Perang Simbol ...
PERANG SIMBOL WACANA TAN MALAKA VERSUS WACANA KOLONIAL BELANDA: BUDAYA POLITIK ZAMAN PERGERAKAN Sawirman Abstract In 1920s, Tan Malaka had not just criticized the Dutch colonial symbols but also abandoned them with his own symbols. Symbolic wars through discourses happened. In this case, the hegemonic discourses of the colonialist state were opposed with the counter-hegemonic ones. Key words: symbolic war, discourse, hegemony, Tan Malaka, Dutch, colonialist
Pendahuluan Perang simbol (symbolic wars) selalu menghantui wacana dunia1. Pada awal-awal pergerakan Indonesia, bacaan kiri dianggap sebagai simbol “bacaan liar” dan buku-buku terbitan Balai Poestaka dianggap sebagai simbol dan corong politik etis Belanda2. Bacaan liar “buku-buku kiri” misalnya yang diproduksi antara lain oleh Tan Malaka (lihat: Parlemen atau Sovyet, Aksi Masa, dan Gerpolek) pada awal gerakannya di PKI ditujukan untuk melakukan counter-hegemony terhadap produk-produk kata “sihir” 1
2
Perang simbol tidak hanya terjadi antarpenganut filsafat idealisme dengan materialisme, rasionalisme dan empirisisme, modernisme dan postmodernisme, komunisme dan liga antikomunisme, terorisme dan liga anti terorisme, tetapi juga antarpenganutnya sendiri. Sekadar contoh, Marx dan Engels misalnya menyebut pengikut Partai Sosialis dari Louis Blanc di Perancis dengan sebutan “sosialisme utopis” dan “tukang-tukang jual obat sosialisme” (Badri, 1997:116). Artinya, sebutan Komunisme pada Manifesto Komunis yang digunakan oleh Marx dan Engels dimaksudkan untuk membedakannya dari istilah Sosialis yang sudah dipakai para pendahulunya.
Belanda pada saat itu melontarkan semangat politik etis yang harus tetap dijaga oleh negara kolonial dengan slogan “justice and equality” untuk seluruh rakyat Hindia. Simbol itu digunakan oleh Belanda sebagai benteng kolonial untuk mencari muka di mata dunia.
ETNIK Vol. No.1 - 95 WACANA ETNIK, Jurnal Ilmu SosialWACANA dan Humaniora. ISSN12098-8746.
Volume 1, Nomor 1, April 2010. Halaman 95 - 112. Padang: Pusat Studi Informasi dan Kebudayaan Minangkabau (PSIKM) dan Sastra Daerah FIB Universitas Andalas
Sawirman
seperti kapitalisme, beweging (gerakan), vergadering (rapat), imperialisme, staking (pemogokan), dan internasionalisme yang sering diperkenalkan oleh kaum imperialisme dan kapitalisme. Pada kajian ini hanya difokuskan pada perang simbol antara Tan Malaka dan imperialisme Belanda pada masa kolonial Belanda3. Tan Malaka4 dengan nama lengkap Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka5 lahir di Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat (1897-1949)6 dikenal sebagai seorang tokoh revolusioner penuh misterius dan legendaris. Para sejarawan dan politisi mengalami kesulitan menempatkan posisi Tan Malaka dalam kerangka nation building dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Banyaknya pemikiran, sisi kehidupan, dan ideologi Tan Malaka yang tidak dapat diungkap dengan baik, menantang kaum akademisi untuk menelaah figurnya dalam berbagai perspektif. Otobiografi dan karya-karya Tan Malaka versi cetak ulang serta biografi dan tulisantulisan seputar perjuangannya laris di pasaran. Pengalaman, perjuangan, dan pengembaraan hidupnya yang sarat dengan petualangan, pelarian, pengungsian, pengasingan, penyamaran, dan pengejaran polisi selama dua puluh tahun di luar negeri dan hampir tiga tahun menghuni beberapa rumah tahanan RI seperti yang diuraikan dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara Jilid 1-37 dan Madilog, memunculkan berbagai versi kontroversial seputar dirinya. Sebutan-sebutan seperti “ahli agitasi propaganda Komunis” (Sekretariat Negara RI, 1994:11), dan “Pimpinan PKI” (Nasution, 1977:53-54) 3
4
disarikan dari Razif dalam situs http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/ 498/ selectedworks/B-Liar2.html.
Dalam situs-situs internet sampai bulan April 2002 ditemukan sekitar lima puluhan halaman situs yang membicarakan tentang Tan Malaka. Tan Malaka dalam situs itu tidak hanya dilihat dari sisi seperti (1) apologetikanya, (2) filsafat bepikirnya, (3) perjuangannya, (4) buku-bukunya, (5) ajaran dogmatisnya, (6) perbandingannya dengan berbagai tokoh dunia dari Socrates di Athena sampai Osama Bin Laden di Afghanistan, tetapi juga dilihat dari sisi seperti (1) keterkaitannya dengan budaya Minangkabau, (2) keterkaitannya dengan Islam, dan (3) kehidupan pribadinya. Yang lebih ironis lagi adalah penggunaan pamor Tan Malaka untuk chatting dan pencarian jodoh antar“pelanggan internet”. Bahkan Jalan Tan Malaka (salah satu nama jalan di Kota Padang) dan Kota Malaka serta iklan-iklan tentang tempat-tempat penting seperti hotel, restoran, dan sekolah-sekolah yang ada di sekitarnya sering diletakkan pada halaman situs yang sama.
