1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... - ETD UGM

Jangan Kau Culik Anak Kami (2001), Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002),. Surat dari Palmerah (2002), dan Negri Salju (2003). Karekteristik karya-karya...

62 downloads 660 Views 77KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Seno Gumira Ajidarma –disingkat SGA adalah penulis yang karyanya

terlibat dalam isu-isu yang bertentangan dengan Indonesia masa kini. Aktivitasnya penting

dalam

membangun

wacana

politik

masa

kini

dalam

rangka

membangkitkan dialog yang lebih kritis dan lebih sadar diri, yang mungkin berujung pada sebuah penyelesaian atas krisis politik dan budaya yang tengah melanda Indonesia (Fuller,2011:13). SGA cukup dipertimbangkan sebagai penulis yang terlibat secara sosial. Banyak di antara karyanya mengangkat tema yang pada saat itu merupakan bagian dari kehidupan orang Indonesia selama krisis sosial-politik antara 1997 dan 1998. Ia melalui karyanya sejak 1980-an sudah menjadi pengkritik pemerintahan rezim Orde baru. Banyak di antara cerpennya menentang budaya Orba muncul pada saat rezim tersebut terpuruk di titik nadirnya (sejak merebaknya krisis moneter 1997). Ia terbukti sebagai saksi penting atas sejarah kontemporer Indonesia. Tema-tema dalam karyanya dianggap berani dan tabu karena membicarakan ras, suku, korupsi, dan identitas kelas (Fuller,2011:11). Tingkat produktivitas SGA dalam kesusasteraan Indonesia khususnya cerpen telah bertahan relatif lama. Sepanjang kepenulisannya tersebut, ia mampu menunjukkan karekteristik karyanya yang sarat dengan kritik sosial. Korupsi, kebohongan, penindasan atas identitas etnis dan regional, serta keserakahan material yang memiliki hubungan langsung dengan kekerasan negara yang lazim

1

terjadi di Orde Baru terdapat dalam karya-karyanya, di antaranya diterbitkan dalam bentuk buku adalah Mati, Mati, Mati (1975), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Negri Kabut (1996), Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Atas Nama Malam (1999), Layar Kota (2000), Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), Wisanggeni (2000), Jakarta, Maret 2039 (2000), Terbunuhnya Donny Osmond (2002), Dunia Sukab (2001), Jangan Kau Culik Anak Kami (2001), Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002), Surat dari Palmerah (2002), dan Negri Salju (2003). Karekteristik karya-karya SGA yang peka terhadap kondisi sosial tersebut terus melekat sampai pada berakhirnya masa Orba dan beralih pada masa Reformasi. Hal ini dapat dilihat melalui karyanya yang mengangkat peristiwa tentang masalah sosial dan kemanusiaan dalam salah satu cerpennya berjudul “Gerobak”. Cerpen tersebut mengangkat isu lumpur yang melanda penduduk atau masyarakat tertentu yang kemudian terpinggirkan dari kota. Gambaran fenomena lumpur ini diduga memiliki kedekatan dengan permasalahan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur yang hingga kini belum mendapatkan penyelesaian. Kedekatakan tersebut juga dikaitkan dengan kemunculan cerpen yang diterbitkan pada harian Kompas pada Minggu, 15 Oktober 2006. Fenomena lumpur terjadi pada 29 Mei 2006. Bencana lumpur tersebut telah menenggelamkan kawasan pertanian dan industri yang berpenduduk padat. Bencana yang diawali dengan menyemburnya lumpur dari dalam bumi itu

2

menjadi sejarah penting bagi warga Porong, kabupaten Sidoarjo. Semburan lumpur akhirnya meluas hingga menggenangi beberapa desa lainnya dan genangan

