LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM

Download LAPORAN AKHIR. PENELITIAN TA 2008. SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL. EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM. Oleh...

0 downloads 476 Views 185KB Size
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

Oleh : Sumaryanto

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008

RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Penelitian ini dilaksanakan melalui pola konsorsium. Dilaksanakan pada tahun anggaran 2008 dengan biaya dari APBN, tim peneliti terdiri dari para peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Padjadjaran. Data yang dianalisis adalah data sekunder dan data primer. Terkait dengan kebutuhan untuk perumusan kebijakan, dipilih empat aspek yang menjadi fokus penelitian yaitu: (i) penguasaan lahan dan ketenaga kerjaan pertanian, (ii) perkembangan diversifikasi usahatani, (iii) marketable surplus beras, dan (iv) konsumsi dan pengeluaran rumah tangga perdesaan. Untuk aspek (i) – (iii) data

yang

dianalisis

adalah

hasil

survey

2008

yang

dirancang

dapat

diperbandingkan dengan kondisi 1995 dan 2000, sedangkan untuk aspek (iv) data yang dianalisis adalah data SUSENAS 2000 dan 2005 dan dikombinasikan dengan hasil survey 2008 tersebut. 2. Penelitian dilakukan di 9 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Di setiap propinsi diambil 4 desa contoh sehingga secara keseluruhan ada 36 desa contoh lokasi penelitian, dan di setiap desa contoh diambil 10 petani contoh. Secara agregat desa-desa contoh yang diambil dapat merepresentasikan 3 tipe agroekosistem yaitu: (1) agroekosistem pesawahan, (2) agroekosistem lahan kering tipe_1, dan (3) agroekosistem lahan kering tipe_2. 3. Secara keseluruhan laporan penelitian ini ada 5 buku terdiri atas empat buah laporan untuk masing-masing aspek dan satu buah sintesis hasil penelitian dari keempat aspek tersebut. Tulisan ini merupakan sintesis hasil penelitian yang dimaksud. Secara ringkas, sejumlah temuan penting yang sangat relevan dengan kebutuhan untuk perumusan kebijakan adalah sebagai berikut. 4. Pada saat ini, rata-rata luas pemilikan lahan pertanian utama adalah sebagai berikut. Pada agroekosistem pesawahan, di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa masingmasing adalah sekitar 0.33 Ha dan 0.56 Ha. Dengan urutan yang sama, pada agroekosistem lahan kering berbasis komoditas tanaman pangan/hortikultura,

masing-masing adalah 0.35 ha dan 0.93 Ha; sedangkan pada agroekosistem lahan kering berbasis komoditasp perkebunan di Luar Pulau Jawa adalah 1.19 Ha. 5. Proses penyempitan luas pemilikan tanah dan fragmentasi masih terus berlangsung. Ini terjadi di semua tipe agroekosistem. Selain terkait dengan meningkatnya kepadatan penduduk, penyebab lainnya adalah pertumbuhan kesempatan kerja non pertanian di perdesaan relatif lambat; sementara itu di sejumlah desa yang budaya agrarisnya masih kental, status sosial juga dipengaruhi oleh pemilikan tanah. 6. Perolehan lahan milik melalui dari warisan masih tetap dominan (53 persen). Meskipun demikian cara perolehan dari pembelian cukup besar (40 persen) dan transaksi penjualan lahan cenderung meningkat. Selama periode 1995 – 2008, ratarata peluang terjadinya penjualan lahan milik adalah sekitar 0.75 persen/tahun; dan dalam hal ini peluangnya lebih besar pada perdesaan di Luar Pulau Jawa. Faktor yang mendorong meningkatnya peluang penjualan lahan milik adalah semakin tuanya umur petani dan meningkatnya meningkatnya minat angkatan kerja terhadap kesempatan kerja non pertanian. 7. Secara gradual selama kurun waktu 1995 – 2007 terdapat kecenderungan bahwa distribusi pemilikan lahan semakin timpang (Gini Index dari 0.554 tahun 1995 menjadi 0.594 pada tahun 2007). Pada usahatani padi, kecenderungan tersebut tidak berpengaruh nyata. Faktor yang berpengaruh nyata adalah harga gabah (positip) dan tingkat intensifikasi usahatani padi. Hal ini berimplikasi bahwa untuk jangka pendek, instrumen kebijakan yang efektif untuk meningkatkan produktivitas usahatani padi adalah kebijakan harga gabah dan kebijakan lain yang kondusif untuk mendorong intensifikasi usahatani. 8. Terkait dengan sempitnya rata-rata pemilikan lahan maka sebagian besar rumah tangga petani tidak hanya bekerja di usahatani saja. Sekitar 61 persen rumah tangga petani, selain menggarap usahataninya sendiri juga berburuh tani. Dalam kegiatan berburuh tani ini tingkat partisipasi rumah tangga petani di perdesaan P. Jawa lebih tinggi. Pada kegiatan non pertanian, tingkat partisipasi petani dalam bentuk usaha sendiri adalah 36 persen, sedangkan dalam status sebagai buruh upahan di non pertanian (termasuk menjadi karyawan, pegawai) adalah sekitar 22 persen.

