TEMPLAT TUGAS AKHIR S1

Download perkembangan epitel omasum fetus dari induk perlakuan mempunyai epitel papila tersier dan kuartener yang telah .... khususnya kajian histom...

0 downloads 366 Views 11MB Size
PERKEMBANGAN HISTOMORFOLOGIS LAMBUNG FETUS KAMBING KACANG (Capra hircus) UMUR 15 MINGGU DARI INDUKAN YANG DIBERI PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN

APRIYANTI SUGIHASTUTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Histomorfologis Lambung Fetus Kambing Kacang (Capra hircus) Umur 15 Minggu dari Indukan yang Diberi Pregnant Mare Serum Gonadotropin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017 Apriyanti Sugihastuti NIM B04120073

ABSTRAK APRIYANTI SUGIHASTUTI. Perkembangan Histomorfologis Lambung Fetus Kambing Kacang (Capra hircus) Umur 15 Minggu dari Indukan yang Diberi Pregnant Mare Serum Gonadotropin. Dibimbing oleh ADI WINARTO dan WASMEN MANALU. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) merupakan hormon yang berperan dalam memperbanyak jumlah folikel. Folikel-folikel tersebut berguna untuk memproduksi estrogen. Sekresi estrogen memicu pembebasan Luteinizing Hormone (LH), yang selanjutnya terjadi ovulasi dan menstimulasi terjadinya diferensiasi folikel ovarium menjadi sel luteal. Sel luteal berfungsi mensekresi progesteron, dan pada rasio tertentu dengan estrogen, dapat mempengaruhi fertilisasi, persiapan uterus menerima embrio, perkembangan plasenta yang berpengaruh pada pertumbuhan embrio dan fetus. Optimasi lingkungan mikrouterus dapat berpengaruh pada ekspresi genetik yang dapat berpengaruh pada bobot lahir, dan perkembangan organ internal. Lambung merupakan organ pencernaan yang penting untuk dikaji perkembangannya yang berhubungan dengan fungsinya pada fetus. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perkembangan histomorfologis lambung fetus kambing kacang (Capra hircus) berumur 15 minggu. Evaluasi jaringan lambung fetus didapatkan dari indukan yang diberi perlakuan PMSG dengan dosis 7.5 IU/kg, 15 IU/kg BB dan induk kontrol. Sampel jaringan lambung fetus kambing dari empat bagian lambung berbeda yang diproses dengan teknik histologi dan pewarnaannya menggunakan Hematoksilin Eosin (HE) dan Cason's Trichrome. Hasil menunjukkan bahwa perkembangan papila rumen mencapai setengah dari tinggi lamina epitelia, permukaan mukosa tumbuh lebih tebal, sementara pada epitel retikuler fetus dari induk perlakuan, pertumbuhan epitelnya mengikuti arah penonjolan mukosa, perkembangan epitel omasum fetus dari induk perlakuan mempunyai epitel papila tersier dan kuartener yang telah terpisah. Pada epitel abomasum telah berkembang bagian dari kardia, fundus, dan pilorus. Kesimpulannya, perkembangan histomorfologis lambung fetus dari induk perlakuan hormonal tumbuh lebih baik dibandingkan dengan fetus dari induk kontrol. Kata kunci: dinding lambung, fetus kambing kacang, histomorfologis, PMSG

ABSTRACT APRIYANTI SUGIHASTUTI. The Histomorphological Development of Gastric in the Fetus at the Age of 15 Weeks of Pregnancy in Goats Injected with Pregnant Mare Serum Gonadotropin. Supervised by ADI WINARTO and WASMEN MANALU. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) is a hormone that plays a role in multiplying the number of follicles, and producing estrogen. The secretion of estrogen triggers the release of LH, which in turn stimulates an ovum ovulation and the ovarian follicles differentiation into luteal cells. Luteal cells function to secrete progesterone, which in certain ratio to estrogen affecting the fertilization, uterine enhancement, and optimum placental environment for embryonic and fetal growth. The optimum placental microenvironment affects the genetic expression that improves the body weight of the newborn offspring, and the development of internal organs. Gastric as a digestive organ becomes essential to be observed its development in fetus related to its function. The purpose of this research was to study the histomorphological development of the gastric in the fetus of goat (Capra hircus) at the age of 15 weeks. The gastric tissues observed in this study were obtained from the fetuses of pregnant does treated with 7.5 IU / kg, 15 IU/kg PMSG, and control does. The samples of stomach tissues from four different gastric parts were histologically processed and stained using Hematoxylin Eosin staining (HE) and the Cason's Trichrome. The results showed that the development of the rumen papillae reached half the height of the lamina epithelia, the mucosa layer grew thicker, while reticular epithelial from fetus of the treated does had epithelial growth that followed the direction of protrusion of the mucosa. The development of the omasum epithelial from fetus of the treated does had separated tertiary and quaternary papillary epithelials. In the abomasum the epithelia were developed in cardiac, fundic, and pyloric parts. In conclusion, the histomorphological development of the stomach in the fetuses of PMSG-treated does were better compared to those from control does. Keywords: gastric wall, goat fetus, histomorphological, PMSG

PERKEMBANGAN HISTOMORFOLOGIS LAMBUNG FETUS KAMBING KACANG (Capra hircus) UMUR 15 MINGGU DARI INDUKAN YANG DIBERI PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN

APRIYANTI SUGIHASTUTI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Perkembangan Histomorfologis Fetus Kambing Kacang (Capra hircus) Umur 15 Minggu dari Indukan yang Diberi Pregnant Mare Serum Gonadotropin. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret hingga Agustus 2016. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drh Adi Winarto, PhD PAVet dan Bapak Prof Dr Ir Wasmen Manalu selaku pembimbing skripsi yang sangat sabar dalam membimbing serta memberikan arahan dan saran kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Staf Pengajar Histologi Prof Drh Tutik Wresdiyati, PhD PAVet dan Dr Drh I Ketut Mudite Adnyane, Msi PAVet. Kepada Bapak Iwan dan Bapak Maman sebagai Staf di Laboratorium Histologi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga tercinta; Bapak Sugito, Ibu Titik Martini, dan seluruh keluarga besar. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Indryana dan Lida sebagai teman satu penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Desi Purwanti, Maycel Trixi, Fitra Yovita D, Afifah Balfas, Imas Kurniasih, dan Kakak Laras yang selalu memberikan dukungan dan bantuan. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih untuk semua teman-teman di FKH 49 “Astrocyte”. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, Februari 2017

Apriyanti Sugihastuti

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Histomorfologis Lambung Ruminansia

2

Organogenesis Lambung

5

Hormon Reproduksi dan Hormon Pertumbuhan

6

Superovulasi

7

METODE

8

Waktu dan Tempat Penelitian

8

Alat dan Bahan

8

Prosedur Penelitian

8

Analisis Data

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Struktur Histomorfologis Rumen

10

Struktur Histomorfologis Retikulum

11

Struktur Histomorfologis Omasum

12

Struktur Histomorfologis Abomasum

13

Serabut Kolagen

15

Ketebalan Mukosa

16

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL 1 2

Rataan ketebalan mukosa rumen, retikulum, dan omasum pada berbagai kelompok perlakuan Rataan ketebalan mukosa daerah kardia, fundus, dan pilorus abomasum pada berbagai kelompok perlakuan

