1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... - ETD UGM

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Post Concussion Syndrome ( PCS ) merupakan suatu sequele dari cedera kepala ringan yang sampai saat ini masih ...

27 downloads 603 Views 119KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Post Concussion Syndrome ( PCS ) merupakan suatu sequele dari cedera kepala ringan yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Beberapa hal yang menyebabkan Post Concussion Syndrome masih menjadi perdebatan, antara lain ialah tentang durasi simptomnya tidak ditemukan adanya defisit neurologis, kondisi yang tidak stabil, penyebab yang masih belum jelas diketahui, dan masalah statistik yang belum signifikan menunjukkan Post Concussion Syndrome. Tergantung pada definisi dan populasi yang digunakan, sekitar 29-90% pasien akan mengalami gejala setelah concussion segera setelah terjadinya trauma kepala (Legome, 2006). Insiden cedera kepala dari tahun ke tahun makin meningkat seiring dengan meningkatnya mobilisasi penduduk, Angka kejadian cedera kepala di Amerika Serikat berdasarkan laporan Willer dan Leddy (2006) mencapai 1,5 sampai 2 juta setiap tahunnya, dimana sebanyak 85% masuk dalam kategori cedera kepala ringan (Mild Traumatic Brain Injury/ MTBI) namun memiliki efek samping yang lama. Angka ini tidak termasuk

yang mengalami penurunan

kesadaran sesaat saat terjadinya trauma, Mayoritas pasien (75%) tidak mengalami pengobatan kecuali gejala yang dialaminya memberat atau menetap. Trauma kepala juga merupakan kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit di Indonesia, walaupun belum tersedia data secara nasional (Soertidewi dkk, 2006 dan Irawan dkk, 2010). Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan, 315 pasien trauma kepala sedang, dan 28 pasien trauma kepala berat, sedangkan di RS Swasta Siloam Gleaneagles terdapat 347 kasus trauma kepala secara keseluruhan (Soertidewi dkk, 2006 dan

1

Irawan dkk, 2010). Di Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan dkk., 2010). Angka kejadian pasti cedera kepala sulit ditentukan karena berbagai faktor, misalnya sebagian kasus-kasus yang menyebabkan kematian tidak pernah sampai ke rumah sakit, di lain pihak banyak kasus yang ringan tidak datang berobat ke dokter kecuali bila kemudian timbul komplikasi, Japardi (2002) mengungkapkan bahwa dari penelitian di Skotlandia dan Kanada ditemukan bahwa perbandingan pasien cedera kepala yang tidak dirawat di rumah sakit terhadap pasien yang dirawat adalah 4-5 : 1,

Insiden cedera kepala yang nyata yang memerlukan

perawatan di rumah sakit dapat diperkirakan 480.000 kasus per tahun (200 kasus/100.000 orang), yang meliputi concussion, fraktur tulang kepala, perdarahan intrakranial, laserasi otak, hematoma dan cedera lainnya. Dari total ini 75-85% adalah concussion dan sequele cedera kepala ringan. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki berumur antara 15-24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor. Menurut Rimer et al. sebagaimana dikutip oleh Japardi (2002), dari 1200 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan cedera kepala tertutup, 55% diobati pada cedera kepala ringan. PCS (Post Concussion Syndrome) menurut definisi dari WHO (2007) adalah adanya riwayat trauma kepala yang disertai dengan hilangnya kesadaran dan onset dari gejala Post Concussion Syndrome ini maksimum terjadi setelah 4 minggu dengan tiga atau lebih dari gejala dari nyeri kepala, pusing, malaise, fatigue, intoleransi terhadap kebisingan, iritabilitas, depresi, kecemasan, labilitas dalam emosi, gangguan konsentrasi, gangguan memori, insomnia, dan hipokondria ketakutan akan adanya kerusakan otak. Dari data yang ada menunjukkan bahwa lebih dari 60% pasien yang mengalami trauma kepala mengalami Post Concussion Syndrome. Pada Post Concussion Syndrome ini belum diketahui secara pasti patofisiologinya namun

