II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Asal Usul Domba Garut
Taksonomi domba Garut (Heryadi, dkk, 2002) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata (bertulang belakang)
Class
: Mammalia (hewan menyusui)
Ordo
: Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Sub Ordo
: Ruminansia (hewan yang memiliki rumen)
Family
: Bovidae (hewan pemamah biak)
Sub Family
: Caprinae
Genus
: Ovis
Species
: Ovis aries
Domba Garut meurpakan bangsa domba yang terdapat di Indonesia yang memiliki produktivitas tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan domba lokal yang tersebar di Jawa Barat. Domba ini termasuk tipe berat, akan tetapi bila dibandingkan dengan bangsa domba dari Eropa termasuk tipe kecil. Proses terbentuknya domba Garut sementara ini diyakini berawal dari persilangan tiga bangsa domba, yaitu : domba Merino, domba Kaapstad, dan domba lokal dari wilayah Garut, sehingga dalam perkembangannya dikenal dengan nama domba Garut (Heryadi, dkk., 2002).
6
7
Perkembangan domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai sumber daya genetik ternak (SDGT) lokal Jawa Barat, yaitu dari daerah Cibuluh dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja. Keyakinan tersebut dilandasi oleh teori bahwa seluruh bangsa domba yang ada di dunia dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok domba bermuka putih (white face) dan domba bermuka hitam (black face). Dombadomba bermuka putih secara genetik membawa warna yang lebih dominan dibandingkan warna domba muka hitam, sedangkan domba-domba yang diimpor masuk ke Indonesia sejak Jaman Belanda sampai sekarang kebanyakan dari kelompok domba muka putih (termasuk Domba Merino, Texel, dan Domba Ekor Gemuk), sehingga warna hitam yang banyak terdapat pada Domba Garut dipercaya berasal dari domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja (Heriyadi, 2005). Atas dasar tersebut Domba Garut merupakan domba asli yang telah ada di Kabupaten Garut sesuai dengan keyakinan para kalangan domba Garut khususnya dari daerah Cibuluh, Cikeris, dan Cikandang diKecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja (Heriyadi, 2011). Domba Garut memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) kepala pendek, lebar dan dalam, profil garis muka cenderung cembung, (2) ekor berbentuk segi tiga dengan timbunan lemak pada bagian pangkal ekor dan mengecil pada ujung, (3) telinga rumpung atau kecil, (4) jantan bertanduk besar, kokoh dan kuat serta melingkar sedangkan betina bertanduk kecil, (5) jantan bergaris punggung cekung pendek dari kelangkang dengan bagian dada berukuran besar sedangkan betina bagian dada tidak tampak mengembang seperti pada jatan, (6)warna dan pola warna pada domba Garut sangat beragam tidak mempunyai warna khusus yang
8
dapat dijadikan patokan, (7) warna domba Garut adalah kombinasi warna hitam – putih, (8) jantan memiliki bobot badan rata-rata 57,73±11,96 kg, sedangkan betina 36,89±9,35 kg (Heriyadi, dkk., 2002). 2.2.
Perkembangan Domba Pusat domestikasi domba yaitu Asia dan salah satunya berada di
Indonesia. Ruminansia kecil ini perkirakan berasal dari Asia dan pertama kali didomestikasi oleh manusia kira-kira pada 10.000-6.000 SM. Peternakan domba pertama kali berpusat di daerah stepa Arab-Caspia, kemudian berkembang ke Iran, sub kontinen India, Asia Tenggara, Asia Barat, Eropa, dan Afrika, baru kemudian ke Amerika, Australia, dan pulau tropik Oceania (Williamson dan Payne, 1978). Domba-domba yang sekarang ada ini diturunkan dari tiga jenis bangsa domba liar, yaitu: (1) Mouflon (Ovis musimon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Eropa Selatandan Asia Kecil. (2) Argali (Ovis ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia Tengah. (3) Urial (Ovis vignei), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia (Zeuner, 1963). Bangsa domba yang ada di Indonesia saat ini ada beberapa antara lain yaitu Domba Ekor Gemuk, Domba Priangan, Domba Garut, dan domba lainnya yang tersebar luas diseluruh nusantara, hal ini memberikan petunjuk bahwa nenek moyang pertama bangsa Indonesia telah melakukan domestikasi terhadap domba. Penyebaran domba ke seluruh nusantara juga dapat diartikan bahwa domba memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik dengan lingkungan. Domba dapat dijadikan ternak bibit dan penghasil daging yang baik.
9
2.3.