tersebut

terus

berlangsung

hingga

sekarang

(Batubara

dan

Utomo,2012:3). Sejak lumpur Lapindo mulai menyembur pada 29 Mei 2006 sampai sekarang, kondisi para korban lumpur tidak kunjung membaik, terutama para korban di area terdampak yang tercatat 11.881 keluarga. Sebagian besar dari mereka terus terkatung-katung menunggu janji pelunasan ganti rugi. Banyak yang mencari pekerjaan serabutan dan banyak pula yang mengalami depresi (Derwanto,2013). Fenomena lumpur sebagai masalah sosial dan kemanusiaan yang ternyata tidak begitu menarik perhatian dalam dunia kesusastraan khususnya cerpen pada kemunculan peristiwa tersebut, yaitu tahun 2006 dan sebelum kemunculan cerpen “Gerobak”. Hal ini membuat cerpen “Gerobak” seperti sebagai pelopor karya sastra prosa yang peka terhadap fenomena tersebut. Adapun dua karya sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya muncul pada tahun berikutnya, yaitu novel Lumpur ditulis oleh Yazid R Passandre pada 2011 dan novel Diantara Lumpur mainanku Hilang ditulis oleh Panca Javandalasta pada 2012. Kedua novel tersebut mengangkat cerita lumpur dengan menggambarkan perjuangan hidup suatu personal atau individu dari masyarakat korban lumpur. Penceritaan dengan sudut pandang berbeda terdapat dalam “Gerobak”. Hal ini secara eksplisit terlihat dalam penggambaran hubungan dua kelompok masyarakat dan tokoh Aku dari sudut pandang warga kota atau

3

bukan korban bencana lumpur yang rumahnya terendam. Selain karya sastra prosa di atas terdapat pula antologi puisi bersama Bernafas dalam Lumpur pada 2010 yang memuat puisi-puisi lumpur Lapindo oleh Cobra Matoa dan kawan-kawan. Penggambaran lumpur dalam cerpen “Gerobak” tersebut memungkinkan adanya makna-makna tertentu yang harus diungkap. Dalam hal ini cerpen tersebut bukanlah semata-mata sekedar sebuah reperesentasi dari kenyataan, meskipun faktualitas peristiwa terasa di dalamnya. Dalam hal ini, SGA bukanlah sebuah realisme yang mencoba menempatkan sastra sebagai cerminan kenyataan melainkan telah ditafsirkan kembali ke dalam teks cerita dan menjadi metafora. Pengungkapan terhadap metafora tersebut untuk menemukan makna tertentu sebagai bentuk adanya tanda-tanda sebagai adanya semiotik. Tanda-tanda tersebut tentu tidak terlepas dari kode-kode diskursif budaya yang mengikatnya dan cerpen tersebut tidak dapat terlepas dari budaya yang menyertai kemunculannya. Analisis terhadap tanda-tanda untuk menemukan makna-makna di dalam teks merupakan salah satu kinerja dari semiotika. Proses pengungkapan maknamakna adalah dengan melakukan pengolahan atau produksi terhadap cerpen atau teks yang dilakukan oleh pembaca. Hal ini dikarenakan teks bukan lagi milik pengarang, tetapi pembaca. Pembaca tersebut kemudian akan menemukan maknamakna di dalam teks. Sebagaimana Roland Barthes memandang bahwa produksi makna dari pembaca akan menghasilkan kejamakan dan menunjukkan sebanyak mungkin makna yang mungkin dihasilkan (Kurniawan,2001:94). Penemuan makna-makna menjadi penting dalam penelitian ini.

4

1.2

Rumusan Masalah Cerpen “Gerobak” menggambarkan keadaan sosial masyarakat yang

terwakili melalui simbol-simbol atau kode, sehingga menimbulkan makna yang ada di dalamnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini pun dapat dirinci dalam dua aspek sebagai berikut. 1.

Bagaimana relasi antarleksia dalam kelompok lima kode Barthes yang terdapat dalam cerpen “Gerobak”.

2.

1.3

Apa makna cerpen “Gerobak” melalui relasi lima kode Barthes.

Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis

penelitian ini, yaitu mengungkapkan makna-makna yang digambarkan melalui leksia-leksia dalam “Gerobak” dengan memanfaatkan teori semiotika Roland Barthes. Makna ini diungkap melalui analisis yang lebih mendalam dengan melihat relasi antarleksia dan kode-kode. Tujuan praktis penelitian, yaitu untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai karya-karya yang berkaitan dengan masalah sosial lumpur Lapindo.