Tan Malaka adalah gelar Datuak “Datuk” atau gelar adat dan gelar kehormatan masyarakat Minangkabau. Gelar datuak Tan Malaka dan rumah gadang-nya sampai saat ini masih diturunkan kepada pewarisnya. Tahun kelahiran Tan Malaka itu diambil dari versi Mrazek (1994:6). 6 Tahun itu berbeda dengan versi Jamaluddin Tamin, pengikut setia Tan Malaka yang juga dari Sumatera Barat, beranggapan bahwa Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1896. Versi Mrazek dan Jamaluddin Tamin itu berbeda pula dengan versi Tan Malaka sendiri yang menulis tahun kelahirannya pada tahun 1898 (Poeze 1999). 7 Otobigrafi Tan Malaka Dari Penjara ke Penjara itu sudah diterjemahkan oleh Helen Jarvis ke dalam bahasa Inggris From Jail to Jail sejak tahun 1991 5
96 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
lebih melekat pada figur Tan Malaka dalam versi sejarah Orde Baru. Klaim lainnya seperti “Agen Bolsyewik” (doktrin kelas buruh untuk mencapai kebebasan sosial politik pada pemerintahan sedang berjalan yang bermula dari partai Bolshevik Rusia semasa Lenin dan Trotsky), “ekstremis”, “licin”, dan “oportunis” dituduhkan pula oleh Dewan Pemeriksaan Khusus Kantor Pabean (the Board of Special Inquiry of the Bureau of Custom) Filipina pada Tan Malaka (Poeze, 1999:111-114). Di kalangan partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri mengklaim Tan Malaka sebagai seorang “Trotskyis” atau pengikut tokoh Komunis Leon Trotsky yang lebih mengutamakan Revolusi Permanen dan pernah mengkritik “kemerosotan birokrasi dalam sistem Soviet” sekaligus musuh Stalin, terutama setelah kematian Lenin (lihat: Riff 1995:146-147). Demikian pula, Semaoen pernah menganggap Tan Malaka sebagai “agen Jepang” (Poeze, 1999), terutama setelah Tan Malaka kembali ke Indonesia dari “rantau kedua”-nya (istilah “rantau kedua” itu sesungguhnya istilah yang digunakan oleh Mrazek tahun 1994 yang dimulai setelah Tan Malaka mendapat “hukuman pengasingan” ke negeri Belanda). Di sisi lain beberapa kaum akademisi, politisi, budayawan, dan agamawan yang sudah menelaah karya-karya Tan Malaka, seperti Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Dari Penjara ke Penjara, Gerpolek, Parlemen atau Sovyet, Aksi Mass, Gerpolek, Theses, dan “Surat-surat Politik” Tan Malaka dengan tidak memungkiri ideologi Marxisme-Leninisme Tan Malaka (Mrazek, 1994:39; Magnis-Suseno dalam Basis Edisi Maret-April, 2001:47) dan tidak memungkiri perannya sebagai agen Komintern (Komunis Internasional) (Poeze, 1999:32) serta impian dan sintesis Tan Malaka pada Indonesia Merdeka Sosialis (Mrazek, 1994:47), juga menganggap Tan Malaka sebagai seorang pejuang sejati dan pahlawan bangsa yang terpinggirkan. Tan Malaka dianggap sebagai sosok “nasionalis sejati dalam arti yang paling baik” (Magnis-Suseno dalam Basis edisi Maret-April 2001: 46; 51-52), founding father (Eddy Widjarnako dalam Madilog 1999:x), “pejuang”, “bukan seorang Marxis”, “tidak sama dengan pimpinan PKI” (Kompas 12 Maret 2000)8, “pemikir brilian” dan “pahlawan nasional” (national 8
Kompas Minggu, 12 Maret 2000 mengeluarkan berita rangkuman diskusi tentang “Tan Malaka Tokoh Pemikir dan Pejuang Bangsa Indonesia”. Forum itu menghadirkan pembicara antara lain Hadidjojo Nitimiharjo (Ketua Umum Partai Murba), Alex Paath (Sekjen Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia ’66), dan Burhan Magenda (anggota DPR RI) . Pada diskusi yang juga dihadiri Anhar Gonggong itu menyepakati antara lain: (1) perlunya diluruskan citra dan peran Tan Malaka dari korban politik Orde Baru, (2) Tan Malaka pantas diangkat sebagai salah seorang pahlawan bangsa, (3) Tan Malaka seorang pemikir dan pejuang besar Indonesia yang menguasai ideologi-ideologi besar dunia, (4) Tan Malaka lebih dulu ingin menciptakan Republik Indonesia dalam tulisannya “Naar de Republiek” pada tahun 1924 dari Bung Karno yang baru
WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 97
Sawirman
hero) (Kusno, 2001)9, “pejuang revolusioner yang kesepian”, “pedagog”, “kauvinis”, “berpikiran kerakyatan”, “menantang sikap elitis dan keningratan”, “bepikir realistis, dinamis/dialektis, dan logis”, “menantang cara berpikir kosmosentris dan mistis”, (Mrazek, 199410: x; 10; 14; 43; 54; 85; Poeze, 1999:295). Sebutan-sebutan lain dalam karya fiksi11 seperti “Bapak Republik”, “Pembela Bangsa”, dan “Pemimpin Asia” juga ditujukan untuk Tan Malaka. Beberapa ahli bahkan menyejajarkan sosok Tan Malaka dengan beberapa pemikir, filsuf, dan pahlawan dunia seperti Bung Karno (Franz Magnis-Suseno, Basis Edisi Maret-April, 2001:44), Rousseau, Voltaire, Sun Yat Sen (nasionalis Cina), Quezon, Plato, dan Jose Rizal12 (pahlawan nasional Filipina) (Mrazek, 1994:97-99; dan Poeze, 1999:125-133). Figur Tan Malaka disejajarkan pula oleh Ignas Kleden (2000) dengan Karl Popper. Kleden menyamakan kemampuan Tan Malaka membumikan ajaran Marxisme dalam Madilog dengan kualitas Popper dalam bukunya The Open Society and its Enemies (sekarang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya). Sekalipun demikian, kedua “karya besar” tersebut memiliki visi perbedaan yang mendasar. Tan Malaka dalam semua karyanya tidak pernah mengeluarkan satu kata atau satu istilah pun yang bernuansa kritik pada ajaran Karl Marx. Hal itu berbeda dengan Karl Popper (2002) yang mengkritisi sejumlah klaim-klaim mendasar ajaran Marxisme berdasarkan Materialistis dan Dialektis (Tesis, Antitesis, dan Sintesis) sejak Heraclitus, Karl Marx, dan pengikut-pengikutnya. Robert Paris (dalam Kata Pengantar Madilog, 2000: i) mengatakan bahwa Antonio Gramsci (pemikir teori Marxis demokratis dan teori hegemoni) ditulisnya pada tahun 1933 dalam tulisannya Mencapai Indonesia Merdeka, (5) hanya anggapan sempit yang mengatakan bahwa Tan Malaka seorang “Marxis” dan anggapan salah yang menyamaratakan Tan Malaka dengan pimpinan PKI, dan (6) tokoh-tokoh Indonesia tahun 20-an termasuk Tan Malaka pada dasarnya adalah sosialis dari berbagai aliran seperti Tjokroaminoto dengan Islam dan Sosialisme-nya dan Bung Karno dengan Nasakom-nya. Klaim-klaim seperti yang diutarakan laporan Kompas itu cukup beralasan. Dalam buku-buku sejarah versi Orde Baru khususnya nama Tan Malaka selain dideskriditkan dalam banyak hal, juga dianggap sebagai agitator atau ahli agitasi Partai Komunis (Sekretariat Negara 1994:11). Padahal, Tan Malaka bukanlah “pemberontak atau “aktor intelektual” partai komunis terutama setelah kekecewaannya atas pemberontakan PKI pada kaum imperialis tahun 1926 yang ditindaklanjutinya dengan pendirian Partai Republik Indonesia (PARI) yang berasaskan “nasionalisme” (lihat: Anggaran Dasar PARI). 9 Situshttp:/www.bilkent.edu.tr/bilkent/academic/crts/paper/abinantalya. htmhttp://www. bilkent.edu.tr/-bilkent/academic/ crts/paper/abinantalya. htm 10 Mrazek 1994 dalam Semesta Tan Malaka yang mencoba memahami Tan Malaka dalam konteks budaya Minangkabau pada aspek-aspek tertentu terkesan agak dipaksakan. 11 Perjuangan dan petualangan hidup Tan Malaka pernah pula difiksikan dalam bentuk novel dengan judul Patjar Merah Indonesia oleh Putu Mona (nama samaran Hasbullah Parinduri pada karya fiksi itu). Ceritanya dapat dibaca dalam Matu Mona (2001). 12 Penyamarataan Tan Malaka dengan Jose Rizal dibantah oleh Philippine Free Press (dalam Poeze, 1999:133) dan mengklaim Tan Malaka sebagai “pembohong”.
