TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Tinjauan Pustaka a)
Definisi Fraktur Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Helmi, 2012). Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks; biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser (Apley & Solomon, 2012). Fraktur cruris adalah terputusnya hubungan tibia dan fibula. Secara klinis bisa berupa fraktur terbuka bila disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit, pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar dan fraktur tertutup (Helmi, 2013).
2.2. Etiologi
Universitas Sumatera Utara
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh: a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya. b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan. c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat. 2) Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut: a) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif. b) Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. c)Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defesiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defesiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah. d) Secara spontan: disebabkan oleh stress tulang yang terus-menerus (Suriadi, 2012).
2.3. Manifestasi Klinis
Universitas Sumatera Utara
a) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstermitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. c) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). d)Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. e)Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Priyanta, 2010). Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-X
pasien. Biasanya pasien
mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut (Priyanta, 2010). 2.4. Komplikasi
Universitas Sumatera Utara
a) Delayed union, Non-union atau mal-union tulang dapat terjadi, yang menimbulkan deformitas atau hilangnya fungsi. Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan. Non-union, disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehinngga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang disebut sebagai infected pseudoartrosis. Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan atau menyilang, misalnya pada fraktur radius-ulna. b) Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang dissebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian saraf yang mempersarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restiksi volume yang ketat seperti lengan. Resiko terjadinya sindrom kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau
Universitas Sumatera Utara
terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan tekanan di kompartemen ekstremitas,dan hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi. Gips harus segera dilepas dan kadang-kadang kulit ekstremitas harus dirobek. Untuk memeriksa sindrom kompartemen, hal berikut ini dievaluasi sering pada tulang yang cedera atau digips: nyeri, pucat, parestesia, dan paralisis. Denyut nadi mungkin teraba atau mungkin tidak. c) Embolus lemak dapat timbul setelah patah tulang, terutama tulang panjang. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan sumsum tulang, atau dapat terjadi akibat aktivasi sistem saraf simpatis yang menimulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Embolus lemak yang timbul setelsh patah tulang panjang sering tersangkut disirkulasi paru dan dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas (Helmi, 2013). 2.5. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan pada pasien dengan fraktur tibia secara umum, yaitu: a)Profilaksis antibiotik. b) Debridemen dan fasiotomi. Pada kondisi akut dengan pembengkakan
hebat
dilakukan
fasiotomi
untuk
menghindari
sindrom
kompartemen. c)Stabilisasi. Dilakukan pemasangan fiksasi interna atau fiksasi eksterna.d) Penundaan penutupan. e) Penundaan rehabilitasi. Antibiotik dimulai dengan segera. Dilakukan debridemen pada luka dan luka dibersihkan seluruhnya. Cedera tingkat I Gustilo dapat ditutup dengan sangat baikdan kemudian diterapi seperti pada cedera tertutup. Luka yang lebih berat dibiarkan terbuka dan diperiksa setelah 3 hari. Jika perlu, selanjutnya dilakukan debridemen.
Universitas Sumatera Utara
Intervensi pada pasien fraktur tertutup secara ringkas, meliputi hal-hal sebagai berikut: a).Prioritas yang pertama adalah menilai tingkat kerusakan jaringan lunak. Meskipun fraktur itu tertutup, fraktur berat dengan kontusio jaringan lunak yang luas dapat membutuhkan fiksasi luar dini dan peninggian tungkai. Bila ada ancaman sindrom kompartemen,fasiotomi perlu segera dilakukan. b) Pemasangan gips sirkuler, c) Terapi bedah dengan pemasangan fiksasi interna, d) Terapi bedah dengan pemasangan fiksasi eksterna (Helmi, 2013).
2.6. Luka Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 2011). luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozie, 2010). Ketika luka timbul, beberapa akan muncul : a)Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, b) Respon stres simpatis, c) Perdarahan dan pembekuan darah, d) Kontaminasi bakteri, e)Kematian sel.
2.7. Perawatan Luka Perawatan luka adalah pengkajian luka yang konfrehensif agar dapat menentukan keputusan klinis yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan klinis diperlukan untuk penunjang perawatan luka yang berkualitas (Agustina, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Perawatan luka akan tergantung pada jenis luka, berat ringannya luka,ada tidaknya perdarahan dan risiko yang dapat menimbulkan infeksi. Prinsip perawatan umum pada luka tipe umum, yaitu: a) Mencuci tangan dengan menggunakan sabun atau larutan antiseptik, b) Segera pantau luka kemungkinan ada benda asing dalam luka, c) Bersihkan luka dengan antiseptik atau sabun antiseptik, bila lukanya dalam, bersihkan dengan normal salin dari pusat luka ke arah keluar, setelah luka dibersihkan kemudian lakukan irigasi luka dengan normal salin, d) Keringkan luka dengan kasa steril yang lembut, e) Berikan antibiotik atau obat antiseptik yang sesuai, f)Tutup luka dengan kasa steril dan paten, g) Tinggikan posisi area luka bila ada perdarahan dan immobilisasi (Suriadi, 2012). 1. Fase penyembuhan luka a) Fase inflamatory Fase inflamatory dimulai setelah pembedahan dan berakhir pada hari ke 34 pasca operasi. Dua tahap dalam fase ini adalah hemostasis dan pagositosis. Sebagai tekanan yang besar, luka menimbulkan lokal adaptasi sindrom. Sebagai hasil adanya suatu konstriksi pembuluh darah, berakibat pembekuan darah untuk menutupi luka. Diikuti vasodilatasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke daerah luka yang dibatasinoleh sel darah putih untuk menyerang luka dan menghancurkan bakteri dan debris.lebih kurang 24 jam setelah luka sebagian besar sel fagosit (makrofag) masuk ke daerah luka dan mengeluarkn faktor angiogenesis yang merangsang pembentukkan anak epitel pada akhir pembuluh luka sehingga pembentukan kembali dapat terjadi.
