakan teknik-teknik pembangunan kawasan yang berdampak rendah, misalnya sedapat mungkin buatlah jalan setapak dari kayu dan bukan dengan meratakan tanah. Gambar 11 menggambarkan beberapa contoh perencanaan desain pengembangan kawasan ekowisata pada stasiun 2 dan 3 . Gambar tersebut memperlihatkan bahwa vegetasi dan batuan di sepanjang sungai dipertahankan, pengelolaan dilakukan tanpa mengubah kondisi alamiah kawasan. Selain itu, kawasan yang di tempati pengunjung, di upayakan agak jauh dari perairan, sehingga pengunjung masih bisa menikmati air terjun, seperti mengambil foto tanpa kontak langsung dengan perairan. Hal ini dikarenakan kawasan Air Terjun Timbulun sangat sensitif terhadap aktivitas di air, sehingga dikhawatirkan jika melakukan aktivitas bermain-main langsung dengan air, akan mengakibatkan kekeruhan dan menganggu biota di perairan. Beberapa strategi pengelolaan yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan ekowisata Air Terjun Timbulun terkait kondisi ekologinya adalah sebagai berikut: Parameter fisika Suhu dan wisata sangat erat hubungannya. Suhu merupakan potensi sumberdaya alam yang dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Namun, aktivitas manusia dapat berpengaruh negatif terhadap suhu alami, seperti emisi dari kendaraan bermotor dapat menyebabkan peningkatan suhu, yang menyebabkan ketidaknyaman dalam aktivitas wisata (Rayamajhi 2012). Gurung (2012) menyatakan bahwa, ketika tubuh manusia terpapar oleh suhu lingkungan, maka akan memperlihatkan perbedaan tingkat stres berdasarkan pada suhu yang terpapar di permukaan kulit. Suhu rata-rata yang nyaman bagi kulit adalah 20 0C, sedangkan 15 0C adalah dingin, dan 5 0C adalah sangat dingin dan tidak nyaman bagi kulit manusia. Sedangkan suhu perairan di kawasan Air Terjun Timbulun termasuk dingin yaitu 15-16 0C, sehingga tidak memungkinkan bagi wisatawan untuk berlama-lama di dalam air. Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan waktu yang tepat untuk aktivitas wisata air. Kemiringan lahan yang agak curam untuk mendaki perbukitan menuju kawasan air terjun perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan, karena pada saat hujan tanah menjadi basah dan licin, sehingga berbahaya bagi wisatawan yang akan mendaki bukit. Oleh karena itu, perlu dibuatkan jalanan alternatif yang lebih aman, seperti adanya jembatan kayu/jembatan akar, atau dengan membuat tangga tanah yang dilapisi kerikil sehingga tidak berbahaya bagi wisatawan pada saat hujan. Selain kondisi kemiringan lahan, substrat batuan pada saat hujan juga menjadi lebih licin dikarenakan pertumbuhan perifiton yang lebih tinggi dan melapisi permukaan batuan. Perlu dilakukan pembatasan aktivitas wisata di air pada saat hujan, karena sangat berbahaya jika wisatawan terpeleset di batu. Selain itu, pada saat hujan juga merupakan waktu untuk perairan pulih dari adanya perubahan kualitas perairan dikarenakan aktivitas wisata, sehingga sebaiknya tidak melakukan aktivitas bermain air pada saat hujan. Selain untuk melindungi wisatawan dari adanya kecelakaan, secara ekologi juga memberikan kesempatan
37
alam untuk pulih dari adanya gangguan manusia. Selain itu, karakteristik substrat sangat penting bagi distribusi tanaman dan kelimpahan biota perairan, yang secara langsung mempengaruhi struktur akar vegetasi (Ali 2003) Arus sungai dan air terjun juga dapat berubah-berubah seketika dikarenakan adanya perubahan cuaca harian yang sulit diduga, sehingga perlu dilakukan monitoring harian terkait kondisi arus. Hal ini berkaitan dengan kenyamanan dan keselamatan wisatawan yang bermain air di sepanjang sungai dan air terjun. Arus rata-rata yang diamati saat penelitian termasuk aman untuk melakukan aktivitas wisata di air, namun pada beberapa kawasan, terutama di stasiun 1 dan 3 banyak terdapat tempat-tempat yang lebih curam dan arus yang lebih deras sehingga sangat berbahaya untuk melakukan aktivitas bermain air di lokasi ini. Oleh karena itu, perlu dibuatkan papan-papan peringatan