1.4

Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap cerpen “Gerobak” karya SGA belum pernah dilakukan

oleh peneliti sebelumnya dengan teori apapun dan dalam bentuk apapun. Penelitian terhadap karya-karya SGA dan karya sastra dari pengarang lainnya dengan pendekatan semiotika Roland Barthes telah banyak dilakukan.

5

Penelitian dengan teori semiotika Roland Barthes ke dalam sebuah tesis pernah dilakukan oleh Wahyu Handayani Setyaningsih (2012). Judul penelitian tersebut adalah Keterasingan dalam Afuta Daku Karya Haruki Murakami: Kajian Semiotika Roland Barhes. Tesis tersebut bertujuan untuk menganalisis novel melalui simbol-simbol budaya untuk menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Simbol-simbol budaya yang di maksud termasuk ke dalam kerangka budaya modern yang tampak melalui pola kehidupan tokoh-tokohnya, serta penamaan yang banyak mengadopsi dari bahasa Inggris. Terdapat dua rumusan masalah pada tesis tersebut, yaitu keterasingan yang tampak dalam novel Afuta Daku. Kedua, makna yang dapat ditemukan dalam novel tersebut. Penelitian lainnya yang menggunakan semiotika Roland Barthes sebagai alat analisisnya, di antaranya adalah La Chute Karya Albert Camus: Tinjauan Lima Kode Roland Barthes (2006) oleh Mariana Widya Sri Harini, dan Individualitas Dan Absurditas Manusia Dalam Roman Le’Etranger Karya Albert Camus: Kajian Semiotika Roland Barthes (2008) dalam bentuk tesis oleh Sunahrowi. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, pada dasarnya penelitian ini memiliki persamaan, yaitu mengangkat tanda-tanda dalam karya sastra untuk ditemukan makna di dalamnya. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan yaitu bagaimana leksia-leksia saling berkaitan dan membentuk kelompok lima kode Barthes dan bagaimana makna melalui relasi antarlima kode Barthes. Penelitian terhadap cerpen “Gerobak” belum pernah dilakukan, maka penelitian ini dianggap perlu dan relevan untuk dilakukan.

6

1.5

Teori Semiotika Roland Barthes Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika yang dikembangkan oleh

Barthes (1915-1980). Ia merupakan semiolog asal Perancis. Roland Barthes adalah seseorang yang mempunyai andil cukup besar dalam perkembangan semiotika. Ia adalah seorang tokoh pusat dalam kajian bahasa, sastra, budaya, dan media baik sebagai penemu ataupun pembimbing (Allen,2003:i). Pemikiran Barthes yang tidak berpihak pada ilmu pengetahuan (science) dan lebih memfokuskan

diri

pada

kesenangan

(pleasure)

menjadikannya

sebagai

representasi dari segala hal yang radikal, tidak waras, dan kurangajar dalam kajian sastra (Culler,2003:20),

1.5.1 Makna Konotasi dan Denotasi Semiotika sebagai ilmu yang tidak dapat dilepaskan dari pentingnya suatu makna. Barthes mencoba mengungkap makna-makna yang terdapat dalam teks dan S/Z sebagai representasi atas analisis tekstualnya dalam memperdalam semiotika. Makna terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotasi dan denotasi. Barthes memberikan definisi tentang makna konotasi secara luas. Hal ini terlihat dari berbagai sudut pandang pemahaman makna konotasi dan secara tidak langsung terdapat pula pemahaman tentang makna denotasi. Adapun definisi tersebut sebagai berikut. Then, what is a connotation? Definitionally, it is a determination, a relation, an anaphora, a feature which has the power to relate itself to anterior, ulterior, or exterior

mentions,

to

other

sites

of

the

text

(or

of

another

text)

