SEPUTAR PARADIGMA INTERPRETIF
Penelitian komunikasi acap menerapkan interpretive paradigm, walaupun status keparadigmaannya ini kerap juga diperdebatkan. Terlepas dari antara benar dan salah atau antara tepat dan kurang tepat, namun pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat interpretif ini perlu dilakukan karena hal ini sudah dipandang sebagai suatu cara yang koheren dalam studi komunikasi. Perdebatan tentang status keparadigmaan ini sekaligus juga mewakili perdebatan tentang pemahaman terhadap paradigma itu sendiri. Paradigma sendiri oleh Kuhn (1970: vii) dipahami sebagai upaya-upaya ilmiah yang diakui secara universal sehingga mampu memahami suatu persoalan dan memberikan pemecahan masalahnya bagi suatu komunitas pengguna. Paradigma menyediakan suatu kerangka kerja yang mencakup seperangkat teori, metode dan caracara penentuan data pada suatu domain. Paradigma dipandang sebagai suatu hal yang penting karena kemampuannya membedah realitas empirik dan keluwesannya dalam menyikapi persoalan yang akan dipecahkan. Dengan kata lain, paradigma adalah suatu sudut pandang yang dipakai untuk memahami suatu fenomena secara lebih lengkap. Oponen dan proponen pandangan Kuhn di antaranya dapat dilihat dari tulisan-tulisan Bernstein (1978: 84-106) dan Naughton (1982: 372-375). Lindlof
(1995:
29-30)
mencoba
memosisikan
komunikasi
dalam
status
keparadigmaan ini. Dengan mengacu pada Dervin, Grossberg, O'Keefe dan Wartella, status keparadigmaan komunikasi ini oleh Lindlof ditempatkan sebagai preparadigmatic, quasi paradigmatic dan multiparadigmatic. Dalam hal ini paradigma dipahami secara sederhana sebagai kesatuan assumptive beliefs, theoretic propositions, constructs, modes of inference, dan domains of subject matter. Lebih lanjut Lindlof (1995: 30-58) menjelaskan dasar-dasar dari pentahapan interpretif. Dasar-dasar itu adalah Verstehen (Hermenutics, Weber, Husserl) serta Schutz dan Social Phenomenology dengan intersubjectivity, serta act,action dan motive. Beberapa hal di bawah ini membahas sejumlah tradisi penelitian yang berkembang dan memiliki pengaruh dalam penelitian kualitatif komunikasi.
Universitas Gadjah Mada
1
1. Ethnomethodology Ethnomethodology mencoba memahami cara-cara karakter yang wajar dalam kehidupan sehari-hari dilakukan oleh masyarakat. Pertanyaan mendasar yang acap dilakukan adalah "Bagaimana mereka (partisipan) menggunakan sifat-sifat objektif, faktual dan keteraturan sense (perasaan) mereka (Lindlof, 1995: 36; O'Keefe, 1980: 187-219; dan Wilson, 1970: 57-79)? Istilah dan program penelitian bernama ethnometodology ini diperkenalkan oleh Harold Garfinkel. Sebagai suatu pendekatan dalam sosiologi, ethnomethodology dipakai sebagai cara membangun teori umum dalam mengembangkan penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia. Topik dalam ethnomethodology adalah konstruksi lokal makna melalui tindakan-tindakan interaksional tertentu yang kebanyakan berupa percakapan. Isi atau bentuk dari tindakan-tindakan ini hanyalah akibat. Hal berikut yang lebih bermakna adalah sumber-sumber situasional dan urutan aktivitas yang digunakan dalam mengkonstruksi koherensi tindakan yang ada. Ekspresi yang muncul karena aspek-aspek tertentu dari konteks lokal untuk memantapkan keteraturan, kealamiahan dan kefaktualan disebut dengan indexical expressions. Ekspresi ini digunakan kembali sebagai sumber dari indexical expressions yang lain. Sebagai catatan, indexicality mencakup pengorganisasian perilaku dan sumber-sumber lain dalam suatu setting untuk menghasilkan tindakan yang bermakna (Lindlof, 1995: 36-37). Penelitian-penelitian yang menggunakan ethnomethodology ini kebanyakan memusatkan kajiannya pada analisis percakapan (cerita) dengan menganggap percakapan sebagai cara seseorang mengkonstruksi realitas. Memang tak dapat dipungkiri bahwa
