TEMPLAT TUGAS AKHIR S1

Download Dimulainya Pendinginan Selama Penetasan terhadap Daya Tetas Telur Itik ... embrio lebih tinggi dengan waktu penetasan yang lebih lama darip...

0 downloads 459 Views 643KB Size
PENGARUH WAKTU DIMULAINYA PENDINGINAN SELAMA PENETASAN TERHADAP DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN CIHATEUP ALABIO

DINIATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Waktu Dimulainya Pendinginan Selama Penetasan terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Diniati NIM D14090010

ABSTRAK DINIATI. Pengaruh Waktu Dimulainya Pendinginan Selama Penetasan terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio. Dibimbing oleh RUKMIASIH dan RUDI AFNAN. Telur itik memiliki daya tetas lebih rendah karena memiliki risiko kematian embrio lebih tinggi dengan waktu penetasan yang lebih lama daripada telur ayam. Penelitian ini bertujuan memperoleh waktu dimulainya pendinginan yang tepat selama penetasan buatan untuk meningkatkan daya tetas telur itik serta mengevaluasi pengaruhnya terhadap bobot tetas. Telur itik cihateup alabio diperoleh dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi. Pengambilan telur tetas dilakukan selama 5 kali/minggu dengan total telur 419 butir. Telur tetas disemprot dan dinginkan selama 0.25 jam pada temperatur ruang selama 2 kali sehari pada periode setter. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 perlakuan waktu dimulainya pendinginan telur. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot telur, fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan bobot tetas. Pendinginan telur pada waktu mulai yang berbeda selama periode setter pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap daya tetas. Daya tetas tertinggi diperoleh pada hari ke-17. Waktu dimulainya pendinginan berpengaruh terhadap bobot tetas. Kata kunci: daya tetas, telur cihateup alabio, waktu mulai pendinginan

ABSTRACT DINIATI. The Effect of Start Cooling During Incubation on Cross Cihateup Alabio Duck Eggs Hatchability. Supervised by RUKMIASIH and RUDI AFNAN. Duck eggs have lower hatchability because they have higher risk of embryo mortality due to a longer incubation than chicken eggs. This study was designed to obtain the proper of start cooling during artificial incubation to improve duck eggs hatchability and hatching weight. Eggs of cihateup alabio duck were obtained from Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi. Eggs were collected weekly in 5 different times. Total egg collected was 419 eggs. Incubated eggs were sprayed and cooled for 0.25 h at room temperature for 2 times a day in setter period. This study used randomized block design and 3 treatments of starting cooling time of egg. Observed variables were egg weight, fertility, hatchability, embryo mortality and hatching weight. Cooling eggs at different times during the setter period did not affect to hatchability. Highest hatchability was obtained on Days 17. The start cooling significantly was affected the hatching weight. Keywords: cihateup alabio eggs, cooling, hatchability, start time

PENGARUH WAKTU DIMULAINYA PENDINGINAN SELAMA PENETASAN TERHADAP DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN CIHATEUP ALABIO

DINIATI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Judul Skripsi : Pengaruh Waktu Dimulainya Pendinginan Selama Penetasan terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio Nama : Diniati NIM : D14090010

Disetujui oleh

Dr Ir Rukmiasih, MS Pembimbing I

Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah daya tetas telur itik, dengan judul Pengaruh Waktu Dimulainya Pendinginan selama Penetasan terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rukmiasih, MS dan Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr selaku pembimbing, serta Prof Em Peni S Hardjosworo, MSc yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Iman Rahayu HS, MS dan Dr Ir Ibnu Katsir, MS selaku penguji serta Edit Lesa Aditya, SPt MSc selaku panitia pada ujian tugas akhir atas saran perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Eka Koswara, SPt sebagai teknisi Laboratorium Penetasan Telur, Fakultas Peternakan, IPB dan teman tim penelitian (Fitria Darajah, Darifta Darmawati, Mohamad Kholid, Aditya Ananda Putra, Syaifudin, Cira Marlinah), Irmawan Purpranoto, SPt serta Heni P Ompusunggu yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik-adik (Warokhmah Efendi, Attiin dan Yulia Lestari) serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

Diniati

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan Alat Prosedur HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Telur Daya Tetas Bobot Tetas Kematian Embrio SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

vi vi 1 1 1 1 2 2 2 2 2 4 4 6 8 9 10 10 10 11 12 13

DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Bobot telur itik CA Indeks telur itik CA Fertilitas telur itik CA Daya tetas telur itik CA Temperatur dan kelembaban mesin tetas Bobot tetas dan persentase bobot tetas telur itik CA

4 5 5 6 7 8

DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.