98 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
mengagumi tulisan-tulisan Tan Malaka dan banyak mempengaruhi pemikirannya. Tan Malaka, inspirator Aslia (Asia-Australia atau Asean sekarang ditambah Australia Utara) yang dianggap Daniel Dhakidae (dalam Anderson 2001:xxxiii) sebagai pelopor konsep Maphilindo bahwa Indonesia mencakup Malaya dan Philipina ini disejajarkan pula oleh Wasid Suwarto (dalam Kata Pengantar Madilog, 1999:xiv) dengan JeffersonWashington (perancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai). Penghargaan serupa diungkapkan pula oleh Nasution (dalam Kata Pengantar Gepolek, 2000:x) bahwa “… terlepas dari pandangan politik seseorang, tokoh Tan Malaka juga harus dicatat sebagai tokoh ilmu meliter Indonesia untuk selamanya”. Presiden Soekarno dalam sambutannya pada Kongres V Partai Murba di Bandung, 15 Desember 1960 (Madilog, 1999:xiv) mengklaim bahwa Tan Malaka pecinta tanah air dan bangsa Indonesia. Bung Karno, seperti disebutkan Tan Malaka dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara, pernah mewariskan tahta kepada Tan Malaka seperti ungkapan Bung Karno kepada Tan Malaka, “Jika saya tak berdaya, akan saya serahkan pimpinan revolusi kepadamu” (lihat pula: Anderson dalam Mrazek, 1994:91). Selain itu, pikiran dan pandangan Tan Malaka tentang Islam juga dipuji Buya Hamka (ulama terkemuka dari Sumatera Barat)13. Perdebatan legitimasi dan delegitimasi yang dipengaruhi aspek-aspek, seperti: ideologis, kepentingan praktis, dan keterbatasan para elit mewacanakan Tan Malaka dan karya-karyanya itu melandasi pemilihan teks politik Tan Malaka ini. Data utama (data primer) kajian ini akan diambil dari Poeze (1999), dalam bukunya Pergulatan menuju Republik Tan Malaka 19251945. Berdasarkan lima belas karya Tan Malaka yang diterbitkan, dua buah brosur, dan 44 artikel atau laporan jurnalistik dalam empat belas media cetak nasional dan internasional tentang Tan Malaka (lihat: Poeze, 1999:403-407) yang dianalisis dan digunakan oleh Poeze sebagai sumber data penulisan biografi Tan Malaka itu, ditemukan pula sebelas surat atau laporan politik yang diproduksi dan dikosumsi Tan Malaka untuk kepentingan ideologi politiknya. Dari sebelas surat atau laporan politik itu, delapan surat yang ditemukan (dalam Poeze, 1999:14-17, 33-35, 43-44, 5660, 86-88, 128-129, 334-340, 343-346) diproduksi dan dikonsumsi Tan Malaka untuk kepentingan perjuangan kaum Komunis Indonesia. Sedangkan tiga surat/laporan lainnya lebih tepat disebut “Surat/Laporan Pembelaan Diri” 13
Pujian ulama terkemuka Indonesia Hamka dapat dilihat dalam Prakata buku Islam dalam Tinjauan Madilog (2000) dan Kata Pengantar Madilog (1999).
WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 99
Sawirman
diproduksi Tan Malaka untuk kosumsi: (1) China League for Civil Rights, Februari 1933 (dalam Lampiran III, Poeze, 1999:362-378), (2) Serikat buruh dan kawan-kawan Tan Malaka di Filipina (dalam Poeze, 1999:128-129), dan (3) Dewan Pemeriksaan Khusus Kantor Pabean Filipina, 15 Agustus 1925 (Poeze, 1999:122-114). Surat-surat politik Tan Malaka itu dalam kajian ini selanjutnya disingkat dengan SPTM. Melalui sumber data itu diharapkan akan dapat diungkap kekuatan makna simbol dan tanda bahasa seperti klausa, kata, dan tanda-tanda bukan bahasa lainnya atau yang disebut Fairclough (1994; 1995) dengan istilah “power di dalam dan di balik wacana” (power in discourse/power behind discourse) atau Anderson (2000) menyebutnya dengan “kuasa kata” (language and power) pada teks politik Tan Malaka. Metode kualitatif dan teori teks ini diharapkan pula dapat mengungkap “tabir kemisterian” rahasia kodekode angka dan simbol-simbol metafora di balik surat-surat politik Tan Malaka sebagai seorang “pejuang bawah tanah”, pahlawan kemerdekaan, serta “pemikir dan pejuang yang solo-fighter”14 itu. Earn Cassirer (1975), dan Peirce (dalam Lucy, 1995), membedakan antara simbol (symbol) dan tanda (sign). Cassirer seperti dikutip (Triguna, 2000:8-10) membedakan tanda dengan simbol. Tanda menurutnya lebih bersifat fisik, sedangkan simbol tekanannya pada aspek mental. Tanda menurut Cassirer merupakan operator, sedangkan simbol merupakan designator. Artinya, pada tanda lebih difokuskan makna tanda secara umum (denotatif), sedangkan pada simbol lebih ditujukan pada makna di belakang tanda itu atau designator. Kata tikus pada “tikus itu dikejar kucing” adalah merupakan tanda, karena hanya memiliki makna denotatif. Akan tetapi, kata tikus pada klausa “koruptor itu tikus” adalah merupakan simbol, karena yang dipentingkan adalah makna konotatif dan konvensi lain di belakang tanda itu. Beberapa istilah batasan istilah yang berkaitan dengan tanda dan simbol dalam tulisan ini selain disarikan dari Casirrer (1975) dan Peirce (1986) juga disarikan dari tulisan Yasraf Amir Piliang (2002; 2003; dan 2004). Kata-kata yang terdapat pada wacana Tan Malaka dianggap sebagai semesta tanda (sign) dan semesta "citra" (image), yang juga memiliki semesta makna (petanda/signified) serta menimbulkan semesta konsekuensi atau efek seperti rheme, dicent sign, dan argument atau yang disebut sistem tanda pada tahap ketiga menurut Peirce (1986). 14
Istilah pemikir dan pejuang yang “solo-fighter” itu adalah kata-kata yang diberikan Onghokham dalam buku Islam dalam Tinjauan Madilog, 2000:xv, untuk sosok Tan Malaka.