untuk tiap lokasi bermain air dan lokasi-lokasi yang berbahaya untuk bermain air. Adapun untuk lokasi yang berbahaya untuk bermain air, maka dapat disarankan aktivitas lain seperti menikmati pemandangan dan sebagai objek foto. Parameter kimia Oksigen terlarut (DO) merupakan senyawa yang penting bagi kehidupan biota perairan. Oksigen terlarut di perairan berasal dari berbagai sumber yaitu fotosintesis organisme autotrof terutama vegetasi tepian dan perifiton serta difusi udara dan air karena adanya arus air. Oksigen dibutuhkan oleh biota-biota perairan terutama ikan dan serangga air yang menjadi rantai makanan utama di perairan, serta dibutuhkan bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik menjadi nutrien atau senyawa anorganik. Oleh karena itu, untuk menjaga agar kondisi oksigen terlarut tetap dapat memenuhi kehidupan organisme di perairan, maka pengelolaan juga harus memperhatikan keberadaan vegetasi di pinggir sungai. Vegetasi sungai harus tetap dipertahankan, selain menyumbang oksigen juga membuat kawasan menjadi lebih indah dan menarik. Dalam pengelolaan juga harus tetap melakukan monitoring kondisi BOD, hal ini dibutuhkan untuk melihat adanya pencemaran bahan organik di kawasan, dikarenakan adanya wisatawan yang membuat sampah atau kotoran di perairan. Sehingga untuk menanggulanginya maka perlu diberi peringatan dini kepada wisatawan untuk tidak meninggalkan sampah dan kotoran di perairan. Sedangkan pH merupakan salah satu indikator lingkungan yang dapat menilai adanya perubahan kondisi perairan. Omotoriogun et al. (2012) menyatakan bahwa, nilai pH sangat penting menjadi perhatian dalam penilaian kualitas air, karena terkait dengan kesehatan manusia. Nilai pH yang melebihi atau kurang dari baku mutu yang disebabkan masukan bahan pencemar maupun alami. Umumnya akan menyebabkan iritasi kulit dan mata, sehingga untuk aktivitas wisata, pemilihan perairan dengan pH normal menjadi pertimbangan utama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lillebø et al. (2007) ditemukan bahwa, suhu 9-11 0C dengan konsentrasi oksigen 8-9 mg/l, rata-rata konsentrasi total nitrogen adalah sekitar 0,4 mg/l, dan rata-rata konsentrasi total fosfat sekitar 0,25 mg/l. Sedangkan pada beberapa penelitian di sungai-sungai kecil tanpa adanya pengaruh aktivitas manusia, ditemukan bahwa rata-rata konsentrasi nitrogen lebih tinggi daripada konsentrasi fosfat. Orang-orang yang melakukan aktivitas ekowisata adalah orang-orang yang cinta kelestarian alam dan berkontribusi terhadap konservasi alam. Mereka ingin meminimalisir dampak
38
terhadap hidupan liar, tanah, vegetasi, kualitas air, dan mereka peduli terhadap budaya masyarakat lokal (Padojinog et al. 2011), sehingga diharapkan kondisi ekologi yang ada dapat tetap terjaga saat dilaksanakannya pengelolaan kawasan.
Gambar 11 Perencanaan desain pengembangan ekowisata di stasiun 2 dan 3
Parameter biologi Parameter biologi di kawasan Air Terjun Timbulun yang menjadi perhatian utama adalah ikan. Keberadaan ikan asli sumatera yaitu Ikan Bada Tanah (Rasbora sumatrana) dan ikan Salarian (Homaloptera gymongaster) di perairan sangat diminati oleh masyarakat di sekitar kawasan, sehingga pada musim-musim penghujan banyak masyarakat yang mengambil ikan menggunakan potassium (racun) sehingga dikhawatirkan akan mengancam populasi ikan. Selain itu, aktivitas pertanian yang buangannya masuk ke sungai juga menjadi salah satu ancaman kelestarian sumberdaya ikan sungai. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya kawasan sekitar perairan Air Terjun Timbulun harus bebas dari aktivitas pertanian dan buangan limbah pertanian. Sedangkan aktivitas wisata yang disarankan untuk menikmati sumberdaya perikanan ini adalah wisata pancing, karena selain ramah lingkungan, juga dapat dilakukan hanya pada lokasilokasi tertentu yang banyak terdapat ikan dewasa, terutama di stasiun 3. Sedangkan di stasiun 1 banyak ditemukan ikan-ikan yang berukuran kecil, sehingga tidak disarankan untuk ditangkap.
