BAB I - USU Institutional Repository

basa keras pada trigliserida yaitu gugus karboksilat. Kestabilan dari interaksi keras- keras dan lunak-lunak harus dibedakan dengan kekuatan sifat asa...

22 downloads 595 Views 269KB Size
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oleokimia

Industri oleokimia seperti industri minyak kelapa sawit merupakan industri yang berkembang pesat di Indonesia dengan bahan baku lemak dan minyak yang diproses menjadi senyawa baru seperti metil ester asam lemak dan alkohol asam lemak. Lemak dan minyak termasuk golongan lipid yang terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari asam lemak rantai panjang.

Minyak nabati pada umumnya bersumber dari, buah-buahan, kacang-kacangan atau biji-bijian, sedangakan lemak terdapat pada jaringan hewan. Lemak dan minyak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida seperti sterol, fosfatida dan asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi karakteristik dari lemak / minyak.

Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, pada umumnya minyak berwujud cair karena mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh seperti oleat, linoleat, linolenat. Sedangkan lemak umumnya padat karena mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh seperti stearat, palmitat, laurat. Reaktivitas kimia dari trigliserida dicerminkan oleh reaktivitas ikatan ester dan derajat ketidakjenuhan dari rantai tersebut. Ada beberapa reaksi penting pada minyak dan lemak yaitu hidrolisa, oksidasi, hidrogenasi, dan esterifikasi / transesterifikasi (Ketaren, S. 1986).

2.2. Reaksi Asam Basa

Reaksi asam- basa anorganik pada umumnya mencakup prinsip asam keras basa keras (HSAB). Pearson mengusulkan istilah hard dan soft (keras dan lunak) untuk menggolongkan asam dan basa. Prinsipnya sangat sederhana asam keras lebih

Universitas Sumatera Utara

suka bereaksi basa keras dan asam lunak lebih menyukai basa lunak., dan akan membentuk ikatan yang lebih stabil.

Pada umumnya asam dan basa keras adalah semua yang mungkin membentuk ikatan ionik seperti Li+, Na+, H+ dan OH. Dalam reaksi transesterifikasi dengan katalis asam terjadi interaksi antara H+ dari katalis yang berperan sebagai asam keras dengan basa keras pada trigliserida yaitu gugus karboksilat. Kestabilan dari interaksi keraskeras dan lunak-lunak harus dibedakan dengan kekuatan sifat asam atau basa.

Jika dilihat dari mekanisme reaksi maka dapat dilihat adanya gugus elektrofilik dan ada gugus nukleofilik. Gugus elektrofilik adalah gugus yang kekurangan elektron sehingga afinitas elektronnya menjadi berkurang contohnya proton, kation, dan karbon radikal. Sedangkan gugus nukleofilik mempunyai pasangan elektron bebas yang memiliki kecenderungan bereaksi dengan substrat yang kekurangan elektron.

Reaksi elektrofilik dan nukleofilik pada pembentukan ester dengan katalis asam dapat digambarkan dengan skema reaksi pada Gambar 2.1 dibawah ini : :O-H +

R-C=:O:

H+

R-C=O H

R2-OH (alkohol) R-C-O-R1

OH -R1 OR1

katalis

H-O+- R2

ester R-C=O O-H

R-C=O H+ O+-R2

R-C-O-R1

O-R2 alkil ester

-HOR1 H-O+- R2

H

Gambar 2.1. Skema Reaksi Elektrofilik dan Nukleofilik

Dari reaksi diatas dapat dilihat nukleofilk adalah gugus yang kelebihan elektron akan menyerang gugus yang kekurangan elektron (elektrofilik) (Riswiyanto, S. 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.3. Reaksi Transesterifikasi Lemak/minyak dapat diubah menjadi metil ester melalui reaksi transesterifikasi. Pada reaksi transesterifikasi diperlukan adanya katalis. Reaksi ini dapat digambarkan seperti Gambar 2.2 dibawah ini : O

H2C OC O HC OC H2C

R1

katalis 3 R'OH

R2

3 H3C OC

R1,R2,R3

O OC R3

minyak/lemak

alkohol

H2C

OH

+ HC

OH

H2C

OH

O

metil ester

gliserol

Gambar 2.2. Skema Reaksi Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi diatas merupakan reaksi antara trigliserida dengan alkohol membentuk metil ester asam lemak (MEAL) dan gliserol sebagai hasil samping reaksi. Pembentukan metil ester asam lemak merupakan salah satu reaksi penting dalam pemberian nilai tambah pada lemak dan minyak yang bertujuan untuk menurunkan nilai viskositas atau kekentalan dari minyak dan lemak tersebut.

