BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KOMIK MERUPAKAN SUATU

Download Komik merupakan suatu bentuk seni populer yang hidup dan berkembang ... sebagai seni, 3) komik sebagai kendali atas hak-hak komikus, 4) kom...

0 downloads 424 Views 2MB Size
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Komik merupakan suatu bentuk seni populer yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat. Komik menjadi salah satu bentuk seni visual yang memadukan beberapa unsur piktoral di dalamnya. Gambar-gambar yang ada membentuk sekuen yang saling berhubungan. Komik sendiri memiliki definisi yang beragam. Para ahli masih belum sependapat mengenai definisi komik. Komik berasal dari kata Comic berarti “lucu” dalam bahasa Inggris atau Kōmikos dari Kōmos „revel‟ bahasa Yunani yang muncul sekitar abad ke 16. Makna aslinya demikian karena memang pada awalnya komik ditujukan untuk membuat gambar-gambar yang menceritakan tentang hal-hal yang lucu. Komik merupakan suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita (Wikipedia). Scott McCloud dalam Understanding Comic (2008: 12) mendeskripsiskan komik sebagai penyusunan gambar-gambar dalam sebuah urutan yang disengaja, dimaksudkan untuk penyampaian pesan dan menimbulkan suatu nilai estetis pada penampilannya. Eisner (dalam Darmawan, 2005: 242) mengemukakan bahwa komik adalah sequential arts, seni sekuens. Komik merupakan susunan gambar dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau mendramatisasi suatu ide. Dengan sekuens/pengurutan, narasi (dengan atau tanpa teks) terbangun. Dari banyak

2

definisi tentang komik, menurut Darmawan definisi terbaik masih menurut pendapat Scott McLoud (2012:37).

Melalui pendapat McCloud, Darmawan

mendefinisikan syarat sesuatu bisa disebut komik dalam beberapa poin, diantaranya 1) Imaji yang disusun; 2) terletak dalam panel; 3) membentuk narasi; 4) terdapat simbol-simbol selain gambar, seperti balon kata, caption, efek bunyi, dan; 5) susunan panel dan/atau susunan imaji adalah tuturan khas komik (2012:38). Menurut jenisnya, komik dikelompokkan menjadi dua, yaitu comic-strips dan comic-books. Comic-strip atau strip merupakan komik bersambung yang dimuat di surat kabar. Adapun comic-books adalah kumpulan cerita bergambar yang terdiri dari satu atau lebih judul dan tema cerita, yang di Indonesia disebut komik atau buku komik (Setiawan, 2002: 24). Dalam perkembangannya, ada pula komik strip yang disajikan secara mandiri artinya tidak memiliki hubungan cerita diantara edisi satu dengan yang lainnya (http://mangozie.net/?p=466). Sebagai produk visual, komik juga memiliki fungsi sebagai media dalam menyampaikan informasi. Komik sebagai media komunikasi, mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang luar biasa sehingga sering digunakan untuk berbagai macam tujuan (Setiawan, 2002: 21). Mochtar Lubis (dalam Boneff, 1998:99) berpendapat bahwa komik adalah salah satu alat komunikasi massa yang memberi pendidikan, baik untuk kanak-kanak maupun untuk orang dewasa. Dengan sasaran yang tersegmentasi, komik dapat merengkuh perhatian dan mengantarkan pesan yang dimilikinya. Darmawan (2005: 170) bahkan menyebut komik sebagai jurnalistik yang piawai.