39
Erdeli dan Dinca (2011) menyatakan bahwa, strategi pengembangan ekowisata bertujuan pengembangan dan perlindungan kawasan, yang kemudian berlanjut pada hubungan antara lembaga pengelola terkait dengan para pemangku kepentingan dalam perlindungan kawasan (masyarakat lokal, pengunjung, pemerintahan lokal). Ekowisata sangat erat hubungannya dengan wisata berkelanjutan. Keberlanjutannya bergantung pada hubungan antara aktivitas wisata dan lingkungannya. Pengelolaan yang baik dalam kawasan ekowisata adalah melalui perlindungan dan pemeliharaan kekayaan hayati, serta meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Selain itu, ekowisata dapat menggambar suatu kegiatan mempromosikan nilai dari kawasan yang dilindungi, sehingga penting adanya monitoring dan evaluasi dalam kawasan dan aktivitas wisata (Bunruamkaew dan Murayama 2011).
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kawasan Air Terjun Timbulun memiliki kondisi ekologi lingkungan perairan yang masih sangat alami dan belum mendapat gangguan dan pencemaran dari aktivitas manusia. Berdasarkan hasil kajian ekologi yang dilakukan maka diperoleh 11 komponen lingkungan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek dalam aktivitas ekowisata di kawasan Air Terjun Timbulun, komponen tersebut yaitu ketinggian air terjun, luas kolam air terjun, pemandangan alam, keberadaan burung dan ikan, luas hamparan daratan, tutupan vegetasi, arus dan warna air. Setiap komponen lingkungan perairan memiliki peran, baik sebagai objek dalam aktivitas wisata maupun berfungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Nilai potensi ekowisata kawasan Air Terjun Timbulun adalah 77,77% atau berpotensi untuk pengembangan kawasan ekowisata. Dalam pengembangan potensi ekowisata di dalam kawasan harus memperhatikan kondisi ekologis terutama beberapa paramater-parameter kunci dalam ekosistem seperti suhu, DO, pH, dan BOD sehingga pengelolaan dan pemanfaatan potensi kawasan, khususnya untuk aktivitas ekowisata dapat lestari dan berkelanjutan. Rancangan pengelolaan yang tepat untuk kawasan Air Terjun Timbulun adalah berdasarkan konsep ekosistem, dengan memperhatikan kondisi ekologis lingkungan dan biota yang hidup di dalam kawasan. Melalui konsep ini diharapkan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan dapat lestari dan berkelanjutan.
Saran Perlu dilakukan monitoring terus-menerus terkait kondisi arus dan kestabilan lahan perbukitan untuk mencegah adanya longsor lahan perbukitan secara tiba-tiba pada musim hujan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Abdul AR, Asiedu AB, Entsua EM, deGraft AA. 2009. Assessment of the Water Quality of the Oti River in Ghana. West African Journal of Applied Ecology. 15 (1) : 12. Ali MM. 2003. Plant functional types in Lake Nubia in relation to physicogeographic factors. Limnologica. 33: 305-315. Al-Sayed M, Al-langawi A. 2003. Biochemical resources conservation through ecotourism development. J Arid Environ. 54: 225–236. [APHA] American Public Health Association. 2012. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Washington DC (US). 1193 hlm. 22 nd Edition Artmann U, Waringer JA, Schagerl M. 2003. Seasonal dynamics of algal biomass and allochthonous input of coarse particulate organic matter in a low-order sandstone stream (Weidlingbach, Lower Austria). Limnologica. 33. 77-91. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2004. Master Plan Kawasan Danau Kembar Kabupaten Solok. Pemerintahan Daerah Kabupaten Solok. Solok (ID). Baattrup-Pedersen A, Riis T. 1999. Macrophyte diversity and composition in relation to substratum characteristics in regulated and unregulated Danish Streams. Freshwater Biol. 42: 375–385. Bartram J dan Ballance R. 1996. Water Quality Monitoring - A Practical Guide to the Design and Implementation of Freshwater: Quality Studies and Monitoring Programmes. New York (US): United Nations Environment Programme and the World Health Organization 22 hlm. Bellinger EG. 2010. Freshwater Algae Identification And Use As Bioindicators. Environmental Science and Policy. Central European University. Hungary (HU). 