100 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
Pembahasan Ada satu hantu yang bergentayangan di Eropa yakni “hantu komunisme”, kata Karl Marx pada Manifesto Komunis. Marx adalah orang yang tidak percaya dengan hantu, tetapi kata hantu ditemukan dalam karyakaryanya karena Marx adalah salah seorang pengagum berat Shakespeare (lihat: Fromm, 2001), yang kerap menghadirkan sosok hantu dalam karyakaryanya seperti dalam Hamlet dan Midsummer Night Dream. Kata hantu yang merupakan sebuah simbol dunia maya, ketakutan, dan kengerian ini digunakan sebagai simbol politis tidak hanya oleh Derrida pada buku “Hantu-hantu Marx”, tetapi juga digunakan oleh Takashi Shiraishi pada bukunya yang berjudul “Hantu Digoel pada Zaman Pergerakan Indonesia”. Derrida melambangkan komunisme dan lawan-lawannya seperti kapitalisme dan liberalisme sebagai hantu (masuk hantu, keluar hantu). Takashi Shiraishi menganggap Digoel di Tanah Merah dan Tanah Tinggi adalah hantu bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sosok Digoel dan Tanah Tinggi sebagai hantu juga diulas Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Cerita dari Digoel”. Pada masa Aidit para kaum borjuis dan lintah darat termasuk para ulama disimbolkan pula dengan varian kata hantu, yakni simbol “7 Setan Desa” (Arbi Sanit, 2001). Di masa rezim Soeharto (Sarjoni, 2001), muncul istilah-istilah seperti “uang sinuman” dan “setan gundul” alias “hantu naik karir”. Budaya perhantuan yang sesungguhnya juga tidak dikenal di Indonesia tetapi juga di Barat ini seperti Halloween Day di Inggris ini juga akrab untuk sebutan Tan Malaka. Tan Malaka di mata imperialisme Belanda, seperti halnya juga di masa imperialisme Jepang, dikenal juga dengan “sosok hantu”. Dalam pandangan pemerintah imperialisme Belanda khususnya, gerakan Tan Malaka merupakan hantu agitasi dari luar (the phantom of external agitation) yang bersifat politis dapat menjadi ancaman bagi pemerintahan kolonial (Takashi Shiraishi, 2001:101). Kata hantu dalam konteks itu dapat dimaknai antara lain, (1) ada atau hidup tetapi tidak pernah ditemukan sosoknya; (2) selalu menebarkan benih-benih kebencian pada penjajajah atau hantu agitasi; (3) berada atau bekerja secara tertutup atau tersembunyi atau pejuang bawah tanah; (4) menunjuk pada organisasi yang terlibat dalam kegiatan rahasia atau ilegal; dan (5) berperan sebagai gerakan avant garde (garda depan) yang merencanakan tindakan–tindakan permusuhan untuk melawan atau menggulingkan sebuah pemerintahan kolonial Belanda. Untuk menandingi peran Tan Malaka sebagai hantu agitasi itu, Belanda WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 101
Sawirman
mengeluarkan antara lain simbol-simbol seperti “Tan Malaka palsu”, “sign post”, “no trespassing”, “Digoel”, dan “Tanah Tinggi” bagi Tan Malaka dan pengikutnya. Simbol “Tan Malaka palsu” sebagai penanda dimaksudkan oleh Belanda untuk merusak citra (image) si “pacar merah” (sebutan Tan Malaka pada novel Matu Mona) sebagai “Tan Malaka asli” di mata rakyat. Simbol Digoel dimaksudkan Belanda agar dapat menjadi “hantu ganas” yang mengancam dan membayang-bayangi gerak aktivitas pergerakan. Di Belanda sendiri, menurut Takashi Digoel terkenal sebagai “kuburan”. Para pejuang PARI (Partij Republiek Indonesia, salah satu partai politik revolusioner yang didirikan Tan Malaka di Bangkok 1927 yang dilatari atas kekecewaan Tan Malaka pada pemberontakan PKI Prambanan dan Komintern), menciptakan sebuah simbol komunikasi internal di kalangan mereka, yakni “rumah sakit umum” menyimbolkan Digoel, “rumah sakit” dimaknai penjara, serta simbol “abu” berarti polisi (Takashi Shiraishi, 2001:2) . Istilah signpost “tanda peringatan” yang diperuntukan oleh Belanda bagi Tan Malaka itu berarti sebuah “tanda larangan agar jangan bekerja sama”. Dalam kaitan dengan sign post itu (Takashi Shiraishi, 2001:196) menjelaskan, “Waktu PARI didirikan dan waktu dia berada di Bangkok dia bikin bahasa kode. Dalam kode ini “abu” itu artinya polisi, “rumah sakit” itu artinya penjara, dan Rumah sakit besar” artinya Boven Digoel (Takashi Shiraishi, 2001:196). Pada konteks itu, secara dekonstruksi, dapat dimaknai bahwa betapa “penjara” dan Digoel menjadi sebuah legisign bagi Belanda untuk menjalankan kedok di balik kedok politik etis (politik balas jasa) yang sering dikumandangkannya pada dunia internasional. Pada sisi Tan Malaka dan orang-orangnya, Hindia Belanda dibayangkan seperti sebuah kepulauan yang dipenuhi rumah sakit (penjara). Dalam bayangan ini, tentu ada asosiasi antara kegiatan politik, terutama kegiatan politik di bawah tanah dan polisi, penjara, dan Boven Digoel. Takashi Shiraishi membuat analogi signpost dengan tanda no trespassing dalam sistem Masyarakat Amerika. Tanda no trespassing yang juga sering dijumpai pada film-film Amerika itu dapat dieksplikasikan seperti berikut. “Jika anda ketemu dengan tanda no trespassing, maka anda harus tidak memasukinya, jika anda memasukinya, maka anda sudah siap ambil risiko”. Jika dikaitkan dengan Tan Malaka, tanda no trespassing dapat 102 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
