PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMOHON TERHADAP SURAT PERNYATAAN

Download Dengan demikian kontrak yang timbal balik merupakan kontrak yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya kontrak ...

0 downloads 510 Views 426KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Kontrak menguasai begitu banyak bagian kehidupan sosial manusia, sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap harinya. Dalam hal kontrak bisnis dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. Banyak ahli hukum membuat definisi tentang kontrak atau perjanjian, masing-masing ahli bergantung kepada bagian-bagian mana dan kontrak atau perjanjian tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut.1 Salah satu definisi kontrak yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary menyatakann bahwa agreement between two or more

parties

crating

obligations

that

are

enforceable

or

otherwise

recognizationat law.2 Selanjutnya Gift memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.3

1

Hasanuddin Rahman, 2007, Contract Drafting: Seni Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.2. 2 Bryan A Garner (ed), 1999, Black Law dictionary, Sevent Edition, West Grup, St. Minn, hal. 318. 3 Seteven H, Gifis, 2009, Law Dictionary, Baron’s Educational Series, Inc., New York, USA, hal. 94.

1

2 Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, untuk membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak. Terdapat beberapa pengertian dari para ahli dalam mendefinisikan kontrak, para ahli tersebut bergantung kepada bagian-bagian mana dan kontrak atau perjanjian tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut.4 Berdasarkan pengertian tersebut peneliti berpendapat kontrak merupakan suatu janji atau seperangkat janji-janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya. Setiap kontrak setidak-tidaknya melibatkan dua pihak yang menawarkan (offeror) adalah pihak yang mengajukan penawaran untuk membuat suatu kontrak. Pihak yang ditawari (offeree) adalah pihak terhadap siapa kontrak tadi ditawarkan. Dalam mengajukan penawaran, pihak yang menawarkan berjanji untuk melakukan, sesuatu. Pihak yang ditawarkan (offeree) kemudian memiliki kekuasaan untuk menciptakan kontrak, dengan menerima penawaran dari yang menawarkan. Kontrak tercipta apabila penawaran (offer) tadi diterima. Tidak akan tercipta suatu kontrak apabila penawarannya tidak bisa diterima. Dengan demikian kontrak melalui suatu proses pihak-pihak antara yang menawarkan dan yang ditawari, yang disusul dengan diterimanya penawaran oleh yang ditawari seperti nampak pada bagan berikut:5 4

Hasanuddin Rahman, Op.Cit, hal.2. Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, 2005, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), CV. Gitama Jaya, Jakarta, hal. 150. 5

3

(offer) penawaran Pihak yang ditawari (offeree)

Pihak yang menawarkan (offeror) Penerima (Acceptance) Pihak yang menawarkan (Offeror) menawarkan kepada pihak yang ditawari (Offeree)

Pihak yang ditawari (Offeree) memiliki kekuasaan untuk menerima penawaran (Offer) dan menciptakan kontrak antara keduanya

Gambar 1.1 Bagan Proses Terjadinya Suatu Kontrak

Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa kontrak menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang ada dalam kontrak. Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya.6 Prestasi juga terdapat dalam kontrak yang bersifat timbal balik atau bilateral (or reciprocal agreement), dimana dalam bentuk kontrak ini masing-masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.7 Dengan demikian kontrak yang timbal balik merupakan kontrak yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya kontrak jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan kontrak untuk pekerjaan kontruksi, sedangkan perjanjian sepihak merupakan kontrak yang memberikan kewajiban 6 7

Ibid. Ibid.

4 kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, Misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam soal syarat batal menurut Pasal 1266 dan 1267 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 (selanjutnya disebut BW). Sementara itu Pasal 1267 BW menjelaskan bahwa pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Jadi, menurut Pasal 1266 dan 1267 BW, dalam kontrak timbal balik, jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari suatu kontrak, maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim dan dapat dimintakan ganti rugi bahkan berikut bunganya. Syarat batal seperti yang tercantum dalam Pasal 1266 dan 1267 BW tersebut dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim dapat memberikan jangka waktu bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya, jangka waktu tersebut tidak boleh lebih dari satu bulan. Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 BW ini jelas memberikan intervensi yang besar dari pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Pasal ini pada intinya menyebutkan bahwa dengan alasan salah satu pihak tidak melaksanakan