17 17

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Histologi rumen domba Epitel berlapis banyak terkeratinisasi Retikulum pada domba Histomorfologis omasum domba Daerah esofagus dan mukosa kardia pada anjing Sel kelenjar fundus pada sapi Mukosa pilorus pada abomasum kambing Organogenesis lambung ruminansia Struktur histomorfologis rumen fetus kambing umur 15 minggu (HE). Histomorfologis epitel pipih banyak lapis rumen fetus kambing umur 15 minggu (HE) 10 Histomorfologis retikulum fetus kambing kacang umur 15 minggu (HE) 11 Lamina omasum (HE) 12 Papila omasum fetus umur 15 minggu (HE) 13 Struktur histomorfologis kardia fetus kambing umur 15 minggu (HE) 14 Struktur histomorfologis fundus fetus kambing umur 15 minggu (HE) 15 Struktur histomorfologis pilorus fetus kambing umur 15 minggu (HE) 16 Jaringan ikat pada retikulum (Cason`s trichrome) 17 Jaringan ikat pada abomasum (Cason`s trichrome)

3 3 3 4 4 5 6 10 11 12 13 13 14 14 15 16 16

DAFTAR LAMPIRAN 1

Hasil analisis statistik ketebalan mukosa lambung fetus kambing kacang umur 15 minggu pada berbagai kelompok perlakuan

21

PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing kacang merupakan kambing dengan jumlah populasi terbanyak di antara bangsa kambing yang ada di Indonesia. Kambing kacang memiliki ciri-ciri rambut pendek, berwarna tunggal (putih, hitam, dan cokelat) atau gabungan dari ketiga warna tersebut, telinga pendek dan menggantung, jantan dan betina memiliki tanduk, dan rambut surai panjang hanya dimiliki kambing jantan (Pamungkas 2009). Tinggi pundak kambing kacang sekitar 55 cm dengan bobot badan dewasa berkisar 20-25 kg. Tingkat kesuburan kambing kacang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi lingkungan (Mahmilia dan Tarigan 2004). Kesuburan kambing kacang yang tinggi dan kemampuan beradaptasi yang baik pada berbagai kondisi lingkungan dapat ditingkatkan untuk mencapai kualitas yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi secara efisien dan efektif. Teknik reproduksi kini telah banyak dimanfaatkan secara luas, di antaranya adalah teknik superovulasi. Pemberian hormon superovulasi pada induk dapat meningkatkan konsentrasi progesteron dan estradiol (Manalu dan Sumaryadi 1999). Peningkatan konsentrasi hormon kebuntingan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan uterus dan fetus (Manalu 1999). Peningkatan perkembangan fetus diawali dari perbaikan perkembangan embrio karena progesteron mengubah lingkungan oviduk yang berpengaruh positif pada perkembangan embrio (Green et al. 2005). Selain terjadi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan fetus, pemberian hormon superovulasi dapat berpengaruh juga pada peningkatan bobot organ dalam (Manalu 1999). Peningkatan perkembangan organ dalam fetus kambing kacang yang berasal dari induk yang mendapat hormon superovulasi belum banyak dilaporkan, khususnya kajian histomorfologis dari perkembangan lambung kambing kacang. Kajian histomorfologis terkait dengan tingkat perkembangan atau kelengkapan jaringan lambung pada fetus kambing kacang merupakan peluang untuk mengenal lebih jauh perbaikan yang terjadi bila induk mendapat hormon superovulasi.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan secara histomorfologis lambung fetus kambing kacang umur 15 minggu dari indukan yang diberi hormon superovulasi. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perkembangan lambung fetus kambing umur 15 minggu yang berasal dari induk perlakuan induksi hormon PMSG maupun induk kontrol. 2. Mengetahui sebaran jaringan ikat (serabut kolagen) pada fetus kambing kambing kacang umur 15 minggu. 3. Mengetahui perbedaan ketebalan mukosa lambung pada fetus kambing kacang umur 15 minggu.

2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait perkembangan histomorfologis lambung fetus kambing kacang dari indukan yang diberi hormon superovulasi.

TINJAUAN PUSTAKA Histomorfologis Lambung Ruminansia Dinding lambung memiliki struktur histologis yang berurutan dari lumen, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa/tunika adventisia. Mukosa terdiri atas lapis epitel, lamina propria, dan muskularis mukosa. Permukaan mukosa pada lambung tanpa kelenjar disusun oleh epitel pipih banyak lapis. Permukaan mukosa pada lambung berkelenjar disusun oleh epitel silindris sebaris. Lamina propria tersusun atas jaringan ikat longgar yang mengandung serabut kolagen, serabut elastis, dan serabut retikuler. Submukosa tersusun atas jaringan ikat, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan pleksus saraf submukosa. Tunika muskularis tersusun atas dua lapisan serabut otot. Serabut otot lapisan dalam berbentuk sirkuler, dan lapisan luar serabut otot berbentuk longitudinal. Tunika muskularis bertanggung jawab pada pencampuran ingesta. Terakhir adalah tunika serosa/tunika adventisia. Tunika serosa tersusun atas mesotelium dengan jaringan ikat longgar pada lapisan atas (Eurell dan Frappier 2006). Rumen memiliki epitel pipih banyak lapis yang terkeratinisasi, seperti pada Gambar 1. Epitel ini berfungsi sebagai pelindung, absorpsi, dan metabolisme. Stratum korneum berfungsi sebagai pelindung terhadap pakan kasar dengan bervariasi ketebalan sel dan sel berbentuk pipih. Stratum granulosum memiliki sel berbaris datar. Sitoplasma stratum granulosum terdiri atas granul keratohyalin. Stratum spinosum terdiri atas sel berbentuk polihedral dengan bentuk sedikit lebih luas dari sel basal. Stratum basal terdiri atas sel berbentuk kolumnar. Muskularis mukosa tidak dimiliki rumen. Lapisan lamina propria dan submukosa menyatu dengan sebutan propria-submukosa. Tunika muskularis berupa otot polos memiliki bentuk yang sirkuler pada lapis dalam dan lapis luar berbentuk longitudinal. Lapis serosa dari rumen berupa jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf (Eurell dan Frappier 2006). Retikulum memiliki epitel pipih banyak lapis yang terkeratinisasi dengan struktur yang menyerupai rumen. Lapis propria-submukosa terdiri atas serabut kolagen dan serabut elastis. Muskularis mukosa terdapat pada bagian atas lipatan retikulum, seperti pada Gambar 2. Tunika muskularis terdiri atas dua lapis otot polos. Tunika serosa memiliki struktur yang sama dengan rumen. Propriasubmukosa terdiri atas serabut kolagen dan serabut elastis (Eurell dan Frappier 2006). Lamina pada omasum kambing memiliki 4 sampai 5 tipe lamina (El-Gendy dan Derbalah 2010). Lamina epitelia omasum terdiri atas epitel pipih banyak lapis terkeratinisasi. Pada lamina propria terdapat jaringan kapiler dan di bawah lamina propria terdapat muskularis mukosa tebal. Lapisan submukosa tipis dan

3 tunika muskularis terdiri atas serabut otot polos lapis luar dan serabut otot halus lapis dalam (Eurell dan Frappier 2006). Struktur histologis omasum seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 1 Histologi rumen domba. Epitel berlapis banyak terkeratinisasi. (9), jaringan ikat (3), lamina propria (5), submukosa (10). (Bacha dan Bacha 2012).

Gambar 2 Retikulum pada domba. Conical papilla (1), muskularis externa (4), Muskularis mukosa (5), epitel pipih berlapis banyak terkeratinisasi (6), submukosa (7). (Bacha dan Bacha 2012).