2

diperkirakan adanya gangguan (abnormalitas) perfusi jaringan otak yang sampai saat ini banyak para ahli bedah saraf hanya memberikan analgesik dan antivertigo. Pada kasus-kasus Post Concussion Syndrome secara khas terdapat gejala-gejala yang stereotipik yang hanya sedikit perbedaan dari satu pasien dengan pasien lainnya. Dari anamnesa terdapat cedera kepala ringan dengan sedikit atau tanpa gangguan kesadaran.Keluhan-keluhan tersebut terdiri atas nyeri kepala, iritabilitas, dizziness, dan depresi.vertigo jarang ditemukan, bila ada diduga akibat kerusakan pada telinga bagian dalam, N. VIII atau batang otak. Gejala lain yang jarang adalah fotofobia dan rentan terhadap suara. Kadang-kadang terdapat reaksi konversi, meliputi gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, ataksia, parese atau lebih anggota gerak dan keluhan gangguan sensorik yang tidak jelas.Gangguan kemampuan berkonsentrasi dan kesulitan dalam berfikir pada banyak pasien dapat menimbulkan ansietas. Ketidakmampuan untuk melaksanakan tugas tertentu dengan efisiensi dan kecepatan yang sama seperti sebelum terjadi cedera menimbulkan berbagai pertahanan psikologik. Beberapa pasien menjadi iritable, bersikap paranoid, sementara pada pasien lain menarik diri dari lingkungannya untuk menutupi dari kekurangannya. Depresi kadang-kadang terlihat setelah 1-3 bulan.Namun kebanyakan pasien dapat kembali bekerja dan akhirnya mengalami penurunan dari gejala-gejalanya (Japardi, 2002). Beberapa faktor resiko yang diidentifikasi dapat memicu terjadinya Post Concussion Syndrome pada pasien cedera kepala ringan menurut Aji (2011) antara lain: status sosio ekonomi yang rendah, adanya riwayat cedera kepala ringan sebelumnya, adanya nyeri kepala, terkait dengan urusan pekerjaan, jenis kelamin perempuan, dan usia lebih dari 40 tahun. Menurut Hall et al. (2005) keluhan kedua yang sering dialami pasien Post Concussion Syndrome adalah dizziness (pusing), yakni mencapai sekitar 50% dari kasus yang ada dengan prevalensi 19%-25% tiap

3

tahunnya. Umur juga berhubungan dengan risiko terjadinya Post Concussion Syndrome. Menurut Evans et al. (1999) dan Baloh (2000) sebagaimana dikutip oleh Hall et al. (2005), semakin tua seseorang, maka resiko terjadinya pusing kepala juga lebih tinggi yang berpusat pada pangkal perifer (yaitu gegar otak labirin, posisional vertigo yang tidak berbahaya, atau cedera batang otak. Adanya riwayat penggunaan alkohol, kemampuan kognitif yang rendah sebelum terjadinya cedera kepala, atau adanya gangguan personaliti atau adanya penyakit psikiatri menurut Aji (2011) juga dapat digunakan sebagai prediktor akan munculnya Post Concussion Syndrome yang persisten.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Apa saja faktor-faktor risiko terjadinya “Post Concussion Syndrome” pada pasien cedera kepala ringan di RSUP Dr. sardjito evaluasi satu tahun pasca trauma.

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuan Umum Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari kerangka penelitian berkelanjutan dengan konsep untuk mengetahui faktor risiko Post Concussion Syndrome dengan cedera kepala ringan.

4

2. Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko Post Concussion Syndrome.

D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan agar memiliki pemahaman mengenai faktorfaktor risiko terjadinya Post Concussion Syndrome, sehingga dapat memberikan edukasi pada pasien yang mengalami cedera kepala. 2. Untuk melengkapi sumber data bagi institusi kesehatan mengenai beberapa faktor risiko terjadinya Post Concussion Syndrome, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia medis, khususnya pada perkembangan dalam penatalaksanaan di bagian bedah saraf.

E. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran, didapat beberapa penelitian mengenai faktor-faktor risiko terjadinya “Post Concussion Syndrome” pada pasien cedera kepala ringan yang tertera pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Penelitian-penelitian tentang faktor-faktor risiko terjadinya Post Concussion Syndrome (PCS) pada pasien cedera kepala ringan Peneliti Garden & Sullivan, 2010

Judul An Examination of the Base Rates of Post-Concussion Symptoms: The Influence of Demographics and Depression

Metode Cross Sectional

Alat Ukur British-Columbia Post-Concussion Symptom Inventory (BC-PSI); Beck Depression Inventory II (BDI-II)

5

Hasil Terdapat hubungan positif yang kuat antara depresi dengan PCS; dan karakteristik demografi tidak berhubungan dengan PCS.

Savola &Hillbm (2003)

Early predictors of post-concussion symptoms in patients with mild head injury

Cohort Study

Rekam medis dan Post-Concussion Symptoms Questionnaire

Leddy et al., 2010

A preliminary study of subsymptom threshold exercise training for refractory postconcussion syndrome.

Eksperimen

Yang et al. (2009)

Early clinical characteristics of patients with persistent postconcussion symptoms: A prospective study

Cohort Study

Adverse reaction to exercise, PCS Simptoms, HR, systolic blood pressure (SBP), achievement of maximal exertion, and return to work/sport PCS Checklist

Herlison et al, 2011

Faktor risiko terjadinya “Post Concussion Syndrome” pada pasien cedera kepala ringan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode julidesember 2011 (Penelitian pendahuluan setelah 3 bulan dari cedera kepala ringan)

Cohort historical

PCS Checklist

6

Keberadaan patah tulang tengkorak, protein serum S-100B, pusing, dan sakit kepala dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami PCS Pengobatan dengan latihan terkontrol adalah program yang aman untuk memperbaiki gejala PCS bila dibandingkan dengan baseline tanpa pengobatan.

Gejala klinis dini dan lesi intrakranial dapat sangat terkait dengan munculnya persistent post-concussion symptoms (PPCS).

Terdapat hubungan antara muntah dan pingsan dengan Post Concusion Syndrome