3

Dalam hubungannya sebagai media pengantar pesan, komik juga memiliki beberapa kegunaan lain. McCloud (2008:10-11) memetakan potensi-potensi komik dalam sembilan arah, yaitu: 1) komik sebagai karya sastra, 2) komik sebagai seni, 3) komik sebagai kendali atas hak-hak komikus, 4) komik sebagai industri bisnis yang selalu berinovasi, 5) komik sebagai alat membentuk persepsi masyarakat, 6) pengawasan institusional, 7) komik sebagai bukti keseimbangan gender, 8) komik sebagai representasi kaum moniritas, dan 9) komik mampu menampilkan beraneka ragam genre. Menurut McCloud, potensi komik sebagai karya sastra, sebagaimana bentuk karya sastra yang lain semisal novel, puisi, drama, dan sebagainya, dapat menghasilkan sekumpulan karya yang layak dipelajari, yang menampilkan makna hidup, waktu, dan cara pandang terhadap dunia lewat sang pengarang. Komik menawarkan medium dengan keleluasaan dan kendali yang besar bagi sang pengarang, hubungan yang akrab dan unik dengan pembacanya, dan potensi yang amat besar. Komik sebagai karya sastra sendiri juga mewarnai sejarah perkomikan Indonesia. Boneff (1998:19) memberikan bukti penelusuran cikal bakal komik zaman prasejarah di Indonesia. Bukti pertama terdapat pada monumen-monumen keagamaan yang terbuat dari batu. Hal itu dapat kita lihat pada relief-relief di candi Borobudur atau Prambanan. Adegan-adegan pada relief tersebut memiliki narasi, di Borobudur berfungsi untuk membimbing peziarah melakukan perenungan. Berbeda dengan Borobudur, relief yang berada di Prambanan, melalui kisah Ramayana, digunakan untuk mengajar umat. Kemudian lebih dekat dengan masa kini, wayang beber menampilkan penceritaan dengan sarana gambar

4

yang dapat dianggap sebagai cikal bakal komik. Pemakaian epos besar, yakni Mahabharata dan Ramayana dalam wayang menunjukkan bahwa sejak dulu masyarakat Indonesia sudah dekat dengan cikal bakal komik yang berunsurkan sastra. Posisi komik sebagai karya sastra menjadi semakin tegas saat R.A. Kosasih menciptakan karya besarnya, Mahabharata dan Ramayana. Karya sastra kuno yang berasal dari kitab Astadasaparwa ini dialihwahanakan secara apik oleh Kosasih. Melalui penelitian dokumen dan bantuan dalang, Kosasih mencipta komik epos dunia perwayangan tersebut. Suksesnya sedemikian besar sehingga Kosasih, dari tahun 1955-1960, tidak pernah berhenti membuat berpuluh-puluh jilid komik (Boneff, 1998:204). Melalui karya besarnya itu pula banyak pihak menganggap Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia. Komik menjadi karya sastra salah satunya karena adanya unsur alihwahana. Komik dapat dikolaborasikan penyajiannya dengan karya sastra tulis lain. Dengan pengkolaborasian tersebut komik dapat menjadi produk yang bernilai seni dan satra tinggi, tidak hanya dianggap sebagai produk sastra pinggiran biasa. Contoh kasusnya adalah “perkawinan” antara komik dan puisi. Mansyur Daman (dalam Comical Magz Edisi 6, 2011: 10) menyebutnya sebagai bentuk komikalisasi puisi. Contoh komikalisasi puisi dapat ditemui pada komik strip yang berjudul “Hujan Bulan Juni” yang dimuat pada buletin komik Comical Magz Edisi 6 tahun 2011. ”Hujan Bulan Juni” (selanjutnya ditulis HBJ) sebelumnya merupakan puisi karya Prof. Sapardi Djoko Damono dengan judul serupa. Sapardi Djoko Damono

5

(selanjutnya disebut SDD) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Ia merupakan alumni Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1964), kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, AS (1970-1971), dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989) (Hasanuddin dkk, 2004:714). Sejak 1975 Ia mengajar di Fakultas Sastra UI. Selain mengajar ia juga menulis. Karya-karyanya berupa cerpen, sajak, esai, dan lain-lain. Dalam bersajak ia dikenal karena puisinya yang menggunakan katakata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer di masyarakat. SDD memiliki beberapa puisi yang sangat populer. Sebut saja Aku Ingin, “Hujan Bulan Juni”, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Puisi HBJ muncul dalam buku kumpulan sajak pilihan karya SDD yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia tahun 1994. Antologi ini berjudul sama dengan salah satu pusisinya tadi, “Hujan Bulan Juni” (Hasanudin dkk, 2004:328). Antologi tersebut merupakan kumpulan puisi SDD selama 30 tahun, dari 1964 sampai 1994. HBJ merupakan salah satu puisi karya SDD yang beberapa kali dialihwahanakan. HBJ pertama kali dimusikalisasikan oleh H. Umar Salim. Pada tahun 1990 terbit album Hujan Bulan Juni, yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Puisi HBJ juga terdapat dalam album tersebut. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu penyanyi yang mengisi di album tersebut. Keduanya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 2006, album Gadis Kecil dirilis. Album tersebut diprakarsai oleh duet Dua Ibu, Reda Gaudiamo dan