diparafrase seperti berikut. “Tan Malaka adalah sebuah signpost atau tanda no trespassing. Anda jangan dekat-dekat dengan signpost ini. Jika anda sudah dekat signpost ini dan jika anda masuk ke dalam itu berarti anda siap ambil risiko”. Tanda peringatan no trespassing atau signpost jenis ini banyak direkonstruksi Belanda untuk memukul mental orang-orang di Hindia Belanda termasuk Tan Malaka dan orang-orangnya pada akhir tahun 1920an dan 1930-an. Sign post ini menurut Takashi Shiraishi merupakan suatu strategi pemerintah Hindia Belanda untuk membungkam para pejuang bawah tanah seperti Tan Malaka, PARI, dan orang-orangnya, PNI Baru atau PARTINDO, dan lain-lain. Tan Malaka sendiri memang tidak pernah dibuang ke Digoel, namun para pemimpin dari serikat buruh “merah” pusat, Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI), dan “pemimpin dan Agen” PARI seperti Soenarjo, Mardjono, Sarosan, Djamaloedin Tamin, Daja bin Joesooef, Kandor, dan banyak lagi lainnya, dibuang dari tahun 1930-1934 (Takashi Shiraishi, 2001:7). Simbol-simbol seperti “Tan Malaka palsu”, “sign post”, “no trespassing”, dan “Digoel”, itu hanya ingin dijadikan sebuah "politik teror" oleh Belanda agar dapat menimbulkan efek ketakutan, kengerian, dan trauma pada Tan Malaka dan pengikutnya. Ketika efek ketakutan, kengerian, dan trauma dirasakan telah meluas, Belanda sebagai pelaku dan aktor intelektual di balik simbol teror itu berharap akan mendapat "keuntungan politik" yang lebih besar atau dalam politik dikenal dengan istilah "politik horor", yakni “mempromosikan” kematian dan ketakutan untuk memperoleh “laba politik-politicus horrobilis” (meminjam istilah Piliang, 2002). Masih terkait dengan istilah Piliang, penciptaan simbolsimbol itu merupakan "politik imagologi" (imagology) atau politik penciptaan berbagai “ilusi palsu” tentang sebuah fenomena dalam rangka memperlihatkan superioritas pemerintahan kolonial. Melalui mekanisme (symbolic violence) atau "pemaksaan yang halus dan tak tampak" Belanda mengoperasikan simbol-simbol itu pada tingkat kesadaran yang disebut Marx dengan kesadaran palsu (false counciousness). Masyarakat global, dalam hal ini Hindia Belanda, digiring ke arah keharusan yang pada tahap ketidaksadaran (uncounciousness) dan bawah sadar (subcounciusnes), tidak hanya dianggap sekadar fakta sosial (rheme), tetapi mengekternalisasi citra, image, dan ilusi menjadi simbolisasi dan mematuhinya pada tingkat tindak sosial. Sebagai pejuang yang tidak kenal kata menyerah, Tan Malaka juga WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 103
Sawirman
mengeluarkan simbol-simbol tertentu untuk memerangi simbol-simbol Belanda. Konsekuensinya terjadilan perang simbol (symbolic wars) antara Tan Malaka dan orang-orangnya di satu sisi dan Belanda pada sisi lain. Pada SPTM misalnya (lihat: Poeze, 1999), Tan Malaka menyimbolkan antara lain kata-kata yang berkaitan perdagangan dan hasil pertanian untuk mengelabui Belanda. Untuk menyebut pengurus PARI, digunakan kata agen dan untuk merujuk pengurus inti PARI digunakan kata agen utama. Kata agen utama dan agen yang juga termuat dalam Anggara Dasar PARI itu tidak mewakili gambaran PARI. Simbol-simbol itu semata-mata dimaksudkan untuk mengelabui Belanda agar partai revolusioner nasionalis (PARI) yang didirikannya lebih menyerupai gambaran seorang penjual keliling yang memperoleh komisi seperti yang dilakukan agen-agen perusahaan mesin jahit (singer atau tailor) atau organisasi sebuah dagang, penjual, dan supervisor yang aktif di Jawa kala itu (Takashi Shiraishi, 2001:157). Jika dihubungkan dengan pernyataan di atas, Belanda memasang tanda “dilarang lewat” secara sadar kepada semua “agen” dan “agen utama” PARI dan orang-orang Tan Malaka. Tanda “tidak boleh melanggar” tidak hanya dipasang Belanda untuk mempengaruhi kesadaran publik agar menjauhkan diri dari kelompok-kelompok Tan Malaka, tetapi juga untuk gerakan-gerakan lain seperti PKI, SR, VSTP, orang-orang Comintern, Sekretariat Serikat Buruh Pan Pasific, Liga Anti Imperalis, Moskow, dan asosiasinya serta termasuk “kaum kanan radikal”. Bagi yang melewati tanda “dilarang lewat”, Digoel dan Tanah Tinggi sudah siap menanti. Aktor yang menjaga “tanda larangan” itu adalah seluruh aparat keamanan --tidak hanya hoofdparked dengan ARD sebagai inti, tetapi juga agen agen lokal dan regional PID (polisi rahasia Belanda) dan mata-mata (lihat: Takashi Shiraishi, 2001:169). Untuk mengelabui penjajah pula, beberapa hasil pertanian unggulan di masa kolonial juga digunakan. Untuk menggantikan kata-kata yang berhubungan dengan perjuangan kelas dan revolusi digunakan metafora tebu yang berarti “uang”, chokelat (pemogokan), rokok atau api (pemberontakan), serta kata-kata cerutu, cacao dan chokelat sebagai pengganti kata revolusi. Metafora-metafora itu sesungguhnya adalah hasil pertanian unggulan pada masa itu (baca, Atmosudirdjo, 1970:62-68; dan 132-134). Tidak hanya itu, beberapa nama samaran juga dimiliki Tan Malaka. Nama nama, seperti: Haji Hasan, Hadji Chassan, Hadji Hassan, Oil, dan Elias Fuentes merupakan nama-nama samaran Tan Malaka. Penggunaan namanama samaran untuk menyembunyikan identitas diri ini dilakukan pula 104 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