viii

9. Anggota rumah tangga usia kerja di perdesaan semakin tidak tertarik bekerja di usahatani. Proporsi anggota rumah tangga yang pekerjaannya hanya berusahatani semata adalah sekitar 37 persen. Kondisi demikian itu menyebabkan sebagian besar tenaga kerja pertanian terisi oleh tenaga kerja berusia tua (gejala "aging"). Pengaruhnya terhadap produktivitas usahatani memang belum nyata, namun jika kecenderungan seperti itu terus berlanjut diperkirakan akan berdampak negatif terhadap perkembangan pertanian. 10. Suksesi usahatani perlu memperoleh perhatian serius. Proporsi petani yang keinginannya sangat tinggi untuk mewariskan usahataninya hanya sekitar 23 persen, sedangkan yang keinginannya sangat rendah adalah sekitar 13 persen. Sisanya, yakni sekitar 64 persen termasuk kategori ragu-ragu. 11. Tipe agroekosistem, kepadatan penduduk, dan perkembangan kesempatan kerja non pertanian mempengaruhi struktur pendapatan masyarakat perdesaan. Kontribusi pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga di perdesaan agroekosistem pesawahan di Pulau Jawa adalah sekitar 19 persen, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah

69

persen.

Pada

agroekosistem

lahan

kering

berbasis

tanaman

pangan/hortikultura di Pulau Jawa adalah 29 persen, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah 80 persen. Pada perdesaan di luar Jawa pada agroekosistem lahan kering berbasis tanaman perkebunan, kontribusinya adalah sekitar 64 persen. 12. Diversifikasi usahatani

merupakan jalan keluar yang cukup jitu untuk

meningkatkan pendapatan petani, terutama bagi petani yang luas lahannya sempit. Orientasi sebagian besar petani dalam beridiversifikasi lebih banyak yang mengarah pada minimisasi risiko. Diversifikasi yang orientasinya mengarah pada maksimisasi pendapatan baru berkembang pada sekelompok kecil petani. Tingkat partisipasi petani dalam pengusahaan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi masih sangat rendah. Menurut penjelasan sebagian besar petani, kendala yang dihadapi petani bukan hanya pada penguasaan aspek teknis, tetapi juga berkenaan dengan tiadanya insentif finansial dan masalah pemasaran. 13. Jika perkembangan diversifikasi dipilah menjadi 3 kategori: (1) menerapkan dan mengembangkan, (2) menerapkan tetapi statis, dan (3) tidak menerapkan, hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode 1995 – 2007 sebagian besar petani