Universitas Sumatera Utara
b) Proliferative Dimulai pada hari ke 3 atau 4 dan berakhir pada hari ke 21. Fibroblast secara cepat mensintesis kolagen subtansi dasar. Dua subtansi ini membentuk lapis-lapis perbaikan luka. Sebuah lapisan tipis dari sel epitel terbentuk melintasi luka dan aliran darah ada didalamnya, sekarang pembuluh kapiler melintasi luka (kapilarisasi tumbuh).jaringan baru ini disebut granurasi jaringan,adanya pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah c) Fase maturasi Fase akhir penyembuhan, dimulai dari hari ke-21 dan dapat berlanjut selama 1-2 tahun setelah luka. Kolagen yang ditimbun dalam luka diubah, membuat penyembuhan luka lebih kuat dan lebih jaringan. Kolagen baru menyatu, menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas luka menjadi rata, tipis dan garis putih (Taylor, 2011). Fase penyembuahan luka menurut Suriadi (2012) dibagi menjadi 4 (empat) fase, yaitu : a) Fase koagulasi Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan melibatkan platelet. Awal pengeluaran platelet akan menyebabkan vasokonstriksi dan terjadi koagulasi. Proses ini adalah sebagai hemostasis dan mencegah perdarahan yang lebih luas. Pada tahapan ini terjadi adhesi, agregasi, dan degranulasi, pada sirkulasi platelet di dalam pembentukan gumpalan fibrin. Kemudian suatu plethora mediator dan cytokin dilepaskan seperti transforming growth factor beta (TGFB), platelet derived growth factor (PDGF), vascular
Universitas Sumatera Utara
endothelial growth factor (VEGF), platelet-activating factor (PAF), dan insulinike growth factor-1 (IGF-1), yang akan mempengaruhi edema jaringan dan awal inflamasi. VEGF, suatu faktor permeabilitas vaskuler, akan mempengaruhi extravasasi protein plasma untuk menciptakan suatu struktur sebagai penyokong yang tidak hanya mengaktifkan sel enditelial tetapi juga leukosit dan sel epitelial. b) Fase inflamasi Fase inflamasi mulainya dalam bebrapa menit setelah luka dan kemudian dapat berlangsung sampai beberapa hari. Selama fase ini, sel-sel inflammatory terkait dalam luka dan aktif
melakukan pergerakan dengan lekosites
(polymorphonuclear leukocytes atau neutrophil). Yang pertama kali muncul dalam luka adalah neutrophil, karena densitasnya lebih tinggi dalam bloodstrem. Kemudian neutrophil akan mempagosit bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam persiapan untuk jaringan baru. Kemudian dalam waktu yang singkat mensekresi mediator vasodilatasi dan cytokin yang mengaktifkan fibroblast dan keratinocytes dan mengikat macrophag ke dalam luka. Kemudian macrophag menpagosit pathogen, dan sekresi cytokin, dan growth factor seperti fibroblast growth factors (FGF), epidermal growth factors (EGF), vascular endothelial growth factors (VEGF), tumor necrosis factors (TNF-alpa), interferon gamma (IFN-gamma), dan interleukin-1 (IL-1), kimia ini juga akan merangsang infiltrasi, proliferasi dan migrasi fibroblast dan sel endotelial (dalam hal ini, angiogenesis). Angiogenesis adalah suatu proses dimana pembuluh-pembuluh kapiler darah yang baru mulai tumbuh dalam luka setelah injury dan sangat penting perannya dalam fase proliferasi. Fibroblast dan sel endotelial mengubah oksigen molecular dan larut
Universitas Sumatera Utara
dengan superoxide yang merupakan senyawa penting dalam retensi terhadap infeksi maupun pemberian isyarat oxidative dalam menstimulasi produksi growth factor lebih lanjut. Dalam proses inflammatory adalah suatu perlawanan terhadap infeksi dan sebagai jembatan antara jaringan yang mengalami injury dan untuk pertumbuhan sel-sel baru. c. Fase proliferasi Apabila tidak ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi, maka akan cepat terjadi fase proliferasi. Pada fase proliferasi ini terjadi proses granulasi dan kontraksi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam luka, pada fase ini macrophag dan lymphocytes masih ikut berperan, tipe sel predominan