285 hlm. Bjork P. 2000. Ecotourism from a conceptual perspective, an extended definition of aunique tourism form. Int J Tourism. 2: 189-202. Bookbinder MP, Rijal A, Cauley H, Rajours A, Dinerstein E. 1998. Ecotourism’s support of biodiversity. Conser Biol. 12(6): 1399-1404. Brower JE, Zar JH. 1992. Field And Laboratory Methods For General Ecology. Brown Publishers. Dubuque. 194 hlm. Bunruamkaew K, Murayama Y. 2011. Site suitability evaluation for ecotourism using gis & ahp: a case study of Surat Thani Province, Thailand. Procedia Social and Behavioral Sciences. 21: 269–278. Burneo PC, Gunkel G. 2003. Ecology of a high Andean stream, Rio Itambi, Otavalo, Ecuador. Limnologica. 33: 29-43. Burns A, Ryder DS. 2001. Potential for biofilms as biochemical indicators in Australian riverine systems. Ecological Management dan Restoration Journal. 2: 53-63. Butcher JT, Stewart PM, Simon TP. 2003. A benthic community index for streams in the Northern Lakes and forests ecoregion. Ecol Indic. 3 (2003) 181–193. Chapman D. 1996. Water Quality Assessment. London (GB): E dan FN Spon press. hlm 77-100. 2 nd Edition
41
Chen L, Yang ZF, Chen B. 2012. Landscape ecology planning of a scenery district based on a characteristic evaluation index system—a case study of the Wuyishan Scenery District. Procedia Environmental Sciences. 13: 30 – 42. Dale VH, Bayeler SC. 2001. Challenges in the development and use of ecological indicators. Ecol Indic. 1: 3–10. Dar IA, Dar MA. 2009. Sasonal variations of avifauna of Shallabug Wetland, Kashmir. J Wetl Ecol. 2: 20-34. Dubicki A, Malek JM, Stron´ska K. 2005. Flood hazards in the upper and middle Odra River basin – A short review over the last century. Limnologica. 35: 123–131. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya Dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta (ID). 258 hlm. Erdeli G dan Dinca AI. 2011. Tourism – A vulnerable strength in the protected areas of the Romanian Carpathians. Procedia Social and Behavioral Sciences. 19: 190–197. Everard M, Harrington R, McInnes RJ. 2012. Facilitating implementation of landscape-scale water management: The integrated constructed wetland concept. Ecosystem Services. 2: 27–37. Fakhrudin M, Wibowo H, Apip, Risdiyanto I. 2004. Pengembangan sistem informasi limnologi untuk pengeloaan sumberdaya perairan darat. Jurnal Limnotek. XI: 45-57. Fandeli C. 2000. Pengusahaan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (ID). Feld CK, Kiel E, Lautenschlgger M. 2002. The indication of morphological degradation and rivers using Simuliidae. Limnologica. 32: 273-288. Fennell DA. 2001. A content analysis of ecotourism definitions. Tourism. 4(5): 402-42. http://www.commerce.otago.ac.nz/tourism/htm. Fieseler C, Wolter C. 2006. A fish-based typology of small temperate rivers in the northeastern lowlands of Germany. Limnologica. 36: 2–16. Goodwin H, Roe D. 2001. Tourism, lifehood and protected areas: Opportunities for fair-trade tourism in and around national park. Int J Tourism Research. Int. J. Tourism Res. 3: 337-391. Gössling S. 1999. Ecotourism: A means to safeguard biodiversity and ecosystem functions?. Ecol Econ. 29 (2): 303-320. Gurung DB. 2012. Two dimensional suhue distribution model in human dermal region exposed at low ambient suhues with air flow. J Sci Eng Technol. 8 (2): 11-24. Gyawali S, Techatoa K, Yuangyai C, Musikavong C. 2013. Assessment of relationship between land uses of riparian zone and water quality of river for sustainable development of river basin, A case study of U-Tapao river basin, Thailand. Procedia Environmental Sciences. 17: 291 – 297. Hakanson L dan Bryhn AC. 2008. Tools And Criteria For Sustainable Coastal Ecosystem Management. Verlag Berlin Heidelberg. Jerman (DE): Springer. 296 hlm. Hauer RF dan Lamberti GA. 2007. Methods in Stream Ekology. London (GB): Elsevier Inc. 877 hlm.
