TINJAUAN PUSTAKA Kulit Daging Buah Kopi - USU-IR

Kandungan zat makanan kulit buah kopi dipengaruhi oleh metode pengolahannya apakah secara basah atau kering seperti terlihat pada tabel. Kandungan zat...

56 downloads 796 Views 718KB Size
TINJAUAN PUSTAKA

Kulit Daging Buah Kopi Kulit kopi terdiri dari: 1. Lapisan bagian luar tipis yakni yang disebut ”Exocarp”; lapisan ini kalau sudah masak berwarna merah. 2. Daging buah; daging buah ini mengandung serabut yang bila sudah masak berlendir dan rasanya manis, maka sering disukai binatang kera atau musang. Daging buah ini disebut ”Mesocarp”. 3. Kulit tanduk atau kulit dalam; kulit tanduk ini merupakan lapisan tanduk yang menjadi batas kulit dan biji yang keadaannya agak keras. Kulit ini disebut ”Endocarp”.

Gambar kulit daging buah kopi (AAK, 1988). Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan

Universitas Sumatera Utara

konvensional yang sering digunakan dalam penyusunan ransum sebagian besar berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan. Setelah kopi dipanen, kulitnya dikupas. Kemudian, bijinya dijemur. Biasanya, kulit kopi kecoklatan yang dipisahkan dari biji-biji kopi tersebut akan dibuang begitu saja. Atau, paling tidak kulit kopi yang dipisahkan dari biji itu tadi dikumpulkan. Lalu, dibiarkan hingga busuk. Selanjutnya, ditaruh di sekeliling pohon kopi. Maksudnya, sebagai pengganti pupuk yang bertujuan untuk menyuburkan tanaman. Umumnya, hal seperti itulah yang sering dilakukan petani kopi. Kulit buah kopi merupakan limbah dari pengolahan buah kopi untuk mendapatkan biji kopi yang selanjutnya digiling menjadi bubuk kopi. Kandungan zat makanan kulit buah kopi dipengaruhi oleh metode pengolahannya apakah secara basah atau kering seperti terlihat pada tabel. Kandungan zat makanan kulit buah kopi berdasarkan metode pengolahan. Pada metode pengolahan basah, buah kopi ditempatkan pada tanki mesin pengupas lalu disiram dengan air, mesin pengupas bekerja memisahkan biji dari kulit buah. Sedangkan pengolahan kering lebih sederhana, biasanya buah kopi dibiarkan mongering pada batangnya sebelum dipanen. Selanjutnya langsung dipisahkan biji dan kulit buah kopi dengan menggunakan mesin. Tabel 1. Kandungan zat makanan kulit buah kopi berdasarkan metode pengolahan Metode pengolahan Basah Kering

% Bahan Kering

BK (%) 23 90

PK 12.8 9.7

SK 24.1 32.6

Abu 9.5 7.3

LK 2.8 1.8

BETN 50.8 48.6

Sumber : Murni dkk., (2008)

Universitas Sumatera Utara

Menurut data statistik (BPS, 2003), produksi biji kopi di Indonesia mencapai 611.100 ton dan menghasilkan kulit kopi sebesar 1.000.000 ton. Jika tidak dimanfaatkan akan menimbulkan pencemaraan yang serius. Pengolahan cara kimia dengan amoniak (NH3) disebut sebagai amoniasi. Keuntungan pengolahan ini, selain meningkatkan daya cerna juga sekaligus meningkatkan kadar protein, dapat

menghilangkan

aflatoksin

dan

pelaksanaannya

sangat

mudah.