mengalami proliferasi dan migrasi termasuk sel epitelial, fibroblast, dan sel endotelial. Proses ini tergantung pada metabolik, konsentrasi oksigen dan faktor pertumbuhan. Dalam beberapa jam setelah injury, terjadi epitelialisasi dimana epidermal yang mencakup sebagian besar keratinocytes mulai bermigrasi dan mengalami stratifikasi dan deferensiasi untuk menyusun kembali fungsi barrier epidermis. Pada proses ini diketahui sebagai epitelialisasi, juga meningkatkan produksi extraseluler matrik (promotes-extracelluler matrix atau disingkat ECM), growth factor, sitokin dan angiogenesis melalui pelepasan faktor pertumbuhan seperti keratinocyte growth factor (KGF). Pada fase proliferasi fibroblast adalah merupakan elemen sintetik utama dalam proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblast menghasilkan sejumlah kolagen yang banyak. Fibroblast biasanya akan tampak pada sekeliling luka. Pada fase ini juga trejadi
Universitas Sumatera Utara
angiogenesis yaitu suatu proses dimana kapiler-kapiler pembuluh darah yang baru tumbuh atau pembentukan jaringan baru (granulation tissue). Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Kemudian pada fase kontraksi luka, kontrkasi disini adalah berfungsi dalam memfasilitasi penutupan luka. Menurut Hunt dan Dunphy (1969) kontraksi adalah merupakan peristiwa fisiologi yang menyebabkan terjadinya penutupan luka pada luka terbuka. Kontaksi terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen. Hasil dari kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak semakin mengecil atau menyatu. d. Fase remodeling atau maturasi Pada fase remodeling yaitu banyak terdapat komponen matrik. Komponen hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit selama perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan menyokong jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang utama pada matrik. Sebarut kolagen menyebar dengan saling terikat dan menyatu dan berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan skar tergantung pada sintesis dan katabolisme kolagen secara terus-menerus.
Universitas Sumatera Utara
2.8. Nutrisi dalam Perawatan Luka Nutrisi sangat berperan dalam proses penyembuhan luka. Kita ketahui bahwa status nutrisi pada seseorang adalah faktor utama yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan mempertahankan jaringan tubuh agar tetap sehat. Seseorang yang mengalami injury atau luka berarti terjadi gangguan kontinuitas dan struktur pada jaringan tubuh. Dengan demikian diperlukan perbaikan untuk menjaga agar struktur dan fungsi jaringan tubuh yang mengalami gangguan dapat kembali seimbang atau tidak mengalami komplikasi lain. Pada proses perbaikan jaringan akibat luka akan mengalami beberapa proses yaitu inflamasi, fibroblast dan maturasi atau remodeling. Pada proses ini sangat dibutuhkan nutrisi yang adekuat. Kebutuhan nutrisi yang bibutuhkan, yaitu: a).Protein, Hasil penelitian membuktikan bahwa gangguan proliferasi fibroblast, neoangiogenesis, sintesis kolagen dan remodeling pada luka dikarenakan adanya kekurangan protein. Selain itu, juga mempengaruhi mekanisme kekebalan, fungsi leukosit seperti pagositosis. b) Karbohidrat, Karbohidrat dibutuhkan untuk suplai energi seluler. c)Vitamin A, Vitamin A diperlukan untuk sintesis kolagen dan epitelialisasi. d) Vitamin C, Vitamin C berguna untuk sintesis kolagen dan meningkatkan retensi terhadap infeksi. e) Vitamin K, Vitamin K untuk sintesis protrombin dan beberapa faktor pembekuan darah yang diperlukan untuk mencegah perdarahan yang berlebihan pada luka. f) Zat besi, Zat besi berguna dalam sintesis kolagen, sintesis hemoglobin dan mencegah iskemik pada jaringan. g) B-Complek, Berfungsi dalam produksi energi dan imunitas selule serta sintesis
Universitas Sumatera Utara
sel-sel darah merah. h) Zinc, Pada jaringan membantu sintesis protein dan pada luka berperan dalam sintesis kolagen (Hartono, 2011).