Sidik ragam persentase daya tetas telur itik CA Sidik ragam bobot tetas telur itik CA Sidik ragam persentase bobot tetas telur itik CA

12 12 12

PENDAHULUAN Latar Belakang Itik lokal yang telah lama dikembangkan masyarakat sebagai petelur kini sudah banyak dimanfaatkan juga sebagai penghasil daging. Populasi itik menurut DPKH (2012) yaitu 46 989 522 ekor, sedangkan jumlah ayam ras pedaging mencapai 1 266 902 718 ekor dan ayam ras petelur sebesar 130 539 437 ekor. Produktivitas itik lokal di masyarakat masih rendah sehingga perlu adanya peningkatan mutu genetik seperti persilangan. Persilangan itik jantan cihateup dengan betina alabio (CA) yang telah dilakukan Matitaputty (2012) menunjukkan sifat daya tetas telur yang tinggi dan kematian embrio yang rendah daripada persilangan jantan alabio dengan betina cihateup (AC). Rendahnya daya tetas telur itik daripada telur ayam menjadi permasalahan utama dalam produksi bibit itik untuk memenuhi permintaan daging unggas. Telur itik memiliki karakteristik seperti bobot, panjang, lebar dan pori-pori kerabang yang berbeda dengan telur ayam. Waktu penetasan telur itik selama 28 hari berpengaruh terhadap perkembangan embrio yang berbeda dengan telur ayam yang hanya 21 hari. Perkembangan embrio akan menghasilkan panas akibat proses metabolisme yang semakin meningkat selama proses penetasan. Kecepatan metabolisme embrio berperan penting dalam keberhasilan penetasan telur itik (Harun et al. 2001). Kelebihan panas yang dihasilkan metabolisme embrio dan mesin tetas selama penetasan akan menyebabkan stres panas pada embrio yang dapat meningkatkan kematian embrio dan menurunkan daya tetas telur itik. Telur itik membutuhkan kelembaban yang lebih tinggi selama penetasan dibandingkan telur ayam (Kortlang 1985). Kecepatan metabolisme energi meningkat seiring dengan perkembangan embrio di dalam telur. Produksi panas selama penetasan lebih dipengaruhi oleh tahapan perkembangan embrio (Meijerhof 2009). Perlakuan pendinginan telur pada waktu mulai yang tepat diharapkan dapat meningkatkan daya tetas telur itik, sehingga produksi DOD meningkat.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memperoleh waktu dimulainya pendinginan yang tepat selama penetasan untuk meningkatkan daya tetas telur itik.

Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup pengamatan dan pengukuran daya tetas telur itik CA dengan perlakuan waktu dimulainya pendinginan yang berbeda. Waktu dimulainya pendinginan dikelompokkan menjadi hari ke-3, 10 dan 17 penetasan.

2

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Pemeliharaan dan perkawinan itik jantan cihateup dengan itik betina alabio untuk menghasilkan telur CA dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi. Penetasan telur dilakukan di Laboratorium Penetasan Telur, Bagian Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama bulan Juli 2012 sampai September 2012.

Bahan Telur tetas itik CA diperoleh dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi. Pengambilan telur dilakukan selama 5 kali/minggu dengan total telur 419 butir. Telur tetas pada periode penetasan/minggu ke-1 sampai 5 secara berturut-turut berjumlah 29, 71, 120, 87 dan 112 butir. Telur tetas diperoleh dari kawin alami persilangan itik jantan cihateup berumur 1 tahun yang berasal dari peternak asal Tasikmalaya, Jawa Barat dengan itik betina alabio berumur 1.5 tahun yang berasal dari Kalimantan Selatan. Rasio jantan dan betina yang digunakan adalah 4:15 dan dipelihara pada alas kandang litter. Pakan yang diberikan bentuk crumble dengan kandungan protein 16%-17%, energi metabolis 2 600-2700 kkal/kg dan kandungan kalsium 3.5%-4%. Bahan lain yang digunakan adalah disinfektan rodalon, larutan klorin, Na2CO3, KMnO4 dan formalin 40%.

Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin tetas semi otomatis dengan listrik sebagai sumber panas. Mesin tetas dilengkapi dengan peralatan egg tray atau tempat telur tetas dengan kapasitas 80-100 butir telur dan bak air di bawah rak telur. Peralatan lain yaitu termometer digital, termometer bola kering-bola basah, jangka sorong, alat candling, wadah untuk sanitasi dan fumigasi telur, timbangan digital dan stopwatch. Pendinginan telur menggunakan gelas ukur dan sprayer.

Prosedur Persiapan Telur Telur tetas direndam air hangat suhu 40 oC dengan dosis campuran 67.5 g Na2CO3 dan 150 ml klorin selama 7 menit untuk telur sebanyak 150 butir, lalu ditiriskan dan diangin-anginkan sampai kering. Telur kemudian ditimbang bobotnya, diukur panjang dan lebar, diteropong (candling) untuk melihat kantung udara dan ditebalkan dengan pensil serta diberi nomor telur. Selanjutnya, telur difumigasi dengan 20 g KMnO4 dan 40 ml formalin 40% untuk setiap 2.83 m3 ruangan selama 10 menit.

3 Persiapan Mesin Tetas Mesin tetas dan peralatannya (bak air, egg tray, sprayer) disanitasi dengan disinfektan dan dikeringkan. Selanjutnya difumigasi dengan 40 g KMnO4 dan 80 ml formalin 40% untuk 2.83 m3 mesin tetas selama 30 menit. Mesin tetas diatur pada temperatur 37.4 oC dan kelembaban 60% selama penetasan.

Pendinginan Telur Sprayer yang telah diisi dengan 1 L air dan 0.2 ml disinfektan dimasukkan ke dalam mesin tetas. Pendinginan telur dilakukan 2 kali setiap hari pada waktu pagi (06.00-07.00 WIB) dan sore hari (17.00-18.00 WIB) sesuai dengan masingmasing perlakuan selama periode setter. Telur dikeluarkan dari dalam mesin tetas dan didiamkan pada temperatur kamar selama 2-3 menit. Selanjutnya, telur disemprot dan didiamkan lagi sekitar 10 menit sebelum dimasukkan kembali ke dalam mesin tetas. Pemutaran telur dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari selama hari ke-3 sampai hari ke-25 penetasan atau sebelum telur dipindahkan ke hatcher Setelah itu, telur diberikan pendinginan selama periode hatcher sebanyak 3 kali/hari dengan tambahan di siang hari (12.00-13.00 WIB) sampai anak itik menetas.

Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan waktu dimulainya pendinginan yang berbeda yaitu hari ke-3 (H3), hari ke-10 (H10) dan hari ke-17 (H17) telur berada di dalam mesin tetas. Perlakuan H10 dan H17 diberikan 5 kelompok periode penetasan, sedangkan H3 hanya 4 kelompok. Model matematis yang digunakan sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2002): Yij = µ + Ki + Pj + εij Keterangan:

Yij µ Ki Pj εij

= nilai pengamatan waktu pendinginan ke-i dan periode penetasan ke-j = rataan umum = pengaruh waktu pendinginan ke-i = pengaruh periode penetasan ke-j = pengaruh acak pada waktu pendinginan ke-i periode penetasan ke-j

Analisis data Daya tetas, bobot tetas dan persentase bobot tetas yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA). Uji jarak berganda Duncan dilakukan jika data menghasilkan perbedaan antar jenis perlakuan. Peubah lain seperti bobot, indeks, fertilitas telur dan kematian embrio dianalisis deskriptif.

4 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah bobot telur, lebar dan panjang telur, fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan bobot tetas. Bobot telur ditimbang sebelum telur dimasukkan ke dalam mesin tetas. Fertilitas merupakan persentase telur yang menunjukkan adanya perkembangan embrio dari jumlah telur masuk ke dalam mesin tetas. Daya tetas adalah persentase telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil. Kematian embrio dihitung dari persentase embrio yang mati selama proses penetasan. Bobot tetas DOD diukur setelah bulunya kering pasca menetas.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Telur Karakteristik telur CA pada penelitian ini meliputi bobot, indeks dan fertilitas telur. Telur berukuran seragam akan menghasilkan daya tetas yang lebih baik dibandingkan yang bervariasi. Harun et al. (2001) menyatakan tingginya kematian embrio disebabkan variasi ukuran telur yang ditetaskan karena perbedaan laju metabolisme dan evaporasi di dalam mesin tetas. Bobot telur Telur itik CA yang digunakan memiliki bobot 69.21 itik CA dapat ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai berikut.

