PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN WANITA NELAYAN

1 PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN WANITA NELAYAN Laporan Studi Lapangan Di Pantai Kuwaru, Poncosari, Srandakan, Bantul Pengantar Program p...

6 downloads 608 Views 227KB Size
PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN WANITA NELAYAN Laporan Studi Lapangan Di Pantai Kuwaru, Poncosari, Srandakan, Bantul

Pengantar Program pemberdayaan merupakan suatu terobosan yang dipakai untuk menggambarkan sebuah upaya mengubah status sosial di masyarakat. Biasanya program pemberdayaan menyangkut upaya mengubah status tidak berdaya/kurang berdaya

menjadi

berdaya.

Adanya

perubahan

paradigma

pembangunan

menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya peran serta masyarakat dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pentingnya pemberdayaan ini belum sepenuhnya mengilhami pemerintah, swasta ataupun masyarakat itu sendiri. Terlebih kini banyak program pemerintah yang syaratnya harus mengikutsertakan masyarakat untuk menyukseskan program-program tersebut. Namun realita di lapangan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sering membias dan tidak tepat sasaran. Pemberdayaan Masyarakat Konsep

pemberdayaan

masyarakat

didefinisikan

sebagai

upaya

memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agara dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. (Agus dalam Oktiva, 2014). Studi Lapangan di Pantai Kuwaru Salah satu sasaran pemberdayaan masyarakat adalah kalangan nelayan. Para masyarakat

pesisir

tersebut

menjadi

sasaran

pemberdayaan

mengingat

ketergantungan sumber ekonomi dari alam. Ketika belum musim ikan misalnya, tentunya mengakibatkan pendapatan nelayan berkurang. Meskipun ada pekerjaan sambilan berdagang makanan hasil olahan laut, tentu itu belum mencukupi. Untuk

1

lebih mengetahui bagaimana pemberdayaan di masyarakat pesisir pantai/kampung nelayan, Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta baik kelas pagi maupun kelas sore yang mengambil mata kuliah Teori dan Isu Pembangunan mengadakan studi lapangan. Studi lapangan ini merupakan program yang diinisiasi oleh Dosen Oktiva Anggraini yang bertujuan untuk mengenalkan para mahasiswa secara langsung kegiatan para nelayan, wanita nelayan dan kelompok sosial kemasyarakatan yang ada. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Studi lapangan ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 15 November 2014 mulai pukul 13.00 s.d. selesai. Adapun lokasi yang dipilih adalah Objek Wisata Pantai Kuwaru yang masuk wilayah Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Provinsi D. I. Yogyakarta. Metode Studi Lapangan Para mahasiswa pertama-tama mendengarkan sambutan sekaligus paparan dari Ketua Kelompok Nelayan Fajar Arum. Lalu mahasiswa mendapat kuisioner yang terdiri dari kuesioner terbuka dan kuisioner tertutup. Kuisioner tersebut diisi berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan dalam ataupun wanita nelayan yang tergabung dalam kelompok tersebut. Narasumber dan Responden Adapun yang menjadi objek studi lapangan adalah Kelompok Nelayan “Fajar Arum” dan Kelompok Wanita Nelayan/Pedagang “Cemara Asri”. Narasumber dari Kelompok Nelayan “Fajar Arum” adalah Bapak Ponidi selaku ketua kelompok dan Ibu Sri/Ny. Sudarjo selaku anggota Kelompok Wanita Nelayan/Pedagang “Cemara Asri”.