2.9. Fisiologis Penyembuhan Luka 2.10.1. Proses penyembuhan luka menurut Alimul ada 4 tahap, yaitu: 1. Inflamasi Akut Terhadap Cedera (0-3) a) Hemostasis Vasokonstriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak terjadi pada saat sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk membentuk sebuah bekukan. b) Respons jaringan yang rusak Jaringan yang rusak dan melepaskan histamin dan mediator lain, sehingga menyebabkan vasodilitasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih utuh sehingga meningkatnya penyediaan darah dari daerah tersebut, sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah meningkat dan cairan yang kaya akan protein akan mengalir ke dalam spasium interstisial, menyebabkan edema lokal dan mungkin hilangnya fungsi diatas sendi tersebut. Leukosit polimorfonuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi ke luar dari kapiler dan masuk kedalam daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap agens kemotaktik yang akan dipacu oleh adanya cedera. Fase ini merupakan bagian yang esensial dari proses penyembuhan dan tidak ada upaya yang dapat menghentikan proses ini, kecuali jika proses ini terjadi pada kompartmen tertutup di mana struktur-struktur penting mungkin tertekan
Universitas Sumatera Utara
(misalnya luka bakar pada leher). Meski demikian, jika hal tersebut diperpanjang oleh adanya jaringan yang mengalami devitalisasi secara teru menerus,adanya benda asin, pengelupasan jaringan yang luas, trauma kambuhan, atau oleh penggunaan yang tidak bijaksana preparat tropikal untuk luka, seperti antiseptik, antibiotik, atau krim asam, sehingga penyembuhan di perlambat dan kekuatan regangan luka menjadi tetap rendah. Sejumlah besar sel tertarik ketempat tersebut untuk bersaing mendapatkan gizi yang tersedia. Inflamasi yang terlalu banyak dapat menyebabkan granulasi berlebihan pada fase III dan dapat menyebabkan jaringan parut hipertofik. Ketidaknyamanan karena edema dan denyutan pada tempat luka juga jadi berkepanjangan. c) Fase Destruktif (1-6 hari) Pembersihan terhadap jaringan mati atau yang mengalami devitalisasi dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf menelan dan menghancurkan bakteri. Tingkat aktivitas polimorf yang tinggi hidupnya singkat saja dan penyembuhan dapat berjalan terus tanpa keberadaab sel tersebut. Meski demikian, penyembuhan berhenti bila mikrofag megalami deaktivasi. Sel-sel tersebut tidak hanya mampu menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang mengalami devitalisasi serta fibrin yang berlebihan, tetapi juga mampu merangsang pembentukan fibroplas, yang melakukan sintesa struktur protein kolagen dan menghasilkan sebuah faktor yang dapat merangsang angiogenesis. Polimorf dan makrofag mudah dipengaruhi oleh turunnya suhu pada tempat luka, sebagaimana yang dapat terjadi bilamana sebuah luka yang basah dibiarkan tetap terbuka, pada saat aktivitas mereka dapat turun sampai nol.
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas mereka dapat juga dihambat oleh agens kimia, hipoksia, dan juga perluasan limbah metabolik yang disebabkan karena buruknya perfusi jaringan. d) Fase Proliferatif (3-24 hari) Fibrolas meletakkan sustansi dasar dan serabut-serabutkolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen diletakkan, maka terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan luka. Kapiler-kapiler dibentuk oleh tunas endotelial suatu proses yang disebut angiogenesis. Bekuan fibrin yang dihasilkan pada fase I dikeluarkan begitu kapiler baru menyediakan enzim yang diperlukan. Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Jaringan yang dibentuk dari gedung kapiler baru, yang menopang kolagen dan substansi dasar, disebut jaringan granulasi karena penampakannya granuler. Warnanya merah terang. Gelung kapiler baru jumlahnya sangat banyak dan rapuh serta mudah sekali rusak karena penanganan yang kasar,misalnya menarik balutan yang melekat. Vitamin C penting untuk sintesis kolagen. Tanpa vitamin C, sintesis kolagen berhenti, kapiler darah baru rusak dan mengalami perdarahan, serta penyembuhan luka terhenti. Faktor sistemik lain yang dapat memperlambat penyembuhan pada stadium ini termasuk defisiensi besi, hipoproteinemia, serta hipoksia. Fase proliferatif terus berlangsung secara lebih lambat seiring dengan bertambahnya usia. e) Fase Maturasi (24-365 hari) Epitelialisasi, kontraksi, dan reorganisasi jaringan ikat: Dalam setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka dan dari
Universitas Sumatera Utara
sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorifera, membelah dan memulai bermigrasi diatas jaringan granula baru. Karena jaringan tersebut hanya dapat bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka lewat dibawah eskar atau dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut bertemu dengan selsel epitel lain yang juga mengalami migrasi, maka mitosis berhenti, akibat inhibibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena miofibrolas kontraktil yang membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan progresif dalam vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam penampilanya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut-serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan luka meningkat. Luka masih sangat rentan terhadap luka trauma mekanis (hanya 50%kekuatan regangan normal dari kulit diperoleh kembali dalam tiga bulan pertama). Epitelialisasi terjadi sampai tiga kali lebih cepat di lingkungan yang lembab (dibawah balutan oklusif atau balutan semipermeabel) daripada dilingkungan yang kering. Kontraksi luka biasanya merupakan suatu fenomena yang sangat membantu, yakni menurunkan daerah permukaan luka dan meninggalkan jaringan parut yang relatif kecil, tetapi kontraksi berlanjut dengan buruk pada daerah tertentu, seperti diatas tibia, dan dapat menyebabkan distorsi penampilan pada cedera wajah. Kadang, jaringan fibrosa pada dermis menjadi sangat hipertofi, kemerahan,dan menonjol, yang pada kasus ekstrim menyebabkan jaringan parut keloid tidak sedap dipandang (Alimul, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka 1. Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: a). Vaskularisasi, mempengaruhi luka karena luka membutuhkan peredaran darah yang baik untuk pertumbuhan atau perbaikan sel. b) Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka mengingat perbaikan sel membutuhkan kadar protein yang cukup. Oleh sebab itu, orang yang mengalami kekurangan kadar hemoglobin dalam darah akan mengalami proses penyembuhan yang lebih lama. c) Usia, kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau kematangan usia seseorang. Namun selanjutnya, proses penuan dapat menurunkan sistem perbaikan sel sehingga dapat memperlambat proses penyembuhan luka. d) Penyakit lain, mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya penyakit seperti diabetes militus dan ginjal dapat memperlambat proses penyembuhan luka (Alimul,2009). 2.11. Komplikasi penyembuhan luka 1. Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehischense dan eviscerasi (Taylor,2010). a) Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat terauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 27 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulen, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan, dan bengkak disekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan sel darah putih.