Kelemahannya pengolahan ini utamanya untuk pakan ruminansia. Amoniak dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel sehingga membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa dan memudahkan pencernaan oleh selulase mikroorganisme. Amoniak akan terserap dan berikatan dengan gugus asetil dari bahan pakan, kemudian membentuk garam amonium asetat yang pada akhirnya terhitung sebagai protein bahan. Struktur dinding sel kulit kopi menjadi lebih amorf dan tidak berdebu, sehingga menjadi lebih mudah di tangani. Dalam keadaan tertutup (plastik belum dibuka/bongkar), bahan pakan yang diamoniasi dapat tahan lama. Kulit kopi mempunyai kandungan BK=91.77, PK=11.18, LK=2.5, SK=21.74 dan TDN=57.20% (Amonimus, 2005). Namun demikian kulit kopi hanya sebagian kecil dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia dan sebagian besar lainnya dibuang atau dibenamkan dalam tanah untuk digunakan sebagai pupuk organik pada lahan perkebunan.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Kandungan zat gizi kulit kopi Kandungan (%) Tanpa diamoniasi 90.52 1.31 34.11 6.27 7.54 9.48

Zat Nutrisi Bahan Kering Lemak Kasar Serat Kasar Protein Kasar Abu Kadar Air 

Kandungan (%) Setelah diamoniasi 94.85 1.93 27.52 8.67 8.47 5.15

Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2010)

Amoniasi Amoniasi merupakan proses perlakuan terhadap bahan pakan limbah perkebunan dengan menambahkan bahan kimia berupa kaustik soda, sodium hidroksi atau urea. Umumnya masyarakat lebih banyak menggunakan urea ini sebagai bahan kimia yang digunakan karena lebih mudah untuk memperolehnya. Dibanding

cara pengolahan kimia yang lain (NaOH), amoniasi

mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : 1). Sederhana cara pengerjaannya dan tidak berbahaya; 2). Lebih murah dan mudah dikerjakan dibanding dengan NaOH; 3). Cukup efektif untuk menghilangkan aflaktosin khususnya pada jerami; 4). Meningkatkan kandungan protein kasar; 5). Tidak menimbulkan polusi dalam tanah. (Sugeng, 1995). Satu-satunya sumber NH3 yang murah dan mudah diperoleh adalah urea. Urea yang banyak beredar untuk pupuk tanaman pangan adalah dalam bentuk :

(Siregar, 1995)

Universitas Sumatera Utara

Urea dengan rumus molekul CO (NH2)2 banyak digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah dan sedikit keracunan yang diakibatkannya dibanding biuret. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarna putih dan higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42 – 45% atau setara dengan potein kasar antara 262 – 281% (Belasco, 1945). Urea yang ditambahkan dalam ransum ruminansia dengan kadar yang berbeda-beda ternyata dirombak menjadi protein oleh mikroorganisme rumen. Sejumlah protein dan urea dalam ransum nampaknya mempertinggi daya cerna sellulosa dalam hijauan (Anggorodi, 1979). Dari hasil percobaan Chuzaemi (1987) dengan level urea yang lebih tinggi yaitu 6 dan 8% secara in vivo selain dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik juga energinya. Energi tercerna (De) meningkat dari 6,07 MJ menjadi 8,32 dan 9,54 MJ. Hijauan Pada umunya makanan domba berasal dari hiajaun yang terdiri dari berbagai rumput dan daun-daunan. Hijauan merupakan bahan makanan yang kandungan serat kasarnya relative tinggi yang termasuk kelompok bahan makanan hijauan segar yaitu hay dan silase. Ternak domba merupakan hewan yang memerlukan hijauan dalam jumlah yang besar kurang lebih 90% (Sugeng, 1995). Konsumsi hijauan pakan dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan secara “ad libitum”. Peningkatan konsumsi akibat meningkatnya tingkat pemberian pakan disebabkan oleh semakin besarnya peluang untuk memilik (seleksi terhadap pakan yang diberikan. Bagian daun tanaman hijauan tropis dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan bagian batang. Ternak kambing