Gambar 3

Histomorfologis omasum domba. Panah hitam menunjukkan penjuluran mukosa omasum yang panjang, (3) Lamina propria, (4) Muskularis eksterna, (5) Muskularis mukosa, (6) Epitel pipih banyak lapis terkeratinisasi, (7) Submukosa (Bacha dan Bacha 2012).

Mukosa abomasum terbagi menjadi tiga wilayah kelenjar, yaitu kardia,

4 fundus, dan pilorus (Aage et al. 2007). Sel pada kelenjar kardia (Gambar 4) berbentuk kubus dengan inti terletak pada basal. Kelenjar fundus (Gambar 5) memiliki 4 macam sel, yaitu mucous neck cell, sel utama (chief cells), sel parietal dan sel endokrin. Sel leher mukus memiliki inti pipih yang terletak pada basal. Sel utama berbentuk kubus dengan inti bulat. Sel parietal mempunyai diameter lebih luas dari sel utama, dan terletak pada tepi sel utama. Kelenjar pilorus (Gambar 6) memiliki sel dengan inti berbentuk pipih terletak pada basal. Abomasum pada ruminansia memiliki struktur yang sama dengan lambung pada spesies hewan lain (Eurell dan Frappier 2006). Hal yang membedakan adalah adanya stratum kompaktum di bawah kelenjar lambung pada hewan monogastrik (Eurell 2004).

Gambar 4 Daerah esofagus dan mukosa kardia pada anjing. (2) Kelenjar kardia, (3) Epitel silindris sebaris, (6) Lamina propria, (9) Muskularis mukosa, (12) Epitel pipih banyak lapis dari esofagus (Bacha dan Bacha 2012).

Gambar 5 Sel kelenjar fundus pada sapi. (1) Sel utama (3) Leukosit, (4) Lamina propria, (10) Sel parietal (Bacha dan Bacha 2012).

5

Gambar 6 Mukosa pilorus pada abomasum kambing. (4) Gastric furrow, (5) Alur gastrium, (8) Muskularis mukosa, (9) Kelenjar pilorus, (12) Submukosa (Bacha dan Bacha 2012). Organogenesis Lambung Proses organogenesis diawali dengan terbentuknya lekukan pada embryonic disc sisi kranial, kaudal, dan lateral. Bagian dorsal dari embryonic disc menyatu dengan kantung kuning telur primitif. Bagian kranial dari lapisan endodermal membentuk lipatan yang disebut dengan foregut, sedangkan lipatan pada kaudal disebut hindgut. Midgut berada di antara foregut dan hindgut. Lambung berasal dari dilatasi dan peleburan bagian kaudal dari foregut (McGeady et al. 2006). Saat panjang embrio mencapai 7.3 mm NRL, perpanjangan dari esofagus primordial yang berada di dorsal dari lambung primordial memisahkan diri menjadi lambung depan primordial. Lambung primordial menyatu dengan lambung depan primordial saat panjang embrio mencapai 8.3 mm NRL (Mutoh dan Wakuri 1988). Pembentukan lambung pada hari ke-38 kebuntingan mencapai perkembangan bahwa rumen menjadi bagian paling besar dan berada di depan retikulum. Pada hari kebuntingan ke-47, rumen dan retikulum memiliki ukuran yang sama. Rumen tumbuh menuju arah kaudal dan retikulum tumbuh menuju arah kranial, terjadi pada hari kebuntingan ke-52 seperti pada Gambar 7. Pada hari kebuntingan ke-66, rumen merupakan bagian lambung paling besar. Pada hari kebuntingan ke-103, abomasum mempunyai ukuran sangat luas dan memanjang. Pada hari kebuntingan ke-110, abomasum menjadi lambung dengan ukuran paling besar (Hejazi dan Erik-aghaji 2013). Perkembangan abomasum mendominasi total lambung pada ruminansia sampai saat dilahirkan (Nuswantara 2002). Kapasitas abomasum dua kali ukuran dari gabungan rumen dan retikulum pada anakan yang baru lahir. Kemudian 4 bulan setelah dilahirkan, ukuran rumen dan retikulum 4 kali lebih besar dari ukuran omasum dan abomasum. Perkembangan kapasitas rumen mencapai 80% dari total kapasitas 4 kompartemen lambung ruminansia pada dewasa (McGeady et al. 2006).

6

Gambar 7 Organogenesis lambung ruminansia (Fletcher dan Weber 2004) Hormon Reproduksi dan Hormon Pertumbuhan Hormon reproduksi dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur kimianya atau berdasarkan mode of action. Struktur kimia hormon reproduksi dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu protein, steroid, asam lemak, dan amino. Hormon menuju sel target, disalurkan melalui komunikasi antarsel berupa komunikasi saraf, endokrin, parakrin, dan autokrin, dengan perantara chemical messenger (Hafez et al. 2000). Hormon-hormon reproduksi dibagi menjadi hormon reproduksi primer dan hormon reproduksi sekunder atau hormon metabolik. Hormon reproduksi primer berpengaruh langsung pada proses reproduksi, seperti spermatogenesis, ovulasi, tingkah laku seksual, fertilisasi, implantasi, pemeliharaan kebuntingan, maternal behaviour, proses kelahiran, dan laktasi. Hormon reproduksi primer terutama berasal dari empat sistem utama atau organ, yaitu hipotalamus, anterior dan posterior pituitary, gonad (testis dan ovarium), dan plasenta dan uterus (Hafez et al. 2000). Hipotalamus mengeluarkan hormon yang meregulasi reproduksi, yaitu gonadotropin-releasing hormone (GnRH), ACTH, dan prolactin–inhibiting factor (PIF). Hipotalamus mensekresikan vasopressin dan oksitosin yang disimpan di posterior pituitary. Pengeluaran GnRH oleh hipotalamus menyebabkan anterior pituitary mensekresikan LH dan FSH. Anterior pituitary selain mensekresikan LH dan FSH juga mensekresikan prolaktin. FSH berfungsi untuk pertumbuhan dan pematangan folikel ovarium. LH menstimulasi pengeluaran dan pelepasan estrogen. Preovulatory surge dari LH, berfungsi dalam meruntuhkan dinding folikel dan terjadi ovulasi (Hafez et al. 2000). Ovarium mensekresikan estradiol, progesteron, dan relaksin. Estradiol dan progesteron merupakan hormon steroid. Hormon steroid dalam plasma darah diikat oleh albumin plasma darah dengan afinitas rendah dan kapasitas tinggi. Estradiol merupakan bentuk estrogen primer. Estrogen berfungsi menginduksi tingkah laku estrus, kontraksi uterus, perkembangan karakteristik seksual sekunder pada betina, dan perkembangan dan pertumbuhan saluran kelenjar mammae. Pada ruminansia, estrogen mempunyai efek anabolik protein yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan bobot badan dengan menstimulasi pituitari untuk melepaskan growth hormone berlebih. Progesteron berfungsi mempersiapkan

7 endometrium untuk implantasi dan menjaga kehamilan, mengembangkan jaringan sekretori kelenjar mammae, menghambat motilitas uterus, dan regulasi hormonal siklus estrus (Hafez et al. 2000). Hormon pertumbuhan disekresikan oleh sel somatotrop pada anterior pituitary (Hafez et al. 2000). Hormon pertumbuhan terlibat dalam proses diferensiasi seksual, kematangan pubertas dan steroidogenesis gonad, gametogenesis, ovulasi, kehamilan, dan laktasi. Hormon pertumbuhan selain diproduksi di pituitari juga diproduksi pada gonad, plasenta, dan jaringan mammae (Hull dan Harvey 2001). Hormon pertumbuhan membantu PMSG, menginduksi sel granulosa untuk mempercepat perkembangan sel folikuler ke sel luteum (Hutchinson et al. 1988). Selama periode folikel de graaf, sel granulosa memiliki membran reseptor spesifik untuk FSH dan LH. FSH menginduksi dikeluarkannya LH untuk ovulasi dan proses luteinisasi sel granulosa dan sel teka (Erickson et al. 1979).