Universitas Sumatera Utara
b) Perdarahan Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku dalam garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemi mungkin tidak cepat ada tanda. c) Dehiscense dan eviscerasi Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4-5 hari setelah operasi sebelum kolagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang benar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka. 2.12. Faktor-Faktor yang Memperlambat Penyembuhan 2.13.1. Faktor-faktor lokal yang merugikan pada tempat luka (Morison, 2012). a)
Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia Luka dengan suplai darah yang buruk sembuh dengan lambat. Jika faktor-
faktor yang esensial untuk penyembuhan, seperti oksigen, asam amino, vitamin dan mineral, sangat lambat mencapai luka karena lemahnya vaskularisasi, maka penyembuhan luka tersebut akan terhambat, meskipun pada pasien-pasien yang nutrisinya baik. Beberapa area tubuh, seperti wajah, mempunyai suplai darah yang baik, yang sangat sulit untuk terganggu, sementara daerah-daerah yang lain,
Universitas Sumatera Utara
seperti kulit diatas tibia, merupakan daerah yang buruk suplai darahnya, sehingga trauma yang minimal sekalipun, dapat menyebabkan ulkus tungkai yang sulit ditangani pada beberapa pasien. Tepian luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi. Dalam hal ini, hipoksia menghalangi mitosis dalam sel-sel epitel dan fibrolast yang bermigrasi, sintesa kolagen, dan kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna. Meskipun demikian, bilamana tekanan parsial oksigen pada tempat luka rendah, maka makrofag memproduksi suatu faktor yang dapat merangsang angiogenesis. Dengan merasangsang pertumbuhan kapilr-kapiler darah yang baru, maka masalah lokal hipoksia dapat diatasi. b) Dehidrasi Jika luka terbuka dibiarkan terkena udara, maka lapisan permukaannya akan mengering. Sel-sel epitel pada tepi luka bergerak ke bawah, di bawah lapisan tersebut, sampai sel-sel tersebut mencapai kondisi lembab yang memungkinkan mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak. Waktu yang panjang akibat membiarkan luka itu mengering mengakibatkan lebih banyak jaringan yang hilang dan menimbulkan jaringan parut, yang akhirnya dapat menghambat penyembuhan.
Jika sebuah luka dipertahankan tetap lembab di
bawah pembalut semipermeabel atau pembalut oklusif, maka penyembuhan dapat terjadi jauh lebih cepat. Tetapi pada beberapa kasus, pemajanan lika pada udara menjadi satu-satunya cara penyembuhan luka bakar fasialis.
Universitas Sumatera Utara
c)
Eksudat berlebihan. Terdapat suatu keseimbangan yang sangat halus antara kebutuhan akan
lingkungan luka yang lembab, dan kebutuhan untuk mengeluarkan eksudat berlebihan yang dapat mengakibatkan terlepasnya jaringan. Eksotoksin dan sel-sel debris yang berada di dalam eksudat dapat memperlambat penyembuhan dengan cara mengabadikan respons inflamasi. d) Turunnya temperatur Aktivitas fagositik dan aktivitas mitosis secara khusus mudah terpengaruh terhadap penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira dibawah 280C, aktivitas leukosit dapat turun sampai nol. Apabila luka basah dibiarkan terbuka lama pada saat mengganti balutan, atau saat menunggu pemeriksaan dokter, maka temperatur permukaan dapat menurun sampai paling rendah 120C. Pemulihan jaringan ke suhu tubuh dan aktivitas mitos sempurna, dapat memakan waktu sampai 3 jam. e) Jaringan nekrotik, krusta yaang berlebihan, dan benda asing Adanya jaringan nekrotik dan krusta yang berlebihan di tempat luka dapat memperlambat penyembuhan dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi klinis. Demikian juga, adanya segala bentuk benda asing, termasuk bahan-bahan jahitan dan drain luka. Oleh karena itulah maka sangat penting untuk mengeluarkan kontaminan organik maupun anorganik secepat mungkin tetapi dengan trauma yang minimum terhadap jaringan yang utuh.