6

Tatyana. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono). Dalam album tersebut kembali puisi HBJ dimusikalisasikan. Selain dimusikalisasikan, HBJ juga divisualisasikan. Tercatat HBJ pernah dialihwahanakan menjadi bentuk komik oleh komikus Mansyur Daman. Komikus yang menjuluki dirinya Man ini mengalihwahanakan puisi HBJ menjadi komik dengan judul serupa. Man merupakan salah satu komikus senior Indonesia. Komikus yang terkenal dengan karakter ciptaannya yang bernama Mandala ini lahir pada 3 Juli 1946 di kawasan Tanah Abang Jakarta Pusat. Man memulai berkarya sejak 1960. Di usia 14 tahun semasa masih SMP ia sudah membuat komik. Komik yang ia beri

judul

“Usman

dan

Jasin”

itu

ia

garap

pada

tahun

1960.

(http://henrykomik.com/wp/2013/04/jejak-penting-karya-mansyur-daman/). Komik yang dia buat pertama kali tersebut disukai oleh teman-teman sekelasnya. Dari situlah tonggak dimulainya riwayat karya dari Man. Nama Man sebagai komikus semakin dikenal ketika ia melahirkan tokoh Mandala. Mandala pertama kali muncul dalam cerita Golok Setan tahun 1972. Nama Mandala merupakan singkatan dari Matraman Dalam. Ini merupakan alamat kediaman Djair, sahabat kental Man. Kala itu Man memang kerap berdiskusi soal proses kreatif dengan Djair dan beberapa sahabat komikus di Matraman

Dalam

(http://henrykomik.com/wp/2013/04/jejak-penting-karya-

mansyur-daman/). Selain Mandala yang melambungkan namanya, Man membuat komik yang merupakan bentuk komikalisasi dari karya sastra. Salah satu contohnya adalah

7

Rosetta. Rosetta merupakan komik karya yang diadaptasi dari cerita karangan H.F.R Kommer. Karya asli Rosetta dicetak oleh Bataviaschi Snelpersdrukkerij, Kho Tjeng Bie & Co pada tahun 1910 (Comical Magz, 2011: 10). Rosetta terbit tahun 2010. Setelah Rosetta, tahun 2011 Man memvisualisasikan puisi “Hujan Bulan Juni”. Komik “Hujan Bulan Juni” terbit di buletin komik Comical Magz edisi keenam bulan Juni 2011. Komik HBJ berbentuk strip. Komik strip (comic strips) merupakan komik bersambung yang dimuat pada surat kabar (Setiawan, 2002: 24). Namun, dalam perkembangannya, ada pula komik strip yang disajikan secara mandiri artinya tidak memiliki hubungan cerita diantara edisi satu dengan yang lainnya (http://mangozie.net/?p=466). Komik HBJ terdapat pada halaman 10 sampai 13 Comical Magz. Man memvisualisasikan sajak HBJ yang berjumlah dua belas larik ke dalam komik yang berjumlah dua belas panel. Pengalihwahanaan sajak akan menimbulkan konsekuensi. Dengan adanya beberapa transformasi maka makna yang didapat juga akan mengalami perbedaan dengan makna karya sebelumnya. Dalam media visual, imaji yang pembaca punya akan mengarah pada gambar-gambar yang disusun komikus. Pembaca hanya tinggal menghayati bentuk visual yang sudah jadi. Imbasnya interpretasi pembaca akan mengarah kepada subyektivitas komikus. Namun, di balik itu semua, kehadiran komikalisasi ini justru membuat rangkaian kata yang disusun penulis puisi sebelumnya jadi lebih mudah dipahami pembaca, karena adanya petunjuk berupa sarana visual tadi. Sementara itu, ketika kita membaca puisi secara langsung, kita akan dihadapkan pada makna filosofis