5 kewajibannya maka pihak lainnya dapat membatalkan kontrak akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu saja melainkan harus melalui pengadilan.8 Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam praktek sering ada ketentuan yang mengesampingkan pasal tersebut yang berarti bahwa kontrak tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan pengadilan) berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus9, jika pihak lainnya melakukan wanprestasi. Dalam praktek terutama dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang dari Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW. Misalnya, dalam salah satu klausul dari suatu perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis menyebutkan bahwa kedua belah pihak, sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW, sepanjang ketentuan tersebut mensyaratkan diucapkannya suatu keputusan pengadilan untuk pengakhiran/batalnya suatu perjanjian. Akibat hukum dari pencantuman klausul di atas, maka ketika terjadi wanprestasi, kontrak tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya telah batal demi hukum. Dalam hal ini wanprestasi merupakan syarat batal. Pasal 1265 BW menyebutkan bahwa apabila suatu syarat

8

Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 26. 9 Definisi exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan bahwa pihak lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut adanya pemenuhan prestasi, diambil dari http://www.pncibinong.go.id/uploads/file/Kamus_Hukum.pdf, diakses tanggal 13 November 2014.

6 batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Dalam perikatan dengan syarat batal, perjanjian itu sudah melahirkan perikatan, hanya perikatan itu akan batal apabila terjadi suatu peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause.10 Dengan demikian si pemberi kontrak yang telah menerima prestasi yang diperjanjikan harus membayar terhadap prestasi tersebut. Dalam kontrak, pencantuman klausul mengenai syarat-syarat batal merupakan salah satu klausul yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan pemberi proyek. Demikian pentingnya klausul itu bagi pemberi proyek, sehingga seandainya klausul itu tidak ada di dalam kontrak, maka berakibat pelaksanaan pembatalan kontrak hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui proses litigasi yang panjang dan lama, sehingga pemberi proyek akan merasa dirugikan karena proyeknya menjadi terbengkelai. Pada sisi lain, beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak pemberi pekerjaan proyek konstruksi wanprestasi, maka penerima pekerjaan proyek konstruksi masih berhak mengajukan gugatan agar pihak pemberi pekerjaan konstruksi memenuhi perjanjian. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) BW, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada pemberi pekerjaan proyek

10

Suharnoko, 2008, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus Ed. 1. Cetakan ke. 5, Kencana, Jakarta, hal. 62.

7 kontruski untuk memenuhi perjanjian dalam jangka waktu paling lama satu bulan meskipun sebenarnya yang bersangkutan sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim memiliki penilaian untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika kontrak dibatalkan. Persoalan yuridis yang layak dikaji dalam hal ini adalah adanya dua pendapat terhadap Pasal 1266 dan 1267 BW. Secara ringkas disebutkan pendapat pertama menyatakan bahwa ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1266 dan 1267 BW ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend recth). Kaidah-kaidah hukum itu dapat pula dibedakan antara yang bersifat imperatif dan yang bersifat fakultatif. Yang bersifat imperatif biasa disebut juga dengan hukum yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang menambah (aanudlenrecht). Kadang-kadang ada pula kaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus bersifat memaksa (dwingende) mengatur (regelende).11 Begitu juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan karakter memaksanya suatu aturan dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul) kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif.12 Pendapat ini didasari pada alasan sebagai berikut :

11

L.J. van Apeldoorn, 2005, Pendahuluan Ilmu Hukum, terjemahan, Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 167-180. 12 Setiawan, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV, Binacipta, Jakarta, hal. 66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat konstitutif, hakim juga mempunyai kekuasaan ‘descretionair’, artinya ia mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan

8 1. Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 dan 1267 BW, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim. 2. Pasal 1266 ayat (2) BW, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak. 3. Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus. 4. Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan. Sementara itu, pendapat kedua yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht) didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut: 1. Pasal 1266 dan 1267 BW, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur. 2. Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara positif dalam kontrak. 3. Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, sehingga hal ini dianggap

sebagai

”syarat

yang

biasa

diperjanjikan”

(bestandig

geberukikelijk beding) dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 dan 1267 BW yang bersifat mengatur. pemutusan kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal.148.

9 Dengan demikian, mengenai Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, dua pendapat tersebut di atas saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.13 Berdasarkan 2 (dua) pendapat yang berkembang mengenai klausul pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, penulis sendiri berpendapat pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata lebih mendekati nilai kepraktisannya (Pasal 1266 BW disimpulkan bersifat mengatur). Harus diakui bahwa para pelaku bisnis lebih memilih alternatif terbaik bagi kontrak mereka, termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam pelaksanaan kontrak. Dari sisi kepatutan pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat diterima apabila substansi perjanjian telah memberikan jaminan adanya keseimbangan bagi para pihak. Namun pada kenyataannya tidak jarang ditemukan perjanjian yang berat sebelah dan cenderung merugikan kepentingan salah satu pihak.