Universitas Sumatera Utara

dan domba yang diberi hijauan pakan potongan memilih bagian daun yang umumnya lebih tinggi kecernaannya dibandingkan batang. Pemilihan daun dibandingkan batang mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan sifat fisik dari tanaman tersebut. Daun yang berbulu mungkin tidak akan dikonsumsi yang berarti bahwa pemilihan terjadi bukan hanya karena faktor gizi, tetapi juga dipengaruhi

perbedaan

tekstur

yang

mempengaruhi

palatabilitas

(Woozicka-Tomaszewska, et al., 1993). Hijauan pakan ternak merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi tidak saja sebagai pengisi perut, tetapi juga sumber gizi, yaitu protein, sumber tenaga vitamin dan mineral. Untuk dapat mencapai tingkat produksi domba yang tertinggi maka usaha perbaikan kearah penyediaan, pengadaan dan nilai makanan hijauan haruslah itingkatkan, misalnya dengan memasukkan beberapa jenis hijauan dari luar negri. Rumput lapangan merupakan salah satu jenis rumput yang telah lama dikenal oleh petani peternak dan disenangi domba. Namun pemberian rumput lapangan sebagai sumber hijauan untuk domba tidak dapat meningkatkan produksi dan hanya menyokong kebutuhan zat-zat makanan untuk memenuhi kebutuhan pokok (Obst, dkk., 1978). Tabel 3. Komposisi nutrisi rumput lapangan Uraian Bahan kering (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) BETN (%) Kadar abu (%) Energi (Kg.Cal)

Jumlah 27,91 10,62 8,33 23,25 47,56 9,98 4,32

Sumber : Laboratorium IP2TP Sei Putih – Galang (1997)

Universitas Sumatera Utara

Ransum Domba Ransum adalah bahan makanan yang diberikan kepada ternak selama 24 jam. Ransum terdiri dari bermacam-macam hijauan dan bermacam-macam bahan selain hijauan makanan ternak. Ransum yang diberikan kepada ternak hendaknya dapat memenuhi beberapa persayaratan berikut. a. Mengandung gizi yang lengkap, protein, karbohidrate, vitamin dan mineral. Makin banyak ragam bahan makin baik. b. Digemari oleh ternak. Ternak suka melahapnya. Untuk ini ransum hendaknya sesuai dengan selera ternak atau mempunyai cita rasa yang sesuai dengan lidah ternak. c. Mudah dicerna, tidak menimbulkan sakit atau gangguan yang lain. d. Sesuai dengan tujuan pemeliharaan. e. Harganya murah dan terdapat di daerah setempat. (Lubis, 1998). Tabel 4. Kebutuhan harian zat-zat makanan untuk ternak domba BB Kg 5 10 15 20 25 30

BK Kg

% BB

0.14 0.25 0.36 0.51 0.62 0.81

2.5 2.4 2.6 2.5 2.7

Energi ME TDN (Mcal) (Kg) 0.6 0.61 1.01 1.28 1.37 0.38 1.8 0.5 1.91 0.53 2.44 0.67

Protein Total DD (g) 51 41 81 68 115 92 150 120 160 128 204 163

Ca (g) 1.91 2.3 2.8 3.4 4.1 4.8

P (g) 1.4 1.6 1.9 2.3 2.8 2.3

Sumber : NRC (1995)

Bungkil Inti Sawit Menurut Devendra (1997) protein bungkil inti sawit lebih rendah dari pada bungkil yang lain. Namun demikian masih dapat dijadikan sebagai sumber

Universitas Sumatera Utara

protein. Kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap, imbangan kalsium fospor cukup lengkap. Tabel 5. Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar TDN

Kandungan (%) 92.6 a 15.4 a 2.4 a 16.9 a 72 b

Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005) b. Laboraotrium Ilmu Makanan Ternak IPB Bogor (2008)

Dedak Padi Dedak padi merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tebal, tetapi bercampur dengan bagian penutup beras. Hal ini yang mempemngaruhi tinggi atau rendahnya serat kasar dedak. Bila dilihat dari pengolahan gabah menjadi beras dapat digantikan serat kasarnya tinggi (Rasyaf, 1992). Tabel 6. Kandungan nilai gizi dedak padi Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar

Kandungan (%) 91.86 10.54 12.44 14.97

Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005)