8

dan pemikiran sendiri dalam memaknai bentuk, serta rasa yang ditimbulkan dari hasil penghayatan isi puisi tersebut. Melalui komikalisasi puisi kita bisa lebih mudah melakukan interpretasi maupun pemaknaan terhadap suatu karya sastra, dan juga bisa menikmati bentuk karya lain yang masih memiliki garis pemaknaan sejalan dengan karya sebelumnya. Komik HBJ menarik untuk dikaji karena sebagai produk visual memiliki dia juga bermuatan sastra. Hal ini dapat dipahami sebab komik ini merupakan bentuk alihwahana dari puisi dengan judul serupa. Namun sebagai komik, HBJ hadir sebagai sebuah komik tanpa dialog. Teks yang hadir, yang merupakan lariklarik dari syair HBJ, hadir hanya sebagai bagian bentuk narasi dari cerita dalam panel. Larik-larik dari HBJ masuk dalam caption pada beberapa panel. Caption adalah kotak atau ruang yang dipakai untuk narasi (Darmawan, 2012:81). Man memberikan teks hanya pada caption-caption dalam panel-panel komik. Dalam HBJ unsur bahasa visual sangat dominan, walau kita juga tidak bisa tidak mengacuhkan bahasa tulisan yang ada. Hal tersebut bisa dipahami, minimnya teks, karena gambar yang Man buat sudah dapat memberikan alur penceritaan komiknya. Makin eksplisit gambar, adegan yang terangkai, dan perkembangan cerita yang dikaji, maka makin kecil peranan pendukung tersebut (Boneff, 1998:132). Ketiadaan dialog dalam komik ini membuat pemaknaan dalam komik ini memerlukan pembacaan beberapa unsur. Unsur visual dan verbal dalam komik ini perlu dikaji secara bersamaan untuk memperoleh makna yang diharapkan. Ilmu yang diterapkan untuk mendapat pemaknaan atas suatu teks adalah semiotika.

9

Teori semiotika yang akan dipakai adalah analisis kode dari Roland Barthes. Teori ini dipilih karenan nantinya unsur-unsur dalam komik HBJ akan dipecah menjadi leksia-leksia. Leksia-leksia ini memungkinkan unsur verbal dan unsur visual dianalisis secara bersamaan dan saling berkesinambungan. Dari leksia-leksia ini akan diperoleh kode-kode tanda yang nantinya akan memberikan pemaknaan terhadap komik HBJ.

1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang akan dibahas adalah

sebagai berikut; 1) Mencari kode-kode yang terdapat dalam pembagian leksia pada komik “Hujan Bulan Juni”. 2) Mencari makna-makna yang terkandung komik “Hujan Bulan Juni” setelah dilakukan proses pembacaan dan interpretasi dari teks-teks dan visual yang ada.

1.3.

Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoritis dan tujuan

praktis. Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemaknaan pada komik “Hujan Bulan Juni” dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Pemaknaan akan diperoleh setelah dilakukan proses pemecahan leksialeksia hingga menemukan kode-kode yang membentuk makna pada komik. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi terhadap

10

penelitian-penelitian selanjutnya yang menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian terhadap dunia komik dan sastra Indonesia. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat terhadap komik agar komik tidak hanya dipahami sebuah produk populer biasa. Komik juga bisa hadir dalam bentuk kaya muatan dan bernilai tinggi.

1.4.