oleh teman-teman Tan Malaka, seperti Pepper dan Muchtar (nama-nama samaran Subakat), Tio (nama samaran Alimin). Dari semua “surat politik” yang ditulis Tan Malaka hanya surat kepada China League for Civil Rights yang menggunakan nama Tan Malacca. Untuk merahasiakan visinya, suratsurat politik Tan Malaka juga berisi kode-kode bilangan (dua angka, tiga angka, enam angka, delapan angka) untuk nama-nama organisasi, agenagen Komunis, dan nama-nama tempat. Beberapa kode angka yang sebagian besar sudah diungkap rahasianya oleh Poeze (1999) itu antara lain 76819045 (kode partai Komunis), 268 (agen Komunis Alimin), 271 (Aliarcham), 272 (Yahya), 274 (Sjamsuddin), 286 (Subakat), 306 (Sutan Said Ali), 223 (Jawa), 286 (Jatim), 234 (Padang), 235 (Palembang), 245 (Singapura), 254 (Filipina), 255 (Manila), 205 (pemerintah), 210 (polisi), 9419 (uang), 825289 (kode rakyat), dan lain-lain. Selain nama fiktif dan kode angka yang merupakan “penandaan simbolis” (penandaan berdasarkan pada konvensi atau aturan, Pierce dalam Lucy 1985:23), pada surat-surat politik Tan Malaka juga diperkaya dengan metafora gramatikal (grammatical metaphor), metafora ideasional (ideational metaphor), metafora transitivitas (metaphors of transitivity), asosiasi, reiterasi (reiteration), dan kolokasi. Penggunaan kata-kata tertentu dan menghindari kata-kata lain, seperti penggunaan kata Mekah dan menghindari kata Moskow, memakai istilah firm, pabrik untuk pengganti istilah partai komunis, menggunakan kata rokok yang dimaksudkan pemberontakan, kata perniagaan (makna sebenarnya propoganda, perkumpulan, revolusi), maksud tersembunyi di balik kata coklat dan cacao adalah pemogokan dan makna kata berniaga adalah (bergerak dan berjuang untuk komunis) serta makna kata tebu adalah uang. Penandaan simbolis metaforis dalam teks Tan Malaka itu pada dasarnya adalah menyamakan sesuatu yang sesungguhnya tidak sama. Secara fungsional, penandaan ikonis metaforis itu pada hakekatnya mengontrol hasrat eksternal lingkungan si subjek. Fungsi ikonis metaforis itu untuk mengontrol dan menyembunyikan visi politik Tan Malaka melawan imperialisme Belanda. Selain merupakan penandaan simbolis, penandaan metaforis dalam teks politik Tan Malaka juga merupakan alih-alih ikonisasi. Dikatakan demikian karena simbol metafora yang digunakan juga memiliki kemiripan “ruang”. Pada SPTM, jika Tan Malaka menyebut Mekah artinya Moskow, sebutan Inggris yang dimaksudkan Sumatera dan jika Tan Malaka menyebut Jerman yang dimaksudkan adalah Jawa. Secara semiotis, kata Mekah, misalnya, sesungguhnya memiliki WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 105
Sawirman
kemiripan dengan kata Moskow dalam hal kiblat sebuah ideologi. Penggunaan kata Mekah dalam teks politik Tan Malaka yang bermakna Moskow misalnya dapat diungakap maknanya: (1) secara semantis kata-kata itu sama-sama memiliki fitur semantis [+kiblat, +ideologi]; (2) ikon kata Mekah itu dapat berupa simbol (konvensi) “antarpejuang bawah tanah” dalam melawan kaum penjajah; (3) ikon kata Mekah dapat pula memiliki indeks untuk mengelabui lawan politik Tan Malaka; (4) penggunaan ikon Mekah itu secara semiotis dapat pula diinterpretasikan karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam seperti halnya Kristen di Belanda, Katolik di Roma, serta Hindu di India; dan (5) Ikon itu mungkin pula dimaksudkan Tan Malaka agar tidak dikatakan sebagai seorang yang murtad (keluar dari agama Islam). Kota Moskow dan Istana Kremlin adalah sebagai “kota suci” dan “istana suci” bagi kaum komunis dunia yang jika dianalogikan “secara kasar” sama halnya dengan kota Mekah dan Ka’bah bagi umat Islam. Artinya, jika dicirikan kata Moskow dengan Mekah sama-sama memiliki fitur semantis [+kiblat] dan Istana Kremlin dengan Ka’bah sama memiliki fitur semantis [+tempat suci]. Disucikannya Kota Moskow dan Istana Kremlin di lingkungan kaum komunis itu dapat dilihat pada nyanyian Pemuda Komunis Jerman-Timur yang berjudul “Sei Gegrust Moskou” (Kuhormat Pujalah Engkau hai Kota Moskow) berikut. Moskau du, dir zum Gruss Kling durch Strassen un Garten ein Lied; Moskau du, dir zum Gruss Kling’s im Lande, wohin man auch sicht Dein ewig junges antliz, s lachelt uns zu Wo wir gehn, wo wir stehn, Immer bleibst unsur Moskau Artinya: Engkau Moskow, untukmulah segala hormat-pujian Menggemalah sebuah lagu jalan-jalan dan kebun-kebun Engkau Moskow, untukmulah segala hormat-pujian Berkumandanglah, kemana saja orang mengarahkan pandangannya. Wajah mudamu yang abadi itu senantiasa memancarkan gelaktawa kepada kami. Kemana saja kami pergi dan dimana saja kami berada, Tetap tinggal abadilah engkau Moskow kami. 106 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
(Nyanyian “Sei Gegrust Moskou” dan terjemahannya itu dikutip dari Badri 1997:234) “Dilihat dari isyarat simbolik, pada tiap kali Muso berpidato, yakni senantiasa telunjuknya mengacung Muso berpidato, yakni senantiasa telunjuknya mengacung ke arah Moskow” (Badri, 1997:281). Hal itu menandakan bahwa pada masa itu, PKI memang berkiblat ke Moskow. Demikian pula halnya pemakaian istilah Inggris sebagai bentuk metaforis dari Sumatera. Sesungguhnya ada kesamaan antara eksploitasi buruh di Inggris dan eksploitasi di Sumatera kala itu. Belanda pada saat itu mendatangkan para pekerja antara lain dari Jawa ke Sumatera dalam rangka eksploitasi buruh. Di Sumatera saat itu, sudah terjadi eksploitasi di sumatera tahun 1920-an dengan peonale sanction. PTP (perseroan terbatas pertanian, karet, kelapa sawit) di