Onggok Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioca dihasilkan limbah yang disebut onggok. Ketersediaan onggok sangat bergantung pada jumlah varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, ekstraksi pati tapioka Moertinah (1984) melaporkan bahwa dalam pengolahan ubi kayu menghasilkan 15-20 % dan 5-20 % onggok kering, sedangkan onggok basah dihasilkan 70-79 %.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 7. Kandungan nilai gizi onggok Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar TDN

Kandungan (%) 81.7 0.6 0.4 12 76

Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000)

Molases Molases merupakan hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula. Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan karbohidrat, protein dan mineral yang cukup tinggi, sehingga bisa dijadikan pakan ternak walaupun sifatnya sebagai pakan pendukung. Kelebihan molasses terletak pada aroma dan rasanya, sehingga bila dicampur pada pakan ternak bisa memperbaiki aroma dan rasa ransum (Widayati dan Widalestari, 1996). Tabel 8. Kandungan nilai gizi molasses Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar TDN

Kandungan (%) 67.5 3-4 0.08 0.38 81

Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000)

Urea Murtidjo (1990) menyatakan bahwa pemberian Nitrogen Non Protein (NPN) pada makanan domba dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea cukup membantu ternak untuk mudah mnegadakan pembentukan asam amino esensial.

Universitas Sumatera Utara

Urea CO(NH2)2 bila diberikan kepada ruminansia melengkapi sebagian dari protein oleh mikroorganisme dalam rumen. Untuk itu diperlukan sumber energi seperti jagung dan molasses (anggorodi, 1990). Basri (1990) menyatakan bahwa selain meningkatkan kualitas hijauan, urea juga dapat sebagai pengganti protein butir-butiran. Urea dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein dan pertumbuhan produksi ternak ruminansia. Ultra Mineral Mineral adalah zat organik, yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil, namun berperan penting agar proses fisiologis dapat berlangsung dengan baik. Mineral digunakan sebagai kerangka pembentukan tulang, gigi, pembentukan darah, pembentukan darah, pembentukan jaringan tubuh serta diperlukan sebagai komponen enzim yang berperan dalam proses metabolisme didalam sel. Penambahan mineral dalam pakan ternak dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inouno, 1991). Garam Garam atau biasanya dikenal dengan NaCl merangsang sekresi saliva. Terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan udema. Defisiensi garam lebih sering terdapat pada hewan herbivora dari pada hewan lainnya. Ini disebabkan hijauan dan butiran mengandung sedikit garam. Gejala defisiensi garam adalah nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah, keadaan badan tidak sehat, produksi mundur sehingga menurunkan bobot badan (Anggorodi, 1990). Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan sistem pencernaan ternak domba mengalami tiga fase perubahan. Fase pertama, pada waktu domba dilahirkan sampai dengan umur tiga minggu yang disebut non ruminansia karena pada tahapan ini fungsi system pencernaan sama dengan pencernaan mamalia lain. Fase kedua mulai umur 3-8 minggu disebut fase transisi yaitu perubahan dari tahap non ruminansia menjadi ruminansia yang ditandai dengan perkembangan rumen. Tahap ketiga fase ruminansia dewasa yaitu setelah umur domba lebih dari 8 minggu (Van Soest, dkk., 1983) Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik atau pun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau penguyahan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang di hasilkan oleh kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi di lakukan oleh enzim yang di hasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan yang berupa getah-getah pencernaan (Tillman et al., 1991). Frandson (1992) menyatakan bagian-bagian system pencernaan adalah mulut, farinks, oesophagus (pada ruminansia merupakan perut depan atau forestomach), perut glandular, usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yang terdiri dari glandula saliva, hati dan pankreas. Ekosistem Rumen Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kerja ekstansif bakteri dan mikroba terhadap zat-zat makanan menghasilkan pelepasan produk akhir yang dapat diasimilasi. Papaila berkembang dengan baik sehingga luas permukaan rumen bertambah 7 kalinya. Dari keseluruhan asam lemak terbang