Tinjauan Pustaka Puisi “Hujan Bulan Juni” sendiri pernah dianalisis sebagai skripsi oleh

Durrotul Yatimah (2010). Yatimah menganalisis kumpulan sajak Hujan Bulan Juni menggunakan pendekatan semiotika Rifaterre. Dalam penelitian tersebut, Yatimah memaknai HBJ sebagai sebuah bentuk keikhlasan untuk mencintai, dengan mengambil analogi pada Tuhan dan Ibu. Penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes sebelumnya juga pernah dilakukan. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Toto Mujio Mukmin (2002) dalam tesisnya yang berjudul “Komik Doraemon: Dari Sudut Pandang Ikonografi dan Semiotika”. Objek penelitiannya adalah komik Doraemon. Mukmin menggunakan pendekatan lima kode Roland Barthes untuk memaknai komik Doraemon. Dari dua penelitian di atas secara jelas dapat diketahui bahwa sebelumnya belum ada penelitian tentang komik HBJ yang menggunakan pendekatan kode semiotika Roland Barthes. Penelitian yang ada hanya HBJ saat masih berupa sajak, belum dialihwahanakan, itu pun menggunakan pendekatan teori semiotika

11

lain. Pada penelitian tentang komik sendiri belum ada peneliti yang mengambil komik HBJ sebagai objek penelitian.

1.5.

Landasan Teori

1.5.1. Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan sesuatu sehingga bersifat komunikatif. Semiotika berasal dari kata Yunani, semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam pelbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang pelbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain bahasa dijadikan model dalam pelbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dianggap fenomena kebahasaan, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998: 262 dalam Tinarbuko, 2012:11). Menurut Berger terdapat dua tokoh utama semiotika, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Chares Sander Pierce (1839-1914). Latar belakang keilmuan Sasussure adalah linguistik, sedangkan Pierce adalah filsafat. (Tinarbuko, 2012: 11). Saussure berpendapat, seperti dikutip Pradopo (1991: 54 dalam Tinarbuko, 2012: 12) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau

12

bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Konsep dasar semiotik Roland Barthes berangkat dari strukturalisme Saussure. Konsep penanda-petanda Saussure tersebut dikembangkan oleh Barthes dengan membagi sistem pertandaan menjadi dua tingkatan yang memungkinkan untuk dihasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. (Barthes, 1983: 108). Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi, atau sistem penandaan tingkat kedua, rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi. Oleh Barthes, istilah signifiant (penanda) menjadi ekspresi dan signifie (petanda) menjadi isi. Namun, Barthes mengatakan bahwa antara ekspresi dan isi harus ada relasi tertentu sehingga membentuk tanda (sign). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian, pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder merupakan pengembanga sistem primer ke arah ekspresi atau ke arah isi (Hoed dkk, 2004:17). Teori semiotika Barthes juga membahas tentang intertekstualitas. Setiap teks dasarnya adalah interteks. Menurut Barthes (dalam Piliang, 2003: 131) sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal

13

teologis, tetapi merupakan ruang multidimensional yang di dalamnya aneka ragam tulisan, tidak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur, dan bertumpang tindih. Teks adalah sebuah jaringan kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tidak terhitung jumlahnya. Barthes mengemukakan bahwa pembaca (dalam hal ini pikirannya) adalah ruang tempat berinteraksinya kutipankutipan tersebut (Piliang, 20013: 134). Di mata Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyeksi rekostruksi, maka pertama-tama teks tersebut dipenggalpenggal terlebih dahulu (Kurniawan, 2001: 93). Untuk memberi ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan pluralitas teks, Barthes (1990: 13) mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan pembacaan (units of reading) dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks, yang apabila diisolasikan akan berdampak dengan potonganpotongan teks lain disekitarnya, adalah sebuah leksia (Budiman, 2011: 33). Leksia bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata saja, kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf, tergantung pada ke-“gampang”-annya menjadi sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna (Budiman, 2011:33). Hal ini dikarenakan yang kita butuhkan hanyalah bahwa masing-masing leksia itu memiliki beberapa kemungkinan makna.

14

Barthes (1990: 19) mengemukakan bahwa dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda visual dapat dikelompokkan. Kode menurut Piliang (1998: 17) adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode (Tinarbuko, 2012: 17). Umberto Eco (1979:9 dalam Tinarbuko, 2012:17) menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, 1992:92 dalam Tinarbuko, 2012:18). Barthes berpendapat bahwa di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes) yang di dalamnya semua penanda tekstual (baca: leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan (network), atau topos yang melaluinya teks dapat “menjadi” (Barthes, 1990: 20 dalam Budiman, 2012: 34). Kode-kode yang dikelompokkan Barthes meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kultural. 1) Kode Hermeneutik (hermeneutic code) adalah satu-satuan yang dengan pelbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu

15

persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekadar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes, 1990: 17). Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan

ketegangan

dan

misteri,

sebelum

memberikan

pemecahan atau jawaban. 2) Kode Semik (code of semes) atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbukan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai “tema” atau “struktur tematik”, sebuah thematic grouping (Barthes, 1990: 19). 3) Kode Simbolik (symbolic code) merupakan kode “pengelompokan” atau konfigurasi yang mudah dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secraa teratur melalui pelbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik (Barthes, 1990: 17). 4) Kode Proairetik (proairetic code) merupakan kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan

16

secara rasional (Barthes, 1990: 18)”, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampakdampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan. 5) Kode Kultural (cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang “diterima umum”. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terusmenerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana (Barthes: 1990 18). Setiap kode yang ditemukan dalam leksia dicatat dan diberi analisis. Untuk menandai bahwa telah ditemukannya kode dalam setiap leksia, digunakan tanda huruf abjad yang berada dalam tanda kurung; (a), (b), (c), dan seterusnta. Tanda tersebut, kemudian diidentifikasi dengan nama jenis kodenya.

1.5.2. Hubungan dalam Komik Komik memiliki unsur teks dan gambar. Dua unsur tersebut saling berintegrasi membentuk kesatuan komik. Dua unsur tersebut juga berhubungan untuk membentuk pesan yang ditujukan komik. Dua unsur tersebut memiliki perannya masing-masing. Ada peran yang dominan pada teks, ada pula peran yang dominan pada gambar. Selain itu ada pula

17

peran yang seimbang antara dua unsur tersebut. Dengan mengetahui fungsi dan peran masing-masing unsur akan memudahkan analisis yang dilakukan terhadap komik. Komik memiliki elemen dasar. Dengan melihat adanya elemen tersebut, pembaca bisa mengetahui suatu karya bisa disebut sebuah komik. Darmawan (2012:72) menyebutnya sebagai unsur tampak. Unsur tersebut terdiri dari panel dan ruang bagi teks. Ruang bagi teks sendiri terdiri dari balon dan caption. Komik HBJ sendiri memiliki unsur tampak panel dan caption. Dua unsur tersebut saling bersinergi dalam memberikan pesan yang disampaikan komikus.

1) Peralihan Antarpanel Komik HBJ memiliki dua belas panel. Dua belas panel tersebut hadir secara berurutan dan berkelanjutan. Panel-panel tersebut dapat diuraikan peran peralihannya untuk memecah leksia-leksia dalam komik HBJ. Dari leksia-leksia tersebut akan ditemukan makna-makna yang terkandung dari komik HBJ. McCloud (1993: 70) mendefisinisikan ada enam

jenis peralihan

antarpanel. Peralihan-peralihan antarpanel tersebut akan memudahkan komikus dalam merancang adegan dalam setiap panel. Selain itu, peralihan-peralihan antarpanel tadi juga membantu memudahkan analisis bagian-bagian dalam narasi komik. Enam hubungan tersebut adalah sebagai berikut. a)

Waktu ke waktu

18

Gambar 1. Waktu ke Waktu Dalam peralihan ini terjadi pergeseran waktu diantara momen-momen yang dekat. Peralihan antarpanel ini memberikan efek sinematis terhadap komik. peralihan ini biasanya diterapkan pada sebuah komik bercerita panjang atau novel grafis (Darmawan, 2012:167). b)

Aksi ke aksi

19

Gambar 2. Aksi ke aksi Peralihan jenis ini menampilkan subyek atau tokoh melakukan tindakan bergerak dari satu aksi ke aksi lain. Jenis peralihan antarpanel ini juga memberi rasa sinematis dalam komik, namun terasa lebih cepat dan dinamis (Darmawan, 2012:168) c)

Subyek ke subyek

20

Gambar 3. Subyek ke Subyek Peralihan panel jenis ini berada dalam lingkup adegan yang sama, namun berbeda obyek. Panel beralih dari satu subyek pelaku cerita ke subyek pelaku cerita yang lain. d)