2

Hasil Studi Lapangan Studi Lapangan ini merupakan program mandiri yang rutin dilaksanakan oleh dosen pengampu mata kuliah Teori dan Isu Pembangunan, Oktiva Anggraini, S.I.P., M.Si. Penentuan tanggal 15 November 2014 yang jatuh hari Sabtu ini berdasarkan kesepakatan hasil musyarawah mufakat para mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut. Kegiatan ini cukup mendapat antusias yang tinggi dari mahasiswa. Selain karena banyak manfaat yang didapat dari hasil studi lapangan ini, juga dapat dijadikan ajang refreshing di sela-sela bekerja dan kuliah mengingat mayoritas mahasiswa yang ikut dari kelas sore dan sudah bekerja. Sayangnya, ada beberapa mahasiswa yang tidak bisa bergabung dalam kegiatan ini karena tugas dan hal lain. Para mahasiswa berkumpul terlebih dahulu berkumpul di Pendopo Agung UWMY untuk mendapatkan pengarahan dari Dosen. Di sini diberikan penjelasan mengenai karakteristik kelompok nelayan, masyarakat sekitar, arahan, dan bimbingan pengisian kuesioner. Setelah itu dilanjutkan dengan berdoa dan bersiap menuju ke Pantai Kuwaru dengan kendaraan pribadi secara bersama-sama. Meski mendung menggelayut tak menyurutkan niat para calon pemimpin ini untuk melihat pemberdayaan kelompok nelayan di sana. Memasuki Kabupaten Bantul gerimis pun turun. Hal ini tentunya sudah diantisipasi para peserta studi lapangan yang mayoritas mengendarai sepeda motor. Bagi yang mengendarai mobil tentunya tidak masalah jika hujan deras turun. Mendekati pantai hawa dingin menyambut kedatangan kami. Akhirnya sampai dilokasi tujuan dengan selamat. Beberapa mahasiswa sudah ada yang tiba di lokasi karena rumahnya dekat dengan kawasan pantai. Setelah seluruh mahasiswa tiba dilokasi dan memarkirkan kendaraan, acara pun dimulai dan dipandu oleh ketua kelas sore Saudara Satriyo Mustikaning Prajurit. Setelah dibuka dengan berdoa bersama-sama, acara dilanjutkan dengan sambutan Dosen, Ibu Oktiva. “ Saya ucapkan terimakasih kepada mahasiswa yang sudah hadir dan kepada Bapak Ponidi selaku Ketua Kelompok Nelayan di Pantai

3

Kuwaru ini yang sudah bersedia meluangkan waktu dan menerima kami”, ujarnya. Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai maksud dan tujuan kedatangan di Pantai Kuwaru ini. Beliau juga mengapresiasi semangat para mahasiswa kelas sore, yang memiliki semangat muda dan bisa dijadikan inspirasi bagi mahasiswa kelas pagi. Sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan Administrasi Negara tak lepas dari ilmu sosial. Mahasiswa dituntut peka dengan lingkungan sekitar. “Mahasiswa sosial harus akrab dengan fenomena- fenomena sosial”, tambahnya. Di sesi berikutnya Ketua Kelompok Nelayan “Fajar Arum” pun memberikan sambutannya. Bapak Ponidi, demikian sapaan akrabnya mengucapkan selamat datang bagi Dosen dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UWMY. Beliau pun melanjutkan sambutannya dengan menceritakan cuplikan sejarah berdirinya objek wisata Pantai Kuwaru dan Kelompok Nelayan “Fajar Arum”. Sejarah Kelompok Nelayan Fajar Arum Bermula sekitar tahun 1994 sebuah objek wisata Pantai Pandansimo mulai terkenal. Masyarakat di dusun Kuwaru dan Pandansimo membentuk kelompok nelayan dengan nama Pandanmino. Mereka termotivasi dari lagu dan sejarah bahwa nenek moyangku seorang pelaut. Berawal dari itulah mereka memberanikan diri untuk melaut dan membentuk paguyuban. Keberhasilan kelompok nelayan Pandanmino pun diikuti jejaknya oleh warga di Kuwaru. Para nelayan ingin membentuk kelompok serupa dengan lokasi pantai di sebelah timurnya Pantai Pandansimo. Pantai ini dikenal dengan Pantai Kuwaru. Adapun kelompok nelayan di Pantai Pandansimo kemudian dinamai Pandanmino I dan yang berada di Pantai Kuwaru dinamai Pandanmino II. Kelompok nelayan Pandanmino II pun masih kekurangan modal, terutama perahu dan pada waktu itu masih menginduk di kelompok Pandanmino I. Kemudian kelompok Pandanmino II pun mengajukan permohonan bantuan ke Pemerintah Kabupaten Bantul dan membuahkan hasil. Sekitar tahun 1996 satu buah perahu akhirnya didapat untuk melaut mencari ikan. Dirasa pengalaman melaut masih