Universitas Sumatera Utara

yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epitelium yang berada pada dinding retikulo-rumen (Blakely and Bade, 1982). Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat hidup dapat ditemukan didalamnya. Tekanan osmos pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38-42ºC, pH dipertahankan dengan adanya absorbsi asamlemak dan amonia. Saliva yang masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mmpertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabakan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4 (Arora, 1995). Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan ditempatkan ke dalam termoa yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu 39ºC. Cairan rumen ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi (Afdal dan Erwan, 2007). Peran Mikroba Rumen Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan ruminanasia terdiri dari bakteri, protozoa, dan jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston dan Leng, 1987). Mikroba rumen berpengaruh sangat besar terhadap status nutrisi ternak ruminansia karena selain mencerna pakan juga merupakan sumber zat nutrisi utama yaitu protein. Bakteri rumen banyak jenisnya dan populasinya berkisar antara109 -1012 sel /ml isi rumen (Stewart, 1991). Menurut Baldwin dan Allison (1983) lebih kurang 80% bakteri rumen membutuhkan amonia untuk proses pertumbuhannya.

Universitas Sumatera Utara

Kondisi lingkungan rumen yang kondusif akan mendukung pertumbuhan mikroba yang maksimal terutama bakteri pencerna serat (bakteri selulolitik) sehingga meningkatkan kecernaan ransum dan pada akhirnya akan meningkatkan (konsumsi bahan kering, bahan organik dan zat nutrien lainnya), disamping laju pengosongan isi rumen lebih cepat berlangsung. Populasi protozoa, salah satu jenis mikroba yang hidup di dalam rumen, berkisar antara 105-106 sel/ml cairan rumen (Ogimoto & Imai, 1981), dan sangat tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Protozoa biasanya memberikan kontribusi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen. Walaupun populasinya hanya setengah dari populasi bakteri yang ada dalam rumen, tetapi biomassanya jauh lebih besar yaitu mencapai 50% dari total biomassa seluruh mikroba rumen (Jouany, 1991). Adanya

mikroba dan aktifitas fermentasi di dalam rumen merupakan

salah satu karakteristik yang membedakan sistem pencernaan ternak ruminansia dengan ternak lain. Mikroba tersebut sangat berperan dalam mendgradasi pakan yang masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba tersebut

sangat

tergantung

pada

ketersediaan

nitrogen

dan

energi

(Offer dan Robert, 1996). Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi di daerah tropis menyebabkan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia sebagian besar dipasok oleh protein mikroba rumen. Soetanto (1994) menyebutkan hampir sekitar 70 % kebutuhan protein dapat dicukupi oleh mikroba rumen.

Universitas Sumatera Utara

Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatyle Fatty Acids = VFA’s) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. VFA’s diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan sumber energi oleh ternak. Sedangkan produk metabolis yang tidak dimanfaatkan oleh ternak pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun, yang lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant et al, (1995) menyebutkan bahwa 2/3 –3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba. Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk pertumbuhan mikroba itu sendiri dan dapat digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba rumen sebagai pasokan utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Arora (1995) sekitar 47% sampai 71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam bentuk protein mikroba. Volatyle Fatty Acid (VFA) VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Komposisi VFA didalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf, dan frekuensi

Universitas Sumatera Utara

pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah,2005). Kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah adalah 80 sampai 160 mM. Produksi VFA total menunjukkan jumlah pakan (terutama karbohidrat yang merupakan prekusor produksi VFA total yang difermentasikan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1980). Sakinah (2005) menambahkan, semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Arora (1995), menyatakan bahwa sumber protein yang utama bagi ternak ruminansia berasal dari protein mikrobia rumen, dan protein pakan yang lolos dari degradasi di dalam rumen. Kebutuhan protein untuk hidup pokok pada ternak ruminansia dapat dipenuhi melalui optimasi sintesis protein mikrobia di dalam rumen tetapi pada kondisi fisiologis tertentu memerlukan tambahan protein dari pakan. Amonia (NH3) Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia. Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80%, atau 30-40% untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein

Universitas Sumatera Utara

ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al.,2002). Selain itu, tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi kadar NH3. Gula terlarut yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk menghabiskan amonia (Arora, 1995). Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba, maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Sutardi (1980) menyatakan kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-12 mM. Peningkatan

jumlah

karbohidrat

yang

mudah

difermentasi

akan

mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia (Ranjhan, 1977, disitasi Astriana, D, 2009). Amonia oleh mikroba rumen digunakan sebagai sumber nitrogen dalam mensintesis tubuhnya, sehingga kecukupan amonia mutlak diperlukan bagi perkembangan

mikroba

rumen.