Universitas Sumatera Utara
f) Hematoma Dimana sebuah luka telah ditutup secara bedah, baik dengan jahitan primer, graft kulit, ataupun dengan pemindahan flap jaringan, maka penyebab penting dari terlambatnya penyembuhan adalah terjadinya hematoma. g) Trauma dapat berulang Pada sebuah luka terbuka, trauma mekanis dengan mudah merusak jaringan granulasi yang penuh dengan pembuluh darah dan mudah pecah, epitelium
yang baru saja
terbentuk dan dapat menyebabkan luka sehingga
kembali ke keadaan fese penyembuhan tertentu yaitu fase respons inflamasi akut. Trauma berulang dapat disebabkan oleh berbagai hal. Jika seorang pasien penderita dekubitus ditempatkan dengan bagian yang sakit diatas tempat tidur atau di sebuah kursi, maka kemudian tenaga tekanan yang terjadi, robekan, dan gesekan, dapat meyebabkan kerusakan lapisan kulit diatasnya, yang tak dapat dihindarkan sehingga dapat merusak penyembuhan jaringan yang masih sangat lunak, sehingga luka justru akan bertambah besar. Trauma juga dapat disebabkan oleh pelepasan balutan yang kurang hati-hati. Bahkan pada saat dilakukan perawatan yang baik sekalipun, beberapa trauma terhadap luka luka masih sangat mungkin terjadi jika digunakan kasa yang ditempelkan langung pada permukaan luka, sehingga lengkung kapiler darah tumbuh melalui rajutan serat kapas yang ada pada kapas dan dapat terobek pada saat balutan itu dilepaskan. Banyak balutan yang seharusnya hanya memiliki daya rendah, dapat merekat erat pada luka jika dibiarkan terpasang terlalu lama, terutama jika terjadi pengeluaran
Universitas Sumatera Utara
eksudat dan luka itu mengering. Perdarahan luka saat pelepasan balutan adalah tanda trauma yang jelas. 2.13.2. Faktor-faktor patofisiologi umum a) Penurunan suplai oksigen Oksigen memaainkan peranan penting di dalam pembentukan kolagen, kapiler-kapiler baru, dan perbaikan epitel, serta pengendalian infeksi. Jumlah oksigen yang dikirimkan untuk sebuah luka tergantung pada tekanan parsial oksigen di dalam darah, tingkat perfusi jaringan, dan volume darah total. Penurunan pasokan oksigen terhadap luka dapat disebabkan oleh: b) Gangguan respirasi. Penurunan efisiensi pertukaran gas dalam paru-paru, karena penyebab apapun, dapat menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (pO2) di dalam darah dan akhirnya terjadi penurunan ketersediaan oksigen untuk jaringan. c) Gangguan kardiovaskuler. Hal ini dapat mengurangi tingkat perfusi jaringan. Hal tersebut secara khusus bermakna pada saat sirkulasi perifer terganggu, seperti pada diabetes melitus
dimana terdapat mikroangiopati serta pada artitis reumatoid dimana
terdapat artritis, atau dimana terdapat kerusakan katup pada vena-vena profunda dan vena yang mengalami perforasi sehingga menyebabkan hipertensi vena kronik serta edema lokal.
Universitas Sumatera Utara
d) Anemia. Apapun penyebabnya, di dalam anemia terdapat penurunan kapasitas darah yang mengangkut oksigen. Secara khusus, hal tersebut sangat penting apabila dihubungkan dengan hipovolemia akibat perdarahan. e) Hemoragi. Untuk mempertahan tekanan darah dan suplai darah yang adekuat ke jantung, otak, dan organ-organ vital lainnya, maka vasokonstriksi perifer dapat mengiringi perdarahan besar. Tingkat penutupan perifer akan bergantung pada beratnya kehilangan darah. Turunnya suplai darah perifer dapat menyebabkan terlambatnya penyembuhan sampai volume darah dipulihkan kembali. Secara normal, hal tersebut merupakan suatu fenomena sesaat saja, tetapi nekrosis jaringan sudah dapat terjadi selama waktu itu. f) Malnutrisi Baik luka tersebut merupakan luka traumatis, luka akibat tindakan salah satu dari penyebab terbanyak terlambatnya penyembuhan adalah malnutrisi. Beberapa studi mengenai insidens malnutrisi pada pasien-pasien lansia yang dirawat di rumah sakit, orang-orang dengan kecacatan mental, dan mereka dengan penyakit mental menunjukkan bahwa defisiensi vitamin dan mineral bukanlah hal yang tidak mungkin pada kelompok yang rentan ini, tetapi masalah status nutrisi yang buruk tidak saja terjadi pada pasien-pasien dengan perawatan di rumah sakit yang lama.Kebutuhan protein dan kalori pasien hampir pasti menjadi lebih tinggi daripada orang normal ketika terdapat luka yang besar.