Adegan ke adegan

21

Gambar 4. Adegan ke adegan Peralihan jenis ini membawa pembaca melampaui ruang dan waktu yang jauh berbeda. e)

Aspek ke aspek

22

Gambar 5. Aspek ke aspek Definisi peralihan ini agak abstrak. McCloud mengibaratkan peralihan ini seperti mata yang menerawang dalam satu ruangan, dan memandang berbagai benda dalam ruangan tersebut (Darmawan, 2012: 171). Tak hanya ruangan, jensi peralihan ini mengajak pembaca untuk menerawang ide atau suasana. Darmawan berpendapat bahwa peralihan ini disusun untuk membangun suasana.

23

f)

Non-Sequitur

Gambar 6. Non-Sequitur Peralihan terakhir adalah peralihan non-sequitur. Peralihan ini tidak menawarkan hubungan logis diantara panel-panel yang terhubung. Panel ini adalah panel paling abstrak dari pendapat Scoot McCLoud.

24

Berdasarkan peralihan diatas, peralihan panel dalam komik HBJ termasuk dalam peralihan waktu ke waktu dan aksi ke aksi. Panel-panel dalam komik memiliki hubungan bergerak dari momen ke momen, yakni pada panel (2) dan (3) serta panel (8) dan (9), dan yang lain memiliki hubungan aksi ke aksi. Dengan peralihan ini, kita bisa membagi panel-panel dalam komik menjadi beberapa bagian. Selanjutnya bagian-bagian tersebut kita jadikan sebagai leksia. Pembagian panel-panel yang mengandung aksi tersebut akan memudahkan kita dalam meneliti kode-kode yang terkandung dalam komik HBJ.

2) Hubungan Kata dan Gambar Panel menjadi ruang kesinambungan antara gambar dan teks. Gambar dan teks saling membangun untuk membentuk sebuah komik. Gambar dan teks memiliki peran masing-masing. Besarnya peran gambar atau teks dapat dijelaskan melalui hubungan gambar dan teks yang dikemukakan McCloud (2001:153). Kata dan gambar memiliki tujuh jenis hubungan. Hubungan tersebut berfungsi untuk mengetahui dominasi teks atau gambar yang ada pada komik. Dengan mengetahui hubungan yang ada dalam komik, melihat dominasi unsur yang ada, akan memudahkan analisis pada komik. Dari situ akan terlihat unsur yang akan dianalisis dalam komik, apakah teksnya saja, gambarnya saja, atau keduanya. Hubungan antara gambar dan teks dijelaskan oleh McCloud memiliki beberapa jenis antara lain,

25

a) Gambar 7. Gabungan khusus kata-kata Hubungan antara gambar dan teks dalam gabungan khusus kata-kata. Jenis hubungan ini menitikberatkan pentingnya

kata, dengan gambar hanya

mengilustrasikan tanpa menambah terlalu penting susunan kata yang telah lengkap.

b) Gambar 8. Gabungan khusus gambar Hubungan antara gambar dan kata dalam gabungan khusus gambar. Dalam hubungan jenis ini, kombinasi kata-kata tidak telalu menambah makna pada

26

gambar yang sudah jelas dan tuntas dalam menceritakan adegan. Kata-kata disini seakan-akan hanya menambah efek suara saja.

c) Gambar 9. Panel khusus-Duo Hubungan antara gambar dan kata-kata dalam panel khusus duo. Dalam hubungan ini, gambar dan kata memiliki pesan yang sama. Darmawan (2012:182) menanggap hubungan jenis ini sering dianggap redundan (terlalu mengulangulang) dan dijauhi para komikus muda.

d) Gambar 10. Gabungan Aditif

27

Hubungan aditif atau saling menguatkan. Dalam hubungan ini, kata menyaringkan dan meluaskan gambar, begitupun sebaliknya. Jika dalam hubungan panel khusus duo, misalnya gambar seseorang pusing ditambahi balon kata dengan teks “Aku pusing!”; maka dalam hubungan aditif, gambar seseorang yang sedang pusing ditambahi kata-kata, “Kepalaku rasanya mau pecah!” (Darmawan, 2012:183).

e) Gambar 11. Gabungan paralel Hubungan selanjutnya adalah hubungan paralel. Dalam hubungan ini, kata-kata dan gambar seperti berjalan sendiri-sendiri, sama-sama maju, tapi tidak saling bersilangan. Elemen kata-kata dan gambar berjalan secara bersamaan dengan tidak saling bersilang.