Dalam

praktik

bisnis

masih

ditemukan

suatu

perjanjian

yang

mencantumkan klausul baku tentang pembatasan tanggung jawab salah satu pihak apabila timbul suatu resiko. Terhadap perjanjian yang demikian, maka pengabaian Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW perlu ditelaah secara mendalam apakah dapat diterima berdasarkan asas kepatutan di atas. 13

Agus Yudha Harmoko, 2001, Hukum Perjanjian Indonesia, Widya Utama, Yogyakarta, hal. 271.

10 Meskipun terdapat perbedaan pendapat, namun secara gramatikal, jelas bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW tidak mengandung suatu kondisi yang dapat ditawar-tawar. Walaupun demikian, banyak ahli atau praktisi hukum yang mengabaikan pengertian pasal tersebut secara harfiah. Pada Pasal 1266 BW, wanprestasi bukanlah suatu syarat yang membatalkan perjanjian, melainkan suatu syarat yang dapat membatalkan perjanjian. Untuk dapat membatalkan perjanjian tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan harus mengajukan permohonan batal kepada hakim. Putusan hakim tersebut bukanlah bersifat declaratoir (menyatakan batal), melainkan membatalkan perjanjian tersebut (constitutif). Jadi, batalnya suatu perjanjian harus berdasarkan putusan hakim. Hanya 'keyakinan' hakim-lah yang dapat memutuskan bahwa benar wanprestasi telah terjadi, bukan karena timbulnya wanprestasi itu sendiri. Pendapat lain dalam syarat batal yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW tidak dapat dikesampingkan dalam semua kasus. Penerapannya harus dilakukan secara hati-hati, harus dilihat kasus per kasus. Pembatalan perjanjian pada prinsipnya bertujuan untuk membawa segala sesuatu kembali ke keadaan semula, seolah-olah perikatan yang ditimbulkan oleh perjanjian tersebut tidak pernah terjadi. Bila perjanjian batal, maka para pihak yang telah menerima prestasi atau telah menerima haknya, diwajibkan untuk mengembalikannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, prestasi yang telah diterima sulit untuk dikembalikan, layaknya tidak terjadi apa-apa. Ambil contoh seorang penjahit yang telah memotong-motong kain milik kliennya, kemudian perjanjian batal, maka tidak ada kemungkinan bagi penjahit untuk mengembalikan kain tersebut seperti kondisi awal (tidak terpotong-potong).

11 Alasan banyak pihak untuk mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 BW seringkali sebagai tafsiran bahwa Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Pasal-pasal di dalamnya hanya merupakan pelengkap. Jadi, para pihak boleh mengadakan ketentuan lain, asalkan tidak melanggar prinsip kepatutan, kebiasaan atau undang-undang (Pasal 1337 BW). Bagi yang setuju dengan penyimpangan, biasanya, mereka mengajukan dalil bahwa perjanjian berlaku sebagai undangundang bagi para pihak. Namun, seringkali mereka lupa bahwa untuk dapat melakukan penyimpangan, perjanjian tersebut harus sudah benar-benar dibuat secara sah, seperti apa yang dimaksud oleh Pasal 1338 ayat (1) BW. Sahnya perjanjian tidak semata-semata hanya telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 BW, namun juga harus memenuhi prinsip-prinsip kepatutan dan kebiasaan yang timbul dalam masyarakat. Terkait dengan wanprestasi sebagai syarat batal, maka apabila dilihat dari kepentingannya, melepaskan Pasal 1266 BW dapat memunculkan masalah baru. Masalah tersebut seperti kapan, dan bagaimana wanprestasi dianggap terjadi. Apabila tidak diatur secara jelas, tentu dapat merugikan pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan kepastian hukum akan semakin jauh. Selain itu, apabila dikaitkan dengan perlindungan terhadap pihak-pihak yang kedudukannya lebih lemah dibandingkan pihak lainnya, pembatalan perjanjian sepihak tanpa melalui proses pengadilan dapat merugikan pihak yang lemah. Pihak yang lebih lemah umumnya hanya bisa menerima segala kondisi yang ditawarkan oleh pihak lawan (perjanjian baku). Kondisi ini tentu tidak sesuai dengan prinsip kepatutan (Pasal 1339 BW) yang merupakan pembatasan terhadap prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1338 BW).