(Barthes,1974:8).Kemudian, apa yang dimaksud dengan konotasi? secara definitif

7

konotasi adalah sebuah ketetapan, sebuah hubungan, sebuah anaphora, sebuah feature yang memiliki kekuatan menghubungkan dirinya sendiri dengan anterior, ulterior, dan eksterior tersebut, ke lain tempat dari teks (atau dari teks lain). Kemudian, Barthes juga mengatakan bahwa: Topically, connotations are meanings which are neither in the dictionary nor in the grammar of the language in which a text is written (this is, of course, a shaky definition: the dictionary can be expanded, the grammar can be modified) (Barthes,1974:8). Artinya bahwa konotasi secara topikal merupakan maknamakna yang tidak ada, baik dalam kamus maupun dalam tata bahasa dari bahasa yang digunakan untuk menulis teks (ini tentu saja sebuah definisi yang goyah, kamus dapat diperluas, tata bahasa dapat dimodifikasi), sedangkan konotasi secara analitis diungkapkan Barthes sebagai berikut. Analytically, connotation is determined by two spaces: a sequential space, a series of orders, a space subject to the successivity of sentences, in which meaning proliferates by layering; and an agglomerative space, certain areas of the text and, with them, forming “nebulae” of signifieds (Barthes,1974:8). Artinya bahwa makna konotasi tidak dapat dilepaskan dari bagaimana makna tersebut ditentukan. Konotasi ditentukan oleh dua tempat, yaitu tempat yang berurutan, sebuah rangkaian urutan, (order, tatanan) sebuah tempat yang mengarah ke rangkaian kalimat, tempat makna terkembangkan oleh lapisan dan sebuah tempat pengelompokkan area-area tertentu dari teks dan dengannya membentuk nebula petanda-petanda. Kemudian secara semiologis diungkapkan Barthes selanjutnya dalam S/Z sebagai berikut.

8

Semilogically, each connotation is the starting point of a code (which will never be reconstituted), the articulation of a voice which is woven into the text (Barthes,1974:9). Artinya bahwa konotasi secara semiologi adalah makna yang bertitik pangkal pada kode (yang tidak dapat disusun kembali), artikulasi dari sebuah suara yang teranyam ke dalam teks. Kemudian makna konotasi secara struktural adalah sebagai berikut. Structurally, the existence of two supposedly different systems –denotation and conotation –enables the text to operate like a game, each system referring to the other according to the requirments of a certain illusion (Barthes,1974:9). Artinya bahwa konotasi secara struktural merupakan makna yang keberadaannya terletak pada dua sistem perbedaan yang diandaikan ada –denotasi dan konotasi – memungkinkan teks bekerja seperti sebuah permainan. Tiap sistem menunjuk ke yang lain menurut syarat sebuah ilusi tertentu. Pada pemahaman ini, makna konotasi merupakan makna yang tidak dapat dilepaskan keberadaanya dari makna secara denotasi dan konotasi. Hal ini karena teks seperti sebuah permainan atau saling berkaitan antara makna denotasi (makna secara harfiah) dengan makna konotasi (makna kedua atau secara kultural), makna tersebut ditentukan sesuai dengan makna khayalan (makna kedua) yang pasti atau tetap memiliki batasan, yaitu secara kultural (tidak dapat dilepaskan dari suatu konsep yang lahir dari masyarakatnya). Sebagaimana Barthes (1974:7) merumuskan bahwa makna konotasi adalah ERC. Jika E adalah ekspresi, C adalah isi, dan R adalah hubungan antara keduanya (E-C) yang membentuk tanda. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

9

For Hjemslev, who has defined it, connotation is a secondary meaning, whose signification, which is denotation: If E is the expression, C the content, and R the ralation of the two which established the sign, the formula for the connotation is: (ERC) RC (Barthes,1974:7). Artinya menurut Hjemslev, pendefenisian dari konotasi adalah sebuah makna sekunder, makna yang menandai dirinya sendiri yang tersusun oleh penandanya atau sistem tanda pertama, yakni denotasi. Pada analisisnya terhadap Sarrasine, Barthes lebih menempatkan makna teks secara konotasi. Menurut Barthes (1970:7-8) bahwa pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial bersifat eksplisit ini adalah kode yang makna tandanya akan segera tampak ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, bahasa pada sistem konotasi akan menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit. Makna implisit tersebut merupakan sistem kode yang tandanya memiliki muatan makna-makna tersembunyi. Kawasan tersembunyi inilah yang menurut Barthes merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.

1.5.2 Leksia Penerapan analisis naratif struktural Barthes dapat dilihat dalam S/Z (1974) yang merupakan analisis terhadap cerpen Sarrasine karya Honore de Balzac. Pada analisisnya tersebut, Barthes melakukan pemenggalan teks ke dalam satuan leksia-leksia

(lexias).