Universitas Sumatera Utara
Asam amino diperlukan untuk sintesis protein yang berperan di dalam respons imun. Pada stadium awal setelah luka yang besar, berbagai sistem endokrin dan sistem saraf mengadakan reaksi terhadap cedera yang kemudian memicu proses-proses katabolik yang merusak jaringa tubuhnya sendiri untuk menyediakan bahan-bahan yang diperlukan bagi proses perbaikan yang sifatnya segera. Pasien-pasien dengan luka bakar atau trauma berat, dapat menderita pelisutan otot yang dramatis dan kehilangan berat badan yang cepat, hanya dalam bebrapa hari saja. Penggantian protein, kalori, elektrolit, dan cairan merupakan komponen pengobatan awal yang sangat vital. Bahkan pada luka terbuka yang kronik, seperti dekubitus, protein dalam jumlah yang signifikan dapat juga hilang dalam eksudat. Defisiensi protein tidak hanya memperlambat penyembuhan, tetapi juga mengakibatkan luka tersebut sembuh dengan kekuatan regangan yang menyusun. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya dehiscnce pada pasien gemuk dengan luka laparotomi atau menyebabkan cepat hancurnya dekubitus yang baru saja sembuh hanya akibat trauma kecil saja. Masukan dan absorpsi yang cukup vitamin dan mineral tertentu yang cukup juga diperlukan untuk penyembuhan yang optimal. Vitamin C diperlukan untuk sintesa kolagen. Radang urat saraf (Scurvy)
diaggap sebagai suatu fenomena yang tidak bisa saat ini, tetapi
kebanyakan lansia memperlihatkan tanda-tanda dini defisiensi vitamin C, baik karena kemiskinan, kesulitan untuk pergi berbelanja atau kesulitan di dalam makan buah-buahan dan sayuran segar karena pemasangan gigi palsu yang tidak pas.
Universitas Sumatera Utara
g)
Penurunan daya tahan terhadap infeksi Penurunan daya tahan terhadap infeksi, seperti pada pasien-pasien dengan
gangguan imun, diabetes, atau infeksi kronis, akan memperlambat penyembuhan karena berkurangnya efisiensi sistem imun. Infeksi kronis juga mengakibatkan katabolisme dan habisnya timbunan protein, yang merupakan sumber-sumber endogen infeksi luka yang pernah ada. h)
Pengaruh fisiologis dari proses penuaan Terdapat perbedaan yang signifikan di dalam struktur dan karakteristik
kulit sepanjang rentang kehidupan yang disertai dengan perubahan fisiologis normal berkaitan dengan usia yang terjadi pada sistem tubuh lainnya, yang dapat mempengaruhi
predisposisi
terhadap
cedera
dan
efisiensi
mekanisme
penyembuhan luka. Kulit utuh pada orang dewasa muda yang sehat merupakan suatu barrier yang baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitu juga dengan efisiensi imun, sistem kardiovaskular, dan sistem respirasi, yang memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Sistem tubuh yang berbeda “tumbuh” dengan kecepatan yang berbeda pula, tetapi lebih dari usia 30 tahun mulai terjadi penurunan yang signifikan dalam beberapa fungsinya, seperti penurunan efisiensi jantung, kapasitas vital, dan juga penurunan efisiensi sistem imun, yang masing-masing masalah tersebut ikut mendukung terjadinya kelambatan penyembuhan seiring dengan bertambahnya usia. Terdapat juga perubahan-perubahan signifikan dan normal, yang berhubungan dengan usia, terjadi pada kulit dan cenderung menyebabkan cedera seperti dekubitus dan buruknya penyembuhan luka. Perubahan-perubahan yang memburuk sejalan
Universitas Sumatera Utara
dengan bertambahnya usia meliputi penurunan dalan frekuensi penggantian sel epidermis, respons inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi barrier kulit. 2.13.3. Faktor-faktor psikososial Pasien dalam keadaan cemas, efisiensi sistem imun pesien tersebut jauh menurun dan secara fisiologis paien kurang mampu menghadapi setiap gangguan patologis. a) Pengaruh yang merugikan dari terapi lain Obat-obat sitotoksik, radioterapi, dan terapi steroid dalam beberapa keadaan, dapat memperlambat penyembuhan luka. Obat-obat sitotoksik seperti vinkristin mempunyai pengaruh yang sangat kentara pada penyembuhan luka karena obat tersebut menggangu proliferasi sel. Terapi steroid jangka panjang juga dapat memperlambat penyembuhan, tetatpi hanya selama fase inflamasi dan fase proliferatif, yaitu dengan cara menekan multiplikasi fibroblas dan sistem kolagen. Obat-obaat anti inflamasi non-steroid tampaknya mempunyai pengaruh yang tidak begitu penting terhadap penyembuhan luka dalam dosis terapeutik normal. b) Penatalaksanaan luka yang tidak tepat Gagal mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebuah luka atau gagl untuk melakukan identifikasi masalah lokal di tempat luka, penggunaan antiseptik yang tidak bijaksana, penggunaan antibiotik topikal yang kurang tepat, dan ramuan obat perawatan luka lainnya, serta teknik pembalutan luka yang kurang hati-hati adala penyebab terlambatnya penyembuhannya yang dapat dihindarkan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Moya
J.