12 Asas kebebasan berkontrak ini memberi kebebasan pada para pihak untuk menentukan isi perjanjian termasuk di dalamnya membuat ketentuan tentang btalnya suatu perjanjian. Ketentuan tentang batalnya suatu perjanjian ini yang dalam perjanjian disebut sebagai syarat batal. Contoh syarat batal dengan mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat dikemukakan tentang Ketentuan Pembatalan dan Sanksi Perjanjian Jual Beli Tanah Kavling melalui angsuran/cicilan. Dalam perjanjian ini pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 pada umumnya dicantumkan pada syarat batal yang biasanya disebut “Ketentuan Pembatalan dan Sanksi” seperti dikemukan dalam contoh Ketentuan Pembatalan dan Sanksi sebagai berikut: Ketentuan Pembatalan dan Sanksi 1. Penjual dapat membatalkan perjanjian dalam hal Pembeli tidak dapat memenuhi kewajibanya untuk membayar angsuran kepada Penjual. 2. Penjual dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW untuk pengakhiran/batalnya suatu perjanjian. 3. Dalam hal perjanjian batal karena Pembeli tidak dapat memenuhi angsurannya kepada Penjual, maka: 3.1 Pembeli bersedia mengosongkan dan menyerahkan tanah berikut bangunan yang menjadi obyek perjanjian. 3.2 Penjual berhak melakukan penjualan atas rumah tersebut kepada pihak lain, baik di hadapan umum maupun di bawah tangan dengan harga yang ditentukan oleh Penjual. 3.3 Penjual berhak untuk memotong sebesar 20% (dua puluh persen) dari harga transaksi, dan PPN, serta Pembeli wajib mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Penjual sampai saat pembatalan dan oleh karena pembatalan, sedangkan sisanya akan dikembalikan oleh Penjual kepada Pembeli selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah Penjual berhasil menjual rumah tersebut kepada pihak lain. 3.4 Pengenjual dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa atas pemotongan sebagaimana tersebut pada butir 3.3. di atas, Pembeli tidak akan mengajukan gugatan/tuntutan apapun atas segala sesuatu yang telah diterima oleh Penjual.

13 Contoh tersebut dijelaskan bahwa syarat batal yang dimaksudkan dalam klausula perjanjian di atas adalah ketika Pembeli wanprestasi untuk membayar angsuran kepada Penjual. Dalam kondisi ini Penjual dapat mengakhiri perjanjian secara sepihak. Selanjutnya para pihak, Penjual dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW untuk pengakhiran/batalnya suatu perjanjian. Jadi, dalam hal ini para pihak sepakat bahwa untuk mengakhiri perjanjian tidak perlu dimintakan persetujuan pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW. Fakta yang terjadi dalam putusan-putusan pengadilan, tidak semua hakim berpendapat bahwa mengkesampingkan Pasal 1266 dan 1267 BW tidak diperkenankan atau menyimpangi hukum. Berikut ini disampaikan 2 putusan pengadilan yang memperbolehkan Pasal 1266 dan 1267 BW untuk disimpangi dan 2 putusan pengadilan yang tidak memperbolehkan Pasal 1266 dan 1267 BW untuk disimpangi. 1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dengan Putusan Nomor : 33/Pdt.G/2012/PN.Ska yang memutus sengketa antara Djatmiko Hidayat, SPd (Penggugat) dengan PT. Astra Sedaya Finance (Tergugat). 2. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa perjanjian antara Perusahaan Umum (Perumka) dengan PT. Hosseldy Rabel tentang persewaan tanah Perumka seluas 3.096 m2 di Jalan Nyi Raja Permas, Bogor No. 204/HK/TEK/1995 tertanggal 23 November 1995. 3. Putusan Peninjauan Kembali (PK) sengketa perjanjian pembelian kembali "Note" atas 10 (sepuluh) lembar Surat Pengakuan Hutang Jangka

14 Menengah/Medium Term Note antara Presiden Republik Indonesia cq. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara cq. PT. Djakarta Lloyd (Persero) selaku Pemohon Peninjauan Kembali dengan PT. Globex Indonesia selaku ermohon Peninjauan Kembali; PT. Danpac Sekuritas dan PT. BANK WINDU d/h. PT. BANK MULTICOR selaku Para Turut Termohon Peninjauan Kembali. 4. Putusan Perkara Perdata Tingkat Kasasi antara Didit Prawito selaku Pemohon Kasasi dengan PT. Holland Colours Asia selaku Termohon Kasasi, dalam sengketa perjanjian pengadaan rumah karyawan atas bantuan perusahaan yang dibayarkan karyawan secara angsuran ringan tanpa dikenakan bunga. Berdasarkan contoh putusan yang telah dikemukakan di atas mengenai Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, dua pendapat tersebut di atas saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.14 Dengan demikian, menurut Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan melalui pengadilan atau keputusan hakim (das sollen), namun pada prakteknya, perjanjian khususnya perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis, pembatalan perjanjian dapat dilakukan bersandarkan pada klausul syarat batal yang disepakati para pihak (das sein). 14

Ibid, hal. 271.