Superovulasi Superovulasi merupakan teknik yang dapat meningkatkan jumlah ovulasi dengan cara memperbanyak jumlah folikel melalui pemberian hormon. Hormon yang sering digunakan adalah PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) dan FSH (follicle stimulating hormone). Induksi superovulasi pada kambing, domba, dan sapi biasanya menghasilkan rata-rata 12 oosit sekaligus (Solihati 2006). PMSG atau equine chorionic gonadotropin (eCG) ditemukan pada darah kuda betina bunting. PMSG merupakan glikoprotein yang terdiri atas subunit α dan β seperti LH dan FSH. Cara kerja PMSG lebih dominan seperti FSH. PMSG bersirkulasi dalam darah. Induksi PMSG berpengaruh pada perkembangan folikel ovarium (Hafez et al. 2000). Jumlah folikel tersier meningkat setelah induksi PMSG pada mencit yang mengalami autotransplantasi ovarium (Setiadi 2004). Peningkatan sekresi hormon kebuntingan pada indukan ternak yang diberi hormon PMSG, terdapat pula peningkatan laju metabolisme. Karena hal itulah diduga jumlah dan bobot fetus dapat membantu berperan dalam menjaga homeostasis tubuh induk, dengan membantu pembentukan sel darah merah (Andriyanto et al. 2013). Pengaruh lain adalah jika fetus yang dikandung kembar dari indukan yang diberi hormon superovulasi, besar kemungkinan pertumbuhannya akan sama dengan fetus yang dikandung indukan tanpa pemberian hormon superovulasi yang tunggal maupun kembar. Namun sebaliknya terjadi jika fetus yang dikandung oleh indukan yang diberi hormon superovulasi tersebut tunggal, akan terjadi peningkatan pertumbuhan yang pesat dibanding dengan fetus yang dikandung oleh indukan yang tidak diberi perlakuan. Peningkatan itu meliputi bobot dan panjang fetus, bobot badan dan tungkai, panjang badan dan tungkai, lingkar dada, dan bobot organ dalam. Hal itulah yang menyebabkan pemberian hormon superovulasi dapat digunakan untuk memperbaiki pertumbuhan prenatal selama kebuntingan (Manalu 1999).

8

METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian adalah bulan Maret sampai Agustus 2016.

Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan bedah minor, mikrotom, peralatan fotografi, gelas objek, inkubator, water bath, cover glass, tissue cassette, dan mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan adalah lambung fetus kambing kacang berumur 15 minggu, Paraformaldehida 4%, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 95%), larutan xylol, parafin, akuades, air keran, zat pewarna Hematoksilin Eosin, larutan Weigert`s iron hematoxylin, larutan Cason`s trichrome, dan entelan.

Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel dan Fiksasi Sampel lambung berasal dari fetus kambing kacang berumur 15 minggu dari indukan yang diberi hormon PMSG dengan dosis 7.5 IU/kg BB (fetus P1) dan 15 IU/kg BB (fetus P2) serta lambung yang berasal dari fetus kambing kacang dari indukan tanpa pemberian PMSG (fetus K), yang telah difiksasi dalam larutan Paraformaldehida 4%. Sampel histologis diambil dengan ukuran 1 x ½ cm dari keempat bagian lambung fetus yang dievaluasi. Sampel lambung dimasukkan ke dalam tissue cassette dan direndam kembali dalam larutan Paraformaldehida 4% hingga terfiksasi sempurna. Pembuatan Blok Parafin Jaringan Sampel lambung fetus kambing kacang berumur 15 minggu dalam tissue cassette yang telah terfiksasi sempurna dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 95%), masing-masing selama 6 jam. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam alkohol absolut I, absolut II, dan absolut III, dilanjutkan xylol I, xylol II, dan xylol III dengan waktu masing-masing 1 jam. Selanjutnya proses infiltrasi parafin dilakukan dalam inkubator suhu 65ºC dan sampel dikeluarkan dari tissue cassette dan dimasukkan ke dalam parafin cair I, II, dan III, masing-masing selama 45 menit. Setelah proses infiltrasi selesai, dilakukan embedding atau pencetakan yang dilanjutkan dengan proses penempelan pada balok penyangga blok parafin. Pemotongan Blok Sampel

9 Pemotongan blok jaringan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 µm. Hasil potongan dimasukkan ke dalam akuades dalam suhu ruang, kemudian diletakkan pada gelas objek untuk melihat keutuhan hasil potongan jaringan dengan mikroskop cahaya. Hasil potongan sampel yang terpilih dan tidak terdapat goresan pisau ataupun terlipat, dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 36ºC untuk menghilangkan kerutan. Kemudian hasil potongan ditempelkan pada gelas objek dan disimpan sampai dilakukan pewarnaan. Pewarnaan Hematoksilin Eosin Jaringan lambung kambing diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) untuk pengamatan morfologi secara umum. Tahap pewarnaan dilakukan deparafinisasi dengan larutan xylol III, xylol II, dan xylol I masing-masing 3 menit. Selanjutnya, proses rehidrasi menggunakan alkohol absolut III, absolut II, absolut I, alkohol 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing 3 menit. Kemudian direndam dalam air keran selama 10 menit dan akuades selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan Hematoksilin selama 3 menit, kemudian direndam di dalam air keran dan akuades masing-masing 10 menit dan 5 menit. Selanjutnya diwarnai dengan Eosin selama 2 menit, dilakukan dehidrasi dan clearing, dan siap ditutup dengan cover glass. Setelah itu preparat dapat diamati dengan mikroskop cahaya. Pewarnaan Cason`s trichrome Pewarna Cason`s trichome digunakan untuk mewarnai serabut kolagen. Pewarnaan Cason’s trichrome diawali dengan proses deparafinisasi dan dehidrasi seperti pewarnaan Hematoksilin Eosin. Sampel diwarnai dengan Weigert`s iron hematoxylin selama 5 menit, lalu dicuci dengan air mengalir selama 2 menit. Setelah itu preparat diwarnai dengan larutan Cason`s trichrome selama 5 menit, kemudian dicuci kembali dengan air mengalir selama 3-5 detik. Kelebihan air diserap dengan kertas saring, dan didehidrasi cepat dalam alkohol 100%. Selanjutnya preparat dijernihkan dengan xylol, kemudian proses mounting menggunakan perekat entelan dan ditutup dengan cover glass. Selanjutnya preparat diamati dengan mikroskop cahaya. Pengukuran ketebalan mukosa lambung Jaringan lambung fetus kambing kacang dari induk yang diberi hormon superovulasi yang telah diwarnai dengan Hematoksilin Eosin, diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 4x terhadap ketebalan mukosa lambung. Penghitungan ketebalan mukosa lambung dilakukan dengan menggunakan software Image J pada 5 papila lambung.