Periode penetasan 1 2 3 4 5 Rataan

sd

4.81 g. Bobot telur

Tabel 1 Bobot telur itik CA Waktu dimulainya pendinginan H3 H10 H17 (g) — 66.49 4.92 68.26 5.47 69.00 4.57 70.77 5.42 70.21 4.22 68.53 3.18 68.43 4.44 69.46 4.81 68.71 4.99 68.99 5.04 71.06 6.36 68.63 4.40 68.59 4.43 70.06 4.63 68.80 4.12 68.50 5.01 70.27 5.04

Rataan 66.80 70.44 69.17 69.66 68.74 69.21

sd 5.44 4.79 4.25 5.26 4.71 4.81

Ket: Tanda (—) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan.

Bobot telur CA pada penelitian Matitaputty et al. (2012) sebesar 63.06 g. Bobot telur CA yang diperoleh lebih berat disebabkan umur induk yang digunakan lebih tua. Induk alabio pada penelitian ini berumur 18 bulan, sehingga semakin tua umur induk akan meningkatkan bobot induk dan bobot telur yang dihasilkan. Bobot telur CA baik pada periode penetasan maupun perlakuan termasuk dalam kisaran bobot telur yang baik ditetaskan, yaitu 65-75 g dengan bentuk normal (Kortlang 1985).

5 Indeks telur Indeks telur merupakan persentase perbandingan lebar dengan panjang telur. Rataan indeks telur pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Periode penetasan

Tabel 2 Indeks telur itik CA Waktu dimulainya pendinginan H3 H10 H17

Rataan

sd

(g)

1 2 3 4 5 Rataan

sd

— 79.33 78.66 78.55 78.95 78.85

1.81 2.08 3.84 1.74 2.47

78.66 78.61 79.35 77.61 78.75 78.62

2.47 2.84 4.88 3.23 2.97 3.49

77.90 79.30 77.70 77.91 79.20 78.44

2.03 1.80 2.39 3.14 3.73 2.93

78.29 79.07 78.56 78.02 78.97 78.63

2.26 2.22 3.37 3.40 2.91 3.01

Ket: Tanda (—) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan.

Indeks telur CA pada penelitian ini berkisar 78%. Ukuran telur lebih dipengaruhi umur induk. Indeks telur yang lebih besar akan menampilkan telur yang lebih bulat, sedangkan indeks kecil telurnya lebih panjang. Induk yang tua cenderung menghasilkan telur yang bulat, sedangkan induk muda bentuk telurnya lonjong (Nurcahyo dan Widyastuti 1997).

Fertilitas Telur Fertilitas merupakan persentase telur yang terdapat perkembangan embrio di dalamnya dari sejumlah telur yang ditetaskan tanpa memperhatikan telur tersebut berhasil menetas atau tidak. Fertilitas telur CA ditunjukkan pada Tabel 3.

Periode penetasan

Tabel 3 Fertilitas telur itik CA Waktu dimulainya pendinginan H3 H10 H17

Rataan

sd

(%)

1 2 3 4 5 Rataan

sd

— 100.00 94.29 96.55 94.59 96.36 2.63

100.00 100.00 91.43 79.31 89.47 92.04 8.60

100.00 100.00 94.29 100.00 86.49 96.15 5.94

100.00 100.00 93.34 91.95 90.18 94.74

0.00 0.00 1.65 11.08 4.10 6.29

Ket: Tanda (—) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas menurut Ensminger (1992) yaitu perbandingan jantan dan betina, umur induk, lama penyimpanan telur tetas dan pengelolaan telur. Fertilitas telur CA pada penelitian Matitaputty (2012) sebesar 95.19%. Hal tersebut menunjukkan bahwa rasio kawin alami jantan cihateup dan betina alabio dengan rasio (4:15) pada penelitian ini cukup baik dalam pemeliharaan itik. Fertilitas telur masih tinggi pada induk alabio berumur

6 sampai 19 bulan. Hal tersebut ditunjukkan dengan telur yang dihasilkan induk alabio berumur 18 bulan selama 5 minggu masih memiliki fertilitas di atas 90% (Tabel 3). Fertilitas telur terus menurun pada periode penetasan selanjutnya karena umur induk yang digunakan semakin tua. Telur CA dikumpulkan dan disimpan kurang dari 7 hari sebelum ditetaskan. Fertilitas telur tinggi masih diperoleh pada penyimpanan selama kurang dari 1 minggu dan pengelolaan telur yang baik. Kebersihan kerabang telur saat pengumpulan telur dari kandang perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme ke dalam telur selama penyimpanan. Lama penyimpanan telur sebelum ditetaskan sebaiknya tidak lebih dari 7 hari. Temperatur 10-20 oC ideal untuk penyimpanan telur, tetapi dapat juga disimpan pada temperatur ruang yang sejuk dengan cukup ventilasi. Penyimpanan telur yang semakin lama dapat berpengaruh terhadap fertilitas dan menurunkan pada daya tetas (Setioko 1998).