15 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan pada Pasal 1266 dan 1267 BW dapat dikatakan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak seperti yang diatur dalam Pasal 1338 BW. Pasal 1338 BW memberi kebebasan pada para pihak untuk menentukan isi perjanjian termasuk di dalamnya membuat ketentuan tentang batalnya suatu perjanjian, seperti contoh di atas. Namun di lain sisi Pasal 1266 dan 1267 BW menyatakan bahwa pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan melalui keputusan hakim/pengadilan, tidak bisa dilakukan berdasarkan kehendak para pihak meskipun sudah dicantumkan dalam perjanjian (norma konflik). Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik melalui perpustakaanperpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan analisis putusan pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata) yaitu : 1. Tesis Munnie Yasmin, Magister Kenotariatan, Universias Udayana, Denpasar - Bali, tahun 2013, dengan judul “Syarat Batal Dalam Perjanjian Timbal Balik Berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Rumusan masalah dalam tesis ini adalah seagai berikut : a. Bagaimanakah kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnua mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266 KUHPer? b. Bagaimanakah syarat keadaan yang dapat dijadikan alasan dalam penundaan pemenuhan kewajiban oleh hakim apabila syarat batal tidak disepakati dengan tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUHPer?

16 Penelitian Munnie Yasmin dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang pembatalan perjanjian dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian Munnie Yasmin menganalisis pembatalan perjanjian oleh pemerintah dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak dalam terjadinya persaingan usaha, maka pada penelitian yang akan dilakukan menganalisis pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). 2. Tesis Iskandar, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2012, dengan judul ”Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak Melalui Campur Tangan Pemerintah dalam Persaingan Usaha Tidak

Sehat

(Studi

Kasus

Putusan

Mahkamah

Agung

No.255.K/PDT.SUS/2009)”. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Apa yang menjadi dasar kekuasaan pemerintah membatasi asas kebebasan berkontrak terhadap perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat? b. Bagaimana bentuk pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat? c. Siapa sajakah pihak yang dapat memohon pembatalan perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat?

17 Penelitian Iskandar dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang pembatalan perjanjian dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian Iskandar menganalisis pembatalan perjanjian oleh pemerintah dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak dalam terjadinya persaingan usaha, maka pada penelitian yang akan dilakukan menganalisis pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). 3. Tesis Laila Hayati Aulia, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2012, dengan judul “Akibat Hukum dari Wanprestasi dalam Perjanjian Konstruksi yang Dilaksanakan Kontraktor”. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana prinsip perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam perjanjian konstruksi? b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak apabila di dalam kontrak terdapat klausula pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata? Penelitian Laila Hayati Aulia dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata. Perbedaannya jika penelitian Laila Hayati Aulia hanya menganalisis pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata, maka pada penelitian yang akan dilakukan menganalisis pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal

18 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). 4. Penelitian Tri Mulyaningsih, Magister Hukum, Universitas Islam Nusantara Bandung, tahun 2013, dengan judul ”Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Jual Beli”. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab UndangUndang Hukum Perdata terhadap asas kebebasan berkontrak? b. Bagaimana praktik di pengadilan dalam memutus perkara yang berkaitan dengan pencantuman syarat batal dalam suatu perjanjian jual beli?

Penelitian Tri Mulyaningsih dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian Tri Mulyaningsih memfokuskan penelitiannya pada perjanjian jual beli, maka pada penelitian yang akan dilakukan

menganalisis perjanjian bisnis yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai syarat batal. Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya substansinya. Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa permasalahan yang dekumukakan menarik untuk diketahui dan diteliti

19 lebih jauh mengenai syarat batal yang terdapat perjanjian yang akan dituangkan dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Putusan Pengadilan yang Mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik Wetboek dalam Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak”.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah syarat batal pada Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat dikesampingkan? 2. Bagaimana solusi untuk menyelesaikan konflik pendapat mengenai pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1

Tujuan Umum Untuk melakukan analisis putusan pengadilan yang mencantumkan Pasal

1266 dan Pasal 1267 BW dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak. 1.3.2

Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah syarat batal pada Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat dikesampingkan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis solusi untuk menyelesaikan konflik pendapat mengenai pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267.

20 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1.4.1

Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perjanjian pada khususnya mengenai: 1. Memberikan kajian literatur yang bermanfaat bagi pengembangan keilmuan hukum khususnya kenotariatan mengenai syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW. 2. Bermanfaat sebagai bahan kajian selanjutnya bagi peneliti lainnya yang akan melakukan kajian atas syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW.

1.4.2

Manfaat Praktis

1. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau stakeholders dalam meningkatkan syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW. 2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memberikan informasi dalam memahami syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW.