Analisis Data Hasil evaluasi histomorfologis yang bersifat kualitatif disampaikan secara deskriptif. Data kuantitatif berupa ketebalan mukosa lambung dianalisis menggunakan software IBM SPSS Statistic versi 22 dengan uji one-way analysis of varian (ANOVA). Apabila hasil menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05),

10 dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Histomorfologis Rumen Struktur histomorfologis rumen pada fetus umur 15 minggu dapat dilihat pada Gambar 8. Perkembangan histologis rumen pada fetus K, P1, dan P2 dapat digambarkan sebagai berikut: epitel mukosa adalah pipih banyak lapis yang belum terkeratinisasi, bentuk permukaan epitel yang belum mengikuti arah penonjolan mukosa, penonjolan mukosa baru mencapai setengah dari tinggi lapisan epitelium. Lamina epitelia rumen yang telah berkembang pada fetus umur 15 minggu adalah stratum korneum, stratum spinosum, dan stratum basale. Hal tersebut menunjukkan bahwa mukosa pada rumen fetus umur 15 minggu belum berkembang seperti yang ditemukan pada mukosa ruminansia dewasa. Perkembangan struktur lapisan tunika muskularis dan tunika serosa rumen fetus 15 minggu menunjukkan struktur yang sama dengan tunika muskularis dan tunika serosa pada rumen dewasa. Sel epitel pipih banyak lapis pada mukosa menunjukkan kerapatan yang berbeda, seperti terlihat pada Gambar 9. Pada fetus K sel terlihat besar-besar dan berkesan longgar. Pada fetus P1 menunjukkan kesan sangat rapat, karena terdiri atas sel dengan ukuran terkecil dibandingkan fetus lain. Kerapatan sel pada fetus P2, lebih rapat jika dibandingkan dengan fetus K. Lamina epitelia rumen pada fetus P1 memiliki peran besar sebagai barier antara cairan tubuh dengan lumen (Frandson et al. 2009). Hal tersebut memungkinkan sel epitel yang rapat dapat menyaring lebih banyak benda-benda asing yang berpotensi menimbulkan penyakit pada sistem organ dalam tubuh. Pertambahan kerapatan epitel sangat mungkin terkait dengan sistem pertahanan tubuh dari perkembangan fetus yang sedang berkembang dan sangat mungkin dampak peningkatan pertahanan terlihat pada neonatal yang dihasilkan.

Gambar 8

Struktur histomorfologis rumen fetus kambing umur 15 minggu (HE). (M) Mukosa (PS) Lamina propria-submukosa, (TM) Tunika muskularis, (TS) Tunika Serosa, (SK) Stratum Korneum, (SP) Stratum Spinosum, (SB) Stratum Basale. (HE) Bar : 100µm, : 30 µm.

11

Gambar 9 Histomorfologis epitel pipih banyak lapis rumen fetus kambing umur 15 minggu (HE). (A) fetus K, sel besar (B) fetus P1, sel kecil dan rapat (C) fetus P2, sel mirip pada fetus K. Bar: 30 µm. Struktur Histomorfologis Retikulum Perkembangan histomorfologis retikulum fetus umur 15 minggu menunjukkan pertumbuhan epitel yang belum mengikuti arah penonjolan mukosa, epitel pipih banyak lapis belum terkeratinisasi, balok otot polos belum tampak pada papila retikulum yang tinggi dan papila memiliki ketinggian yang masih sama. Hal ini berbeda dari penelitian Garcia et al. (2014a) bahwa balok otot polos telah ditemukan pada papila retikulum yang tinggi pada umur kebuntingan 101 hari. Perkembangan retikulum fetus umur 15 minggu terutama pada lamina epitelia belum mencapai perkembangan seperti pada retikulum ruminansia dewasa. Retikulum fetus umur 15 minggu belum menunjukkan adanya lipatan mukosa dengan ketinggian rendah. Mukosanya memiliki ketinggian lipatan yang sama. Berbeda halnya dari lipatan mukosa pada retikulum ruminansia dewasa seperti pernyataan dari Eurell dan Frappier (2006) bahwa lipatan mukosa retikulum mempunyai dua tinggi lipatan. Lipatan yang tinggi menjadikan permukaan retikulum seperti cawan cekung dan saling terkoneksi sehingga memberi kesan seperti sarang lebah. Lipatan yang lebih rendah mengisi cekungan yang dibentuk oleh lipatan mukosa yang lebih tinggi dengan membentuk pola cekungan yang sama namun dengan ukuran yang lebih rendah. Arah pertumbuhan epitel pada papila yang tinggi dari retikulum fetus P2 sudah mengikuti arah penonjolan mukosa yang lebih jelas dibandingkan dengan pertumbuhan epitel pada fetus P1 maupun fetus K (Gambar 10). Hal tersebut dapat dilihat dari kedalaman dan arah celah yang terbentuk. Arah pertumbuhan epitel yang telah mengikuti penonjolan mukosa pada retikulum fetus P2 menunjukkan bahwa kesiapan dalam menjalankan fungsi lebih baik jika dibandingkan dengan kedua fetus yang lain, mengingat fungsi papila adalah transport aktif untuk natrium dan klorida, dan transport negatif untuk VFA, air, dan urea (Van Soest 1994).

12

Gambar 10 Histomorfologis retikulum fetus kambing kacang umur 15 minggu (HE). (a) celah papila, (A) fetus K, (B) fetus P1, (C) fetus P2. (M) mukosa, (PS) propria-submukosa, (TM) tunika muskularis, (TS) tunika serosa. Bar: 100 µm. Struktur Histomorfologis Omasum Omasum fetus umur 15 minggu memiliki 4 tipe lamina (Gambar 11), seperti pernyataan El-Gendy dan Derbalah (2010) bahwa omasum memiliki 4 sampai 5 tipe lamina berdasarkan ketinggiannya dan memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran papila pada laminanya. Omasum fetus umur 15 minggu menunjukkan ketinggian dari papila primer yang sama. Papila ini sudah ditutup epitel secara individual. Papila sekunder memiliki panjang 3/4 dari panjang papila primer. Papila tersier memiliki tinggi 1/3 dari papila sekunder, sementara papila kuartener masih terlihat sebagai tonjolan kecil. Epitel papila sekunder fetus P1 dan P2 sudah terlihat mengikuti arah papila, sementara epitel papila tersier dan kuartener masih bersatu (belum mengikuti arah papila) dan epitel pipih banyak lapis belum terkeratinisasi (Gambar 12). Perkembangan papila omasum fetus belum sempurna baik pada fetus K dan fetus P1. Perkembangan omasum fetus umur 15 minggu terutama pada lamina epitelia belum mencapai perkembangan seperti pada omasum ruminansia dewasa. Tunika muskularis lapis dalam belum menjorok ke dalam lamina propria. Hal tersebut berbeda dari susunan histologis pada omasum ruminansia dewasa. Menurut Eurell dan Frappier (2006) bahwa omasum memiliki tunika muskularis yang terdiri atas dua lapis, yaitu lapis dalam dan lapis luar. Lapis dalam berlanjut ke dalam lamina, pada lamina primer sampai tersier. Lamina omasum memiliki fungsi untuk mengabsorpsi air, nutrisi, dan mencegah ingesta yang besar agar tidak masuk ke dalam abomasum, untuk tetap tinggal di dalam omasum (Van Soest 1994). Perkembangan dari lamina omasum fetus P2 lebih berkembang cepat jika dibandingkan dengan fetus K, maupun fetus P1. Lamina fetus P2 mempunyai kesiapan yang lebih baik dalam melaksanakan fungsi fisiologis yang diembannya.

13

Gambar 11 Lamina omasum (HE). (L2) Lamina sekunder, (L3) Lamina tersier, (L4) Lamina kuarterner. Bar: 100 µm.