Peningkatan

populasi

mikroba

sangat

menguntungkan bagi hewan ternak, selain meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen ternak juga akan mendapat pasokan protein mikroba yang telah mati dan

Universitas Sumatera Utara

mengalir ke usus. Produksi amonia yang dapat memenuhi kebutuhan tidak akan merugikan sintesis mikroba rumen, sebaliknya jika produksi amonia rendah akan mempengaruhi produksi sintesis mikroba rumen. Sutardi (1977) menyatakan amonia dalam rumen diproduksi terus-menerus walaupun sudah terjadi akumulasi dan agar NH3 dapat dimanfaatkan oleh mikroba penggunaannya perlu disertai dengan sumber energi yang mudah difermentasi. Ternak Domba Domba dan kambing pada hakekatnya merupakan dua genus dari bovidae yang berdekatan. Namun demikian ada perbedaan yang mencolok yakni domba dan kambing tidak dapat di kawin silangkan, hal ini berkaitan dengan domba yang memiliki kelenjar yang terdapat di bawah yang terbuka serta mengecilkan sekresi yang ada kalanya berlebihan, sehingga domba sering mengeluiarkan air mata. Disamping itu juga terdapat kelenjar dicelah-celah kukunya yang menghasilkan sekresi yang bersifat minyak serta memiliki bau yang khas. Kelenjar ini memberi petunjuk bagi domba yang tersesat dari kawanannya. Ciri khas yang lain dari domba adalah tanduknyayang berpenampang segitiga yang tumbuh melilit seperti spiral (Murtidjo, 1992). Akan tetapi domba yang kiat sekarang merupakan hasil domestikasi manusia yang sejarahnya diturunkan dari tiga jenis domba liar, yakni: 1. Mouflon (Ovis Musimon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Eropah Selatan dan Asia Kecil. 2. Argoli (Ovis Ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia Tengah dan memiliki tubuh besar yang mencapai tinggi 1,20 meter. 3. Urial (Ovias Vignei), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia

Universitas Sumatera Utara

(Sugeng, 1992). Domba sudah sejak lama diternakkan orang. Semua jenis domba memiliki karakteristik yang sama. Semua adalah golongan atau kerajaan (kingdom) hewan yang termasuk Phylum : Chordata, Kelas : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Famili : Bovidae, Genus : Ovis aries (Blackely dan Bade, 1998). Menurut Sodiq dan Abidin (2002), beberapa kelebihan domba yang dapat diperoleh, antara lain : -

Reproduksinya efisien, yang dapat ditingkatkan dengan jalan usaha perbaikan tatalaksana pemeliharaan.

-

Pada waktu laktasi, penggunaan energi untuk produksi air susu dapat lebih efisien dibandingkan dengan ternak lain.

-

Daya adaptasi ternak domba terhadap lingkungan yang keras cukup tinggi, sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jenis pakan hijauan.

-

Domba memiliki daya seleksi yang lebih efektif dalam kondisi penggembalaan dibandingkan dengan jenis ternak lain.

-

Domba lebih tahan terhadap beberapa penyakit, terutama Tryponoso miosis dibandingkan dengan ternak lain. Populasi domba di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 9,605,338 ekor

dan angka sementara populasi domba tahun 2009 sebanyak 10,471,991 ekor, di Sumatera Utara pada tahun 2008 sebanyak 268,291 ekor dan angka sementara populasi

domba

tahun

2009

sebanyak

268,479

ekor

(Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).

Universitas Sumatera Utara