Daya Tetas Daya tetas merupakan persentase telur yang menetas dari total telur fertil. Daya tetas berdasarkan perlakuan perbedaan waktu dimulainya pendinginan dapat dilihat pada Tabel 4.

Periode penetasan 1 2 3 4 5 Rataan

sd

Tabel 4 Daya tetas telur itik CA Waktu dimulainya pendinginan H3 H10 H17 (%) — 46.67 71.43 58.33 68.00 72.73 69.70 65.63 57.58 42.86 47.83 58.62 68.57 73.53 62.50 59.86 12.44 60.33 12.29 64.57 7.11

Ket: Tanda (—) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan.

Itik betina alabio yang digunakan pada penelitian ini berumur 1.5 tahun dan dikawinkan alami dengan jantan cihateup berumur 1 tahun diharapkan dapat menghasilkan telur CA yang baik untuk ditetaskan. Suharno dan Amri (1996) menyatakan umur induk yang baik adalah 1-2 tahun, sedangkan umur 6 bulan atau baru bertelur memiliki daya tetas rendah dan tidak menetas sempurna. Penetasan telur itik selama 28 hari berbeda dengan telur ayam yang hanya 21 hari. Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perkembangan embrio selama penetasan. Perkembangan embrio akan menghasilkan panas akibat proses metabolisme yang semakin meningkat selama proses penetasan. Kelebihan panas yang dihasilkan proses metabolisme embrio ditambah dengan akumulasi panas dan banyaknya telur berada di dalam mesin tetas dapat menyebabkan stres panas pada embrio, sehingga meningkatkan risiko kematian embrio dan menurunkan daya tetas telur itik. Kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena terjadinya perubahan panas metabolisme akibat meningkatnya aktivitas pertumbuhan embrio.

7 Rendahnya daya tetas telur itik dapat terjadi karena stres panas metabolisme akibat aktivitas pertumbuhan embrio (Harun et al. 2001). Pendinginan pada waktu mulai yang berbeda tidak mempengaruhi daya tetas. Daya tetas telur CA pada penelitian Matitaputty (2012) sebesar 61%. Pendinginan di awal penetasan yaitu hari ke-3 memiliki daya tetas rendah karena embrio belum mampu memproduksi panas sendiri. Telur pada penetasan buatan membutuhkan panas dari mesin tetas untuk perkembangan normal embrio di dalamnya. Pendinginan pada hari ke-10 atau 17 menghasilkan daya tetas yang lebih tinggi. Pendinginan yang diberikan menjelang akhir penetasan lebih bermanfaat mengatasi stres panas akibat akumulasi panas di dalam mesin tetas dan produksi panas metabolisme dari jumlah telur yang ditetaskan. Produksi panas sudah dihasilkan di akhir penetasan karena meningkatnya perkembangan embrio dan metabolisme di dalam telur. Tingginya resiko kematian embrio yang lambat menetas dan rendahnya daya tetas terjadi pada hari ke-18 penetasan. Hal tersebut disebabkan produksi panas embrio meningkat mencapai lebih dari 39 oC (Lourens 2001). Faktor yang mempengaruhi daya tetas salah satunya adalah temperatur dan kelembaban mesin tetas. Data pengukuran temperatur dan kelembaban dapat dilihat pada Tabel 5.

Periode penetasan 1 2 3 4 5

Tabel 5 Temperatur dan kelembaban mesin tetas Temperatur (oC) Kelembaban (%) Setter Hatcher Setter Hatcher 56-65 70-87 37.8 1.16 37.4 0.35 56-72 70-87 37.4 0.72 37.5 0.79 63-72 63-70 37.1 0.32 37.4 0.46 63-72 60-70 37.2 0.33 37.2 0.15 63-72 69-78 37.4 0.30 36.3 0.76