Sifat Reproduksi Domba Garut merupakan salah satu domba yang memiliki sifat unggul
yang dikenal dengan sifat prolifik. Produktivitas induk domba relatif tinggi dari kemampuan beranak sepanjang tahun, jumlah anak yang dilahirkan, dan kemampuan dalam menyapih anak (Tiesnamurti, 2002). Keunggulan sifat prolifik tersebut disebabkan karena adanya kerja gen Broorola yang bertanggung jawab menentukan jumlah anak sekelahiran. Domba dapat dikelompokan sebagai peridi (mempunyai sifat prolifik) apabila induk mempunyai rataan jumlah anak sekelahiran 1,75 yang didapat dari minimal tiga kali kelahiran, dengan potensi menghasilkan rataan anak dilahirkan adalah 2,00 (Tiesnamurti, 2002). Pubertas pada domba Garut dicapai pada umur 7 – 10 bulan dengan ratarata berat badan 14,5 kg untuk jantan dan 16,8-24 kg utuk betina. Berat badan pada waktu pubertas berkisar antara 38 – 60% dari berat badan dewasa (Sutama, dkk., 1985). Jarak kelahirannya (Lambing interval) 240 hari atau dua tahun bisa melahirkan tiga kali, hal ini karena pada umumnya domba-domba tropis tidak mengenal musim kawin. Betina yang telah melahirkan kembar biasanya mempunyai jarak kelahiran yang lebih panjang dibandingkan dengan dombadomba yang melahirkan tunggal. 2.4.
Bobot Lahir Bobot lahir domba merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
laju pertumbuhan prasapih. Hal ini disebabkan karena bobot lahir berkorelasi positif dengan kelangsungan dan perkembangan domba setelah lahir. Anak domba dengan bobot lahir tinggi akan tumbuh lebih cepat dibandingkan anak yang mempunyai bobot lahir rendah (Gatenby, 1986). Bobot lahir domba dipengaruhi
10
oleh beberapa faktor, anatara lain : makanan induk selama bunting, bangsa domba, tipe kelahiran, jenis kelamin, dan umur induk. Domba yang lahir dengan bobot badan yang tinggi mempunyai potensi yang besar untuk pertumbuhan lebih cepat. Daya tahan dan adaptasinya terhadap lingkungan akan lebih baik diandingkan dengan anak domba yang lahir dengan bobot ringan, dikatakan pula bahwa bobot lahir tinggi akan mempercepat waktu sapih, dan meningkatkan kecepatan pertambahan bobot badan pascasapih (Fraser dan Stamp, 1987). Menurut Anang, dkk (2013) rata-rata bobot lahir domba Garut di UPTD BPPTD Margawati Garut 2,38 kg. Sedangkan Sumantri, dkk (2006) di peternakan ternak domba sehat Bogor menunjukan bahwa bobot lahir pada kelahiran tunggal (2,37 kg) lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan kelahiran kembar dua (1,71 kg) dan kembar tiga atau lebih (1,43 kg). Ukuran tubuh dan bobot badan induk mempunyai hubungan positif dengan bobot lahir anak-anaknya. Selama periode kebuntingan pakan yang diberikan akan sangat mempengaruhi pola keterkaitan antara bobot lahir anak dengan bobot badan induknya (Black, 1983). Jumlah anak perkelahiran berpengaruh terhadap bobt lahir anak, makin banyak anak yang dihasilkan perkelahiran, makin ringan rata-rata bobot lahir anak yang dicapai (Ramsey, dkk., 1994). Bobot lahir anak yang berasal dari domba dara lebih ringan dibandingkan anak dari induk domba betina yang telah melahirkan selama beberapa kali (Black, 1983). 2.5.
Bobot Sapih Bobot sapih pada domba dipengaruhi oleh beberapa faktor anata lain
adalah umur induk, bangsa, jumlah anak perkelahiran, bobot lahir, jenis kelamin, adaptabilitas, kesehatan, serta makanan (Fraser dan Stamp, 1987). Semakin sedikit
11
jumlah anak perkelahiran, semakin berat bobot lahir anak, konsekuensinya kebutuhan makan terpenuhi dan adaptabilitasnya semakin meningkat sehingga didapatkan bobot sapi yang tinggi. Menurut NalBandov (1990), domba jantan tumbuh lebih cepat dari pada betina. Hal ini berkaitan dengan hormon estrogen yang membatasi pertumbuhan tulang-tulang pipa dan hormon androgen yang membatasi pertumbuhan otot, perlemakan dan distribusi perlemakan sehingga konsekuensi perbedaan ini akan mempengaruhi bobot sapih. Menurut Anang, dkk (2013) rata-rata bobot sapih di UPTD BPPTD Margawati Garut 11,10 kg, sedangkan menurut Sumantri, dkk (2006), di peternakan ternak domba sehat Bogor menunjukan bahwa bobot sapih pada kelahairan tunggal (11,47 kg) lebih tinggi (10,17 kg), sedangkan bobot sapih kelahiran kembar dua tidak berbeda (P>0,05) dengan kelahiran kembar tiga atau lebih. Lepas sapih merupakan waktu seekor domba berhenti untuk mendapatkan air susu dari induknya. Umur yang sesuai untuk menyapih anak domba sangat tergantung dari sistem manajemen yang diterapkan. Memisahkan anak dengan induknya, dan adapula yang disapih pada saat mencapai usia antara dua sampai enam bulan (Gantenby, 1986). 2.6.
Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan anak prasapih dan daya hidup sangat dipengaruhi oleh bobot
lahir, agresivitas anak dalam menyusu, produksi susu induk, keadaan lingkungan, struktur genetik ternak, jenis kelamin, dan jumlah anak sekelahiran (Tiesnamurti, 2002). Domba jantan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat
12
dibandingkan dengan domba betina. Kecenderungan ini terlihat pada bobot badan domba jantan yang lebih besar dibandingkan dengan domba betina (Diwyanto, 1982). Menurut Soeparno (1992), perbedaan komposisi tubuh anak jenis kelamin jantan dan betina disebabkan oleh hormon kelamin yang berperan dalam pengaturan pertumbuhan. Menurut Sumantri, dkk, (2006), pertambahan bobot badan (PBB) prasapih tipe kelahiran tunggal (101,10 g/hari) lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengna tipe kelahiran kembar dua (84,80 g/hari), sedangkan pertambahan bobot badan (PBB) prasapih kelahiran tunggal dan kembar tiga atau lebih tidak berbeda (P>0,05). Produksi susu induk sangat mempengaruhi pertumbuhan anak karena pada masa ini sistem pencernaan anak belum sesuai dengan jenis pakan berserat (Tiesnamurti, 2002). Produksi susu domba (induk) akan berbeda sesuai dengan jenis domba yang dipelihara, bangsa domba, jumlah anak sekelahiran, dan pengalaman induk. Anak dengan tipe kelahiran tunggal mempunyai bobot lahir yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak kembar karena tidak ada persaingan dalam menyusu dan mempunyai tingkatan agresivitas yang tinggi (Tiesnamurti, 2002). 2.7.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Bobot Lahir
2.7.1. Jenis Kelamin Galbrait dan Berry (1994) menyatakan bahwa bobot lahir domba jantan lebih berat dibandingkan bobot lahir domba betina. Perbedaan ini disebabkan oleh sitem hormonal. Hormon androgen adalah suatu hormon kelamin yang termasuk hormon pengatur atau simultan pertumbuhan. Testoteron adalah salah satu dari
13
steroid androgen yang dihasilkan testes. Sekresi testoteron yang tinggi menyebabkan sekresi androgen yang tinggi pula. Hormon kelamin jantan ini mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan dibandingkan dengan betina. Pada ternak betina terdapat hormon androgen akan menghambat pertumbuhannya terutama jaringan otot (Soeparno, 2005). Black (1983) menyatakan bahwa anak domba jantan umumnya akan lebih berat 5-12% dibandingkan dengan anak betina.
2.7.2. Tipe Kelahiran Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot lahir anak, makin banyak anak yang dihasilkan per kelahiran, makin rendah rataan bobot lahir anak yang dicapai (Ramsey, dkk., 1998). Donald dan Russel (1970) menduga bahwa bobot lahir domba kembar dua adalah 80% dari bobot lahir domba tunggal dan bobot lahir kembar tiga adalah 77% dari bobot lahir kembar dua. Makin banyakanak yang dilahirkan makin ringan rata-rata bobot lahir anak yang dicapai (Ramsey, dkk., 2000). Keadaan tersebut terjadi karena dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka pertumbuhannya akan terganggu karena keterbatasan jumlah makanan dan ruang yang tersedia. 2.7.3. Pengaruh Musim Perbedaan musim di setiap wilayah mengakibatkan adanya perbedaan temperatur, curah hujan dan cahaya matahari sehingga berpengaruh terhadap bobot lahir ternak. Negara-negara yang beriklim tropis biasanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Di Indonesia musim hujan terjadi antara
14
bukan Oktober sampai dengan Maret dan musim kemarau terjadi antara bulan April sampai dengan September (Murtidjo, 1993). Musim berpengaruh terhadap besar fetus pada beberapa spesies. Domba bunting yang mengalami stress panas akan menghambat pertumbuhan fetus dan derajat penghambatan sebanding dengan lamanya stress (Toelihere, 1985). Menurut Williamson dan Payne (1993) pengaruh iklim yang ekstrim terhadap ternak
yaitu
penurunan
feed
intake,
gangguan
terhadap
pertumbuhan,
mengakibatkan kematian embrio dan adanya fetus yang kerdil. Pengaruh musim secara tidak langsung terlihat pada kuantitas dan kualitas pakan ternak. Apabila musim basah ketersediaan hijauan akan melimpah, tetapi kandungan air pada hijauan akan miningkat dan kandungan bahan keringnya menurun sehingga kualitasnya rendah. Akibatnya ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut kekurangan gizi sehingga bobot badannya menurun.