peneliti
yang
mencoba merincikan percakapan (cerita)
itu
berkemungkinan terjebak untuk menghasilkan cerita-cerita yang lain. Untuk menyikapi hal ini ethnomethodologists perlu memusatkannya pada metode pasti yang dipakai orang dalam menciptakan dan mempertahankan realitas intersubjektifnya. Dalam
penelitian
komunikasi,
ethnomethodology
acap
dipakai
pada
conversation analysis. Pemakaian analisis ini mencakup cara-cara sebuah percakapan diawali,
keteraturan
saat
saling
bercerita
dilakukan,
pengurutan
ungkapan,
pembenahan kesalahan, ekspresi yang bersifat reflektif dan secara umum mencakup hal-hal saat percakapan spontan menghasilkan pemunculan tampilan yang diperbaiki. Conversation analysis dapat dilakukan terhadap transkrip wacana yang direkam secara natural. Namun tidak seperti discourse analysis, analisis percakapan ini memberi kelonggaran terhadap tambahan tipe dan level dari detil kontekstual dari transkripnya sendiri yang biasanya muncul dalam suatu analisis interpretif.
2. Symbolic Interactionism Universitas Gadjah Mada
2
Interaksi simbolik (symbolic interactionism) mempelajari cara-cara diri dan lingkungan sosial secara imbang saling menentukan dan mempertajam melalui komunikasi simbolik. Konsep-konsep interaksi yang dipakai berasal dari filsafat pragmatisme. Lindlof (1995: 40-42) menyebut inti dari pragmatisme ini adalah pandangannya yang menganggap makna sebagai suatu kebutuhan yang diharapkan dalam pelaksanaan-pelaksanaan praktisnya. Implikasinya, perbedaan penggunaan makna lebih ditentukan oleh perbedaan prosedur dalam mengantisipasi dan mengenali lingkungan sosialnya. Selain itu, pragmatisme mencakup analisis dan upaya perbaikan masalah-masalah sosial. Keyakinan terhadap aturan yang seimbang antara konsep diri dan sosial, pada suatu waktu mengantar para penganut aliran ini mengawali reformasi sosial dalam ketenagakerjaan dan pendidikan untuk memediasi akibat desktrutif dari kapitalisme industri. Ahli psikologi sosial G.H. Mead, seperti dikemukakan Lindlof (1995: 42), menyebut komunikasi sosial sebagai sesuatu hal yang krusial dalam pengembangan konsep diri seseorang. Dengan mengingat bahwa masyarakat terbentuk akibat adanya realitas kehidupan kelompok yang diwujudkan dalam perilaku atau interaksi kooperatif, masing-masing orang kemudian mencoba memahami atau menegaskan kemauan orang lain melalui symbol-simbol yang bermakna. Simbol ini berupa gesture baik verbal maupun nonverbal. Herbert Blumer kemudian mengembangkan pendapat Mead dengan mengatakan bahwa makna muncul secara langsung dari adanya interaksi sosial. Di dalam kenyataan yang sesungguhnya makna tak lebih dari dasar seseorang ketika menyikapi hal atau orang lain. Bentuk umum dari tindakan dalam kehidupan kelompok, seperti dikemukakan Denzin (1977) adalah tindakan bersama atau joint act. Dalam penelitian komunikasi, interaksi simbolik banyak dipelajari dalam kaitannya dengan ekspresi simbolik pada beragam proses afiliasi dan konflik sosial. Interaksi simbolik membantu penjelasan tentang hubungan antara pengetahuan, motif, dan perencanaan pesan. Faules dan Alexander (1978) mencatat bahwa interaksi simbolik merupakan sebuah cara untuk memahami makna dalam suatu keterlibatan dan tindakan. Selain itu, interaksi simbolik juga berpengaruh besar terhadap perkembangan pendekatan konstruktifis pada komunikasi interpersonal (Delia, 1977: 66-83).