Temperatur mesin tetas pada periode setter dalam penelitian ini berada dikisaran 37-38 oC. Temperatur optimum penetasan itik untuk menghasilkan daya tetas tinggi adalah 38-39 oC (Ningtyas et al. 2013). Temperatur dan kelembaban mesin penetasan yang lebih rendah maupun lebih tinggi akan menghasilkan daya tetas rendah. Temperatur mesin yang disarankan untuk penetasan telur itik pada periode setter yaitu 37.3 oC dan 36.9 oC pada periode hatcher. Temperatur yang lebih rendah atau tinggi dari kisaran optimum akan mengganggu perkembangan normal embrio dan menyebabkan penguapan berlebih pada telur, sehingga menurunkan daya tetas. Secara umum suhu terlalu tinggi memiliki efek lebih buruk terhadap daya tetas daripada suhu yang terlalu rendah. Temperatur mesin tetas yang lebih tinggi 0.5 oC selama 3 hari dapat mengurangi daya tetas telur sampai 50% dari yang diharapkan (Kortlang 1985). Kelembaban udara berfungsi mengontrol penguapan cairan dari dalam telur (Kortlang 1985). Kelembaban udara di akhir penetasan harus lebih tinggi karena berfungsi menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur (Ningtyas et al. 2013). Temperatur dan kelembaban setter dan hatcher yang lebih rendah daripada Matitaputty (2012), yaitu temperatur periode setter 38-39 oC dan kelembaban 65%-66%, sedangkan hatcher sekitar 36 oC dengan kelembaban

8 85%-87% diduga menyebabkan daya tetas yang diperoleh lebih rendah. Kelembaban mesin tetas sebaiknya ditingkatkan mencapai 90%-94% dan temperatur 1 oC lebih rendah pada periode hatcher (Kortlang 1985).

Bobot Tetas Bobot tetas diperoleh dari bobot DOD yang berhasil menetas dan ditimbang setelah bulunya kering. Persen bobot tetas DOD pada penelitian ini merupakan perbandingan bobot tetas dengan bobot awal telur. Bobot tetas dan persentasenya dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut. Tabel 6 Bobot tetas dan persentase bobot tetas telur itik CA Waktu dimulainya pendinginan Periode penetasan H3 H10 H17 Bobot tetas (g) 1 — 41.56 4.79 43.61 4.03 2 42.97 3.93 45.20 4.40 44.64 3.17 3 43.32 3.24 42.62 3.53 44.78 3.89 4 41.95 2.70 44.61 6.24 45.53 4.99 5 43.56 3.81 43.39 3.28 44.96 3.94 Rataan sd 43.11 3.47a 43.58 4.26ab 44.81 3.99b Bobot tetas (%) 1 — 63.16 2.01 64.53 3.53 2 62.09 3.43 63.63 4.76 63.05 3.02 3 62.84 3.04 62.83 4.04 63.11 2.70 4 62.27 2.98 63.94 4.54 63.70 2.16 5 62.97 3.57 64.25 4.24 64.57 3.07 Rataan sd 62.65 3.24 63.62 4.15 63.75 2.88 Ket: a,b yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Tanda (—) menunjukkan bahwa pengukuran tidak dilakukan.

Bobot tetas yang diperoleh pada perlakuan H17 lebih berat (P<0.05) daripada H3, namun tidak berbeda dengan H10. Perlakuan H17 memiliki bobot tetas 44.81 3.99 g diperoleh dari rataan bobot telur yang lebih besar, yaitu 70.27 5.04 g (Tabel 1). Bobot telur sangat berpengaruh terhadap bobot tetas dan terdapat korelasi positif antara keduanya. Semakin berat bobot awal telur tetas akan dihasilkan bobot tetas lebih besar (Ismoyowati et al. 2006). Proses penguapan yang terjadi di dalam telur dengan perlakuan pendinginan awal, tengah maupun akhir penetasan tidak berbeda. Persentase bobot tetas tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata pada perlakuan yang berbeda. Persentase bobot tetas yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 62.65%-63.75%. Produksi panas lebih dipengaruhi oleh tahapan perkembangan embrio (Meijerhof 2009).