4

kurang, tak menyurutkan niat mereka untuk jaya dilaut. Mereka (Pandanmino II) belajar dari nelayan di Pantai Sadeng dan Pantai Baron, Gunungkidul yang sudah maju dalam melaut. Bahkan instruktur ini pun didatangkan langsung ke Kuwaru untuk berbagi ilmu dan pengalaman melaut. Awal-awal melaut, tangkapan hasil laut mencapai 3,5 kuintal. Jumlah perahu pun berkembang dari satu menjadi tujuh perahu. Perkembangan ini pun didukung dan direspon oleh pemerintah. Mengingat sering terjadinya kekeliruan penyebutan, persepsi, citra dan salah sasaran ketika ada bantuan dari pemerintah antara Pandanmino I dan II, maka sekitar tahun 1997 kelompok nelayan Pandanmino II memisahkan diri dari Pandanmino 1. Ujungnya pada tahun 1998 kelompok nelayan di Pantai Kuwaru berubah nama menjadi “Fajar Arum”. Geliat kelompok nelayan ini pun mengalami kemajuan dalam hal kepemilikan perahu. Pada tahun 2000 jumlah perahu meningkat menjadi 24 perahu. Cakupan anggotanya pun berasal dari 3 (tiga) dusun sekitar Pantai Kuwaru. Bahkan sampai mengekspor ikan bawal dan layur. Kesadaran masyarakatpun meningkat dengan mulai menanam pohon cemara udang yang dimulai tahun 2005-2006 sehingga kawasan pantai menjadi lebih rimbun. Tahun 2009 Pantai Kuwaru pun bersolek dan menjelma menjadi objek wisata baru yang menarik minat wisatawan. Ribuan pengunjung mulai berdatangan. Banyaknya pengunjung yang datang tentunya mengubah aspek sosial ekonomi masyarakat di Pantai Kuwaru. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh para penduduk setempat termasuk para nelayan, baik nelayan setempat ataupun nelayan dari daerah lain seperti Cilacap. Akhirnya banyak nelayan dan dari profesi lainnya yang beralih profesi menjadi pedagang makanan olahan hasil laut dan minuman. Tahun 2010 rumah makan dan penjual oleh-oleh menjamur di kawasan tersebut. Penataan pun dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Akses jalan, sarana dan prasarana mulai dikembangkan guna menunjang kepariwisataan Pantai Kuwaru. Ketenaran Pandansimo pun digantikan dengan Kuwaru.

5

Namun, kejayaan Pantai Kuwaru pun harus berangsur-angsur memudar saat tahun 2012 kawasan yang dulu rimbun dengan pohon cemara udang tersebut mulai terkena abrasi. Menurut Pak Ponidi, sejak terkena abrasi tersebut hingga kini setidaknya kawasan cemara udang dan pantai terkikis sejauh 130 m. Kondisi seperti ini tentunya tidak bisa dihindari mengingat hal tersebut adalah gejala alam. Pengunjung pantai pun mulai menurun karena daya tarik Pantai Kuwaru pun berkurang. Sehingga pendapatan nelayan atau pedagang juga terkena imbasnya. Hasil tangkap ikan pun tidak selamanya stabil. Terlebih ada musim dan masa panen ikan. Kekurangan ketersediaan bahan baku akhirnya didatangkan dari daerah lain seperti Semarang. Ditambah lagi penghasilan dari isteri nelayan yang berdagang semakin berkurang, membuat pendapatan masyarakat berkurang. Kondisi demikian menyebabkan kelompok nelayan ataupun pedagang mencoba mengembangkan sumber lain yang cocok dengan karakteristik alam Pantai Kuwaru. Akhirnya mulailah dengan budidaya udang di tambak-tambak yang terletak di sebelah utara pantai. Mulanya hanya beberapa, namun mengingat banyak warga yang tertarik di bisnis sambilan tersebut serta iming-iming hasil yang lumayan dari pembudidaya yang berhasil, akhirnya semakin banyak warga masyarakat Pantai Kuwaru yang membudidayakan udang. Kini banyak tambak udang yang dikelola warga di lahan pasir yang sebenarnya lahan tersebut bukan lahan mereka, melainkan lahan Sultan Ground. Puluhan kolam dan tambak menjamur di sepanjang kawasan mulai dari Pantai Goa Cemara hingga Pantai Baru Kuwaru. Rata-rata keberadaan pembudidaya udang tersebut masih merintis dan baru tahap permulaan. Baru awalawal panen dan hasilnya belum kelihatan. Meskipun demikian, itu tidak menyurutkan niat para warga guna mencari sumber modal lain untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya. Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Wanita Nelayan Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Pantai Kuwaru yang sempat melemah dalam bidang ekonomi lantaran mulai sepinya pengunjung, serta

6

meningkatkan peran serta wanita nelayan untuk membantu mencukupi kehidupan keluarganya, maka pemberdayaan masyarakat khususnya wanita nelayan pun mulai dicanangkan. Para penyuluh baik dari pemerintah melalui dinas-dinas terkait ataupun para pemerhati seperti civitas akademika, LSM dan investor ikut serta dalam mendampingi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan atau agar lebih berdaya. Peningkatan nilai tambah atau nilai guna dari barang/jasa yang selama ini ada mulai diupayakan melalui pemberdayaan wanita nelayan. Berikut hasil wawancara penyusun bersama rekan mahasiswa Bapak Trisno Budi Handoyo dengan salah seorang anggota kelompok wanita nelayan yang tergabung dalam kelompok pedagang “Cemara Asri”. Identitas Responden Nama

: Sri/Ny. Sudarjo

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 47 tahun

Pekerjaan

: Pedagang makanan olahan hasil laut dan minuman, pemilik warung makan.