42
Hossain MS, Das NG, Sarker S, Rahaman MZ. 2012. Fish diversity and habitat relationship with environmental variables at Meghna river estuary, Bangladesh. Egypt J Aquat Res. 38: 213–226. Jessel B, Jacobs J. 2005. Land use scenario development and stakeholder involvement as tools for watershed management within the Havel River Basin. Limnologica. 35: 220–233 Judova´ P, Jansky´ B. 2005. Water quality in rural areas of the Czech Republic: Key study Slapanka River catchment. Limnologica. 35: 160–168. Karim A. 2004. Implications Ecosystem in Bangladesh. New York (US): Kluwer Academic Publishers. 125 hlm. Karrasch B, Mehrens M, Rosenlocher Y & Peters K. 2001. The dynamics of phytoplankton, bacteria and heterotrophic flagellates at two banks near magdeburg in the river elbe (Germany). Limnologica. 31: 93-107. Kefalas E, Catharios JC, Miliou H. 2003. Bacteria associated with the sponge Spongia officinalis as indicators of contamination. Ecol Indic. 2: 339–343. Kohler J, Bahnwart M, Ockenfeldi K. 2002. Growth and loss processes of riverine phytoplankton in relation to water depth. Internat Rev Hydrobiol. 87 (2) : 241-254. Kopacek J, Hejzlar J, Borovec J, Porca Pl, and Kotorova I. 2000. Phosphorus inactivation by aluminum in the water column and sediments: Lowering of in-lake phosphorus availability in an acidified watershed-lake ecosystem. Limnol Ocean J. 45: 212–225. Kumar N dan Oommen C. 2009. Influence of limiting factors on phytoplankton and coliform population in an inundated, isolated wetland. J Wetl Ecol. 3: 43-55. Lautenschlager M, Kiel E. 2005. Assessing morphological degradation in running waters using Blackfly communities (Diptera, Simuliidae): Can habitat quality be predicted from land use?. Limnologica. 35: 262–273. Lee H S, Joseph HW. 1995. Continuous monitoring of short term dissolved oxygen and algal dynamics. Water Res. 29 (12): 2789-279. Li L, Zheng B, Liu L. 2010. Biomonitoring and bioindicators used for river ecosystems: definitions, approaches and trends. Procedia Environmental Sciences. 2: 1510–1524 Lillebø AI, Morais M, Guilherme P, Fonsecad R, Serafim AN, Neves R. 2007. Nutrient dynamics in Mediterranean temporary streams: A case study i Pardiela catchment (Degebe River, Portugal). Limnologica. 37: 337–348. Linberg K. 1995. Ekowisata : Petunjuk Untuk Perencana dan Pengelola. Terjemahan dari: Ecotourism. Jakarta (ID): The ecotourism society press. 180 hlm. Liuab M, Luob X, Lic Q. 2012. An integrated method used to value recreation land—a case study of Sweden. Energy Procedia. 16: 244-251. Lorenz A, Feld CK, Hering D. 2004. Typology of streams in Germany based on benthic invertebrates: Ecoregions, zonation, geology and substrate. Limnologica. 34(4): 379–389. Melcher AH, Ouedraogo R, Schmutz S. 2012. Spatial and seasonal fish community patterns in impacted and protected semi-arid rivers of Burkina Faso. Ecol Eng. 48: 117– 129.