9 Kematian Embrio Kematian embrio telur CA pada penelitian ini dapat dihitung dari 100% dikurangi daya tetas (Tabel 4). Kematian embrio pada umur telur berbeda selama pentasan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 Kematian embrio (%) berdasarkan perlakuan pada umur telur berbeda Kematian embrio dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu awal (0-7 hari), tengah (8-25 hari) dan akhir saat telur berada di hatcher (>25 hari) (Gambar 1). Persentase kematian embrio pada periode awal penetasan baik pada perlakuan H3, H10 maupun H17 lebih rendah selama proses penetasan. Kematian di awal penetasan umumnya terlihat pada kuning telur belum terbentuk pembuluh darah atau hanya sedikit dan tidak menyebar banyak. Kematian di awal penetasan umumnya disebabkan kondisi dan lama penyimpanan telur, sperma jantan dan umur induk betina (Setioko 2005). Kematian embrio itik CA pada penelitian ini dapat terjadi karena stres panas metabolisme akibat aktivitas pertumbuhan embrio (Harun et al. 2001). Kematian embrio pada periode tengah lebih tinggi daripada di awal atau di akhir penetasan. Embrio yang semakin berkembang akan meningkatkan resiko terjadinya stres panas akibat akumulasi panas yang dihasilkan dari aktivitas metabolisme embrio dan mesin tetas. Produksi panas mencapai fase stabil antara hari 15-18 penetasan dan kira-kira 140 mW pada hari ke-18 penetasan untuk satu telur berukuran 62 g (Lourens et al. 2007). Kematian embrio pada pendinginan hari ke-3 saat perkembangan embrio 825 hari menunjukkan kematian lebih tinggi (Gambar 1). Embrio pada awal penetasan membutuhkan panas untuk dapat berkembang secara normal, sehingga pendinginan yang diberikan lebih cepat akan mengganggu perkembangan embrio dan menyebabkan kematian yang tinggi daripada pendinginan yang dilakukan di

10 hari ke-10 atau 17 penetasan. Embrio muda belum mampu memproduksi panas hasil proses metabolisme yang cukup, jadi sangat bergantung dengan temperatur mesin tetas dan lebih sensitif terhadap perubahan temperatur daripada embrio tua (Setioko 1998). Kematian embrio periode tengah lebih rendah pada pendinginan hari ke-10 dan 17 karena lebih bermanfaat mengatasi panas yang meningkat dibandingkan sejak awal penetasan. Pendinginan pada hari ke-17 penetasan memiliki tingkat kematian embrio yang sedikit lebih tinggi karena produksi panas sudah dihasilkan sejak telur berada sekitar 9 hari dalam penetasan, namun sudah cukup baik dalam mengatasi akumulasi panas yang dihasilkan embrio dan akumulasi di dalam mesin tetas. Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase kematian embrio 35.43% pada pendinginan hari ke-17 (Tabel 4). Kematian embrio pada penelitian Matitaputty (2012) sebesar 39%. Tahapan awal produksi panas meningkat secara eksponen setelah 9 hari penetasan pada embrio ayam (Lourens et al. 2007). Titik kritis pada penetasan terdapat di akhir perkembangan embrio yang disebut dengan gagal tetas. Sekitar hari ke-19 penetasan, setelah pipping bagian dalam, embrio akan berganti pernapasan paru-paru dan akibatnya produksi panas akan meningkat hampir 2 kali lipat pada embrio broiler (Janke et al. 2004). Kelembaban mesin tetas yang rendah pada periode hatcher (Tabel 5) diduga menyebabkan tingginya kematian pada akhir penetasan. Gagal tetas pada penelitian ini ditandai dengan banyaknya embrio yang tidak berhasil menetas sempurna atau kesulitan keluar dari dalam kerabang telur. Penyebab gagal tetas dalam proses penetasan terutama terjadi pada akhir masa penetasan dan disebabkan pengeringan selaput telur dalam pertumbuhan embrio yang tidak sempurna, sehingga embrio tidak menetas dan masih terdapat dalam kerabang telur (Setiadi 2000). Kelembaban udara di akhir penetasan harus lebih tinggi karena berfungsi menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Kelembaban yang tdak optimal pada penelitian ini mengakibatkan banyak embrio yang mati karena tidak mampu memecahkan kerabang telur (Ningtyas et al. 2013).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pendinginan telur pada waktu mulai yang berbeda selama penetasan tidak berpengaruh terhadap daya tetas, tetapi diperoleh daya tetas tertinggi pada hari ke17. Pendinginan telur pada akhir penetasan dapat meningkatkan bobot tetas.

Saran Pendinginan sebaiknya dimulai pada hari ke-17 penetasan untuk efisiensi penggunaan tenaga kerja dan bahan yang digunakan, seperti air dan disinfektan. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai efek taraf kandungan disinfektan yang dicampurkan dalam air untuk penyemprotan telur terhadap daya tetas.