Gambar 12 Papila omasum fetus umur 15 minggu (HE). (A) fetus K (epitel papila masih menyatu), (B) fetus P1 (epitel papila masih menyatu), (C) fetus P2 (epitel papila telah terpisah). (S) Submukosa, (MM) Muskularis mukosa, (LP) Lamina propria, (EPL) Epitel pipih banyak lapis, (TM) Tunika muskularis, (TS) Tunika serosa. Bar: 100 µm. Struktur Histomorfologis Abomasum Struktur histomorfologis abomasum pada seluruh hewan ruminansia menurut Aage et al. (2007), memiliki kesamaan. Kelenjar kardia merupakan kelenjar tubular dengan sekreta berupa mukus, dengan bentuk bercabang yang relatif pendek. Sel kelenjar kardia berbentuk kubus dengan inti terletak pada basal (Eurell dan Frappier 2006). Pluripotential blastemic tissue pada hari ke-105 kebuntingan atau 70% masa kebuntingan, telah terdiferensiasi sepenuhnya menjadi tunika muskularis dan terdapat batas jelas antara tunika muskularis dan tunika serosa (Franco et al. 1993). Tunika muskularis lapis dalam sirkuler lebih tebal dibandingkan lapis luar longitudinal, seperti pada Gambar 13. Secara keseluruhan, perkembangan kelenjar kardia abomasum pada fetus kontrol maupun dari induk perlakuan tidak ada perbedaan.

14

Gambar 13 Struktur histomorfologis kardia fetus kambing umur 15 minggu (HE). (A) Struktur histologi daerah kardia, (B) kelenjar mukus kardia. (M) Mukosa, (MM) Muskularis mukosa, (S) Submukosa, (TM) Tunika muskularis, (LOS) Lapis otot sirkuler, (LOL) Lapis otot longitudinal, (TS) Tunika serosa. Bar (A): 100 µm, (B): 10 µm. Sel pada kelenjar fundus fetus umur 15 minggu ditemukan sel leher mukus, sel utama, dan sel parietal. Sel-sel tersebut sudah dapat dikenali walupun belum menunjukkan perbedaan yang nyata (Gambar 14). Menurut Eurell dan Frappier (2006), sel leher mukus memiliki bentuk seperti sel permukaan epitelium dan sitoplasmanya lebih basofilik dengan inti pipih terletak di basal. Sel parietal berbentuk piramid dengan inti bulat dan memiliki ukuran lebih besar dari sel utama. Sel utama memiliki bentuk kubus atau piramid dengan inti bulat dan terletak dekat daerah basal. Kelenjar fundus memiliki empat macam sel berdasarkan perbedaan struktur dan fungsi, yaitu sel leher mukus, sel parietal, sel utama, dan sel endokrin. Namun, sel endokrin sulit diamati dengan pewarnaan HE. Sel endokrin dapat diamati dengan pewarnaan Gordon-Sweet`s (Wang et al. 2015). Tunika muskularis lapis otot sirkuler lebih tebal dibandingkan dengan lapis otot longitudinal. Seperti pernyataan Wang et al. (2015) bahwa tunika muskularis lapis otot sirkuler lebih tebal 4 kali daripada lapis otot longitudinal. Perkembangan daerah fundus pada fetus K maupun fetus P1 dan P2 tidak terdapat perbedaan.

Gambar 14 Struktur histomorfologis fundus fetus kambing umur 15 minggu (HE). (A) struktur histologi daerah fundus, (B) kelenjar fundus. (M) Mukosa, (MM) Muskularis mukosa, (S) Submukosa, (TM) Tunika muskularis, (TS) Tunika serosa, (SL) Sel leher mukus, (SU) Sel utama, (SP) Sel parietal. Bar (A): 100 µm, (B): 10 µm.

15 Perkembangan daerah pilorus fetus kambing umur 15 minggu dapat dilihat pada Gambar 15. Kelenjar pilorus memiliki sel dengan sekresi mukus, inti pipih terletak pada basal. Alur gastrium pada tiga daerah abomasum memiliki kedalaman yang sama. Berbeda dari alur gastrium dari daerah pilorus ruminansia dewasa yang terlihat lebih dalam daripada daerah kardia dan daerah fundus (Eurell dan Frappier 2006). Daerah pilorus memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah kardia dan fundus. Perkembangan tersebut terlihat dari bagian kelenjar pilorus yang telah terlihat secara jelas. Daerah pilorus pada fetus kontrol maupun perlakuan, tidak terdapat perbedaan perkembangan.

Gambar 15 Struktur histomorfologis pilorus fetus kambing umur 15 minggu (HE). (A) Struktur histologi pilorus. (B) Kelenjar pilorus. (M) Mukosa, (MM) Muskularis mukosa, (S) Submukosa. Bar (A): 30 µm, (B): 10 µm. Serabut Kolagen Jaringan ikat merupakan jaringan pendukung dengan jumlah melimpah dan memiliki banyak keragaman. Jaringan ikat disusun oleh matriks ekstraseluler yang terdiri atas substansi dasar, sel, dan serabut. Substansi dasar merupakan ruang di antara sel, serabut, dan pembuluh darah yang mengisi jaringan ikat. Komposisi substansi dasar terdiri atas glikoprotein dan glikosaminoglikan. Sel-sel yang terdapat pada jaringan ikat berupa fibroblas, makrofag, plasma sel, adiposit, sel mast, dan leukosit. Serabut yang mengisi jaringan ikat terdiri atas serabut kolagen, retikuler, dan elastis. Serabut kolagen merupakan serabut yang kuat dan fleksibel, namun mampu menahan regangan (Bacha dan Bacha 2012). Serabut kolagen pada lambung fetus kambing umur 15 minggu, baik pada fetus K maupun fetus P1 dan P2 menunjukkan pola sebaran serabut kolagen yang sama. Serabut kolagen yang ada masih tergolong sedikit. Pada tunika muskularis dan tunika serosa belum terlihat secara jelas. Tipe serabut kolagen pada tunika muskularis, muskularis mukosa merupakan kolagen tipe IV. Kolagen tipe III dan IV terdapat pada lapis submukosa dan lamina propria (Mello et al. 2010). Pewarnaan kolagen dengan Cason`s trichome, menampilkan warna biru (Ostrander 2005). Pewarnaan kolagen selain menggunakan Cason`s trichome dapat menggunakan pewarnaan HE, van Gieson`s, Mallory`s and Masson`s triple stains. Serabut kolagen bersifat fleksibel dengan beradaptasi pada pergerakan dan mengikuti perubahan organ (Eurell dan Frappier 2006). Sebaran jaringan ikat khususnya serabut kolagen pada fetus K, P1, maupun P2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata sehingga sebaran serabut kolagen

16 pada ketiga fetus tersebut adalah sama pada semua bagian lambung. Sebaran jaringan ikat pada rumen dan retikulum jelas terlihat pada lapisan propriasubmukosa. Gambar 16 mewakili sebaran serabut kolagen pada rumen maupun retikulum. Pada omasum sebaran serabut kolagen jelas terlihat pada lapis muskularis mukosa. Sebaran serabut kolagen terbanyak pada bagian propriasubmukosa, kemungkinan berkaitan dengan submukosa terdiri dari jaringan ikat padat tidak teratur yang banyak mengandung serabut kolagen (Bacha dan Bacha 2012). Gambar 17 menyajikan sebaran serabut kolagen pada abomasum. Sebaran serabut kolagen jelas terlihat pada lapis submukosa, kecuali pada daerah kardia. Pada daerah kardia, serabut kolagen jelas terlihat pada lamina propria. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wang et al. (2015) bahwa serabut kolagen pada lamina propria daerah kardia cenderung banyak. Serabut kolagen pada daerah fundus terlihat pada muskularis mukosa, submukosa, dan tunika serosa. Pada daerah pilorus, terlihat jelas pada daerah submukosa.