21 1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Karlinger15 sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum dan Teori Keadilan dan Keseimbangan. Selain kedua teori ini, dalam penelitian ini juga digunakan asas kebebasan berkontrak dan konsep pembatalan serta kebatalan perjanjian yang diuraikan sebagai berikut:

1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua, mengingat ketidakpastian pembatalan perjanjian apakah harus melalui pengadilan (Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW) ataukah para pihak dapat membatalkan berdasarkan syarat batal yang disepakati bersama (asas kebebasan berkontrak). Kepastian memiliki arti “ketentuan, ketetapan”, sedangkan jika kata kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, memiliki 15

Fred, N. Karlinger, 2008, Fenomena, Paradigma dan Teori, terj. Agus Raharjo, Erlangga, Jakarta, hal. 25-26.

22 arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.16 Menurut Peter Mahmud Marzuki17: Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus. Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.18 Bachsan

Mustafa

mengungkapkan,

bahwa

kepastian

hukum

itu

mempunyai tiga arti, yaitu19: Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai kedudukan 16

Anton M., Moeliono, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 10-28. 17 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158. 18 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan I, edisi kedua, Liberty, Yogyakarta, hal.145. 19 Bachsan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 53.

23 hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturanperaturan hukum administrasi negara. Ketiga, mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrechting) dari pihak manapun, juga tindakan dari pihak pemerintah. Kepastian hukum menurut Van Kan menyatakan bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.20 Lebih lanjut Van Kan menyatakan21: Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh karena hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan hukum kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan, 2) kepastian dalam atau dari hukum, artinya kepastian hukum tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup). Soerjono Soekanto, mengemukakan bahwa wujud kepastian hukum adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di seluruh wilayah negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku umum, tetapi hanya bagi golongan tertentu. Selain itu dapat pula peraturan setempat yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja, misalnya peraturan kotapraja.22 20

Utrecht, E. dan Jindang, Moh. Saleh J., 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta, hal.25. 21 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96. 22 Soerjono Soekanto,1974, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, Cet.4, UI Pres, Jakarta, 1974, hal. 56.

24 Dari pendapat di atas, terlihat bahwa wujud kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas untuk itu. Arti pentingnya kepastian hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, dan ketat menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).23 Budiono Kusumohamidjojo, menyatakan bahwa dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.24

23

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 136. Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil Problematika Filsafat Hukum, Cetakan 1, Grasindo, Jakarta, hal. 150-151. 24

25 1.5.1.2 Teori Keadilan dan Keseimbangan Teori keadilan dan keseimbangan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua yaitu para pihak dapat secara bebas mensepakati syarat batal dalam sebuah perjanjian asalkan kedudukan para pihak seimbang dan syarat batal dibuat dengan adil, tidak merugikan satu pihak. Teori keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dari Aristoteles. Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.25 Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat26. Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbedabeda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan. Namun pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh 25

E. Fernando M. Manullang, Op.Cit, hal. 96. Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81. 26

26 pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsipprinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.27 Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law)28. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan. Baginya keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga

27

W. Friedman, 2007, Teori Hukum, terj. Andi Sulistyo, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 346. 28 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54.

27 bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut29. Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat)30. Dalam kaitannya dengan perjanjian, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Ini artinya perjanjian tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang dirumuskan oleh para pihak, melainkan juga oleh keadilan dan itikad baik. Itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Sebagaimana dikatakan oleh Khairandy31, dalam pembuatan hingga pelaksanaan kontrak harus ditegakkan keadilan. Keadilan adalah hakikat hukum dan tujuan tertinggi hukum. Iktikad baik adalah jalan bagi hukum untuk menuju kepada keadilan tersebut. Sementara itu, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan, jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak seimbang, maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable. Unconscionability merupakan suatu konsep yang dikenal dalam Hukum Kontrak Amerika Serikat yang memberikan kemungkinan bagi seorang Hakim untuk mengabaikan sesuatu bagian sari suatu kontrak atau bahkan seluruh kontrak itu 29

John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Bambang Kusumo, Erlangga, Jakarta, hal. 18. 30 Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal. 48-51. 31 Ridwan Khairandy, 2011, “Kebesan Berkontrak dan Facta Sunt Servanda versus Iktikad Baik: Sikap yang Harus Diambil Pengadilan”, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum Kontrak, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 1 (selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I).

28 sendiri apabila bagian kontrak itu atau seluruh kontrak itu dianggap menimbulkan akibat yang unconscionable (bertentangan dengan hati nurani).32 Doktrin unconscionability

memberikan wewenang kepada seorang hakim

untuk

mengesampingkan sebagian bahkan seluruh kontrak demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi apabila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Ciri lain dari adanya ketidakseimbangan adalah kekuasaan yang ada pada pihak yang lebih kuat digunakan untuk memaksakan kehendak, sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil. Tolak ukur “penyalahgunaan keadaan” (misbruik van omstandigheden) atau penyalahgunaan kekuasaan ekonomi yang mencakup keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam itikad baik, patut dan adil atau bertentangan dengan ketertiban umum sebagai pengertian klasik, juga dapat digunakan untuk memperkaya tolak ukur bagi hukum Indonesia dalam menentukan ada atau tidak adanya bargaining power yang seimbang dalam suatu kontrak.