Morison
(2012)
banyak
faktor
yang
dapat
mempengaruhi penyembuhan luka. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi ke dalam faktor yang ada hubungan dengan pasien (intrinsik) seperti kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan pada tempat luka, dan faktor dari luar (ekstrinsik), seperti pengolahan luka yang kurang tepat dan efek-efek terapi lainnya yang tidak menguntungkan. faktor-faktor yang memperlambat penyembuhan meliputi : 2.13.4. Faktor-faktor Intrinsik : Faktor-faktor lokal yang merugikan pada tempat luka, faktor-faktor lokal merugikan di tempat luka yang dapat memperlambat penyembuhan miliputi hipoksia, dehidrasi, eksudat yang berlebihan, turunnya temperatur, jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan adanya benda asing dan trauma yang berulanf. a) Faktor-faktor Patofisiologi Umum: Sejumlah kondisi medis berhubungan dengan buruknya penyembuhan luka. Mekanisme pengaruh kondisi-kondisi tersebut terhadap penyembuhan luka, sering kali kompleks, tetapi beberapa kelambatan penyembuhan luka terjadi akibat kurang tersedianya subtansi-subtansi yang diperlukan untuk proses penyembuhan luka, seperti oksigen, asam amino, vitamin dan mineral 2.13.5. Faktor ekstrinsik a) Obat-obat Sitotoksik, sepert vinkristin mempunyai pengaruh yang sangat kentara pada penyembuhan luka karena obat tersebut mengganggu proliferasi sel. b) Terapi Steroid Jangka Panjang, dapat memperlambat penyembuhan tetapi hanya selama fase inflamasi dan fase proliferansi, yaitu dengan cara menekan multiplikasi fibroblas dan sistem kolagen. Obat-obat anti inflamasi non-steroid
Universitas Sumatera Utara
tampaknya
mempunyai
pengaruh
yang
tidak
begitu
penting
terhadap
penyembuhan luka dalam dosis terapeutik normal. c) Radioterapi, apabila digunakan dalam pengobatan penyakit keganasan dapat menghasilkn kerusakan lokal,
dapat
memperlambat
penyembuhan,
dan
juga
dapat
menyebabkankelemahan yang berkepanjangan di dalam jaringan, khususnya pada jaringan kulit. d) Penatalaksanaan luka yang tidak tepat. e) Gagal mengkaji secara akurat dan gagal untuk
mengidentifikasi
masalah-masalah yang dapat
menyebabkan terlambatnya penyembuhan. f) Teknik pembalutan luka yang kurang hati-hati. g) Pemilihan produk-produk perawatan luka yang kurang sesuai atau justru berbahaya. h) Mengganti tatacara pembalutan sebelum mempunyai cukup waktu untuk menjadi balutan tersebut efektif. i) Gagal membuat gambaran penyembuhan dan gagal mengevaluasi efektifitas program
pengobatan. j)
Perilaku negatif terhadap penyembuhan. 2.14. Riset Fenomenologi. Menurut Davis (1979), Riset fenomenologi mengamanatkan peneliti untuk akrab dengan peserta riset dan lingkungan nya. Maka akan ada beberapa harapan tentang apa yang akan ditemukan dalam mempelajari serta dan pengalamannya. Peserta menghasilkan realita pengalaman tanpa hipotesa atau firasat sebelumnya yang ditetapkan untuk mengarahkan apa yang harus ditemukan. Menurut Omery (1983), dalam riset fenomenologi ini peneliti bertindak sebagai papan tulis yang bersih, bersedia untuk menulis suatu bab baru tentang pengetahuan yang dicari 1. Defenisi.
Universitas Sumatera Utara
Fenomenologi adalah cabang filosofi yang menkankansubyektivitas pengalaman manusia. Sewaktu digunakan sebagai dasar filosofis dalam riset, fenomenologi mengamanatkan bahwa data ilmiah dihasilkan dengan mempelajari informasi yang diharapkan dari perspektif peserta riset (Brockopp dan Tolsma, 1999). Pendekatan. Peneliti yang menggunakan pendekatan riset fenomenologi menaruh perhatian terhadap totalitas pengalaman manusia. Hal ini meliputi semua nuansa pengalaman yang diberikan. Langkah-langkah dalam proses riset fenomenologi. Riset fenomenologi didasakan pada filsafat fenomenologi yang mencoba untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah situasi. Jika situasi ini dijadikan lingkungan riset, beberapa lankah-langkah dalam proses riset jenis ini harus dilakukan. Peserta riset harus menyampaikan suatu atau serangkaian pengalamannya kepada peneliti. a) Peneliti tersebut berupaya menterjemahkan pengalaman yang disampaikan tersebut kedalam pemahaman pengalaman peserta. b) Peneliti kemudian memecah pengalaman ini menjadi konsep mendasar yang menjadi tema pengalaman tersebut. c) Peneliti kemudian menyampaikan pemahannya kepada khalayak dalam bentuk tulisan sehingga khalayak ini dapat menghubungkan pengalaman yang lalau atau yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Karena secara potensial sejumlah besar data yang akan dikumpulkan dan dianalisa, risetfenomenologi biasanya berdasarkan pada sejumlah kecil individu. Perhatikan bahwa riset jenis inididasarkan pada pengalaman orang lain dan biasanya membutuhkan pelatihan khusus sebelum penelitian dapat membuat analis yang valid (Dempsey, P dan Dempsey, A, 2002).
Universitas Sumatera Utara