11

DAFTAR PUSTAKA [DPKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian. Ensminger ME. 1992. Poultry Science. Ed ke-5. Illionis (US): Cab International. Harun MAS, Veeneklaas RJ, Visser MGH, Van Kampen. 2001. Artificial incubation of Muscovy Duck eggs: why some eggs hatch and others do not. Poult Sci. 80:219-224. Ismoyowati TY, Sidadolog JPH, Keman S. 2006. Hubungan antara karakteristik morfologi dan performans reproduksi itik tegal sebagai dasar seleksi. J.Indon.Trop.Anim. Agric. 31(3). Janke O, Tzschentke B, Boerjan M. 2004. Comparative investigations of heat production and body temperature in embryo of modern chicken breeds. Avian Poult Bio. Rev. 15:191-196. Ketaren PP, Prasetyo LH. 2002. Pengaruh pemberian pakan terbatas produktivitas itik silang mojosari x alabio (MA): 1. Masa bertelur fase pertama umur 20-43 minggu. JITV. 7(1). Kortlang CFHF. 1985. The Incubation of Duck Egg. In : Duck Production Science and World Practice. Farrel, DJ dan Stapleton P. Editor. University of New England, pp. 168-177. Lourens A, Van den Brand H, Heetkamp MJW, Meijerhof R, Kemp B. 2007. Effects of eggshell temperature and oxygen concentration on embryo growth and metabolism during incubation. Poult Sci. 86:2194-2199. Lourens A. 2001. The importance of air velocity in incubation. World Poult. 17(3):29-30. Matitaputty PR. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio [disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. Ed ke-2. Bogor (ID): IPB Pr. Meijerhof R. 2009. Incubation principles: What does the embryo expect from us? Proceedings of the 20th Australian Poultry Science Symposium. Sydney (AU). 106-110. Ningtyas MS, Ismoyowati, Sulistyawan IH. 2013. Pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan hasil tetas telur itik (Anas plathyrinchos). Jurnal Ilmiah Ternak. 1(1):347-352. Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 1997. Usaha Pembesaran Ayam Kampung Pedaging. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Setiadi P. 2000. Pengaruh indeks bentuk telur terhadap persentase kematian embrio, gagal tetas dan DOD cacat pada telur itik tegal yang diseleksi. Anim Prod. 2(1). Setioko AR. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa. 7(2). Setioko AR. 2005. Fertilitas dan kematian embrio pada perkawinan silang entog jantan dan itik betina. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Bogor, 16-17 November 2005. Ciawi. 271-280.

12 Suharno B, Amri K. 2000. Beternak Itik Secara Intensif. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

LAMPIRAN Lampiran 1 Sidik ragam persentase daya tetas telur itik CA Sumber Derajat keragaman bebas Perlakuan Blok Galat Total

2 4 7 13

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah 64.065626 665.448743 604.778917 1 334.293286

32.032813 166.362186 86.396988

Fhitung

Pr>F

0.37 1.93

0.7030 0.2110

Fhitung

Pr>F

3.93 0.97

0.0210 0.4237

Lampiran 2 Sidik ragam bobot tetas telur itik CA Sumber Derajat keragaman bebas Perlakuan Blok Galat Total

2 4 229 235

Jumlah kuadrat Kuadrat tengah 121.614257 60.153247 3 543.746243 3 725.513747

60.807128 15.038312 15.474874

Lampiran 3 Sidik ragam persentase bobot tetas telur itik CA Sumber Derajat Jumlah kuadrat Kuadrat tengah Fhitung keragaman bebas Perlakuan Blok Galat Total

2 4 229 235

54.950680 41.471997 2 761.325246 2 857.747923

27.475340 10.367999 12.058189

2.28 0.86

Pr>F 0.1047 0.4888

13

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 13 September 1991 dari pasangan Bapak Efendi dan Ibu Bikem Maria. Penulis adalah anak sulung dari empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA al Muslim dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai staf Biro Kewirausahaan BEM-D (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Peternakan IPB 2010/2011, staf Departemen Syiar FAMM (Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim) Al Anam Fakultas Peternakan IPB 2011/2012 dan staf Divisi Internal Himaproter (Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak) Fakultas Peternakan IPB 2011/2012. Penulis merupakan lulusan dari Building Enterpreneurship Student (BEST) Fakultas Peternakan IPB pada tahun 2010. Penulis juga pernah magang di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden pada tahun 2012. Penulis berkesempatan memperoleh beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) sejak tahun 2011 hingga lulus.