Alamat

: Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten

Bantul,

Provinsi

D.

I.

Yogyakarta Pendidikan terakhir

: SMP/sederajat

Etnisitas

: Jawa

Agama

: Islam

Lamanya tinggal di desa/kel

: ± 47 tahun (sejak lahir)

Jumlah anggota keluarga

: 4 (empat) orang

Hubungan dengan KK

: Isteri

Penghasilan

: < 1 juta rupiah (± Rp 500.000,-)

Ibu Sri tergabung dalam kelompok/paguyuban pedagang makanan olahan hasil laut dan minuman. Ibu 47 tahun tersebut menjajakan makanannya dengan

7

membuka 2 warung yang terletak di sisi timur jalan masuk dan satunya di sisi barat. Suaminya, Bapak Sudarjo tergabung dalam kelompok nelayan “Fajar Arum”. Keluarga ini dikaruniai dua anak putra, anak pertamanya sudah lulus SMK dan kini ikut membantu membudidayakan udang di tambak yang mereka miliki dan tentunya dibantu adiknya. Salah satu kegiatan dalam Cemara Asri adalah arisan. Para anggotanya adalah ibu-ibu, yang rata-rata suaminya bermata pencaharian sebagai nelayan dan pembudidaya udang. Ibu Sri bergabung dalam kelompok pedagang Cemara Asri diajak tokoh setempat yang juga sesama pedagang. “Gimana kalau kita membentuk kelompok atau paguyuban, supaya kalau ada apa-apa bisa diselesaikan dengan mudah, kalau ada bantuan bisa dikelola bersama, biar tidak perang harga, dan kalau bersamasama kan bisa lebih baik..”, ujarnya saat menceritakan awal mula dirinya bergabung dalam kelompok tersebut. Tanpa ada keterpaksaan, dengan sukarela Ibu Sri bersedia bersama para wanita pedagang lainnya membentuk paguyuban pedagang. Kepengurusan pun terbentuk dan program-program kegiatan mulai dilaksanakan seperti penyeragaman harga jual ikan, kegiatan pelatihan dan penyuluhan, manajemen warung makan, kerja bakti membersihkan kawasan pantai, hingga arisan untuk lebih mengikat antar anggota Cemara Asri. Meskipun di wilayah RT-nya juga tetap ada arisan, namun Ibu Sri juga tetap mengikuti arisan yang diadakan Cemara Asri. Arisan dilaksanakan satu kali seminggu dan biasanya pada hari Minggu. Dalam setahun setidaknya 48 kali diadakan kegiatan rutin arisan. Sumber pendapatan utama kelompok ini tentu saja dari pribadi masing-masing anggota. Frekuensi pertemuan dan kualitas pertemuan pun meningkat saat Pantai Kuwaru mengalami masa jayanya. Ikatan kekerabatan, kesamaan profesi, tinggal di pemukiman yang sama, kesamaan gender, mayoritas agama yang sama, etnis dan bahasa menjadi latar belakang berdirinya kelompok wanita nelayan ini. Tidak ada pembedaan antara yang pendidikannya tinggi atau rendah, usia, apalagi si kaya ataupun si miskin. Bagi mereka yang terpenting bisa meningkatkan taraf hidup rumah tangga, bermanfaat