Sumatera pada tahun 1920-an lebih banyak daripada di Jawa. Jawa saat itu masih pertanian. Sumatera Timur, Deli Serdang (daerah Pematang Siantar Asahan) tahun 1930-an tembakau Deli terkenal sampai Jerman. Jika dikaitkan dengan multikulturalisme di Inggris yang antara lain dipelopori oleh Raymond Williams juga muncul sekitar tahun 1920an sebagai tandingan untuk hegemoni kapitalis. Sebelum munculnya multikulturalisme, budaya buruh dianggap budaya rendahan. Karena hegemoni kapitalis sangat kuat, muncul gerakan multikulturalisme di Inggris yang intinya membuat wacana tandingan untuk hegemoni kapitalis dan membongkar hegemoni kekuasaan. Sekalipun pencerahan muncul di Prancis, embrio pencerahan itu sudah lama di Inggris dan Belanda. Empirisme misalnya lahir di Inggris. Dalam konteks itu Tan Malaka mungkin melihat adanya kesamaan eksploitasi buruh yang terjadi di Sumatera dengan yang terjadi di Inggris. Jika memang demikian, dapat dikatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang Neomarxisme karena tekanannya pada pergerakan intelektual bukan pada tataran praktis. Lagi pula sebagai politisi Tan Malaka tidak punya banyak pengikut. Lagi pula, pada sisi budaya, ada kesamaan kultur antara Jerman dan Jawa. Kata-kata feodal tekanannya pada agraris, Jerman sebelum Hitler pada tahun 1940-an lebih feodal atau lebih dikenal dengan sebutan Prusia (karena masih menyatu dengan Jerman Timur atau sebelum pecah perang dunia kedua), tahun 1930 dan 1940-an masih agraris lebih terkait dengan kebudayaan agraris. Jerman memang lebih feodal ketimbang Inggris. Dalam falsafah Jawa, individu adalah mikrokosmis yang harus menyelaraskan diri WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 107
Sawirman
dengan makrokosmis dan raja adalah pengejawantahan makrokosmis itu. Jawa kaya dengan metafisika seperti halnya Jerman juga kaya pula dengan metafisika. Filsuf-filsuf metafisis seperti Hegel, Heidegger, Kant, dan aliran filsafat romantisme juga lahir di Jerman. Makanya partai sosial demokrat (sintesis sosialis dan kapitalis) lebih berakar di Jerman bukan kapitalis, itu suatu pertanda protes pada kapitalis. Dalam Weber, hegemoni sistem kepercayaan kapitalisme mulai dari Inggris, Amerika, Prancis, dan Jerman. Fakta-fakta itu mungkin ikut melatarbelakangi pemilihan kata Jerman untuk menggantikan kata Jawa dalam teks politk Tan Malaka. Demikian pula halnya kata-kata seperti firm, pabrik untuk pengganti istilah partai Komunis, penggunaan kata rokok yang dimaksudkan pemberontakan, kata perniagaan (makna sebenarnya propoganda, perkumpulan, dan revolusi), maksud tersembunyi di balik kata coklat dan cacao adalah pemogokan, makna kata berniaga adalah bergerak dan berjuang untuk Komunis, makna kata tebu adalah uang, yaitu simbolsimbol perdagangan yang digunakan untuk mengelabui Belanda. Demi menjamin kerahasiaan dan kehati-hatian dalam menjalankan visi politiknya, beberapa istilah (lexical chain) sejenis komunisme, Moskow, revolusi umum, pemogokan umum, keuangan, dan senjata sering dihilangkan kaum komunis dan Tan Malaka dalam surat-surat politiknya seperti cuplikan surat Pengurus Besar Komunis dan Tan Malaka pada tanggal 13 Agustus 1926 (dalam Poeze, 1999:56-60). Kata-kata yang ada dalam tanda kurung ( ) adalah interpretasi Poeze terhadap kata-kata yang hilang dan kata-kata metafora. “…begitu tebu (uang) tiba dari (Moskow), begitu dilancarkan (revolusi umum), yang akan dibarengi dengan (pemogokan umum) di (Jawa)”. Penghilangan beberapa kata seperti Moskow, revolusi umum, dan pemogokan umum serta penggunaan metafora tebu dengan makna “uang” teks di atas hanyalah sebagian kecil istilah-istilah yang dielipsis dan dimetaforakan. Kasus sejenis, seperti istilah-istilah yang dipakai umat Islam seperti haji, Qur’an, surau, mesjid, Mekah dan kohesi leksikal yang berkaitan dengan perdagangan (seperti perniagaan, penjualan, penyimpanan barang, dan pengiriman, pengawasan, coklat, rokok, tepung, dan lain-lain) sering digunakan oleh Tan Malaka dan kaum komunis Indonesia dalam wacanawacana politik untuk mengelabui lawan-lawan politiknya. Simbol-simbol seperti pemakaian metafora, kode angka, nama samaran, elipsis, dan lain-lain seperti yang diutarakan di atas dapat 108 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
dikatakan sebagai sebuah fenomena "perang simbol" (symbolic war) antara Tan Malaka dengan para kaum imperialisme Belanda. Pada konteks itu, Tan Malaka melakukan proses manipulasi "semiotisasi simbol" (semiotication of symbols), yakni memanipulasi peristiwa pelariannya sebagai tanda dan simbol dalam rangka menciptakan citra, makna, atau label-label tertentu agar identitas dirinya tidak dapat dilacak dan diketahui. Perang simbol juga dicanangkan oleh Tan Malaka untuk simbolsimbol palsu (false sign) ciptaan Belanda seperti sebutan Inlander “native”, “penduduk asli”, Nederland Indie, pribumi untuk “Indonesia” dan “rakyat Indonesia”. Sebutan imperialisme Belanda itu jika dilihat dari sisi antropologi dapat dicap barbar, kurang beradab, kurang berpendidikan, masih tradisional, masih liar, belum teroganisir, karena belum ada konsep nation. Simbol-simbol jenis inlander itu jika dihubungkan dengan konsep Durkheim pada Divison of Labour (DOL) dapat disejajarkan dengan solidaritas mekanis Durkheim itu mengunggulkan