ix

tidak menerapkan diversifikasi. Proporsi petani yang termasuk kategori (3) hampir mencapai 80 persen (77 – 81 persen). 14. Untuk level rumah tangga, dengan perkembangan diversifikasi seperti itu diperkirakan bahwa dalam jangka pendek tidak berdampak nyata pada pasokan pangan pokok yakni beras. Di sisi lain, karena diversifikasi usahatani kondusif untuk meningkatkan pendapatan maka perkembangan diversifikasi justru konvergen dengan ketahanan pangan karena diversifikasi kondusif untuk meningkatkan atau setidaknya mempertahankan pendapatan, sedangkan tingkat pendapatan merupakan determinan dari akses terhadap pangan. 15. Untuk level agregat, dampak diversifikasi tentu saja membutuhkan pengkajian lebih lanjut. Secara teoritis, jika perkembangan diversifikasi usahatani berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi padi sedangkan pola konsumsi tidak berubah maka berkorelasi negatif ketahanan pangan karena food availability menurun. 16. Marketable surplus beras sangat ditentukan oleh produksi padi yang dihasilkan dan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Terkait dengan itu, sampai saat ini kontributor terbesar beras di pasar masih berasal dari hasil produksi padi dari P. Jawa dimana luas lahan sawah beririgasi dominan dan secara umum intensitas tanam padi maupun produktivitasnya lebih tinggi. 17. Oleh karena variasi temporal dan spatial ketersediaan beras di pasar lebih banyak ditentukan oleh "marketed surplus" beras maka determinan dari "marketed surplus" selain volume produksi adalah "cara penjualan" yang dilakukan oleh petani padi. Terkait dengan itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi ternyata menjual hasil gabahnya secara sekaligus kemudian diikuti dengan cara bertahap dan tebasan. Dalam kaitannya dengan persediaan beras di rumah tangga petani, pengaruh dari cara penjualan sekaligus setelah panen ataupun cara tebasan tidaklah berbeda. Alasan yang dikemukakan petani untuk melakukan penjualan secara sekaligus adalah karena butuh uang tunai (42 persen), mengurangi resiko (28 persen), dan kurangnya sarana (25 persen). 18. Jika diperbandingkan dengan kondisi tahun 1995 ada kecenderungan meningkatnya partisipasi petani dalam melakukan penjualan secara bertahap. Hal ini terkait dengan pengalaman yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dimana harga beras

x

lebih bergejolak. Pada penjualan bertahap tersebut, petani menjualnya dalam bentuk gabah kering simpan, kering giling ataupun beras. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa kebiasaan untuk menyimpan gabah dan kemudian menjualnya dalam bentuk beras relatif lebih populer di Luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. 19. Dalam aspek konsumsi, rata-rata rumah tangga di Indonesia mengalokasikan lebih dari 60 persen pendapatannya untuk kebutuhan pangan. Di antara pengeluaran pangan, pangsa pengeluaran untuk beras menempati porsi dominan. Selama 1999 – 2005, pangsa pengeluaran untuk beras mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 1999 menjadi 19 persen pada tahun 2005. Di sisi lain, pengeluaran untuk untuk telur, daging ayam, susu, mie dan terigu umumnya mengalami peningkatan dengan besaran peningkatan yang bervariasi menurut karakteristik rumah tangga. 20. Dampak kenaikan harga pangan dalam periode September 2007 – Maret 2008 yang lalu terhadap pola konsumsi pangan dan pengeluaran rumah tangga petani cukup beragam. Di kalangan petani pada agroekosistem sawah, dampak negatif yang paling dirasakan adalah menyusutnya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non pangan pokok serta persediaan modal, baik untuk usahatani maupun usaha non pertanian. Pada agroekosistem lahan kering, dampak yang paling dirasakan akibat kenaikan harga pangan adalah menurunnya modal usahatani dan hal ini berdampak pada kemampuan dalam membiayai usahatani hortikultura yang secara umum membutuhkan biaya biaya yang relatif besar. Pada agroekosistem perkebunan, kenaikan harga pangan hanya berdampak pada perubahan penggunaan input dan penurunan biaya di luar kebutuhan pokok. Oleh karena sebagian besar rumah tangga petani pada agroekosistem ini tidak memproduksi beras maka naiknya harga beras dengan nyata meningkatkan porsi pengeluaran untuk pangan. 21. Pada umumnya rumah tangga petani berusaha mempertahankan kuantitas maupun kualitas pangan pokok yang dikonsumsinya walaupun harga pangan pokok naik. Oleh karena itu, yang kemudian dikorbankan adalah kuantitas dan mutu konsumsi lauk pauk.

xi