Gambar 16 Jaringan ikat pada retikulum (Cason`s trichrome). (A) sebaran serabut kolagen (biru) fetus K, (B) sebaran serabut kolagen fetus P1 (C) sebaran serabut kolagen fetus P2. Bar: 100 µm.

Gambar 17 Jaringan ikat pada abomasum (Cason`s trichrome). (A) sebaran serabut kolagen (biru) daerah kardia, (B) sebaran serabut kolagen daerah fundus (C) sebaran serabut kolagen daerah pilorus. Bar: 100 µm. Ketebalan Mukosa Mukosa dinding lambung terdiri atas epitelium, lamina propria, dan muskularis mukosa. Lamina propria terdiri atas jaringan ikat dan jaringan limfatik difus yang dapat memicu respons imunitas terhadap agen yang masuk ke dalam

17 epitelium yang dapat melukai lambung, serta terdapat pembuluh darah di sekitar kapiler limfe dan saraf. Muskularis mukosa memiliki fungsi dalam pergerakan mukosa, dan menyalurkan sekresi kelenjar ke dalam lumen lambung (Eurell dan Frappier 2006). Tabel 1 Rataan ketebalan mukosa rumen, retikulum, dan omasum pada berbagai kelompok perlakuan Ketebalan mukosa (µm)

Kelompok perlakuan Fetus K Fetus P1 Fetus P2

Rumen 471.80 ± 33.50a 452.20 ± 16.53a 639.00 ± 19.98b

Retikulum Omasum a 830.20 ± 27.23 517.80 ± 100.49a 902.60 ± 52.85ab 505.60 ± 80.84a 980.00 ± 40.44b 508.20 ± 66.94a

Keterangan : Tanda superskrip pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Tabel 2 Rataan ketebalan mukosa daerah kardia, fundus, dan pilorus abomasum pada berbagai kelompok perlakuan Ketebalan mukosa (µm)

Kelompok perlakuan Fetus K Fetus P1 Fetus P2

Kardia 182.40 ± 10.85b 135.40 ± 17.78a 148.20 ± 7.33a

Fundus 240.000 ± 24.17b 162.00 ± 14.73a 181.00 ± 28.00a

Pilorus 313.00 ± 45.79b 237.00 ± 36.28a 233.00 ± 17.30a

Keterangan : Tanda superskrip pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rumen fetus P2 memiliki ketebalan mukosa 639.00 ± 19.98 yang merupakan tingkat ketebalan paling tinggi dibandingkan dengan ketebalan mukosa fetus P1 dan fetus kontrol. Pada retikulum, ketebalan mukosa paling tinggi sebesar 980.00 ± 40.44 ditemukan pada P2 dan berbeda nyata dari fetus K dan tidak berbeda nyata dari fetus P1. Ketebalan mukosa omasum dari fetus K, P1, dan P2 tidak berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ramkrishna dan Tiwari (1979) bahwa ketebalan epitel pada rumen dan retikulum akan mengalami peningkatan selama perkembangan fetus. Ketebalan mukosa lambung otot pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian hormon PMSG pada induk kambing dapat meningkatkan ketebalan mukosa rumen secara nyata (p<0.05). Keadaan ini mengindikasikan bahwa ada peningkatan kualitas lambung otot, dilihat dari percepatan perkembangan dari fetus yang berasal dari induk yang diberi hormon PMSG. Ketebalan mukosa pada tiga daerah abomasum, fetus P1 dan P2 terlihat rendah secara nyata (p<0.05) terhadap fetus K. Perkembangan abomasum pada fetus dari induk perlakuan menunjukkan percepatan perkembangan yang lebih baik jika dibandingkan dengan fetus K. Hal ini mengacu pada pernyataan Masot et al. (2007) bahwa semakin mendekati kelahiran, ketebalan dinding lambung abomasum akan menurun. Keadaan ini mengindikasikan bahwa dengan adanya penurunan ketebalan mukosa seperti terlihat pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa pemberian hormon PMSG pada indukan dapat mempercepat

18 perkembangan fetus, khususnya pada lambung kelenjar.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perkembangan histomorfologis lambung fetus kambing umur 15 minggu telah menunjukkan adanya mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Jaringan ikat pada dinding lambung sudah terlihat walaupun dalam jumlah sedikit. Perkembangan ketebalan mukosa rumen dan retikulum pada fetus P2 lebih tinggi, namun tidak pada omasum. Ketebalan mukosa abomasum fetus P1 dan P2 terlihat rendah secara nyata (p<0.05) terhadap fetus K. Pemberian PMSG dosis 15 IU/kg BB pada induk, dapat meningkatkan percepatan perkembangan lambung otot, sedangkan pemberian PMSG dosis 7.5 IU/kg BB, dapat meningkatkan percepatan perkembangan lambung kelenjar fetus umur 15 minggu. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perkembangan histomorfologis pada berbagai tingkat perkembangan umur kebuntingan hingga postnatal, serta diperbanyak uji pewarnaan agar semakin luas yang dapat dikaji.

DAFTAR PUSTAKA Aage HM, Bhosale NS, Kadam SD, Kapadnis PJ. 2007. Histomorphological study of abomasum in cattle. Indian J Anim Res. 41(3) : 192-195 Andriyanto, Arif R, Darulfalah MD, Nugraha GM, Kusumorini N, Maheshwari H, Manalu W. 2013. Efek pemberian hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) sebelum kawin terhadap gambaran darah merah induk domba selama perode kebuntingan. Jurnal Kedokteran Hewan. 7(1). Bacha WJ, Bacha LM. 2012. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-3. West Sussex(UK) : Wiley-Blackwell. hlm: 155-162 Bowen R. 2003. Digestive anatomy in ruminants [internet]. [diunduh 2016 Jan 21]. Tersedia pada : http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/herbivores/rumen_a nat.html Butcher GA. 2005. The role of the spleen and immunization against malaria. Trends Parasitol. 21:356-357 El-Gendy SAA, Derbalah A. 2010. Macroscopic and microscopic anatomy of the omasum of the baladi goat. Journal of Biological Sciences. 10: 596-607 Erickson GF, Wang C, Hsueh AJW. 1979. FSH induction of functional LH receptors in granulosa cells cultured in a chemically defined medium. Nature. 336-338. Eurell JAC. 2004. Veterinary Histology. Wyoming (US):Teton New Media.