1.5.1.3 Asas Kebebasan Berkontrak Subekti, sebagaimana dikutip oleh Felix O. Subagjo33 memberikan pendapat mengenai kebebasan berkontrak sebagai: 32

Sutan Remi Sjahdeini, 2009, Hak Tangungan Azas-Azaz KetentuanKetentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, hal. 115. 33 Felix O. Subagjo, 1994, Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hal. 57.

29 “Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman moderen ini. Pernyataan yang menjadi dasar sepakat adalah pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. Adanya perjumpaan kehendak (consensus) sudah tepat jika diukur dengan pernyataan yang bertimbal balik yang telah dikeluarkan. Hakim dapat mengkonstruksikan adanya sepakat dari perjanjian dengan adanya pernyataan bertimbal balik.” John Stuart Mill, sebagaimana dikutip oleh Johannes Ibrahim, yang juga sebagai pendukung asas kebebasan berkontrak juga menggunakan konsep tersebut melalui 2 (dua) asas, yaitu:34 a. Hukum tidak dapat membatasi syarat-syarat yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Artinya, hukum tidak boleh membatasi apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang telah mengadakan suatu perjanjian. Asas ini maksudnya para pihak bebas untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang akan dibuat tersebut. b. Pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk membuat suatu perjanjian. Asas ini menjelaskan bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa ia berkeinginan untuk membuat suatu perjanjian.” Pendapat yang sama juga diberikan Rutten terhadap asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad,.35 Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk: a. b. c. d.

Mengadakan perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian; Memilih mengadakan perjanjian dengan siapapun; Menentukan isi, syarat-syarat, dan bentuk perjanjian yang dibuat; Menentukan ketentuan hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang dibuatnya. Hasanudin Rahman juga mengemukakan, adapun ruang lingkup dari asas

kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi:36 34

Johannes Ibrahim, 2002, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Utomo, Bandung, hal. 90. 35 Abdul Kadir Muhammad, 2007, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 225.

30 a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuat; d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian; f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional. Atiyah sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy37, menyatakan bahwa kontrak didasarkan pada kehendak bebas para pihak dalam berkontrak, tidak hanya bagi terciptanya kontrak, tetapi juga definisi dan validitas isi kontraknya. Kebebasan berkontrak menolak kebiasaan yang mengatur isi kontrak, dan juga menolak ajaran bahwa “an objectively just price exist for any objects susceptible to exchange.” Khairandy38 menyatakan gagasan utama kebebasan berkontrak berkaitan dengan penekanan akan persetujuan dan maksud atau kehendak para pihak dalam perjanjian. Selain itu, gagasan kebebasan berkontrak juga berkaitan dengan pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari pilihan bebas (free choice). Dengan gagasan utama ini, kemudian dianut paham bahwa tidak seorang pun terikat kepada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas dasar adanya pilihan bebas untuk melakukan sesuatu. Gagasan tersebut menjadi prinsip utama baik dalam sistem civil law maupun common law bahwa kontrak perdata individual di mana para pihak bebas menentukan kesepakatan kontraktual tersebut. Bagi mereka yang memiliki kemampuan bertindak untuk membuat kontrak (capacity) memiliki

36

Hasanudin Rahman, 2000, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 11. 37 Ridwan Khairandy I, Op. Cit, hal. 90. 38 Ridwan Khairandy I, Op. Cit, hal. 5.

31 kebebasan untuk mengikatkan diri, menentukan isi, akibat hukum yang timbul dari kontrak itu. Sementara itu, asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338 alinea ke satu BW para pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap mempunyai kedudukan yang seimbang serta berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya untuk melakukan perjanjian. Pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undangundang.39 Kebebasan berkontrak juga ditegaskan dalam Pasal 1321 BW yang mana menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu dibuat harus bersifat bebas. Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekhilafan, atau diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.

1.5.1.4 Konsep Batal dan Pembatalan Perjanjian Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat (2) BW tidak memperkenankan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu agar suatu kontrak dapat dibatalkan sebagaimana dimaksudkan antara lain dalam Pasal 1338 ayat (2) BW adalah sebagai berikut: 1. Kontrak tersebut haruslah dibuat secara sah. Sebab jika syarat sahnya kontrak tidak dipenuhi, batal atau pembatalan kontrak tersebut dapat dilakukan tetapi bukan lewat Pasal 1338 ayat (2) BW. 2. Dibatalkan berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undangundang, atau 39

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 34.