43
Mereta ST, Boets P, Bayih AA, Malu A, Ephrem Z, Sisay A, Endale H, Yitbarek M, Jemal A, Meester LD, Goethals PLM. 2012. Analysis of environmental factors determining the abundance and diversity of macroinvertebrate taxa in natural wetlands of Southwest Ethiopia. Ecol Inform. 7: 52–61. Meyer A, Meyer EL, Meyer C. 2003. Lotic communities of two small temporary karstic stream systems (East Westphalia, Germany) along a longitudinal gradient of hydrological intermittency. Limnologica. 33: 271-279. Mistry J, Simpso M, Berardi A, Sandy Y. 2004. Exploring the links between natural resource use and biophysical status in the waterways of the North Rupununi, Guyana. J Environ Man. 72: 117–131. Moretti M, Goncalves JF, Callisto M. 2007. Leaf breakdown in two tropical streams differences between single and mixed species packs. Limnologica. 37: 250–258. Mutz M, Pie´gay H, Gregory KJ, Borchardt D, Reich M, Schmieder K. 2006. Perception and evaluation of dead wood in streams and rivers by German students. Limnologica. 36: 110–118. Niewolak S. 1999. Bacteriological monitoring of river water quality in the north area of wigry national park. Pol J Environ Stud. 9 (4): 291-299. Omotoriogun TC, Uyi OO, Egbon IN. 2012. The Physicochemical Characteristics of Ibiekuma River Ekpoma, Nigeria. J Wetl Ecol. 6: 01-06. Padojinog GG, Dolor JB, Garcia MD, Monsale FN, Baltazar MH, Jolito EB, Bedonia JB, Poblete SFB. Villaluz EA dan Savillo IT. 2011. The potential of tinorian river as an eco-tourism spot in the province of Iloilo, Philippines. J Wetl Ecol. 5: 79-82. Pessarakli M. 2005. Photosynthesis. Taylor & Francis Group.. Tucson, Arizona (US): CRC Press. hlm 883 . 2 nd. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta (ID). 30 hlm. Pizarro H, Vinocur A. 2000. Epilithic biomass in an outflow stream at Potter Pennisula, King George Island, Antarctica. Pollar Biol. 23: 851-857. Pemerintahan Nagari Sungai Nanam. 2003. Profil Nagari Sungai Nanam. Solok. Sumatera Barat (ID). Pratiwi NTM, Krisanti M, Maryanto I. 2009. Indikator Kerusakan Ekosistem Perairan Darat. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta (ID). Rayamajhi S. 2012. Linkage between tourism and climate change: a study of the perceptions of stakeholders along the annapurna trekking trail. Nepal Tourism and Development Review. 2: 2091-2234. Ross S, Wall G. 1999. Evaluating ecotourism: The case of North Sulawesi, Indonesia. Tourism Man. 22: 31-42. Sanderson EW, Redford KH, Vedder A, Coppolillo PB, Ward SE. 2002. A conceptual model for conservation planning based on landscape species requirements. Landscape and Urban Plan. 58: 41–56. Scheder C, Waringer JA. 2002. Distribution patterns and habitat characterization of Simuliidae (Insecta: Diptera) in a low-order sandstone stream (Weidlingbach, Lower Austria). Limnologica. 32: 236-247.
44
Sagnes P, Me´rigoux S, Pe´ru N. 2008. Hydraulic habitat use with respect to body size of aquatic insect larvae: Case of six species from a French Mediterranean type stream. Limnologica. 38 : 23–33. Soenarno. 2004. Peran strategis data dan informasi sumberdaya air dalam pembangunan nasional. Jurnal Limnotek. XI(1): 1-10. Soininen J. 2002. Responses of epilithic diatom communities to environmental gradients in some finnish rivers. Internat Rev Hydrobiol. 87: 11-24. Suliyanto. 2011. Perbedaan pandangan skala likert sebagai skala ordinal atau skala interval. Prosiding Seminar Nasional Statistika Universitas Diponegoro 2011. 10 hlm Suzanna Y. 2004. Pembangunan dan pengembangan pengelolaan kualitas sumberdaya air. Jurnal Limnotek. XI: 67-71. Thani I, Phalaraksh C. 2008. A preliminary study of aquatic insect diversity and water quality of Mekong River, Thailand. KK Sci journal. 36 (suplplement): 95-106. Ueda S, Kawabata H, Hasegawa H, Kondo K. 2000. Characteristics of fluctuations in salinity and water quality in Brackish, Lake Obuchi. The Japanese Society of Limnology. 1: 57–62. UN-Water (United Nation Water). 2006. Coping With Water Scarcity: A Strategic Issue And Priority For System-Wide Action. International Decade for Action Water for Life 2005-2015. 