28

f) Gambar 12. Gabungan Montase Hubungan selanjutnya adalah hubungan montase. Dalam hubungan jenis ini, kata dan gambar diperlakukan sebagai satu bagian yang menyatu. Kata bisa jadi gambar, dan gambar bisa jadi bagian dari kata.

29

g) Gambar 13. interdependen Hubungan kata dan gambar terakhir adalah hubungan interdependen atau saling bergantungan. Kata dan gambar memiliki peran yang seimbang. Keduanya saling bergantung.

Kata-kata

dan

gambar

sama-sama

memiliki

peran

untuk

menyampaikan gagasan yang tidak mungkin dilakukan oleh salah satu elemen saja.. keduanya saling bergantung, kata menjelaskan gambar dan gambar menjelaskan kata.

30

Hubungan kata dan gambar dalam komik HBJ termasuk dalam hubungan interdependen. Kata-kata dan gambar-gambar memiliki peran yang sama penting untuk terbangunnya keseluruhan cerita. Kedua unsur tadi memiliki peran yang seimbang. Dalam hubungan interdependen, kata-kata dan gambar-gambar sama-sama memiliki peran penting untuk terbangunnya cerita. Hal inilah yang bisa menjadi landasan untuk melakukan analisis terhadap dua unsur utama komik, yakni teks dan gambar. Komik HBJ akan dilakukan analisis pada gambar dan teksnya. Analisis akan dilakukan pada kedua unsur tersebut, karena kedua unsur tersebut sama-sama berperan dalam membangun cerita komik secara keseluruhan. Tidak dimungkinan ditemukannya makna dalam komik, jika hanya menganalisis salah satu unsurnya saja. Maka dari itu, analisis akan dilakukan pada gambar-gambar dan teks-teks komik HBJ. Teks-teks dalam hal ini adalah kata-kata, atau yang berasal dari larik-larik puisi SDD, yang terdapat dalam caption-caption komik.

1.6.

Metode Penelitian Metode merupakan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2008:952). Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang akurat dari obyek penelitian maka pendekatan yang dipilih adalah analisis tafsir yang mengacu pada penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif di sini dikaji melalui bentuk penelitian kepustakaan. Selain itu analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Metode ini meneliti objek karya sastra dengan cara menganalisis

31

bagian demi bagian dan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Selain bentuk penelitian kepustakaan, juga dilakukan sejumlah pengamatan lapangan untuk memenuhi data-data faktual yang berkaitan dengan repons dari pembaca komik “Hujan Bulan Juni”. Langkah-langkah penelitian yang akan ditempuh adalah sebagai berikut; 1.

Menentukan objek penelitian, yaitu komik berjudul “Hujan Bulan Juni” karya Man.

2.

Melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi-informasi yang menunjang penelitian.

3.

Melakukan analisis pada objek dengan menerapkan teori semiotika Roland Barthes, yaitu menentukan satuan-satuan pembacaan yang disebut leksia.

4.

Menguraikan kode-kode yang terkandung dalam masing-masing leksia.

5.

Menafsirkan makna-makna dari setiap leksia dan menghubungkannya dengan keterangan di luar unsur-unsut visual dan verbal komik “Hujan Bulan Juni” dengan cara membandingkan.

6.

1.7.

Menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.

Sistematika Penyajian Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. Bab I berisi

pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II merupakan analisis leksia pada komik HBJ melalui pemenggalan teks dan visual, menguraikannya, dan memberikan kode sesuai

32

dengan lima kode Roland Barthes. Bab III menyajikan penafsiran yang berisi makna-makna

berdasarkan

uraian

yang

diperoleh

pada

Bab

II

dan

menghubungkannya dengan keterangan-keterangan di luar teks. Bab IV berisi kesimpulan dari hasil analisis dan penafsiran yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.