8

bagi komunitas dan bermanfaat di masa-masa darurat. Untuk mencapai tujuantujuan tersebut tentunya mereka bekerja sama dengan kelompok nelayan, kelompok sadar wisata, para penyuluh, dsb. Selera pengunjung ketika menikmati hidangan di warung-warung makan tentunya berbeda. Ketersediaan jenis ikan atau hasil laut juga mempengaruhi minat pengunjung. Selain itu lokasi juga turut mempengaruhi banyaknya pedagang yang berkunjung. Banyak sedikitnya pengunjung berdampak pada penghasilan para pedagang, sehingga dipastikan bahwa penghasilan para anggota Cemara Asri tidak seragam meskipun sudah ada kesepakatan/standarisasi harga jual. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya saat masa jaya, kini pendapatan pun berkurang. Keadaan serupa juga dialami para pedagang lainnya. Sehingga frekuensi pertemuan arisan serta jumlah anggota yang hadir ataupun jumlah anggota arisan sendiri juga mulai berkurang. Untuk menjadi anggota Cemara Asri tidak ada iuran dari anggotanya, hanya saja kegiatan operasional didapatkan dari potongan uang arisan dan bantuan pemerintah, itu pun jika ada. Mengingat kelompok Cemara Asri hanyalah kumpulan para pedagang penjual makanan. Di sini tidak ada pelayanan simpan pinjam. Kalaupun ada kebutuhan mendesak dan tidak ada simpanan, para wanita ini biasanya mengajukan pinjaman ke bank konvensional. Kekhawatiran tidak lancarnya cicilan dan mungkin ketidakpercayaan pada anggota serta keamanan, akhirnya memang tidak ada pelayanan simpan pinjam. Jika mengalami kasus tidak memilik beras misalnya karena hasil tangkapan ikan nihil, jualan benar-benar sepi, mereka lebih baik ngomong terus terang dengan tetangga. Ibu Sri menuturkan bahwa dirinya tidak pernah melakukan barter dengan para tetangganya. Bahkan tetangganya justur menolongnya dengan memberinya cuma-cuma ketika butuh bahan pangan. Mungkin ia membalasnya dengan cara yang sama, ketika tetanggnya tidak punya apa-apa dan ia dimintai bantuan, beliau pun akan menolongnya. Lima tetangga dekatnya dan sebagian besar masyarakatnya

9

pun juga turut menunjukkan kekerabatannya yang tinggi dan bersedia jika dimintai pertolongan. Adanya kepercayaan antar tetangga/kerabat dimiliki oleh sebagian besar masyarakat setempat, karena mayoritas adalah penduduk asli. Pernah suatu ketika ada penduduk pendatang yang belum masuk keanggotaan Cemara Asri dan mulai berdagang dengan membuka warung seperti halnya Ibu Sri. Namun orang tersebut menjual dengan harga yang lebih murah untuk menarik pembeli tentunya. Misalnya harga ikan cakalang yang disepakati per porsinya waktu itu Rp 10.000,00, namun pedagang baru tersebut menjual dengan harga Rp 8.000,-. Tentunya hal ini menimbulkan konflik. Para anggota Cemara Asri pun banyak yang protes dan marah karena curang dan melanggar ketentuan standar harga. Akhirnya mereka duduk bersama dan menyelesaikan konflik tersebut. Musyawarah mufakat diambil dan dipimpin langsung oleh ketua kelompok. Belajar dari pengalaman itulah, masyarakat kini lebih mengikuti kesepakatan. Meskipun tidak juga curiga terhadap orang baru. Perbedaan tersebut yang menimbulkan konflik ini disebabkan faktor ekonomi/demi keuntungan pribadi, bukan demi keuntungan bersama tentunya. Selain itu perbedaan antara penduduk yang sudah lama menetap dan baru lama menetap juga melatarbelakangi konflik perang harga tersebut. Demi kepentingan bersama, tentunya program-program yang di susun, misalnya kerja bakti membersihkan kawasan masing-masing warung dan pantai, direalisasikan dengan gotong royong. Sebagian besar warga terlibat dalam aksi peduli lingkungan tersebut. Sumbangan dalam bentuk tenaga, saran, peralatan (fasilitas) dengan mudahnya keluar. Untuk konsumsi ya ditanggung sendiri-sendiri. Jika ada yang tidak berpartisipasi, rata-rata tidak ada sanksi yang diberikan. Ketika ada bantuan pemerintah demi kemajuan wilayah, pendistribusiannya selalu dirembug dengan sesama warga dan pengurus. Solidaritas antar warga bisa dibilang tinggi. Permasalahan ataupun konflik sangat menurun. Di bidang pemanfaatan modal sosial dalam penanggulangan kemiskinan,