Teks

dalam

bentuk

leksia

tersebut

kemudian

dikelompokkannya ke dalam lima macam kode pembacaan.

10

Lexias, since they are units of reading. This cutting up, admittedly, will be arbitrary in the extreme. The lexia will include sometimes a few words, sometimes several sentences. The lexia is only the wrapping of a semantic volume, the crest line of the plural text, arranged like a berm of possible (but controlled, attested to by a systematic reading) meanings under the flux of discourse: the lexia and its unit will thereby form a kind of polyhedron faceted by the word, the group of words, the sentence or the pharagraph, i.e., with the language which is its “natural” excipient (Barthes,1974:13-14). Leksia merupakan unit-unit bacaan. Pemenggalan ini tidak dapat disangkal akan menjadi manasuka (arbitrer) dalam perbedaan yang ekstrim. Leksia mencakup sedikit kata atau kadang-kadang beberapa kalimat. Leksia hanyalah pembungkus sebuah isi semantik, garis puncak dari teks plural, tersusun seperti sebuah makna-makna kemungkinan (tetapi terkontrol, terbukti kebenarannya oleh sebuah bacaan sistematis) di bawah arus wacana terus menerus. Oleh karena itu leksia dan unit-unitnya akan terbentuk seperti polyhedron yang dilapisi oleh kata, kelompok kata, kalimat atau paragraph, yaitu dengan bahasa sebagai sebuah tempat yang natural. Artinya bahwa analisis dengan semiotika Roland Barthes pada tahap pertama adalah melakukan

pemenggalan

teks

yang

bersifat

arbitrer

(semau-maunya).

Pemenggalan teks tersebut untuk menentukan leksia-leksia, baik berupa sepatah kata hingga sebuah paragraf. Pemenggalan teks untuk menentukan leksia mengacu pada kriteriakriteria menurut Zaimar (1991:33) sebagai berikut.

11

1) Kriteria pemusatan, yaitu suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia bila penggalan tersebut berpusat pada satu titik perhatian. Misalnya, berpusat pada satu peristiwa yang sama. 2) Kriteria koherensi, yaitu suatu leksia yang baik suatu pemenggalan teks yang mampu mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren, dapat berupa suatu hal, keadaan, peristiwa, dalam ruang dan waktu yang sama. 3) Kriteria

batasan

formal.

Suatu

leksia

dapat

diperoleh

dengan

mempertimbangkan penanda-penanda formal yang memberi jeda atau batas antarbagian dalam teks. Hal ini adalah ruang kosong atau nomor yang menandai pergantian bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf, dan tanda-tanda formal yang lain, yang menandai pergantian suatu masalah. 4) Kriteria signifikasi, yaitu leksia sebagaimana merupakan penggalan yang benar-benar signifikan bagi sebuah narasi. Misalnya, judul yang hanya berupa satu atau dua huruf, satu bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin tertentu, atau hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang tinggi dalam sebuah cerita sehingga dapat dipandang sebagai satu leksia tersendiri.

1.5.3 Lima Kode Roland Barthes Barthes membagi cerpen “Sarrasine” ke dalam 561 leksia yang kemudian dianalisis dan ditafsirkan ke dalam lima kode pembacaan. Setiap satuan analisis yang telah ditafsirkan disebut dengan “devagasi” dan terdapat 93 devagasi dalam S/Z. Adapun lima kode Barthes adalah sebagai berikut. 1)

Hermeneutic code, we list the various (formal) terms by which an enigma

can be distinguished, suggested, formulated, held in suspense, and finally

12

disclosed (Barthes,1974:19). Kode hermenutika, kita menyusun berbagai syarat atau istilah agar suatu teka-teki dapat dibedakan, diusulkan, diformulasikan, ditegangnkan dan akhirnya diungkapkan. Artinya bahwa kode hermeneutik (HER) adalah kode di mana enigma dapat dibedakan, diusulkan, diformulasikan, dan akhirnya

diungkapkan.

Kode tersebut

merupakan

suatu

penanda

yang

menimbulkan ketegangan (suspense). Kode hermeneutik ini menimbulkan tanda tanya di benak pembaca selama proses pembacaan cerita. Kode ini meliputi penempatan suatu teka-teki (enigma), dan penyimpangan atas teka-teki itu. Kode dalam penampilannya yang umum mencoba membangun seluruh intrik seperti dalam novel detektif. Adapun kriteria dalam penentuan kode hermeneutik tersebut terdapat dalam S/Z sebagai berikut. All the units whose function it is to articulate in vorius ways a question, its response, and the variety of chance events which can either formulate the question or delay its answer; over constitute an enigma and lead to its solution (Barthes,1974:17). Artinya bahwa kode semua unit yang berfungsi untuk mengartikulasikan sebuah pertanyaan dalam berbagai cara, respon-responnya, dan variasi peristiwa-peristiwa kemujuran yang dapat diformulasikan menjadi pertanyaan dan sekaligus menunda jawabannya, bahkan kode yang menyusun sebuah teka-teki dan mengarahkan kepada solusi. Adapun pada masing-masing enigma tersebut dapat ditandai dengan istilah-istilah tertentu sebagai berikut. a)

Pentemaan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode. Kode ini yang menandai suatu pokok masalah atau tema dalam setiap enigma;

13

b)

Pengusulan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode. Kode tersebut secara eksplisit maupun implisist mengandung pertanyaan atau teka-teki.

c)

Pengacauan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode yang menyebabkan enigma menjadi semakin rumit.

d)

Jebakan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode. Kode tersebut adalah kode yang memberikan jawaban salah.

e)

Penundaan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode yang menunda kemunculan jawaban.

f)

Jawaban sebagian adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode. Kode tersebut adalah kode yang memberikan jawaban, tetapi tidak jawaban menyeluruh.

g)

Jawaban adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode yang memberikan jawaban secara menyeluruh.

The proposition of truth is a “well-made” sentences; it contains a subject (theme of the enigma), a statement of the question (formulation of the enigma), its question mark (proposal of the enigma), various subordinate and interpolated clauses and catalyses (delays in the answer), all of which precede the ultimate predicate (disclosure) (Barthes,1974:84). Proposisi kebenaran adalah kalimat yang baik, yang tersusun dari subjek (tema enigma), pertanyaan (formula enigma), tanda petik (usulan enigma), berbagai macam klausa subordinat dan tambahan (menunda jawaban), semua yang terdiri dari predikat (pengungkapan).

14

2)

As for semes, we merely indicate them –with out, in other words, trying

either to link them to a character (or a place or an object) or to arrange them in some order so that they form a single thematic grouping; we allow them the instability, the dispersition characteristic of motes of dust, flickers of meaning (Barthes,1974:19). Kode semik diindikasikan tanpa mencoba menghubungkannya dengan sebuah karakter (suatu tempat atau objek) atau mengatur ke dalam beberapa urutan

agar membentuk sebuah kelompok tematik tunggal. Kita

membiarkannya dalam ketidakstabilan, dalam penyebaran, dalam karakteristik mote of dust, kerlipan-kerlipan makna. Artinya bahwa kode semik (SEM) adalah kode yang menunjuk kepada sebuah karakter atau sebuah tempat atau sebuah objek tertentu. Kode ini adalah kode yang memanfaatkan petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu yang mengacu gambaran-gambaran kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat atau objek tertentu. Kode semik merupakan penanda bagi dunia konotasi yang di dalamnya terdapat kesan atau nilai rasa tertentu.

3)

The symbolic grouping; this is the place for multivalence and for

responsibility; the main task always to demonstrate that this field can be entered from any number of points, thereby making depth and secrery problematic (Barthes,1974:19).

Kode

simbolik

merupakan

tempat

multivalensi

dan

pemutarbalikan. Tugas pokok kita adalah mendemonstrasikan bahwa bidang tersebut dapat dimasuki dari berbagai titik, sehingga dapat diperdalam dan dapat merahasiakan problematika. Kode simbolis (SIM) adalah tempat di mana kodekode memiliki banyak tempat dan saling bertukar tempat. Artinya bahwa kode ini

15

sebagai penanda teks yang mampu membawa pembaca untuk memasuki dunia lambang-lambang atau simbol atau tanda-tanda berikut maknanya. Lambanglambang dalam wilayah simbolis ini mempunyai banyak makna yang dapat saling bertukar tempat. Kode simbolik merupakan kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda yang di dalamnya sebuah tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda, dan referensi, sehingga membawa pembaca dari satu kemungkinan makna ke kemungkinan makna lainnya.

4)

Actions (terms of the proairetic code) can fall into various sequences which

should be indicated merely by listing them, since the proairetic sequence is never more than the result of an artifice of reading: whoever reads the text amasses certain data under some generic titles for actions (stroll, murder, rendezvous), and this title embodies the sequence: the sequence exists when and because it can be given a name, it unfolds as this process of naming takes place, as title is sought or confirmed: its basis is therefore more empirical than rational, and its only logic is that of the already-done or already-read –whence the variety of sequences (some trivial,some melodramatic) and the variety of term (numerous or few) (Barthes,1974:19). Kode proaeretik dapat dimasukkan dalam beragam urutan yang hanya dapat diindikasikan dengan cara menyusunnya karena rangkaian proaeretik tidak pernah lebih daripada hasil kecerdasan membaca. Siapapun yang pernah membaca teks, menumpuk data tertentu di bawah beberapa judul generik tindakan-tindakan (berjalan, keliling, pembunuhan, pertemuan). Judul itu mewujudkan urutan. Urutan tetap eksis ketika dapat dinamai dan oleh karennya dapat dinamai. Urutan itu berkembang karena proses penamaan, sama halnya

16

dengan penentuan sebuah judul. Oleh karena itu dasarnya lebih emperikal daripada rasional, sehingga sia-sia jika mencoba memaksakannya k edalam urutan yang sah. Logika satu-satunya adalah mengenai ‘telah dikerjakan’ atau ‘telah dibaca’ dari berbagai rangkaian (beberapa sepele, beberapa melodrama) dan berbagai istilah. Kode proaeretik atau kode aksi naratif (AKS) adalah kode yang menjamin bahwa apa yang dibaca merupakan sebuah cerita yaitu serangkaian aksi-aksi yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Kemunculan sebuah aksi naratif berkaitan erat dengan proses penamaan; sebuah rangkaian aksi yang ada hanya diberi nama oleh analis. Dasar dari penamaan tersebut bersifat empiris daripada rasional.

5)

The cultural codes are references to a science or body of knowledge; in

drawing attention to them, we merely indicate the type of knowledge (physical, phsycological, literary, historical, etc.) refered to, without going so far as to construct (or reconstruct) the culture they express (Barthes,1974:20). Kode kultural merupakan kode bagi suatu ilmu atau suatu keseluruhan pengetahuan. Untuk menarik perhatiannya, kita mengindikasikan tipe pengetahuan yang diacu (fisikal, psikologikal, kesustraan, sejarah, dan lain-lain) tanpa melangkah lebih jauh, menyusun atau mengonstruksi kultur yang diekspresikan. Artinya bahwa kode kultural atau kode referensial (REF) adalah penanda-penanda yang merujuk pada seperangkat referensi atau pengetahuan umum yang mendukung teks. Analis dalam mengungkapkan kode ini cukup mengindikasikan tipe-tipe pengetahuan yang menjadi rujukan tersebut. Misalnya, sosiologi, psikologi, dan lain-lain tanpa perlu merekonstruksi kultur yang menjadi rujukan tersebut.

17

Barthes lebih memilih writerly text dalam analisis semiologinya yang diterapkannya melalui S/Z. Hal ini dikarenakan writerly text adalah cara atau langkah yang membawa pembaca sebagai seorang produsen teks bukan konsumen semata. Sebagaimana Barthes (1974:4) mengungkapkannya sebagai berikut. The writerly is to make the reader no longer a consumer, but a producer of the text. Hal tersebut menegaskan bahwa pembaca memiliki peran besar dan pusat perhatian tidak lagi ada pada pengarang, tetapi pembaca. Teks sendiri menjadi terbuka terhadap berbagai kemungkinan interpretasi. Apabila Ingin menemukan maknanya, maka harus dilakukan rekonstruksi terhadap teks tersebut dengan cara memenggal teks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Barthes juga melakukan langkah tersebut dalam menganalisis cerpen Sarrasine karya Honore de Balzac. Dengan demikian, pengarang tidak lagi menjadi perhatian karena teks sudah menjadi milik pembaca. Pembaca bebas menafsirkan makna dari hasil analisisnya dengan cara memproduksi teks. Hal tersebut ditegaskan oleh Barthes (1974:5), yaitu the writerly text is ourselves writing, before the infinite play of the world (the world as function) is traversed, interesected, stopped, plasticized by some singular system (ideology, genus, criticism) which reduces the plurality of entrances, the opening of networks, the infinity of languages. But the readerly texts are products (and not productions), they make up the enormous mass our literature.

18

1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka untuk memperoleh data-data kualitatif. Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode semiotis. Metode ini berkaitan dengan teori, yaitu metode semiotis dengan menggunakan kajian semiotika Roland Barthes. Adapun prosedur penelitian (urut-urutan penelitian) dalam metode analisis ini seperti mengumpulkan leksia, memotong-motong leksia untuk menentukan kode dalam leksia, mencari keterkaitan antarleksia, mengumpulkan atau menyatukan kode, dan menyimpulkan makna dari tiap kode yang berhipogram. Metode penelitian dapat dijabarkan ke dalam dua bagian, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka untuk memperoleh data-data kualitatif. Data-data yang dikumpulkan merupakan sumber-sumber tertulis atau data-data terkait dengan cerpen “Gerobak” sebagai objek kajian dan konsep-konsep dalam penelitian ini, yaitu melalui buku-buku teori, jurnal, koran, dan media internet. Data tersebut meliputi kategori sosial budaya, pola perilaku masyarakat, organisasi sosial, serta nilai dan norma. Datadata yang relevan tersebut kemudian dicari keterkaitannya dengan objek kajian untuk mendukung proses analisis.

19

1.6.2 Metode Analisis Data Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan kajian semiotika Roland Barthes yang terdapat dalam S/Z. Data-data kualitatif akan dihubungkan dengan objek material (cerpen “Gerobak”) untuk mendukung penelitian. Langkah pertama yang dilakukan adalah membagi cerpen “Gerobak” ke dalam

satuan-satuan

pembacaan

atau

leksia,

kemudian

melakukan

pengelompokan leksia-leksia untuk mempermudah analisis. Pada tahap tersebut akan terlihat alasan penggalan teks tersebut ditentukan sebagai leksia berikut kode yang menyertainya, sebagaimana kode dapat diketahui setelah menentukan leksia. Adapun pengelompokan yang dimaksud adalah menyatukan leksia-leksia ke dalam masing-masing kode, yaitu kode hermeneutik, kode proairetik (aksi), kode simbolik, kode semik (semantik), kode referensial (kultural). Pada langkah ini sekaligus diketahui bagaimana hubungan antarleksia, sehingga membentuk kelompok kode tersebut. Pengelompokan tersebut pun dilakukan untuk mempermudah langkah analisis data secara bertahap. Langkah berikutnya adalah menganalisis leksia dengan menggunakan tataran lima kode Barthes sebagaimana pada tahap sebelumnya telah dilakukan dugaan-dugaan kode yang terdapat di dalam leksia. Pada tiap kode tersebut ditentukan keterkaitannya dengan kode lainnya bahkan sampai melintas pada urutan leksia berikutnya yang juga di dalamnya terdapat kode-kode. Kemudian, keterkaitan antarkode dan antarleksia (secara tidak langsung) tersebut ditafsirkan untuk ditemukannya makna atau devagasi. Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan dari penemuan makna-makna secara menyeluruh dari dalam teks.

20

1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terbagi atas empat bab. Bab I berupa pendahuluan yang di dalamnya berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang terdiri atas metode pengumpulan data dan analisis data, dan sistematika penulisan. Bab II berupa relasi antarleksia dalam kelompok lima kode Barthes yang terdapat dalam cerpen “Gerobak”. Bab III berupa makna melalui relasi lima kode Barthes dalam cerpen “Gerobak”. Terakhir adalah Bab IV yang merupakan kesimpulan sebagai penutup.

21