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor penting antara lain : 1. Lama Reaksi Semakin lama waktu reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena keadaan ini akan memberikan kesempatan lebih banyak terhadap molekul-molekul reaktan untuk bertumbukan satu sama lain. Yao, J (2010) juga telah meneliti pengaruh lama reaksi terhadap reaksi transesterifikasi minyak biji kapas dengan menvariasikan lama reaksi 1- 5 jam, diperoleh hasil metil ester drastis meningkat pada lama reaksi 1 dan 2 jam, sedangkan dengan lama reaksi 3- 5 jam perubahan hasil metil ester tidak drastis meningkat. Jannu, H (2010) melihat pengaruh lama reaksi terhadap peningkatan kadar metil ester dari turunan minyak kemiri. 2. Perbandingan alkohol dengan minyak Rasio molar antara alkohol dengan minyak nabati sangat mempengaruhi dengan metil ester yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan maka konversi ester yang dihasilkan akan bertambah banyak. Perbandingan molar

Universitas Sumatera Utara

antara alkohol dan minyak nabati ,untuk mendapatkan produksi metil ester yang lebih besar dari 98% berat adalah 6 : 1 (Freedman, B. 1984). Sama halnya dengan yang dilkakukan Yao, J yang juga menvariasikan perbandingan mol methanol : minyak pada transesterifikasi minyak biji kapas dengan perbandingan mol 3 : 1 ; 9 : 1 ; 12 : 1 (mol/mol) dan diperoleh hasil metil ester yang maksimal dengan perbandingan mol 12 : 1 (mol/mol) (Yao, J. 2010). 3. Konsentrasi katalis Katalis berfungsi untuk memepercepat reaksi dan menurunkan energi aktivasi sehingga reaksi dapat berlangsung pada suhu kamar sedangkan tanpa katalis reaksi dapat berlangsung pada suhu 250°C. Jumlah katalis dalam suatu reaksi mempengaruhi jumlah metil ester yang dihasilkan, dimana diharapkan dengan bertambahnya jumlah katalis dalam jumlah minyak yang sama akan menghasilkan jumlah metil ester yang lebih banyak (Darnoko, D. 2000). 4. Suhu Reaksi Reaksi pembentukan metil ester dapat dilkaukan dalam berbagai suhu reaksi, tergantung

pada jenis trigliserida yang digunakan. Jika suhu reaksi semakin

tinggi, laju reaksi juga akan semakin cepat. Seperti yang dilakukan Guan, G yaitu reaksi transesterifikasi dengan menvariasikan beberapa faktor dan salah satunya membandingakan suhu reaksi dari 40o C, 60oC, dan 80o C dan dihasilkan yield reaksi paling besar pada suhu 80o C (Guan, G. 2009).Sama halnya dengan Yao, J (2010) juga menvariasikan suhu reaksi. Pada percobaannya dia melalukan reaksi pada suhu 170o - 200o C dan diperoleh hasil yang lebih banyak pada penggunaan suhu reaksi yang lebih tinggi. Jain, S (2010) juga telah meneliti pengaruh waktu pada reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar dengan variasi 20, 30, 40, 50, 60, 70 dan 80o C) dan diperoleh hasil yang maksimal pada suhu 80o C. 2.3.1. Reaksi Transesterifikasi dengan Katalis Basa Katalis basa merupakan katalis yang paling sering digunakan untuk reaksi transesterifikasi.Beberapa peneliti sebelumnya telah banyak meneliti transesterifikasi dengan katalis basa homogen dan heterogen. Berdasarkan peneliti sebelumnya seperti Sibarani, H (2001) telah berhasil melakukan transesterifikasi dengan katalis KOH dengan yield reaksi 76,75 %. Zhu telah melakukan transesterifikasi minyak jarak

Universitas Sumatera Utara

pagar dengan katalis CaO, diperoleh yield reaksi besar disamping itu katalis padat ini juga lebih mudah dipisahkan (Liu, H. 2007).

Tobing, M (2009) berhasil melakukan transesterifikasi terhadap minyak jarak merah (Rincinus Communis) dengan katalis CaO dan MgO menghasilkan metil ester asam lemak. Bangun, N juga telah berhasil mengubah minyak kelapa sawit menjadi metil ester menggunakan katalis NaOH dan KOH. Selain memiliki tingkat korosif yang tinggi, katalis ini juga tidak dapat digunakan kembali sehingga katalis dibuang dalam bentuk larutan (Bangun, N. 2009). Siboro, J (2010) berhasil melakukan transesterifikasi minyak kacang tanah dengan katalis CaO dengan yield 73,42 %.

Penggunaan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi akan mempercepat reaksi 4000 x dibanding katalis asam, sehingga transesterifikasi dengan katalis basa seperti yang telah dimanfaatkan sebelumnya dilakukan dengan waktu reaksi yang lebih singkat. Namun dengan katalis basa akan lebih banyak sabun yang terbentuk pada saat reaksi berlangsung (Srivastava,R. 1999).

2.3.2. Reaksi Transesterifikasi dengan Katalis Asam Penggunaan katalis asam dalam reaksi transesterifikasi

sudah berhasil

dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, pada umumnya katalis yang digunakan yaitu katalis asam homogen. Seperti yang dilakukan oleh Rachmaniah, O (1999) telah meneliti studi kinetika transesterifikasi minyak mentah dedak dengan katalis HCl menghasilkan biodiesel dengan yield reaksi 25– 50 %. Sedangkan Guan telah meneliti transesterifikasi minyak jarak dengan katalis H2SO4, asam benzen sulfonat, dan asan p- toluene sulfonat. Pada akhir reaksi diperoleh kesimpulan yield reaksi dengan asam p- toluene sulfonat > asam benzensulfonat > H2SO4 (Guan,G. 2009) Namun peneliti selanjutnya lebih tertarik untuk menggunakan katalis heterogen-homogen seperti yang dilakukan Yuliskan, F. (2006) berhasil melakukan transesterifikasi dengan menggunakan katalis campuran Fe2(SO4)3. x H2O / H2SO4 dengan perbandingan 1:1 mengubah minyak goreng bekas menjadi biodiesel. Dengan sifat keasaman katalis yang lebih kecil.

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan katalis asam homogen seperti asam sulfat dan asam sulfonat pada reaksi transesterifikasi umumnya memerlukan waktu reaksi yang lebih lama karena dilakukan pada suhu rendah. Katalis ini juga cenderung lebih sulit dipisahakan (diperoleh kembali) karena katalis ini dapat mengkontaminasi gliserol yang merupakan hasil samping reaksi, sehingga tingkat kemurnian metil ester yang diperoleh akan lebih rendah.

Untuk meningkatkan kualitas katalis yang bersifat asam maka telah dilakukan berbagai sintesa seperti pada bahan polimer, diharapkan dengan rantai karbon yang lebih panjang akan dapat meningkatkan aktivitas katalis. Adanya katalis heterogen yang bersifat asam seperti diatas, membuat reaksi transesterifikasi dengan katalis asam lebih menguntungkan, dimana bahan baku minyak / lemak yang sifat keasamannya tinggi (diatas 1%) dapat didaya-gunakan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat.

2.3.3. Reaksi Transesterifikasi Tanpa Katalis

Reaksi transesterifikasi pada umumnya memakai metode katalisis dengan katalis asam/basa. Metode penggunaan katalis memiliki beberapa kerugian antara lain: biaya produksi yang cukup tinggi, sistem pencucian basah (menggunakan air) sehingga dapat merusak komponen metil ester. Sehingga ada peneliti yang berpikir untuk melakukan transesterifikasi dengan metode non- katalis.

Susila, W telah berhasil melakukan transesterifikasi dari minyak biji karet menjadi biodiesel metode non katalis “superheated methanol” . Dengan metode ini digunakan suhu reaksi yang tinggi 270 – 290o C, rasio metanol dengan minyak (140 : 1 , 150 : 1, 160 : 1) dan pada tekanan yang tinggi. Dalam arti metode non katalis harus dilakukan pada kondisi yang optimum dan lebih berbahaya dari metode katalis, disamping itu yield reaksi yang diperoleh hanya dalam jumlah kecil (Susila, W. 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.4. Polistirena

Polistirena pertama kali dibuat oleh Eduard Simon tahun 1938. Polistirena adalah sebuah polimer dengan monomer stirena, hidrokarbon cair yang dibuat secara komersial dari minyak bumi. Pada suhu ruangan, polistirena biasanya bersifat termoplastik padat, tidak mudah patah dan tidak beracun serta dapat mencair pada suhu yang lebih tinggi.

Pada awalnya polistirena dimanfaatkan sebagai reagent dan substrat, namun setelah dimodifikasi dapat dipakai sebagai katalis, ataupun bahan penyerap. Polistirena banyak digunakan untuk tombol knop, gelas minuman, botol, dan lainlain. Polistirena dapat digunakan pada suhu 100o C, bersifat tahan asam, basa, dan zat pengkarat (korosif) tetapi mudah larut dalam hidrokarbon aromatik dan klorin seperti benzena, karbon tetra klorida, piridin, keton, toluene dan sebagainya (Odian, G. 1988). Siat-sifat fisik dari polistirena dapat dilihat seperti pada Tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1 Sifat-Sifat Fisik Polistirena

Sifat Fisis Densitas Densitas EPS Spesifik Gravitasi Konduktivitas Listrik (s) Konduktivitas Panas (k) Kekuatan Tarik (st) Perpanjangan Temperatur Transisi gelas (Tg)

Ukuran 1050 kg/m³ 25 - 200 kg/m³ 1,05 -16

10 S/m 0.08 W/(m·K) 46–60 Mpa 3–4% 95 °C (Steven, M. 2001)

Polistirena adalah molekul yang memiliki berat molekul besar, terbentuk dari monomer stirena. Polistirena merupakan polimer hidrokarbon parafin yang terbentuk dengan cara reaksi polimerisasi, dimana reaksi pembentukan polistirena adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Struktur Stirena dan Polistirena

2.5. Reaksi Sulfonasi

Sulfonasi adalah suatu

reaksi untuk memodifikasi bahan polimer yang

memiliki cincin aromatik sebagai rantai utamanya. Sulfonasi termasuk ke dalaam reaksi elektrofilik. Sulfonasi dari polimer aromatis bisa menjadi sangat kompleks karena reversibilitasnya. Senyawa seperti H2SO4 dan SO3 adalah bahan pensulfonasi yang paling umum digunakan untuk berbagai polimer aromatik termasuk polistirena. Sulfonasi polimer adalah salah satu metode untuk membuat fungsionalisasi membran dengan sifat hidrofilik yang diinginkan untuk berbagai aplikasi seperti penukar ion, nanofiltrasi, mikrofiltrasi dan membran osmosis (Pinto, B.P. 2006)

Sulfonasi terhadap senyawa aromatis seperti benzen bersifat mudah balik dan menunjukkan efek isotop kinetik yang sedang dimana ion benzenonium sebagai zat antara dalam sulfonasi dapat kembali ke benzena atau langsung menjadi asam benzenasulfonat dengan hampir sama mudahnya. Gugus asam sulfonat mudah digantikan oleh aneka ragam gugus lain. Dalam sulfonasi tersebut, asam aril sulfonat merupakan zat antara yang bermanfaat dalam sintesis untuk menghasilkan senyawa tertentu. ( Fessenden, R. J dan J.S Fessenden. 1986).

2.6. Sintesis Polistirena Sulfonat

Sulfonasi polistirena merupakan suatu metode memodifikasi polistirena untuk dimanfaatkan sebagai katalis atau adsorben. Telah banyak dipelajari oleh beberapa peneliti meskipun hanya sedikit literatur yang membahas tentang reaksi sulfonasi dan

Universitas Sumatera Utara

sifat termal dari produk yang dihasilkan. Bahan pensulfonasi yang umum digunakan adalah H2SO4, trietil fosfat dan asetil sulfat dalam larutan dikloroetana (Martin, C.R. 2003). Adapun reaksi sulfonasi polistirena dengan menggunakan agen pensulfonasi asetil sulfat digambarkan pada Gambar 2. 4 dibawah ini:

O-

O CH3

CH3

C

O-

C+

HO- SO3H

O

O

+

C

CH3

CH3-COOH

O CH3

CH3

C

C O

O

O-

asetat anhidrid CH3

+

C

+

CH3-CO-OSO3H

SO3H

asetil sulfat

O

O CH3-CO-OSO3H

+

*

CH2

CH

CH2 CH

*

CH2 CH

+

CH3COH

asetil sulfat n

x

y

SO3H

polistirena

Gambar 2.4 Reaksi Sulfonasi Polistirena Dengan Asetil Sulfat

Polistirena sulfonat P(S-SS)n merupakan salah satu bentuk sintesa bahan polimer yang diproduksi dengan sulfonasi post-polimerisasi dari polistirena yang menangkap gugus asam sulfonik pada posisi para dari cincin fenil dan dapat menghasilkan distribusi yang acak, n mewakili derajat sulfonasi atau jumlah polistiren yang tersulfonasi. Sifat unik dari polistirena sulfonat adalah kekuatannya, sifat hidrofiliknya dan konduktivitas proton mulai dari penggabungan dari asam sulfonik pada level yang bervariasi. Keistimewaannya ini digunakan secara meluas untuk berbagai aplikasi seperti penyerap,

transfer

ion dalam sistem pemurnian

elektromigrasi ( Zhou, N.C.,2006). Adanya sintetis senyawa ini dalam ukuran kecil memberikan keuntungan karena dapat meningkatkan area permukaan spesifik.

Polistirena Sulfonat adalah katalis asam dalam bentuk polimer. Keunggulan katalis ini adalah dapat mempercepat pencampuran minyak dengan metanol sehingga lebih efektif digunakan sebagai katalis transesterifikasi. Pemisahan katalis Polistirena Sulfonat lebih mudah dari H2SO4 karena bobot molekulnya yang lebih besar dan sifat

Universitas Sumatera Utara

liophilitas nya lebih tinggi sehingga dapat diperoleh kembali dan dipakai kembali sehingga tidak mencemari lingkungan.

Pemakain

Polistirena sulfonat

sebagai katalis reaksi transesterifikasi

diharapkan memiliki kualitas yang lebih baik ditandai dengan pembentukan ester yang lebih cepat dan yield reaksi lebih besar. Sehingga penggunaan katalis ini akan lebih menguntungkan bagi industri metil ester dan industri minyak jarak dengan kadar asam lemak bebas tinggi.

2.7. Metil Ester

Metil ester merupakan salah satu senyawa turunan lemak/minyak nabati yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi. Penggunaan secara langsung minyak nabati kurang baik pada mesin, karena minyak nabati memiliki berat molekul yang besar, jauh lebih besar dari metil ester, sehingga dapat menghasilkan kerusakan pada mesin.

Sehingga dilakukan cara yang dapat mengubah karakteristik minyak nabati dan lemak menyerupai solar yaitu menghasilkan metil ester asam lemak yang pemanfaatannya jauh lebih besar (Soerawidjaja.,T. 2006). Metil Ester merupakan bahan baku yang dibutuhkan dalam industri oleokimia, dengan sifat- sifat sebagai berikut : Tabel 2.2 Sifat- Sifat Fisis Metil Ester Asam Lemak

Sifat

Nilai

Berat molekul

283,77 g/gmol

Wujud

Cair

Warna

Jernih kekuningan

Densitas

810 kg/m3

Titik beku

-11o C

Titik didih

182 – 338 oC

Universitas Sumatera Utara

Densitas metil ester adalah satu hal yang perlu diperhatikan, biasanya faktor yang mempengaruhi densitas metil ester adalah kandungan gliserol. Semakin besar kadar densitas menunjukkan bahwa proses pencucian dan pemurniana kurang sempurna dilakukan, dimana semakin banyak kandungan gliserol dalam metil ester sehingga penggunaannya akan kurang baik.

2.7.1. Metil Ester Jenuh

Metil ester jenuh antara lain metil stearat, metil palmitat, metil laurat merupakan hasil transesterifikasi minyak atau lemak dengan kandungan asam lemak jenuh. Pemanfaatan metil ester jenuh memang lebih baik, karena bahan yang tidak memiliki ikatan rangkap ini masih dianalisis penggunaannnya sebagai bahan bakar mesin.

Penggunaannya metil ester jenuh telah banyak dimodifikasi dalam industri oleokimia demi peningkatan nilai pemakaiannya yaitu digunakan sebagai bahan surfaktan seperti metil lauril sulfonat, dan sebagai zat pengemulsi seperti sodium stearoyl-2-lactylate, glycerol-latic-palmitate (Muchtadi, T. 1990).

2.7.2. Metil Ester Tak Jenuh

Metil ester tak jenuh antara lain metil oleat, metil linoleat, metil linolenat merupakan hasil transesterifikasi minyak/lemak dengan kendungan asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap. Pemanfaatan metil ester tak jenuh ini pada dasarnya digunakan sebagai biodiesel, namun setelah diteliti lebih lagi pemakain bahan bakar ini kurang baik karena tingkat ketidak jenuhannya yang tinggi sehingga terjadi ketidakstabilan dan mengakibatkan gangguan pada sistem pembakaran.

Untuk meningkatkan mutu pemakaian metil ester tak jenuh, dilakuakan pengubahan metil eser tak jenuh tersebut menjadi dimetil ester rantai bercabang, yang memiliki nilai pembakaran yang lebih efektif daripada biodiesel. Seperti yang dilakukan Bangun, N (2011) telah berhasil mengubah alkil ester tak jenuh seperti metil oleat menjadi senyawa 3-oktil–undekana-anhidrid melalui reaksi karbonilasi dan selanjutnya diesterifikasi kembali menghasilkan dimetil ester bercabang. Bahan

Universitas Sumatera Utara

dimetil ester bercabang ini digunakan sebagai bahan untuk menurunkan emisi gas NO, serta meningkatkan kinerja mesin diesel dibanding dengan bahan baku biodiesel yang umum.

2.8. Minyak Jarak Pagar

Minyak jarak adalah minyak nabati yang diperoleh dari ekstraksi biji tanaman jarak pagar (Jatropha Curcas) yang banyak tumbuh di daerah tropis maupun sub tropis, dan pada umumnya tanaman jarak tidak memerlukan perawatan ekstra. Minyak jarak pagar memiliki banyak kegunaan dan karakter yang khas secara fisik.. Pada suhu ruang minyak jarak berfase cair dan tetap stabil pada suhu rendah maupun suhu tinggi.

Dalam minyak jarak pagar terdapat kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi sehingga berpeluang untuk menjadikan bahan ester-ester bercabang. Minyak jarak pagar (Jatropha Curcas) mengandung beberapa jenis asam lemak yaitu asam, asam oleat (50%), asam Linoleat ( 29,6%), asam miristat (0,26%), asam palmitat (14,5%), asam stearat (5,5%) (Soerawidjaja, T. 2006).

Sebelum dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, minyak jarak perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan ini meliputi dehidrasi, oksidasi, Hidrogenasi, sulfitasi, penyabunan dan lain sebagainya untuk meningkatkan pemanfaatan dari minyak jarak pagar (Ketaren.S, 1986).

Minyak jarak pagar pada umumnya memiliki kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi sehingga nilai pemakaian minyak jarak pagar menjadi rendah. Dengan adanya

pendayagunaan

minyak

jarak

menjadi

metil

ester

melaui

reaksi

transesterifikasi maka pemanfaatannya akan semakin baik. Untuk transesterifikasi minyak jarak pagar dengan kadar asam lemak bebas tinggi sangat cocok digunakan katalis asam, maka digunakan katalis asam heterogen seperti polistirena sulfonat. Diharapkan reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar dengan katalis

ini dapat

berhasil dengan baik.

Universitas Sumatera Utara