19 hlm:63 Eurell JAC, Frappier BL. 2006. Dellmann`s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Iowa (US): Blackwell Publishing. hlm:171-194 Fletcher TF, Weber AF. 2004. Veterinary developmental anatomy. Veterinary Embryology (class notes). Hlm : 15-20 Franco A, Robina A, Guillen MT, Mayoral AI, Redondo E. 1993. Histomorphometric analysis of the abomasum of the sheep during development. Ann Anat. 175:119-125 Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ewand-7. Lowa(USA):Wiley-Blackwell Garcia A, Masot J, Franco A, Gazquez A, Redondo E. 2014. Immunohistochemical evaluation of the goat forestomach during prenatal development. J. Vet. Sci. 15(1):35-43 Ginting SP. 2009. Pedoman Teknis Pemeliharaan Induk dan Anak Kambing Masa Pra Sapih. Deli Serdang : Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Green MP, Hunter MG, Mann GE. 2005. Relationship between maternal hormone secretion and embryo development on day 5 of pregnancy in dairy cows. Anim Reprod Sci. 88(3-4):89-179 Hafez ESE, Jainudeen MR, Rosnina Y. 2000. Hormones, growth factors, and reproduction. Di dalam: Hafez ESE, Hafez B, editor. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Chapter 3. Maryland (USA): Lippincot Williams & Wilkins. hlm 33-53. Hejazi S, Erick-aghaji H. 2013. Study of stomach morphogenesis in sheep fetus. Life Sci J. 10(5s):659-663 Hull KL, Harvey S. 2001. Growth hormone: roles in female reproduction. J endocrinol. 168(1): 1-23 Hutchinson LA, Findlay JK, Herington AC. 1988. Growth hormone and insulinlike growth factor-I PMSG-induced differentiation of granulosa cells. Molecular and Cellular Endocrinology. 55:61-69. Mahmilia F, Tarigan A. 2004. Karakterisitik morfologi dan performans kambing kacang, kambing boer dan persilangannya. Lokakarya Nasional Kambing Potong; 2004; Sumatera Utara, Indonesia. Manalu W. 1999. The effect of superovulation prior to mating on fetal growth in lambs from Javanese-thin tail ewes. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4:243250. Manalu W, Sumaryadi MY. 1999. Correlation between lamb birth weight and the concentrations of hormones and metabolites in the maternal serum during pregnancy. The Journal of Agricultural Science. 133(2):227-234 Masot AJ, Franco AJ, Redondo E. 2007. Morphometric and immunohistochemical study of the abomasum of red deer during prenatal development. J. Anat.211(3):376-386 McGeady TA, Quinn PJ, FitzPatrick ES, Ryan MT. 2006. Veterinary Embryology. Oxford (UK) : Blackwell Publishing. Mello MVF, Pissinatti A, Ferreira AMR. 2010. Distribution of collagen type I, III, and IV in gastric tissue of marmosets (Callithrix spp.,Callitrichidae: Primates). Pesq. Vet. Bras. 30(4) Mutoh K, Wakuri H. 1988. Early organogenesis of the caprine stomach. Jpn. J. Vet. Sci. 51(3):474-484

20 Nuswantara LK. 2002. Ilmu makanan ternak ruminansia (sapi perah) [internet]. [diunduh 2016 Jan 20]. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/21576/ Ostrander GK. 2005. Techniques in Aquatic Toxicology. Vol-2. Florida (USA):CRC Press Pamungkas FA, Batubara A, Doloksaribu M, Sihite E. 2008. Petunjuk Teknis Beberapa Plasma Nutfah Kambing Indonesia. Galang Deli Serdang (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Patton KT, Thibodeau GA. 2013. Anatomy & Physiology. Ed ke-8. Missouri : Mosby. hlm: 1005 Ramkrishna V, Tiwari GP. 1979. Histological and histochemical observations on the forestomch of goat during pre-natal life. Acta Anatomica. 103:292-300 Setiadi H. 2004. Perkembangan folikel hasil autotransplantasi ovarium di subkapsula ginjal setelah induksi PMSG pada mencit [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Solihati N, Lestari TD, Hidajat K, Setiawan R, Nurhayat LJ. 2006. Perlakuan superovulasi sebelum pemotongan ternak. Jurnal Ilmu Ternak. 6(2):145-149 Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant. Ed ke-2. Ithaca : Comstock Pub. hlm: 233-235 Wang J, Zhang R, Zhang L, Wang C, Shao B, Wang J. 2015. Histomorphometricadaptation of yak (Bos grunniens) abomasum to the qinghai-tibetan plateau environment. Int. J. Morphol. 33(2)764-776 Wardrop ID. 1961. Some preliminary observations on the histological development of the fore-stomach of the lamb I. Histological changes due to age in the period from 46 days of foetal life to 77 days of post-natal life. The Journal of Agricultural Science. 57(3):335–341. doi: 10.1017/S0021859600049303 Yamamoto Y, Kitamura N, Yamada J, Andrѐn A, Yamashita T. 1994. Morphological study of the surface structure of the omasal laminae in cattle, sheep and goats. Anat Histol Embryol. 23(2): 76-16

21

LAMPIRAN A. Rumen Lampiran 1 Hasil analisis statistik ketebalan mukosa lambung fetus kambing kacang umur 15 minggu pada berbagai kelompok perlakuan ANOVA Ketebalan_mukosa

Between Groups Within Groups Total

Mean Sum of Squares Df Square 105390,400 2 52695,200 13569,600 12 1130,800 118960,000 14 Ketebalan_mukosa

F 46,600

Sig. ,000

Duncana Subset for alpha = 0.05 2

Perlakuan N 1 Dosis 7.5 IU/kg BB 5 452,2000 Kontrol 5 471,8000 Dosis 15 IU/kg BB 5 Sig. ,375 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

639,0000 1,000

B. Retikulum ANOVA Ketebalan_mukosa Sum of Squares Between Groups 56120,933 Within Groups 58714,000 Total 114834,933

Df Mean Square 2 28060,467 12 4892,833 14 Ketebalan_mukosa

F 5,735

Sig. ,018

Duncana Subset for alpha = 0.05 2

Perlakuan N 1 Kontrol 5 830,2000 Dosis 7.5 IU/kg BB 5 902,6000 Dosis 15 IU/kg BB 5 Sig. ,128 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

902,6000 980,0000 ,106

C. Omasum ANOVA Ketebalan_mukosa Sum of Squares Between Groups 412,933 Within Groups 84460,800 Total 84873,733

Df 2 12 14

Mean Square 206,467 7038,400

F ,029

Sig. ,971

22 Ketebalan_mukosa Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N 1 Dosis 7.5 IU/kg BB 5 505,6000 Dosis 15 IU/kg BB 5 508,2000 Kontrol 5 517,8000 Sig. ,831 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

D. Kardia abomasum ANOVA ketebalan_mukosa Sum of Squares Between Groups 5904,133 Within Groups 1951,200 Total 7855,333

df Mean Square 2 2952,067 12 162,600 14 ketebalan_mukosa

F 18,155

Sig. ,000

Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N 1 2 Dosis 7.5 IU/kg BB 5 135,4000 Dosis 15 IU/kg BB 5 148,2000 Kontrol 5 182,4000 Sig. ,138 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

E. Fundus abomasum ANOVA ketebalan_mukosa Sum of Squares Between Groups 16543,333 Within Groups 6340,000 Total 22883,333

df Mean Square 2 8271,667 12 528,333 14 ketebalan_mukosa

F 15,656

Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N 1 2 Dosis 7.5 IU/kg BB 5 162,0000 Dosis 15 IU/kg BB 5 181,0000 Kontrol 5 240,0000 Sig. ,216 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

F. Pilorus abomasum ANOVA

Sig. ,000

23 Ketebalan_mukosa Sum of Squares Between Groups 20320,000 Within Groups 14852,000 Total 35172,000

df Mean Square 2 10160,000 12 1237,667 14 Ketebalan_mukosa

F 8,209

Duncana Subset for alpha = 0.05 2

Perlakuan N 1 Dosis 15 IU/kg BB 5 233,0000 Dosis 7.5 IU/kg BB 5 237,0000 Kontrol 5 Sig. ,860 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

313,0000 1,000

Sig. ,006

24

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 12 April 1994. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Sugito dan Ibu Titik Martini. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di MTs N 1 Wonogiri pada tahun 2009, kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Wonogiri dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama menjadi mahasiswi di IPB, penulis aktif di organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa FKH pada tahun 2014/2015. Penulis juga aktif di organisasi Himpro Ruminansia pada tahun 2014/2015.