3. Ethnography of Communication Dikenal pula dengan nama ethnography of speaking, penelitian kualitatif komunikasi yang ini memiliki akar pada pendekatan antropologi dan sociolinguistic untuk memahami bahasa. Fokus dari ethnography of communication adalah speech event sebagai suatu cara untuk memahami suatu aktivitas interpretif dalam suatu Universitas Gadjah Mada
3
percakapan diatur. Dasar metodenya adalah etnografi dengan persoalan kajian yang bervariasi dari linguistik itu sendiri, kinesik (gerakan manusia), proxemik (rentang sosial), postural, gestural dan paralinguistik. Epistemologinya berakar pada banyak sumber termasuk filsafat Ludwig Wittgenstein yang memandang makna suatu bahasa hanya bisa muncul jika manusia memahami kesepakatan sosial yang mengatur pemakaiannya. Dua aliran empirik yang berpengaruh besar dalam kegiatan penelitian komunikasi adalah sociolinguistic (studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk bahasa termasuk tata bahasa dan kosa kata dan kegunaan serta maknanya dalam kehidupan sosial) dan folklore (studi tentang budaya oral dan budaya material, di antara disiplin ilmiah antropologi serta linguistik dan disiplin humanistik literatur dan etnik). Jika sociolinguistic menekankan pada kegunaan sosial suatu bahasa, folklore lebih memusatkan perhatian pada ekspresi berkesenian perasaan dan pemikiran pada budaya etnik, daerah ataupun nasional. Dalam penelitian komunikasi, ethnography of communication lebih bersifat interdispliner. Hal ini berbeda dengan ethnomethodology dan symbolic interactionism yang lebih menyandarkan diri pada sosiologi. Beberapa ide besar yang muncul dari perkembangan ethnography of communication ini adalah speech economy, beda alokasi sumber komunikasi dalam masyarakat, dan kompetensi komunikasi.
Universitas Gadjah Mada
4
4. Cultural Studies Studi kultural mencakup beragam pendekatan yang semuanya mengarah pada signifikasi. Tercakup dalam hal ini adalah sosiologi, semiotik, antropologi budaya, literary criticism, etnografi, feminisme, poststrukturalisme, psikoanalisis, Marxisme, dan sejumlah teori lain tentang ideologi dan masyarakat. Studi kultural mungkin lebih tepat dikenali sebagai suatu studi transdisipliner. Object studi dari studi kultural adalah teks (text) yang diinterpretasikan sebagai bentuk, gaya atau genre. Dalam semiotic, teks mewakili satu kluster dari penanda. Suatu teks menanda sesuatu yang diposisikan dalam suatu konteks penginterpretasian. Konsep intertextuality menggambarkan suatu cara sebuah makna dipandang sebagai suatu teks sehingga produksi dan penggunaan suatu teks sangat tergantung pada kombinasi bagian-bagian dari teks yang lain. Dalam budaya postmodern, intertextuality dari artifak budaya secara reflektif menggambar aturan, peninggalan sejarah, dan cara memahaminya (Bennett dan Woollacott, 1988: 45; dan Fiske, 1987). Secara umum, studi cultural tidak memiliki object tetap dan sangat tergantung pada perspektif teoritik dan bahkan gaya serta tujuan peneliti.
Sebagai sebuah metode, penelitian kualitatif memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini sebagai contoh bisa dibandingkan dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada penelitian kuantitatif, seperti halnya antara kelebihan dan kekurangan studi kasus, focus groups, etnografi, semiotic, penelitian survey dan analisis isi (Wimmer dan Dominick, 1997: 110-135; dan Griffin, 2003: 14-19). Kelebihan dan kekurangan ini akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.
Universitas Gadjah Mada
5