12 hlm. Val AD. 2006. The Physiology of Tropical Fishes. Amsterdam. Belanda (NL): Academic Press. 642 hlm. Vymazal J. 2008. Wastewater Treatment, Plant Dynamics and Management in Constructed and Natural Wetlands. Praha (): Springer 353 hlm. Wetzel RG. 2001. Limnology:Lake and River Ecosystem. California (US): Academic press. 985 hlm. 3 nd edition. Williams DD. 2006. The Biology of Temporary Waters. New york (US): Oxford University Press. 348 hlm. Wu Y, Liu S, Gallant AL. 2012. Predicting impacts of increased CO2 and climate change on the water cycle and water quality in the semiarid James River Basin of the Midwestern USA. Sci Tot Environ. 430: 150–160. Xu H, Duozhi LV, Yinghua FAN. 2012. A pragmatic framework for urban river system plan in plain river network area of China. Procedia Engineering. 28: 494 – 500. Yu B, Huanga C, Liub Z, Zhang B, Qin F. 2010. Wavelet analysis on nh3-n pollution index changes of the middle-upper Minjiang River during last 6 years. Procedia Environmental Sciences. 2: 9–14. Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Disampaikan pada Seminar Sains 21 Februari 2007 pada Departemen Sumberdaya Perairan. FPIK IPB. Bogor (ID). 19 hlm. Zambrano AMA, Broadbent EN, Durham WH. 2010. Social and environmental effects of ecotourism in The Osa Peninsula of Costa Rica: the Lapa Rios Case. 9: 62-83. Zhang X. 2012. Research on the development strategies of rural tourism in Suzhou based on swot analysis. Energy Procedia. 16: 1295 – 1299.
45
Zhang Z, Liu S, Dong S. 2010. Ecological security assessment of Yuan River watershed based on landscape pattern and soil erosion. Procedia Environmental Sciences. 2: 613–618.
46
LAMPIRAN 1.
Pertanyaan-pertanyaan kuisioner a.
Kuisioner untuk penilaian peranan parameter perairan untuk ekowisata air terjun
Ditujukan kepada : Teknisi, Tim ahli, Wisatawan, dan Akademisi Pertanyaan: - Pengetahuan tentang ekowisata - Kunjungan ke kawasan air terjun - Kegiatan di dalam kawasan air terjun - Internsitas dan alasan kunjungan - Hal yang menarik dalam kawasan air terjun yang dikunjungi - Penilaian peranan komponen lingkungan dalam ekowisata air terjun - Pengelolaan yang tepat dalam kawasan sesuai kondisinya b. Kuisioner untuk penilaian kondisi masyarakat sekitar kawasan Air Terjun Timbulun Ditujukan kepada : Masyarakat sekitar kawasan Air Terjun Timbulun dan Masyarakat di luar kawasan Air Terjun Timbulun Petanyaan: - Pengetahuan tentang ekowisata - Kunjungan ke kawasan Air Terjun Timbulun - Alasan kunjungan ke kawasan Air Terjun Timbulun - Hal yang menarik di kawasan Air Terjun Timbulun - Kondisi kawasan Air Terjun Timbulun - Tingkat kenyamanan di kawasan Air Terjun Timbulun - Objek wisata yang diminati - Aksesibilitas ke kawasan Air Terjun Timbulun - Permasalahan yang terjadi di kawasan Air Terjun Timbulun - Pengelolaan yang tepat untuk kawasan Air Terjun Timbulun c. Kuisioner tentang pengelolaan kawasan oleh pemerintah daerah Ditujukan kepada : Wali Jorong dan Wali Nagari Sungai Nanam, Camat Lembah Gumanti, dan Kepala Dinas Pariwisata Kab.Solok Pertanyaan: - Kondisi umum kawasan Air Terjun Timbulun - Hal menarik sebagai objek wisata di kawasan Air Terjun Timbulun - Permasalahan yang terjadi di kawasan Air Terjun Timbulun - Permasalahan dalam pengelolaan kawasan - Pengelolaan yang telah dilakukan - Keunggulan dan kelemahan kawasan Air Terjun Timbulun - Pengelolaan yang tepat untuk kawasan Air Terjun Timbulun
47
2.
Foto haratan daratan di kawasan Air Terjun Timbulun
48
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nagari Sungai Nanam, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 7 Januari 1990 sebagai anak sulung dari pasangan Bapak Julmasril dan Ibu Warnita. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA 1 Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2011. Pada Tahun 2011 penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Program Pascasarjana IPB. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai Redaksi Jurnal Moluska Indonesia pada bagian editing dan Humas. Penulis juga berkesempatan untuk menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan.