BAB I PENDAHULUAN

Download tangga, tingkat pendidikan, golongan umur dan kelembagaan pertanian. Kondisi ekonomi tenaga kerja pertanian dijelaskan dalam. Bab IV. Penja...

0 downloads 408 Views 243KB Size
BAB I PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5 persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen. Dengan tidak seimbangnya kontribusi PDB dan jumlah tenaga kerja yang diserap, maka tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang terendah. Bandingkan dengan sektor industri yang menyumbang 28,9 persen terhadap PDB nasional, namun hanya menyerap tenaga kerja sebesar 12,1 persen. Sebagai akibatnya, kesejahteraan rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian akan lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industri. Berbagai pertanyaan dapat dilontarkan : Pertama, apakah sektor industri yang menyerap tenaga kerja terlalu sedikit sehingga secara residual tenaga kerja menetap di pertanian, sehingga atau sektor pertanian yang menyerap terlalu banyak dari yang dibutuhkan?. Dengan kata lain, tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian merupakan prestasi atau sekedar sebagai penampung karena masuknya tenaga kerja ke sektor pertanian tidak memiliki kriteria atau standar minimum sebagaimana di industri.

Kedua, Siapa sebetulnya pelaku yang menyumbang kontribusi sedemikian besarnya pada perekonomian nasional. Mereka adalah 24 juta rumah tangga petani, dari total 52 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Mereka adalah 40 juta pekerja di antara 90 juta pekerja di seluruh Indonesia. Yang kita tahu, mayoritas dari mereka berlahan sempit dengan rata-rata 0,3 ha. Mereka hanyalah penggarap dari lahan-lahan pertanian yang yang sudah dimiliki orang-orang kota. Tanpa mengetahui dengan baik karakteristik dan siapa mereka segala subsidi dan dukungan di sektor pertanian tidak dapat mereka nikmati. Padahal segala subsidi dan dukungan disediakan untuk mengangkat kesejahteraan mereka.

Terlepas permasalahan di atas, rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dari sisi tenaga kerja, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas manajemen usahatani. Rendahnya tingkat inovasi dan penerapan teknologi telah mengakibatkan produktivitas lahan sangat terbatas peningkatannya atau bahkan cenderung turun pada beberapa komoditas. Kurangnya dukungan terhadap pemberdayaan petani dirasakan turut mempengaruhi tingkat produktivitas petani. Padahal, apabila produktivitas tenaga kerja pertanian tersebut dapat ditingkatkan maka kontribusi terhadap PDB Nasional juga dapat meningkat, dan kesejahteraan sekitar 24 juta rumah tangga petani di Indonesia akan meningkat pula. Profil tenaga kerja pertanian Indonesia ini disusun untuk memberikan gambaran jelas tentang karakteristik tenaga kerja di sektor pertanian, baik dari aspek sosial maupun ekonominya. Dengan gambaran ini kemudian diuraikan pilihan-pilihan langkah yang dapat dilakukan untuk berbagai menyelesaikan permasalahan tenaga kerja pertanian sebagaimana disebutkan di atas serta mengembangkan kualitas sumberdaya manusia/tenaga kerja pertanian. Profil tenaga kerja pertanian ini juga merupakan lanjutan dari penerbitan Analisis Tenaga Kerja, Rumah Tangga dan Penggunaan Lahan Pertanian yang dilakukan tahun 2005. Profil kali ini mendalami aspek tenaga kerjanya dan terutama aspek kesejahteraanya. Buku ini juga disusun untuk mendalami data yang dapat menentukan siapa petani Indonesia. Keterbatasan data dan informasi yang ada belum dapat menjawab definisi yang dibutuhkan. Namun, pendalaman dalam buku ini dapat memacu untuk segera mengenali mereka secara lebih mendalam agar pembangunan pertanian dapat betul-betul meningkatkan kesejahteraan. Buku ini juga dapat menjadi dasar awal untuk pembangunan sumber daya manusia pertanian Indonesia. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan Profil Tenaga Kerja Pertanian ini diperoleh dari BPS, Departemen Pertanian, dan 2

Bappenas serta sumber lainnya yang relevan. Beberapa sumber data yang diperoleh diolah lebih lanjut untuk mengetahui kondisi tenaga kerja pertanian sesuai tujuan analisis. Untuk beberapa jenis data yang tidak tersedia, misalnya elastisitas tenaga kerja diperoleh melalui cara analisisi data yang sudah ada, agar dapat diperoleh data yang konsisten, terutama untuk jenis data terbaru yang dibutuhkan. Buku disusun dalam 6 (enam) Bab. Bab I menjabarkan tentang latar belakang dan kondisi tenaga kerja pertanian secara umum serta tujuan dari pentingnya penyusunan profil tenaga kerja pertanian. Selain itu, dijelaskan pula mengenai sumber dan metode penggunaan data dalam penyusunan buku profil ini. Dalam Bab I juga dijelaskan mengenai sistematika penyusunan buku, yang terdiri dari lima bab bahasan. Bab II menguraikan tentang seberapa besar sektor pertanian berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kontribusi ini dapat ditunjukkan dengan besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor pertanian serta besarnya kemampuan sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan dua pendekatan ini, diharapkan dapat dilihat seberapa besar share pertanian dalam pembangunan ekonomi secara nasional maupun peran pertanian dalam menyediakan lapangan pekerjaan terhadap angkatan kerja yang ada. Dalam Bab III akan dijelaskan mengenai kondisi sosial dari tenaga kerja pertanian, yang terdiri dari jumlah tenaga kerja/rumah tangga, tingkat pendidikan, golongan umur dan kelembagaan pertanian. Kondisi ekonomi tenaga kerja pertanian dijelaskan dalam Bab IV. Penjabaran dari bab ini meliputi jenis dan status usaha/pekerjaan, produktivitas, tingkat upah, nilai tukar petani (NTP) dan elastisitas tenaga kerja pertanian. Bab V akan menjelaskan mengenai strategi yang ditempuh dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia pertanian dan pengelola pertanian. Penyusunan strategi ini didasarkan kepada analisis data yang telah ada. Beberapa data simulasi yang dilakukan, telah membantu mengidentifikasi strategi yang tepat guna pengembangan kualitas pelaku pertanian Indonesia. Sedangkan Bab VI berisi tentang penutup dari buku profil ini. 3

BAB II PERAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA INDONESIA Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yang ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional dan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan data BPS (Agustus 2006) disebutkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional menempati urutan ketiga setelah sektor industri dan perdaganganhotel-restoran, yaitu berkisar 13 persen (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Prosentase Kontribusi Sektor terhadap PDB Nasional Tahun 2005-2006

Lapangan Usaha Pertanian, ternak, hutan dan ikan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDB PDB Tanpa Migas

2005 Triwulan Triwulan I II

2006 Triwulan Triwulan I II

Laju tumbuh

14,5

13,9

13,5

13,3

4,5

9,2 27,8

10,1 27,9

10,2 28,8

10,5 28,9

4,5 3,1

0,9 6,3

0,9 6,3

0,9 6,4

0,9 6,5

5,7 7,7

16,2

16,1

15,0

14,9

4,7

6,4

6,5

7,0

7,0

12,2

8,5 10,2 100,0 90,5

8,4 10,0 100,0 89,4

8,3 9,8 100,0 88,6

8,2 9,8 100,0 87,7

5,2 5,7 4,9 5,5

* Laju Pertumbuhan Semester I 2006 terhadap Semester I 2005 Sumber : BPS

4

PDB sektor pertanian tersebut sebagian besar masih didominasi oleh sub sektor Tanaman Bahan Makanan (TBM), meskipun cenderung fluktuatif. Tempat selanjutnya diduduki oleh sub sektor perkebunan diikuti perikanan dan peternakan (Tabel 2.2). Tabel 2.2 PDB Sektor Pertanian Berdasar Harga Konstan (Miliar Rupiah) Tahun 2005 - 2006 Sektor/ Subsektor Pertanian TBM Kebun Peternakan Kehutanan Perikanan PDB PDB Non Migas

I 63.783,1 37.576,1 5.754,7 8.041,5 3.616,5 8.794,3 427.760,3

II 65.156,2 32.307,2 10.724,9 7.909,4 4.567,1 9.647,6 434.998,9

2005* III 69.643,3 32.294,4 14.582,5 8.214,9 4.411,9 10.139,6 448.287,5

IV 55.808,7 23.579,8 9.367,8 8.415,4 4.386,4 10.059,3 438.500,2

Jumlah 254.391,3 125.757,5 40.429,9 32.581,2 16.981,9 38.640,8 1.749.546,9

2006** I II 66.539,5 67.601,3 38.837,0 33.700,8 6.293,4 11.147,6 8.496,3 8.190,3 3.567,8 4.535,3 9.345,0 10.027,3 448.284,4 457.082,5

391.088,2

399.091,4

411.858,7

402.185,8

1.604.224,1

412.374,5

420.839,3

Sumber : BPS * Angka sangat sementara ** Angka sangat sangat sementara

Besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional tersebut diindikasikan juga dengan besarnya penyerapan tenaga kerja. Indikasi ini didukung kenyataan bahwa sektor pertanian masih bersifat padat karya (labor intensive) dibandingkan padat modal (capital intensive). Data BPS menunjukkan bahwa kemampuan sektor pertanian menyerap tenaga kerja mengalami peningkatan dari 43,3 persen pada tahun 2004 menjadi 44,0 persen pada tahun 2005. Bahkan data BPS Februari 2006 menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 44,5 persen (Tabel 2.3). Apabila ditinjau dari tahun 2001 sampai 2006, prosentase tenaga kerja pertanian terhadap jumlah angkatan kerja nasional relatif tidak berubah, yaitu sekitar 44 persen. Angka ini masih menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian masih dominan dibandingkan sektor lainnya. Dibandingkan dengan sektor lain, dengan kontribusi PDB hampir 30 persen, sektor industri hanya menyerap 12,5 persen tenaga kerja. Sektor perdagangan-rumah 5

makan-hotel dengan kontribusi sekitar 15 persen hanya mampu menyerap 19,6 persen tenaga kerja. Sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi terhadap PDB sekitar 10 persen hanya menyerap kurang dari 1 persen tenaga kerja. Ini berarti bahwa sektor pertanian menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja. Tabel 2.3 Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2001-2006

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006* Rata-rata Ket Sumber

Angkatan Kerja Nasional (Juta orang) 89,7 91,7 92,8 93,7 94,9 95,2 93,0

Tenaga Kerja Pertanian (Juta orang) 39,7 40,6 43,0 40,6 41,8 42,3 41,4

Prosentase (Nas/Pertanian, %) 44,3 44,3 46,4 43,3 44,0 44,5 44,5

: * Sampai Februari 2006 : BPS 2006 diolah

Sebagai tumpuan dapat berarti dua hal : i.

Sektor ini menjadi ”pelarian” (residual) tenaga kerja yang tidak diterima di sektor – sektor lain. Hal ini merupakan beban bagi sektor pertanian. Dengan kata lain, meskipun sektor pertanian tidak dapat memberikan kehidupan yang memadai namun menjadi ”safety net” penyerapan tenaga kerja.

ii.

Sektor – sektor lain tidak mampu menyerap pertumbuhan tenaga kerja yang ada. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu ditangani secara serius, karena sementara pertumbuhan terjadi di sektor-sektor lain, namun tidak dapat memberikan kesejahteraan kepada sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, sektor pertanian memberikan positive externalities untuk perekonomian secara nasional.

6

Kondisi ini sangat berat, terutama jika produktivitas antar sektor, efisiensi dan daya saing dijadikan faktor untuk perbandingan. Dalam kaitan ini, pembangunan pertanian perlu memisahkan antara kegiatan dan sasaran/subyek kegiatan, untuk peningkatan efisiensi, produktivitas dan daya saing, dengan kegiatan dan sasaran/subyek kegiatan untuk peningkatan kesejahteraan/welfare yang berkaitan dengan pemerataan. Tabel 2.4 Kesempatan Kerja Formal Daerah Perdesaan (000 jiwa) Sektor Pertanian Industri pengolahan Bangunan Perdagangan Jasa Sektor lainnya Seluruh sektor Non Pertanian

Tahun 2003 2004 2.405 2.494

2001 2.963

2002 2.553

2.282

1.961

1.844

862 667 2.418 905 10.096 7.133

710 657 2.279 779 8.939 6.386

713 581 2.000 814 8.357 5.951

2005 2.330

2006 2.504

2.070

2.409

2.270

790 925 2.271 1.001 9.551 7.057

659 963 2.490 977 9.830 7.500

683 884 2.443 901 9.687 7.183

Sumber : Dit Tenaga Kerja Bappenas (Sakernas 2001 – 2006, BPS)

Tabel 2.5 Kesempatan Kerja Informal Daerah Perdesaan (000 jiwa) Sektor Pertanian Industri pengolahan Bangunan Perdagangan Jasa Sektor lainnya Seluruh sektor Non Pertanian

Tahun 2003 2004 35.401 33.594

2001 32.692

2002 33.263

2.589

2.816

2.736

873 5.805 1.046 1.608 44.612 11.921

1.229 5.855 869 1.589 45.617 12.354

1.046 5.596 798 1.780 47.357 11.956

2005 34.631

2006 35.936

2.479

2.265

2.317

1.444 6.420 888 2.087 46.913 13.318

1.374 6.212 907 2.016 46.726 12.094

1.268 5.840 768 2.280 48.409 12.472

Sumber : Dit Tenaga Kerja Bappenas (Sakernas 2001 – 2006, BPS)

7

Berkaitan dengan itu, kita perlu melihat formalitas kesempatan kerja di sektor pertanian, khususnya di pedesaan. Kesempatan kerja di pedesaan yang berjumlah 58,1 juta jiwa ternyata hanya sebesar 9,7 juta jiwa (16,7 persen) yang bersifat formal (Tabel 2.4), karena sebagian besar (83,3 persen) bersifat informal (Tabel 2.5). Namun di sektor pertanian, hanya 2,5 juta jiwa (6,5 persen) dari kesempatan kerja pertanian di pedesaan yang bersifat formal. Hampir seluruhnya bersifat informal (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Kesempatan Kerja Formal dan Informal pada Sektor Pertanian di Pedesaan Tahun 2006

Formal, 6,5 %

Informal, 93,5 %

Sifat informal ini tentu saja merupakan beban berat untuk pengembangan dan peningkatan kualitas tenaga kerja pertanian khususnya dan pembangunan ketenagakerjaan pada umumnya, karena dengan sifat informal tersebut menyulitkan mereka untuk memanfaatkan akses-akses terhadap sumberdaya usaha yang ada. Artinya (i) perlu diciptakan instrumen-instrumen informal untuk dapat melayani sebagian besar tenaga kerja di sektor pertanian, selain instrumen-instrumen formal yang bersifat / berlaku umum untuk pelaku usaha lainnya, dan (ii) tenaga kerja ini harus diformalkan atau dimasukkan ke lembaga-lembaga formal agar dapat mengakses sumberdaya produktif yang ada.

8

BAB III KONDISI SOSIAL TENAGA KERJA PERTANIAN 3.1 Jumlah Tenaga Kerja dan Rumah Tangga Pertanian Jumlah tenaga kerja pertanian secara absolut dari tahun 1993 – 2005, meskipun berfluktuasi, namun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 tercatat 40,6 juta orang yang bekerja di sektor pertanian. Walaupun angka ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, namun jumlah ini masih mendominasi penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia (43,3 persen). Angka ini bahkan meningkat lagi pada tahun 2005 dan 2006 (Tabel 3.1). Tabel 3.1 Jumlah Tenaga Kerja Pertanian

Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber

Tenaga Kerja Pertanian (Juta orang) 34,7 36,2 36,2 36,2 34,5 39,4 38,4 40,7 39,7 40,6 43,0 40,6 41,8 42,3

Pertambahan Pekerja (Juta orang) 1,5 0,0 0,0 -1,7 4,9 -1,0 2,3 -1,0 0,9 2,4 -2,4 1,2 0,5

Pertumbuhan TK (%) 4,4 0,0 0,0 -4,7 14,1 -2,6 6,0 -2,3 2,2 5,9 -5,7 8,5 -3,9

Kontribusi thdp Jumlah TK (%) 45,2 45,5 44,4 43,4 40,6 44,9 43,2 45,1 43,8 44,3 46,4 43,3 44,0 44,5

: Dit. Tenaga Kerja, Bappenas

9

Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian terbesar terjadi pada tahun 2004, yaitu sebesar 5,7 persen. Dalam dua tahun sebelumnya jumlah tenaga kerja pertanian mengalami peningkatan, yaitu sebesar 2,2 persen pada tahun 2002 dan 5,9 persen pada tahun 2003. Dalam kurun 1993 - 2005 nampak bahwa pertumbuhan tenaga kerja yang terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 14,1 persen (Tabel 3.1). Kondisi pertumbuhan tenaga kerja yang besar tersebut diduga terjadi karena adanya krisis moneter yang mengakibatkan jatuhnya sektor industri dan sektor lainnya (non pertanian), sehingga masyarakat memilih untuk bekerja di sektor pertanian karena sektor pertanianlah yang masih mampu bertahan ketika krisis moneter terjadi. Dari seluruh tenaga kerja di sektor pertanian tersebut, 87,2 persen berada di sub sektor Tanaman Pangan, Perkebunan dan Hortikultura (Tabel 3.2). Apabila di-breakdown lebih lanjut, berdasarkan data Rumah Tangga Pertanian, maka mayoritas Rumah Tangga masih berusaha komoditas padi / palawija saja yaitu 6,9 juta RT atau 28 persen (Tabel 3.3). Apabila diasumsikan bahwa persebaran antara RT pertanian sama dengan tenaga kerja bidang pertanian maka persebaran tenaga kerja mayoritas ada di padi dan palawija (28 persen). Apabila membandingkan angka jumlah tenaga kerja dan rumah tangga pertanian, nampak bahwa dalam 1 rumah tangga rata-rata terdapat 1,7 orang tenaga kerja1). Dari angka ini nampak bahwa jumlah rumah tangga pertanian untuk tahun 2006 adalah sekitar 24,9 juta RT.

1) Rasio ini digunakan untuk simple analisis karena sumber dan metodologi pencatatan RT tidak sama. Khusus tahun 2003, dimana data RT petani tahun ini adalah hasil Sensus Pertanian.

10

Tabel 3.2 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Sub Sektor Tanaman Pangan, Kebun, dan Horti serta Peternakan Tahun 2001 – 2006 2001 Sub Sektor

Tan, Pangan, Kebun dan Horti (1) Peternakan (2) Jumlah (1 + 2) Jumlah Pertanian

(ribu orang) 33.401,6 2.438,7 35.840,3 39.743,9

2006 (ribu orang)

%

84,0 6,1 90,2 100,0

%

36.905,8 2.372,0 39.277,8 42.323,2

87,2 5,6 92,8 100,0

Rata-rata Pertumbuhan 2001-2006 (persen) 2,1 -0,5 1,9 1,3

Sumber : BPS

Tabel 3.3 Perbandingan Tenaga Kerja dan Rumah Tangga Pertanian Tahun 1993 dan 2003 Jumlah TK / RT Pertanian Rumah Tangga Padi/Palawija (ribu jiwa) Rumah Tangga Hortikultura (ribu jiwa) Rumah Tangga Perkebunan (ribu jiwa) Rumah Tangga Pertanian (ribu jiwa) Tenaga Kerja Pertanian (ribu jiwa) Rasio TK/RT Pertanian

Tahun 1993

Rata – rata

-

2003 6.964

-

1.276

1.276

-

1.518

1.518

20.831

24.869

22.850

34.730

43.040

38.885

1,67

1,73

1,70

6.964

3.2. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Pertanian Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas di sektor pertanian adalah rendahnya pendidikan tenaga kerja pertanian. Dari data tahun 2000 dan 2005, tingkat pendidikan di sektor pertanian 77 persen masih tingkat pendidikan SD ke bawah. Tingkat pendidikan SLTA ke atas hanya 6 persen. Namun demikian jumlah yang 11

berpendidikan tidak tamat SD sudah menurun sejak tahun 2001, sementara yang lulus SD ke atas semakin bertambah (Tabel 3.4). Tabel 3.4 Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 (Feb) 2005 (Nop) 2006 (Feb) % 2006 (Feb)

< SD 14.618,5 14.194,1 14.260,2 12.158,9 11.815,7 12.473,8 11.080,7 11.783,0 27,8

Tingkat pendidikan SD SLTP 18.873,9 4.767,9 18.104,3 5.200,3 18.705,4 5.348,2 20.635,2 7.557,7 18.253,8 6.567,1 19.616,6 6.913,8 20.217,5 7.367,5 20.812,5 7.188,0 49,2 17,0

> SLTA 2.416,4 2.252,4 2.322,4 2.695,7 2.294,4 2.864,9 2.644,1 2.539,6 6,0

Total 40.676,7 39.751,0 40.636,2 43.047,5 38.930,9 41.869,1 41.309,8 42.323,2 100,0

Sumber : BPS

Dibandingkan dengan sektor lain, secara umum sama, yaitu mayoritas berpendidikan kurang. Namun demikian, di sektor pertanian sangat kontras perbedaan antar tingkat pendidikan dan lambat perkembangan pengetahuan. Pada tahun 1980, 78,5 persen tenaga kerja di sektor pertanian berpendidikan kurang, 18,5 persen rendah, 2,9 persen sedang dan 0,1 persen tinggi. Di sektor industri 63,1 persen berpendidikan kurang, 24,3 persen rendah, 12 persen sedang dan 0,6 persen tinggi. Pada tahun 1990, sudah menurun menjadi 59,1 persen berpendidikan kurang, dan sudah meningkat ke pendidikan rendah dan 8,4 persen sedang. Pada tahun 2006, angka pendidikan kurang masih 77 persen, rendah 17 persen, sedang 5,7 persen lebih buruk dari kondisi tahun 1990 meskipun untuk pendidikan tinggi meningkat. Sementara itu, di sektor industri sudah lebih seimbang dan apalagi jasa, 30 persen sudah berpendidikan tinggi (Tabel 3.5).

12

Tabel 3.5 Struktur Pekerja Berdasarkan Sektor yang Dikelompokkan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 1980

1990

2001

2006

Sektor Pertanian Industri Jasa Pertanian Industri Jasa Pertanian Industri Jasa Pertanian Industri Jasa

Kurang 78,5 63,1 50,3 59,1 36,2 30,8 81,2 61,5 27,7 77,0 40,0 23,0

Tingkat Pendidikan Rendah Sedang 18,5 2,9 24,3 12,0 33,7 22,8 32,3 8,4 34,9 27,4 30,0 33,8 13,1 5,4 19,3 16,1 14,0 35,2 17,0 5,7 25,0 31,3 13,2 34,0

Tinggi 0,1 0,6 2,0 0,2 1,5 5,3 0,3 3,0 23,2 0,3 4,0 30,0

Sumber : Dit Tenaga Kerja, Bappenas

3.3

Golongan Umur Tenaga Kerja Pertanian

Berdasarkan data golongan umur Bulan Februari 2006, hanya sekitar 6,2 juta (15,1 persen) tenaga kerja di pertanian yang golongan umurnya berada di bawah 24 tahun, 56,4 persen antara usia 25 – 50 dan 28,5 persen di atas 50 tahun. Statistik ini menunjukkan bahwa di sektor pertanian tidak dibatasi dengan umur dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen tenaga kerja pada sektor pertanian masih tergolong produktif (Tabel 3.6)

13

Tabel 3.6 Tenaga Kerja Sektor Pertanian Secara Luas Menurut Golongan Umur (Februari 2006) Golongan Umur 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60+ Jumlah Sumber

Jumlah Tenaga Kerja Pertanian 2.399.781 3.997.742 4.536.928 4.831.300 5.038.309 4.942.412 4.523.083 3.773.787 3.061.731 5.218.117 42.323.190

Prosentase 5,67 9,45 10,72 11,42 11,90 11,68 10,69 8,92 7,23 12,33 100,00

: BPS

14

BAB IV KONDISI EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN 4.1 Jenis dan Status Usaha/Pekerjaan Pertanian Berdasarkan status pekerjaan utama, 21,4 juta (50,6 persen) tenaga kerja di sektor pertanian adalah pekerja dan sisanya adalah pengusaha, baik yang berusaha sendiri, dibantu buruh (tidak tetap dan tetap). Yang menarik jumlah pekerja di sektor pertanian yang besarnya 21,4 juta, sebanyak 13,5 juta adalah pekerja tidak dibayar, yang biasanya adalah anggota keluarga rumah tangga petani. Jumlah ini merupakan 63,1 persen dari total pekerja, atau 31,8 persen dari total tenaga kerja di sektor pertanian. Jumlah pekerja tidak dibayar cukup besar, yang dapat mengakibatkan under-estimate biaya produksi pertanian. Tabel 4.1 Tenaga Kerja Sektor Pertanian Menurut Status Pekerjaan Utama Status Pekerjaan Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tdk ttp Berusaha dengan buruh tetap Pekerja / buruh / karyawan Pekerja Bebas Pertanian Pekerja Tidak Dibayar Jumlah Sumber

Tahun

R 20012006 (%)

4.315,7

2005 (Feb) 3.786,9

2006 (Feb) 4.576,1

16.545,9

15.644,3

15.694,5

15.293,8

0,6

953,0

1.021,3

1.019,6

1.061,4

1.018,7

2,9

2.812,2

2.328,9

2.124,9

2.102,5

1.889,6

2.064,6

-6,6

3.633,1

4.513,6

4.607,2

4.457,4

4.982,7

5.886,4

11,3

13.320,4

11.920,1

14.702,7

13.068,5

14.399,1

13.483,5

0,3

39.743,9 40.633,6 : BPS, 2006

43.042,1

40.608,0

41.814,2

42.323,2

1,4

2001

2002

2003

2004

4.182,8

4.514,6

4.040,2

14.899,1

16.403,4

896,3

2,0

15

4.2.

Produktivitas Tenaga Kerja (jam kerja)

Produktivitas merupakan kemampuan tenaga kerja dalam berproduksi yang biasanya dinilai dari satuan hitung yang dibutuhkan. Dalam Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa produktivitas yang dinilai dalam besar pendapatan per satuan kerja. Dalam tabel tersebut dapat dilihat trend produktivitas tenaga kerja pertanian dari tahun 1993 sampai 2004. Tabel 4.2 Produktivitas Tenaga Kerja Pertanian Tahun 1993 – 2004

Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata

Produktivitas (Juta Rp/pekerja) 5,53 5,37 5,60 5,78 6,12 5,30 5,56 5,33 5,68 5,73 5,65 6,23 5,66

Pertumbuhan Produktivitas (%) -2,9 4,3 3,2 5,9 -13,4 4,9 -4,1 6,6 0,9 -1,4 10,3 1,3

Sumber : Dit. Tenaga Kerja, Bappenas

Pada rentang waktu 1993 – 2004 tersebut, perkembangan tingkat produktivitas tenaga kerja pertanian relatif tidak berubah banyak, yaitu rata-rata Rp. 5,7 juta per pekerja, bahkan mengalami penurunan pada tahun 1994, 1998, 2000 dan 2003. Pada waktu terjadi penurunan tersebut tingkat produktivitas tenaga kerja berada di bawah rata-rata selama periode 1993-2004, bahkan berada di bawah produktivitas pada tahun 1993 yaitu di bawah Rp. 5,53 juta per pekerja kecuali pada tahun 2003. 16

Rata-rata pertumbuhan produktivitas petani selama periode 1993-2004 hanya sebesar 1,3 persen. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja terbesar terjadi pada tahun 2004 sebesar 10,3 persen. Pada tahun 2003 produktivitas tenaga kerja pertanian hanya sekitar Rp. 5,65 juta per pekerja. Sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 6,23 juta per pekerja. Sebaliknya penurunan produktivitas terbesar terjadi pada tahun 1998, dimana pada tahun 1997 tingkat produktivitasnya mencapai Rp. 6,12 juta dan tahun 1998 menurun menjadi Rp. 5,30 juta per pekerja. Dengan relatif kecilnya tingkat pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam menghasilkan nilai produk pertanian relatif tidak banyak berubah, yang berdampak terhadap tidak berubahnya tingkat kesejahteraan mereka. 4.3.

Tingkat Upah Tenaga Kerja

Tingkat upah tenaga kerja dapat menunjukkan tingkat pendapatan yang diterima oleh petani tiap bulannya. Berdasarkan data dari Nopember 2005 sampai dengan Juli 2006, dapat diketahui bahwa upah nominal nasional tenaga kerja pertanian cenderung terus meningkat walaupun dalam jumlah yang kecil. Namun secara riil, tingkat upah nasional cenderung konstan pada kisaran Rp. 2.886,- per hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa walau secara nominal relatif meningkat, namun secara riil upah yang diterima relatif konstan/tetap. Kondisi tingkat upah secara nasional ini sedikit berbeda antara wilayah di pulau Jawa dengan di luar Jawa. Untuk wilayah Jawa, tingkat upah tenaga kerja sektor pertaniannya lebih kecil dibandingkan tenaga kerja di luar pulau Jawa. Apabila di pulau Jawa rata-rata upah nominal tenaga kerja pertaniannya hanya Rp. 11.936,-, maka di luar Jawa tingkat upah nominalnya mencapai Rp. 15.835,-. Demikian juga untuk tingkat upah secara riil, tenaga kerja di Jawa relatif menerima upah riil lebih kecil dibandingkan di luar Jawa. Apabila dilihat dalam tabel, tingkat upah riil untuk di pulau Jawa hanya sekitar Rp. 2.341,- Sedangkan di luar Jawa upah riilnya mencapai Rp. 2.886,17

Tabel 4.3 Upah Nominal dan Riil Tenaga Kerja Sektor Pertanian Bulan/ Tahun Nop 2005 Des 2005 Jan 2006 Peb 2006 Mar 2006 Apr 2006 Mei 2006 Juni 2006 Juli 2006 Rata-rata

Jawa Nominal 11.322 11.443 11.803 11.962 12.042 12.121 12.180 13.689 13.716 13.357

Riil 2.284 2.306 2.310 2.331 2.357 2.375 2.375 2.564 2.558 2.543

Luar Jawa Nominal Riil 14.798 2.787 15.272 2.898 15.682 2.852 15.861 2.857 16.013 2.899 16.275 2.951 16.166 2.923 12.260 2.367 12.295 2.364 11.936 2.341

Nasional Nominal Riil 12.685 2.508 12.827 2.520 13.206 2.506 13.371 2.521 13.478 2.553 13.622 2.583 13.621 2.573 16.213 2.912 16.225 2.899 15.834 2.886

Sumber : BPS

4.4

Nilai Tukar Petani

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan antara nilai (harga) yang harus dibayar petani untuk memenuhi kebutuhan produksinya dengan nilai (harga) yang diterima petani sebagai bentuk pendapatannya. Besaran yang digunakan sebagai nilai keseimbangan adalah 100 dimana nilai yang harus dibayarkan sama dengan nilai yang diterima petani tersebut. Apabila NTP berada di bawah 100 berarti nilai yang diterima petani kurang dari nilai yang harus dibayarkan (merugi). Sebaliknya, apabila NTP lebih dari 100 maka pendapatan yang diterima dapat memenuhi keseluruhan kebutuhannya, bahkan masih terdapat kelebihan (untung).

18

Tabel 4.4 NTP Tahun 2004 – 2006 (1993 = 100) Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata Sumber

2004 104,37 103,47 103,39 103,30 103,94 104,75 105,75 102,20 100,97 100,73 100,58 100,96 102,87 : BPS

Tahun 2005 101,29 100,05 100,32 100,79 101,70 101,06 102,76 101,73 101,84 100,17 99,53 98,73 100,83

2006 100,72 100,74 101,00 101,10 101,70 101,05

Berdasarkan data BPS dari bulan Januari 2004 sampai dengan Mei 2006 menunjukkan bahwa kecenderungan nilai NTP berada di atas 100. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani masih dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan dengan pendapatan yang diterimanya. Sebaliknya tercatat hanya dua bulan selama periode Januari 2004 sampai dengan Mei 2006 yang nilai NTPnya berada di bawah 100, yaitu pada Nopember dan Desember 2005, dimana nilai NTPnya masing-masing sebesar 99,53 dan 98,73. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua bulan tersebut petani tidak dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan dari pendapatan yang diterimanya, atau mengalami kerugian. Apabila dilihat nilai NTP berdasarkan propinsi, maka sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.5, rata-rata NTP tahun 20052006 terendah pada propinsi Nusa Tenggara Barat dengan nilai tukar petaninya hanya 56,54. Angka ini menunjukkan bahwa petani di NTB hanya mampu membayar sekitar 56,54 persen dari total kebutuhan yang harus dipenuhinya dari total pendapatan yang diterimanya. Sebaliknya nilai tukar petani tertinggi berada di Kalimantan Barat 19

dengan nilai rata-rata sebesar 172,17. Nilai ini menunjukkan bahwa petani di Kalbar sebenarnya mampu membayar 172,17 persen dari total kebutuhannya. Dengan kondisi NTP seperti ini, dapat diartikan bahwa : (i) komoditas dan jasa sektor pertanian tidak dihargai setara dengan barang-barang dan jasa non sektor pertanian yang digunakan sebagai input produk pertanian, (ii) pendapatan petani tidak cukup menarik untuk berusaha di bidang pertanian, (iii) kesejahteraan petani tidak berubah meskipun terjadi peningkatan PDB dan pertumbuhan ekonomi. Tabel 4.5 Rata-rata NTP Tahun 2005-2006 Menurut Propinsi Propinsi

Rata-rata NTP Propinsi 2005-2006 Dista Aceh 94,41 Bali Sumut 93,17 NTB * Sumbar 70,59 NTT Riau 88,37 Kalbar ** Jambi 117,30 Kalteng Sumsel 132,99 Kalsel Bengkulu 101,81 Kaltim Lampung 106,02 Sulut Jabar 113,16 Sulteng Jateng 92,60 Sulsel DI Yogyakarta 123,18 Sultra Jatim 90,19 Keterangan : * NTP terendah ** NTP tertinggi, Sumber : BPS

4.5.

Rata-rata NTP 2005-2006 115,67 56,54 120,89 172,17 108,09 82,57 92,35 159,57 96,00 92,80 158,84

Elastisitas Tenaga Kerja Pertanian

Elastisitas tenaga kerja pertanian adalah besarnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan 1 unit pertumbuhan PDB sektor pertanian. e tk = Persen Perubahan Jumlah Tenaga Kerja Persen Perubahan PDB 20

Elastisitas bernilai satu menunjukkan bahwa pertumbuhan satu persen PDB dapat menyebabkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja sebesar satu persen pula. Berdasarkan nilai elastisitas, sektor pertanian menunjukkan angka elastisitas di atas elastisitas nasional (total). Elastisitas nasional tahun 2004 – 2005 menunjukkan angka 0,34, artinya 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap tambahan 0,34 persen pertambahan tenaga kerja. Angka ini bahkan untuk tahun 2005 – 2006 menurun drastis menjadi hanya 0,06. Elastisitas tenaga kerja sektor pertanian meskipun berada di bawah angka 1, namun hanya dikalahkan oleh sektor industri pengolahan dan masih lebih unggul dibandingkan sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi yang pertumbuhannya tertinggi dibandingkan sektor lain. Namun demikian, pada tahun 2005 – 2006, elastisitas kedua sektor ini negatif, artinya pertumbuhan PDB di sektor ini bahkan menurunkan pertambahan tenaga kerja yang diserap. Tambahan tenaga kerja pada tahun-tahun ini banyak diserap oleh sektor pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air, serta keuangan dan jasa perusahaan, yang memiliki elastisitas lebih besar dari 1. Sementara itu, sektor pertanian memiliki nilai elastisitas yang stabil positif. Pada Tabel 4.6 terlihat bahwa elastisitas tenaga kerja sektor pertanian (dalam arti luas) bernilai 0,78 pada tahun 2004 - 2005 dan bernilai 0,31 pada tahun 2005-2006. Nilai itu menunjukkan bahwa pada tahun 2004-2005, pertumbuhan PDB di sektor pertanian sebesar satu persen menyebabkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja sebesar 0,78 persen.

21

Tabel 4.6 Elastisitas Tenaga Kerja Menurut Sektor Tahun 2004-2006 2004 Sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan

Jumlah Tenaga Kerja 2005

2006

Pertambahan 200420052005 2006

Pertumbuhan 200420052005 2006

Elastisitas 200420052005 2006

40.608.019

41.814.197

42.323.190

1.206.178

508.993

2,97

1,22

0,78

0,31

1.034.716

808.842

947.097

(225.874)

138.255

-21,83

17,09

-5,74

4,37

11.070.498

11.652.406

11.578.141

581.908

(74.265)

5,26

-0,64

1,38

-0,16

228.297

186.801

207.102

(41.496)

20.301

-18,18

10,87

-4,78

2,78

4.540.102

4.417.087

4.373.950

(123.015)

(43,137)

-2,71

-0,98

-0,71

-0,25

19.119.156

18.896.902

18.555.057

(222.254)

(341.845)

-1,16

-1,81

-0,31

-0,46

5.480.527

5.552.525

5.467.308

71.998

(85.217)

1,31

-1,53

0,35

-0,39

1.125.056

1.042.786

1.153.292

(82.270)

110.506

-7,31

10,60

-1,92

2,71

Jasa Kemasyarakatan

10.515.665

10.576.572

10.571.965

60.907

(4.607)

0,58

-0,04

0,15

-0,01

Total

93.722.036

94.948.118

95.177.102

1.226.082

228.984

1,31

0,24

0,34

0,06

Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik. Gas dan Air Bangunan Perdagangan, RumahMakan dan Hotel Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan , Tanah dan Jasa Perusahaan

Sumber

: BPS 2006 diolah

BAB V STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA PERTANIAN DALAM RANGKA REVITALISASI PERTANIAN

Berdasarkan karakteristik tenaga kerja pertanian, terdapat dua langkah yang dapat ditempuh, pertama adalah meningkatkan formalitas usaha pertanian atau memodernkan usaha mereka sehingga akan mudah bermitra/bertransaksi dengan pelaku usaha lain. Yang kedua adalah melakukan “pemindahan” dari usaha mereka saat ini. Penjelasan secara detil mengenai kedua langkah ini dijabarkan sebagai berikut. 1.

Strategi: Modernisasi/Formalisasi Pertanian.

Dari uraian dalam Bab II dapat disimpulkan bahwa: (i) Pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak dibanding sektor-sektor lain. Namun demikian, dari total tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, hanya sebesar 6,5 persen yang memiliki kategori sebagai pekerja formal. Artinya, hanya 6,5 persen tenaga kerja ini yang memiliki akses ke lembaga dan mekanisme formal yang ada dalam perekonomian nasional. Sebagian besar lainnya, yaitu sebesar 93,5 persen adalah lembaga yang berada dalam lembaga dan mekanisme informal. Dari sisi internal sektor pertanian, berdasarkan angka tersebut dapat dikatakan bahwa hanya 6,5 persen tenaga kerja di bidang pertanian yang: (i) Dapat dituntut dan dituntun secara langsung untuk meningkat daya saingnya; (ii) Dapat berada sejajar dan bertransaksi secara formal dengan pelaku usaha di sektor lain. Dengan kata lain hanya 6,5 persen pula yang bargaining positition-nya bisa sama dengan 23

pelaku usaha lain; (iii) Hanya 6,5 persen tenaga kerja di sektor pertanian yang akan mampu memanfaatkan dukungan-dukungan pemerintah yang membutuhkan proses formal dan proses akuntabilitas formal. Sebagian besar lainnya, yaitu 93,5 persen tidak akan dapat mengakses sumberdaya yang disediakan melalui mekanisme dan lembaga formal. Dari sisi eksternal sektor pertanian, baik itu pelaku usaha di sektor lain (industri dan jasa), lembaga pelayan pertanian misalnya perbankan, dan lembaga keuangan lainnya, kelompok ini adalah kelompok yang memiliki resiko tinggi untuk dijadikan mitra dan dilayani. Apabila mereka mau menjadikan mitra, maka dibutuhkan analisa resiko dan langkah-langkah pengamanan kerjasama yang lebih tinggi. Resiko ini dalam aspek finansial akan berbetuk premi asuransi atau management fee dengan nominal besar, sehingga akan meningkatkan biaya transaksi. Tingginya resiko dan biaya transaksi ini akan menekan harga yang diterima para tenaga kerja informal ini atau tidak terjadinya transaksi (kemitraan) sama sekali karena biaya tinggi dan tingkat kepastian keberhasilannya rendah. Dengan sifat dan implikasi dari kualitas kelompok ini maka 93,5 persen petani ini juga sulit untuk disentuh/diintervensi dengan caracara formal. Pemaksaan ini akan merugikan kedua pihak, pekerja pertanian dan mitra kerja/pelaku usaha lainnya. Jalan yang perlu ditempuh adalah: (i) Dari sisi supply kebijakan, yang perlu dilakukan adalah dengan membangun mekanisme-mekanisme informal sehingga mereka akan dapat mengakses. Namun langkah ini bersifat sementara dan tidak dapat dipertahankan selamanya karena akan mengakibatkan ketergantungan besar para pelaku ini terhadap mekanisme informal. (ii) Membangun lembaga intermediaries (perantara) informal-formal, sehingga ada penghubung kelompok informal ini terhadap akses formal; (iii) Meningkatkan kualitas formal/ke-modern-an mereka, baik dari sisi kualitas individu/SDM maupun pelembagaan individu ini ke 24

dalam kelompok formal (Gambar 5.1). Proses Formaliasasi

Intervensi non formal / transfer/hibah 93,5 % Informal

6,5 % Formal

Pembentukan lembaga intermediasi

Formalisasi usaha pertanian

Gambar 5.1 Modernisasi / Formalisasi Pertanian Pembangunan mekanisme-mekanisme informal. Sebelum kelompok petani dapat membentuk suatu lembaga usaha ekonomi yang formal, intervensi pemerintah yang disediakan berupa pengembangan mekanisme-mekanisme informal yang memungkinkan kelompok petani tersebut dapat mengakses terhadap sumber daya produktif. Mekanisme dan instrumen informal yang dimaksud adalah: a.

Mekanisme dan instrumen yang tidak memerlukan prosedur dan persyaratan administrasi yang seringkali tidak dapat dipenuhi oleh petani atau buruh tani dalam kelompok ini. Persyaratan administrasi yang berbelit akan menyulitkan mereka untuk memanfaatkan akses.

b.

Intervensi bentuk ini sering berupa transfer/hibah, yaitu memberikan bantuan tanpa perlu pengembalian, atau 25

dikembalikan untuk digunakan oleh anggota lain, dalam bentuk pengguliran. c.

Intervensi ini sangat perlu diiringi dengan pendampingan untuk memberdayakan mereka dalam memanfaatkan hibah secara berkelanjutan.

Pengembangan mekanisme dan instrumen semacam ini memerlukan

targetting yang tepat dan bersifat sementara, sehingga tidak menciptakan ketergantungan. Mekanisme dan instrumen ini hendaknya betul-betul ditujukan untuk rumah tangga petani yang termiskin sehingga memerlukan pengenalan petani dengan tepat agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang seharusnya tidak memenuhi syarat mendapatkannya. Pembangunan lembaga intermediaries (perantara) informalformal. Dukungan dari adanya lembaga-lembaga intermediasi akan sangat membantu kelompok petani yang meskipun sudah menjalankan usahanya, namun karena skala usahanya sangat kecil maka tidak akan memenuhi skala ekonomi. Skala ekonomi ini sangat diperlukan bagi mereka untuk: (i) meningkatkan skala usaha sehingga biaya produksi lebih minimal; (ii) dengan skala usaha memadai dapat membeli input dengan cara lebih murah; (iii) dengan skala usaha yang lebih besar akan mudah bertransaksi baik secara langsung atau dengan mitra kerja. Untuk menjembatani kelompok ini agar dapat memiliki akses ke instrumen dan sumberdaya yang disalurkan melalui lembaga formal, maka perlu dibentuk lembaga perantara. Beberapa contoh lembaga perantara misalnya adalah: (i) untuk akses keuangan, perlu dibentuk lembaga keuangan mikro, yang menjadi perantara kelompok ini dengan bank. Petani atau rumah tangga petani seringkali tidak mampu memenuhi skala kredit bank dan persyaratan kredit perbankan. Untuk itu, diperlukan lembaga mediasi yang menyalurkan 26

kredit bank dan memecahnya dalam bentuk skala kredit dan persyaratan yang dapat dijangkau kelompok ini. (ii) Akses perdagangan terbatas, karena dengan skala dan kualitas usaha dan komoditas tidak dapat secara langsung melayani permintaan pasar. Untuk untuk kemitraan dengan pelaku usaha lain sangat diperlukan. Intervensi yang dilakukan pemerintah kemudian adalah dalam bentuk pengawalan agar transaksi dan kemitraan ini menguntungkan kedua pihak, baik petani kecil maupun pelaku usaha yang menjalin kerjasama usaha dengan mereka. Faktor keamanan transaksi ini akan menentukan apakah kerjasama akan saling menguntungkan sehingga akan berkelanjutan; (iii) Akses perantara perdagangan dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan lembaga pemasaran di tingkat perdesaan, yang berfungsi sebagai pengumpul dan penjual hasil produksi petani kecil; (iv) Bentuk lain adalah mereka sendiri membentuk usaha bersama/koperasi untuk melayani kebutuhan sarana produksi dan penjualan output mereka. Dalam kaitan dengan kelompok yang menjadi sasaran intervensi jenis ini, fungsi pemerintah dalam menyediakan pelatihan untuk meningkatkan kualitas teknis dan usaha mereka sangat diperlukan. Penyediaan pusat layanan informasi dan penyuluhan di perdesaan akan sangat membantu dan melengkapi intervensi pemerintah ini. Peningkatan kualitas formal/ke-modern-an mereka. Dalam kelompok petani, seringkali meskipun mereka sudah bertransaksi secara komersial, namun pengelolaan usaha mereka masih tradisional. Bentuk formalisasi dan pe-modern-an yang dilakukan adalah: (i)

Manajemen usaha, dipermodern dengan pembukuan yang memenuhi syarat-syarat akuntansi. Sertifikasi aset-aset perlu dilakukan, serta pembentukan lembaga legal / badan hukum untuk usahanya. Dalam kaitan ini termasuk pelatihan 27

manajemen untuk membuat proposal bisnis, kemitraan dan pengembangan usaha. (ii)

Proses produksi dan hasil komoditas yang diproduksi perlu memenuhi syarat standar proses produksi dan atau standar komoditas yang berlaku di pasaran, baik pasar untuk industri dalam negeri, maupun pasar ekspor.

(iii)

Proses transaksi berupa kontrak perlu diperkenalkan dan dipatuhi. Termasuk cara pengamanan kontrak apabila dirugikan oleh mitra usaha. Dalam kaitan ini termasuk penjualan melalui berbagai bentuk misalnya spot market, kontrak dan bahkan forward trading/perdagangan berjangka.

(iv)

Perilaku untuk selalu mencari informasi dan inovasi baru untuk memelihara daya saingnya, termasuk berhubungan dengan pusat informasi dll agar produksinya dapat memenuhi selera konsumen, baik konsumen individu, konsumen industri dan konsumen pasar dunia (demand oriented).

(v)

Pengembangan usaha termasuk dalam hal ini pengembangan produk, layanan penjualan yang memudahkan konsumen untuk menjangkau produk pertanian mereka dan memproduksi barang/komoditas yang dapat mengikuti selera konsumen yang selalu berubah.

Untuk kelompok ini, intervensi yang diperlukan tidak secara langsung, namun melalui kemudahan berusaha dan prosedur usaha dan perdagangan yang tidak berbelit dan proses yang transparan. Kebijakan fiskal secara dinamis perlu diterapkan untuk mendorong laju usaha sesuai dengan perkembangan antara sektor dan perkembangan ekonomi pada umumnya.

28

2.

Strategi kedua: ”Pemindahan” Tenaga Kerja Pertanian. Dari uraian dalam Bab III dapat disimpulkan bahwa: (i) Tenaga kerja di sektor pertanian pada umumnya berada di sub sektor padi dan palawija (38,8 persen). (ii) Pendidikan mereka mayoritas adalah hanya tamat SD. (iii) Golongan umur mereka masih dalam usia produktif (<50 tahun). Dari Bab IV diperoleh gambaran bahwa dari total rumah tangga yang ada: (i) 50 persen adalah berusaha baik sendiri atau dibantu buruh dan pekerja dan 50 persen lainnya adalah pekerja. Namun 13,5 juta atau sekitar 32 persen adalah pekerja tidak dibayar. (iii) produktivitas tenaga kerja mereka hanya rata-rata Rp. 5,7 juta/pekerja per tahun dan tingkat upah yang mereka terima <>dari UMR. (iii) Nilai NTP mereka pada umumnya <100 dan elastisitas mereka <1 tapi masih positif. Dari karakteristik lebih lanjut ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat kepadatan penyerapan tenaga kerja di sub sektor padi dan palawija terlalu tinggi karena terlalu banyak tenaga kerja dengan tingkat pertumbuhan yang relatif lebih terbatas dibanding dengan sub sektor lain. Sub sektor tanaman bahan makanan, yang terdiri dari padi, palawija dan hortikultura, mengalami pertumbuhan PDB sebesar 2,57 persen (tahun 2005), sementara pertumbuhan sub sektor perkebunan adalah sebesar 2,23 persen dan sub sektor peternakan sebesar 2,87 persen dan perikanan 4,27 persen. Dengan pertumbuhan PDB yang relatif sama atau lebih rendah dari perikanan, usaha padi dan palawija memiliki jumlah pekerja dan rumah tangga yang terbesar, sehingga usaha tani padi dan palawija tidak dapat memberikan pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup petaninya. Hal ini tercermin pula pada nilai NTP yang tidak banyak berkembang, dibanding tahun 1993 (basis data konstan tahun 1993 maupun 2003). Data penelitian Deptan, menyatakan bahwa penghasilan dari padi hanya mencukupi kebutuhan hidup sebesar 30persen. Hal ini selaras dengan besarnya pekerja yang tidak dibayar di sektor pertanian, yaitu 32persen. Fakta lain adalah bahwa banyaknya jumlah tenaga kerja 29

juga berakibat rendahnya produktvitas pekerja yang bersangkutan. Beban kerja untuk mempunyai tenaga kerja ini perlu ditanggung pula oleh sektor lain. Dengan kata lain, untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja di sektor pertanian dan rumah tangga pertanian diperlukan ”pemindahan / pengalihan” tenaga kerja ke luar pertanian. Untuk mengalihkan tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian memerlukan proses perbaikan internal maupun eksternal. Secara internal, diperlukan peningkatan kualitas SDM pertanian. Pada saat ini data kualitas SDM pertanian yang ada hanya tingkat pendidikan formal. Tidak terdapat informasi lain mengenai kualitas mereka yang lainnya, misalnya keahlian dalam berusaha dsb. Dengan informasi terbatas seperti ini akan sulit untuk mengembangkan dan memanfaatkan mereka keluar usatahani (off farm) atau bahkan ke non pertanian. Diperlukan tingkat keahlian tertentu untuk memindahkan mereka dari usahatani on-farm. Secara eksternal, lapangan usaha dan sektor yang menjadi tempat tujuan pemindahan juga perlu dibenahi. Secara lengkap penjelasan lebih lanjut disampaikan sebagai berikut. Beberapa alternatif pemindahan adalah: a.

”Pemindahan” ke usaha tani non padi dan palawija. Prospek terbaik adalah usaha perkebunan dan peternakan yang memiliki pertumbuhan cukup tinggi dan jumlah rumah tangga yang terlibat masih rendah.

b.

”Pemindahan” kedua adalah usaha off farm yang tidak terkait dengan lahan, misalnya pengolahan dan perdagangan hasil pertanian. Pengembangan ke arah ini akan sangat sesuai terutama untuk petani atau rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan. Tenaga kerja yang pernah memiliki lahan namun karena desakan ekonomi sudah menjadi buruh tani,

30

akan sangat tepat untuk dikembangkan ke kegiatan pengolahan dan pemasaran di perdesaan. c.

”Pemindahan” ketiga adalah usaha-usaha di perdesaan yang tidak terkait dengan pertanian, misalnya usaha kerajinan, usaha jasa lingkungan dsb.

d.

”Pemindahan” keempat adalah ke sektor lain misalnya sektor industri atau pekerja pabrik/manufakturing. Tantangan besar ini untuk menyeimbangkan penyerapan tenaga kerja sesuai dengan tingkat pertumbuhan yang dialami setiap sektor.

Untuk melakukan itu semua diperlukan data dan informasi yang lebih detil tentang pekerja dan rumah tangga pertanian Indonesia. Data ini diperlukan untuk secara internal meningkatkan kualitas usahatani untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka dan lebih jauh lagi adalah untuk mengarahkan kegiatan usaha mereka sesuai dengan kemampuannya sesuai alternatif ”pemindahan” tenaga kerja yang diuraikan di atas (Gambar 5.2).

Non padi palawija ƒ Ternak ƒ Kebun ƒ Sayur mayur Off farm Tenaga Kerja / Petani Padi/Palawija

Non pertanian Sektor lain

Gambar 5.2. ”Pemindahan” Tenaga Kerja dari Padi Palawija 31

Secara eksternal, pemindahan tersebut memerlukan ruang yang cukup di bidang yang akan dijadikan tempat pemindahan baru, untuk memberikan kegiatan kepada mereka. Ruang yang pertama adalah usaha pertanian (on farm) non padi dan palawija. Ruang yang kedua adalah usaha off farm dan masih dalam lingkup agribisnis. Ruang yang ketiga adalah kegiatan non pertanian di perdesaan. Ruang yang keempat adalah sektor lainnya di luar pertanian. Penyediaan ruang (kesempatan kerja) usaha pertanian (on farm) non padi dan palawija. Berdasarkan data pertumbuhan pertanian, sub sektor peternakan, perkebunan dan perikanan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan potensi pengembangan usaha petani. Pembinaan pemerintah ke arah ini perlu ditingkatkan, mengingat ketiga sub sektor ini memiliki prospek yang baik. Untuk sub sektor perkebunan, prospek pengembangan industri dan diversifikasi produk masih terbuka luas. Industri pengolahan masih memerlukan bahan baku secara kontinyu dan dengan standar baik. Pengembangan penggunaan komoditas perkebunan untuk produksi pangan, energi dan serat masih terbuka lebar, disamping pasar ekspor yang masih meningkat. Masalah kontinyuitas produksi, standar dan pengembangan pasar tujuan maupun produk baru perlu ditangani secara serius. Untuk peternakan, kebutuhan sumber protein untuk peningkatan kualitas SDM masih terbuka lebar. Kendala terbatasnya daya beli memang perlu diatasi oleh perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Namun demikian, sub sektor peternakan sangat bermanfaat karena: (i) Akan merupakan sumber pendapatan baru bagi petani dan terutama dalam rangka diversifikasi usahatani dan pendapatan petani; (ii) Menghasilkan pupuk organik dan biomass untuk sumber energi. Prospek pupuk organik akan sangat penting untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya pupuk anorganik sekaligus 32

memperbaiki struktur tanah. Sumber biomass dapat mengatasi kekurangan energi di desa apabila minyak tanah dan solar mahal dan langka. Untuk itu, pemerintah perlu secara serius dan seimbang memperhatikan kedua sektor ini, dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menyumbang pada pertumbuhan dan ekspor. Penyediaan ruang (kesempatan kerja) usaha off farm dan masih dalam lingkup agribisnis. Kegiatan off-farm sebagai satu rangkaian agribisnis dengan on-farm masih kurang diperhatikan. Istilah pertanian tidak pernah keluar dari kegiatan yang berkaitan dengan lahan, padahal: (i) Nilai tambah lebih banyak berada pada kegiatan offfarm yaitu pengolahan dan pemasaran/perdagangan; (ii) Semakin banyak petani yang memiliki lahan sempit atau kehilangan lahan (landless). Sehubungan dengan itu, sebetulnya kegiatan off-farm sangat prospektif untuk dimanfaatkan memindahkan petani lahan sempit atau tidak berlahan atau yang berlahan tapi mau mengembangkan diri ke kegiatan off-farm. Untuk itu, ketiadaan lahan bagi suatu rumah tangga petani perlu dilihat dari sisi positif dan bukan/tidak negatif bahwa petani tapi tidak memiliki lahan. Pelaku pertanian ini perlu dan harus diarahkan ke kegiatan off farm. Langkah yang perlu ditempuh adalah dengan memberikan pelatihan, akses sumberdaya dan kepada petani kelompok ini atau peminat pengembangan kegiatan off farm. Pengembangan kegiatan off farm dapat: (i) Membuka peluang petani berlahan atau tidak berlahan untuk memperoleh pendapatan baru; (ii) Mempertahankan usaha di perdesaan sehingga dapat mencegah urbanisasi; (iii) mendukung integrasi ekonomi desa-kota sehingga memperluas skala ekonomi daerah. Implikasi terhadap program pemerintah adalah pengembangan agribisnis terutama usaha off-farm perlu diperhatikan baik sumberdaya maupun sumberdana sebagaimana kegiatan on-farm. 33

Penyediaan ruang (kesempatan kerja) kegiatan non pertanian di perdesaan. Untuk memperluas kegiatan ekonomi perdesaan, pengembangan usaha non pertanian perlu diperhatikan. Kegiatan kerajinan masyarakat terutama yang berciri budaya daerah sangat potensial untuk dibina dan dikembangkan. Dukungan pemerintah daerah untuk pelatihan dan pembinaan pengrajin, termasuk membantu secara langsung yang tidak memiliki sumberdaya selain tenaga kerja, atau mendirikan lembaga-lembaga pendukung pengembangan usaha kecil non pertanian sangat diperlukan. Upaya ini dapat dikaitkan dengan pengembangan pariwisata daerah. Peluang lain adalah ekowisata bisa berupa agrowisata, wisata hutan, atau wisata lingkungan. Peluang ini dapat dimanfaatkan untuk diversifikasi pendapatan petani dan sekaligus melestarikan hutan dan lingkungan di perdesaan. Dengan demikian, pada waktu harga komoditas tidak menarik (rendah) maka pemilik sawah, kebun atau peternakan akan menerima penghasilan dari pengunjung wisata. Peran pemda untuk memperbaiki infrastruktur perdesaan, dengan memanfaatkan dana sektoral dari pusat atau dari APBD sangat penting untuk dapat memfasilitasi pengembangan usaha baru ini. Penyediaan ruang (kesempatan kerja) di sektor lainnya di luar pertanian. Pemindahan ke sektor industri, relatif memiliki tantangan lebih besar dibanding dengan langkah perluasan dan pemindahan tersebut di atas. Untuk sektor industri diperlukan kualitas SDM petani atau pelaku agribinis yang memenuhi kualifikasi industri. Selain itu, diperlukan pula industri yang padat modal. Dengan sumbangan pertumbuhan industri yang lebih tinggi dari penyerapan tenaga kerjanya, berarti industri cenderung lebih padat modal. Memang tidak semua industri dapat diarahkan ke padat modal, namun untuk industri padat modal sebaiknya membuka pula peluang untuk masuknya tenaga kerja baru. Persyaratan entry-exit tenaga kerja memang saat ini 34

menjadi masalah, Penggunaan tenaga kerja kontrak juga kurang didukung, meskipun dari sisi bisnis hal ini dinilai dapat menyesuaikan dengan pasar komoditas yang juga berfluktuasi. Untuk itu, perlu pembenahan SDM yang akan dipindah, pengembangan industri yang padat tenaga kerja dan peraturan mobilitas usaha yang relatif fleksibel.

35

BAB VI PENUTUP Keterbatasan untuk mengetahui siapa petani Indonesia dalam memberikan dukungan dan subsidi sesuai kebutuhan memerlukan upaya pendataan pelaku pertanian, terutama petani kecil yang merupakan sasaran utama program – program pembangunan. Di tengah – tengah keterbatasan tersebut pemanfaatan data – data rumah tangga dan tenaga kerja di sektor pertanian setelah dianalisa ternyata dapat memberikan informasi tambahan tentang petani Indonesia. Dari kedua data tersebut dapat diidentifikasi strategi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka yang akhirnya dapat menyumbang pada peningkatan produktivitas mereka dan sektor pertanian. Strategi intervensi yang tepat memang masih memerlukan data petani yang lebih akurat. Sedangkan strategi “pemindahan” memerlukan pendalaman dan diskusi dengan sektor – sektor yang menjadi tujuan pemindahan dalam rangka peningkatan produktivitas tenaga kerja dan kesejahteraan tenaga kerja secara nasional.

36