berdasarkan

penuturan Ibu Sri, kelompok wanita nelayan/pedagang Cemara Asri tidak ada

10

kegiatan simpan pinjam, tabungan, kesehatan, transfer teknologi, irigasi dan pekerjaan. Hanya pada pelayanan penyediaan bahan baku dan pemasaran saja yang dapat menunjang perluasan akses ekonomi. Jika ada informasi perdagangan seperti harga ikan, harga kebutuhan pokok, dll didapat dari asosiasi bisnis/serikat kerja yang notabene adalah paguyuban pedagang. Selain itu diurutan kedua akses informasi berasal dari kelompok dan yang ketiga berasal dari keluarga, teman dan tetangga. Selanjutnya dalam perluasan akses akutalisasi diri, pada proses pengambilan keputusan yang berlangsung di dalam kelompok baik di dalam kelompok warga arisan atau kelompok nelayan/wanita nelayan, tidak pernah suatu keputusan diambil oleh pimpinan, baru diberitahukan kepada anggota. Lebih seringnya pimpinan bertanya pada anggota, kemudian baru diputuskan. Terkadang para anggota berdiskusi dan mengambil keputusan bersama-sama dan kadang ada intervensi dari pihak luar seperti tokoh masyarakat (dukuh) dan penyuluh. Kemudian dalam menentukan pemimpin di dalam kelompok yang ada di warga/arisan dan nelayan/wanita nelayan, tidak pernah keputusan diambil oleh pimpinan, kelompok kecil atau dari pihak luar. Semua anggota diikutkan untuk berdikusi dan baru mengambil keputusan bersama-sama. Secara umum kepemimpinan dalam kelompok yang diikuti cukup efektif. Jika wanita nelayan ini ingin mengajukan kredit pinjaman atau mengambil keputusan di dalam rumah tangga, sangat sering didiskusikan dengan para suami mereka masing-masing. Dukungan suami ini begitu kuat ketika mereka bergabung dalam kelompok. Hal ini juga nampak ketika suami sering membantu tugas-tugas rumah tangga ketika para isteri ada pertemuan dengan kelompoknya. Selama bisa dikerjakan sendiri, misalnya mengurus anak, para wanita ini juga tidak pernah meminta bantuan dari anggota keluarga lain. Penutup Itulah hasil wawancara dengan Ibu Sri yang kala itu sedang membersihkan sampah dedaunan di belakang warungnya. Gerimis pun kembali turun, namun 11

wawancara akhirnya selesai juga. Pemanfaatan modal bagi pemberdayaan wanita nelayan jika hanya mengandalkan dari kelompoknya, dirasa belum cukup mengingat kegiatan wanita nelayan ini hanya berupa arisan per minggunya, pelatihan/penyuluhan jika ada yang memberi penyuluhan. Pelayanan simpan pinjam, kesehatan, pelayanan tabungan, serta irigasi tidak ada. Akses informasi terbatas karena hanya didapat dari kelompok setempat dan tetangga.

Media

informasi publik belum dimanfaatkan secara optimal sehingga pemanfaatan program peningkatan taraf ekonomi khususnya nelayan hanya di awal saja. Sepinya pengunjung tentunya program pemberdayaan beralih ke program lainnya. Kerja bakti massal hanya dilakukan oleh Kelompok Sadar Wisata (pokdarwis). Namun, keluarga Ibu Sri bisa dibilang sudah berkecukupan yang terlihat dari tidak pernah meminjam uang ke tetangga, tidak pernah barter barang ketika tidak memiliki apa-apa dan jarang juga pinjam uang ke bank kalau tidak benarbenar mendesak. Kini harapannya yang besar tergantung dari warungnya yang ada di sebelah timur, karena yang di sebelah barat sepi, buka jika ada pesanan saja atau pas hari Minggu/liburan. Suaminya dan anak-anaknya mulai menekuni budidaya udang. Jika hanya bergantung pada hasil dari melaut, tentunya tidak bisa diandalkan mengingat tidak setiap hari bisa melaut karena tergantung pada ombak dan musim ikan. Melalui wawancara ini pula, beliau menegaskan bahwa kerusakan hutan cemara udang bukan ulah warga setempat. Banyak isu menyesatkan yang mengatakan bahwa kenapa cemara udang habis karena ditebang warga. Itu salah besar, padahal mereka lah bersama-sama kelompok nelayan ataupun pedagang yang menanam pohon cemara udang. Bahkan pemerintah sempat mengatakan kalau warga Kuwaru ngeyel, susah diatur dalam menjaga kelestarian cemara udang. Kalaupun menebang pohon, hanya rantingya saja itu pun bukan pohon cemara udang, tetapi pohon teresede atau jenis pohon lainnya. Terselip harapan semoga budidaya udang keluarganya bisa memberikan lagi sumber pendapatan yang besar, abrasi tidak terjadi lagi dan bisa lebih berdaya.

12