32 3. Dibatalkan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam kontrak yang bersangkutan. Dengan demikian suatu kontrak dapat mengalami40: 1. Batal Demi Hukum Jika syarat obyektif dari syah-nya suatu kontrak tidak dipenuhi, misalnya perjanjian untuk pengiriman narkoba batal demi hukum karena barang yang diangkut bertentangan dengan undang-undang. Dalam kondisi batal demi hukum maka akan kembali ke kondisi semula sebelum ada perjanjian. 2. Dapat Dibatalkan Jika syarat subyektif dari syahnya suatu kontrak tidak dipenuhi. Misalnya perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa, dapat dibatalkan. Akibat hukumnya juga kembali ke keadaan semula sebelum adanya perjanjian. 3. Batal dengan Putusan Hakim Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dan pihak lainnya menuntut batalnya perjanjian, maka perjanjian dapat batal dengan putusan hakim. Dalam kondisi ini para pihak tidak bisa menuntut prestasi yang telah diberikan oleh pihak lainnya. Suatu kontrak yang baik selalu terdapat klausul mengenai cara dan akibatakibat pemutusan kontrak. Ada berbagai kemungkinan pengaturan pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut :41

40

Subekti, Op.cit, hal. 41.

33 1. Penyebutan alasan pemutusan kontrak Seringkali dalam kontrak diperinci dalam alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan kontrak. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi seperti yang disebut dalam kontrak saja. 2. Kontrak dapat dihapus dengan sepakat kedua belah pihak Kadang-kadang disebutkan dalam kontrak bahwa suatu kontrak hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, kontrak dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak. 3. Mengesampingkan Pasal 1266 BW Sangat sering dalam kontrak disebutkan bahwa jika ingin memutuskan kontrak, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini, Pasal 1266 BW harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya. Sebab, menurut Pasal 1266 BW tersebut, setiap pemutusan kontrak harus dilakukan lewat pengadilan. 4. Tata cara pemutusan kontrak Di samping penentuan pemutusan kontrak tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam kontrak bahwa sebelum diputuskan suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak 41

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 93.

34 memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini bisa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan kontrak tersebut. Penulisan kewajiban memberi peringatan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh BW yaitu ingebrehstelling, yakni dengan dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur (lihat Pasal 1238 BW), dimana somasi (dengan berbagai pengecualian) pada prinsipnya memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak.

1.5.2 Kerangka Pemikiran BW

Pasal 1338 Kebebasan Berkontrak

Pasal 1226 dan 1267 Pembatalan Perjanjian

Para pihak bebas membuat syarat batal Para pihak dapat membatalkan perjanjian bila syarat batal tidak terpenuhi

Pembatalan perjanjian harus melalui putusan hakim/pengadilan

BERTENTANGAN

Analisis Putusan Pengadilan yang Mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik Wetboek dalam Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

35 1.6 Metode Penelitian 1.6.1

Jenis Penelitian Berangkat dari adanya norma konflik antara Pasal 1338 dengan Pasal 1266

dan 1267 BW, penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang terkait dengan analisis Putusan Pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik Wetboek dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.42 Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.43 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.44

42

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal. 34. 43 Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295. 44 Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.

36 1.6.2

Jenis Pendekatan Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:45 1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach). 3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). 4. Pendekatan Historis (historical approach). 5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). 6. Pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan

perundang-undangan

(statute

approach),

pendekatan

konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai analisis putusan pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW yang menyatakan tentang syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak.

45

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 93.

37 1.6.3

Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan

bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum sekunder terdiri dari:46 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa

peraturan

perundang-undangan

yang

berkaitan

dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari : a. UUD Negara Republik Indonesia 1945. b. Burgerljik Wetboek voor Indonesie. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum

sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.47 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum. Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.48

46

Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 47 Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Op.Cit, hal. 24. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15.

38 1.6.4

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik

pengumpulan

bahan

hukum

dilakukan

dengan

metode

pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum skunder dan tersier dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diproleh melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan memahami dari masing-masing bahan imformasi yang didapatkan baik dari bahan hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya. Jadi, teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum sekunder mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normativeperspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan bahan hukum sekunder mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5

Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara

sistematis dan untuk selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis, secara analisis

39 kualitatif. Yang dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian.49 Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu bahan hukum yang diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas. Penggunaan teori-teori (dan konsep-konsep penelitian) dalam menafsirkan hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-prespektif, bertujuan menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi teori-teori yang menjadi dasar untuk pengambilan kesimpulan,50 sehingga tujuan akhir penelitian hukum ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan mengenai analisis Putusan Pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik Wetboek dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak.

49

Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, hal. 188. 50 Sidharta, Bernard Arief, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155.