budaya Belanda dan Eropa. Tan Malaka tidak sependapat dengan para pengamat yang menempatkan selain budaya Eropa pada posisi the other (budaya pinggiran). Tan Malaka berusaha menghapus label "pinggiran" pada budaya-budaya Timur. Dokumen Tan Malaka pada intinya menggunakan ikon-ikon dan simbol-simbol yang setara dengan budaya massa, dalam hal yang lebih spesifik adalah budaya kaum proletar dan budaya pop. Pada konteks ini, Tan Malaka melakukan kontrahegemoni seperti yang dicanangkan Gramsci. Kontra-hegemoni yang membutuhkan tenaga intelektual organis ini dilakukan oleh Tan Malaka melalui wacana intelektual seperti yang ditulisnya dalam buku-bukunya seperti Parlemen atau Sovyet, Aksi Massa, dan Gerpolek. Tan Malaka (sebagai perjuang pimpinan budaya), memandang bahwa untuk menyadarkan massa sekaligus mampu mendefinisikan identitas, ideologi, dan budaya, diperlukan wacana intelektual dan pimpinan budaya yang antara lain melalui murba teratur dan aksi massa teratur, bukan memobilisasinya. Dengan kata lain, kontra-hegemoni itu mulai dari wacana intelektual dan bukan kudeta. Kata kesadaran, bukan mobilisasi, karena pada mobilisasi ada fitur manipulasi, menghasut, bukan anutan tetapi ikutan. Pikiran Tan Malaka ini berbeda dengan Marx yang tidak intensif ke buruh serta lebih banyak bicara pada tataran elitis. Menurut Marx, dengan sistem kapitalis, “kesadaran buruh akan segera muncul dengan sendirinya dan tidak perlu “diupayakan dan diorganisir”.
WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 109
Sawirman
Penutup Simbol-simbol yang digunakan oleh Tan Malaka, dalam SPTM khususunya, tidak hanya sekadar memperkenalkan istilah dan metafora, tetapi juga merupakan perang simbol (symbolic war). Tan Malaka tidak hanya membentuk semacam “common sense” atau mitos baru untuk menentang “common sense” dan mitos lama. Dengan demikian “common sense” atau mitos yang baru lebih menyatukan dan mengkoherenkan konsepsi dunia yang baru. Dalam konteks SPTM, Tan Malaka berpikir bagaimana “common sense” yang baru dapat membentuk aksi politik yang kolektif, dan untuk itu harus dibangun “common sense” yang baru, mengikis “common sense” yang lama, warisan masa lalu yang diawetkan oleh negara kolonial melalui wacana-wacana yang disebut Gramsci sebagai kontra-hegemoni.
Daftar Pustaka Armosudirdjo, Prajudi. 1970. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masjarakat Universitas Indonesia. Anderson, Benedict R.O’G.. 1990. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia (terjemahan). Sambilegi Baru:MataBangsa. Dhakidae, Daniel. 2001. “Memahami rasa kebangsaan dan menyimak bangsa sebagai komunitas-komunitas terbayang” dalam Benedict R.O’G. Anderson, Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fairclough, Norman. 1994. Language and Power (Eight Impression). London dan New York: Longman Group. Fairclough, Norman (Ed.). 1995. Discourse and Social Change. Great Britain: TJ Press. Giddens, Anthony. 2000. Jalan Ketiga (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Jarvis, Helen. 2000. Tan Malaka Pejuang Revolusioner atau Murtad (terjemahan). Yogyakarta: Cermin. Latief, Yudi dan Idi Subandi Ibrahim (Eds.). 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Yogyakarta: Mizan. Lowe, Lisa dan David Lloyd (Eds.). 1997. The Politics of Culture in the Shadow of Capital. Durham dan London: Duke University Press. Lucy, Niall (Ed.). 1995. Social Semiotics: Course Study Guide and Reader. Perth: Murdoch University. Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. …….2001. “Madilog-nya Tan Malaka”, dalam Basis Maret-April. Mrazek, Rodolf. 1994. Semesta Tan Malaka (terjemahan). Yogyakarta: Bigraf Publishing. Nasution, A.H. 1966. Ketetapan2 M.P.R.S. Tonggak Konstitusionil Orde Baru. Djakarta: C.V. Pantjuran Tudjuh. Peirce, Charles S. 1995. “Logic as semiotic: The theory of sign” dalam Lucy Niall, Social Semiotic, Study Guide and Reader Second Semester. Australia: 110 - WACANA ETNIK Vol. 1 No.1
Perang Simbol ...
Murdoch University. Piliang, Yasraf Amir. 2002. ’Politicus horrobilis’, hantu-hantu terorisme”, Kompas, Senin, 21 Oktober. Poeze, Harry A. 1999. Pergulatan menuju Republik: Tan Malaka 1925-1949 (terjemahan). Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Poeze, Harry A. 2000. Pergulatan menuju Republik: Tan Malaka 1897-1925 (terjemahan, Cetakan Kedua). Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Popper, Karl R. 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shiraishi, Takashi. 2001. Hantu Digoel Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (terjemahan). Yogyakarta: LkiS. Sulistyo, Hermawan. 2001. Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation Tan Malaka. 1927. Parlemen atau Sovyet. Semarang: tanpa nama penerbit. 1999. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. Jakarta: Pusat Data Indikator dan P.T. Enka Parahyangan. 2000a. Aksi Massa. Yogyakarta: Teplok Press. 2000b. Dari Penjara ke Penjara Bagian Satu. Jakarta: Teplok Press. 2000c. Dari Penjara ke Penjara Bagian Dua. Jakarta: Teplok Press. 2000d. Dari Penjara ke Penjara Bagian Tiga. Jakarta: Teplok Press. 2000e. Gerpolek. Jakarta: Djambatan. 2000f. Islam dalam Tinjauan Madilog. Yogyakarta: Komunitas Bambu. 2000g. Pandangan Hidup. Jakarta: Lumpen.
WACANA ETNIK Vol. 1 No.1 - 111