BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke didefinisikan sebagai hilangnya fungsi dari otak secara mendadak karena blokade atau ruptur dari pembuluh darah otak. Klasifikasi jenis patologi stroke adalah stroke iskemik dan stroke pendarahan (Anonim, 2009). Pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi (Anonim, 2009). Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteri karotis internal dan arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung (Anonim, 2009). Berdasarkan data American Heart Association (AHA), penyakit stroke menjadi penyebab kematian kedua di dunia pada kelompok usia diatas 60 tahun dan penyebab kematian kelima pada kelompok usia 15-59 tahun. Di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbesar yang makin berkembang di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, sekitar 15% daripada insidensi stroke adalah stroke hemoragik dan 85% merupakan stroke iskemik.
1
2
Dari yang bukan stroke hemoragik, sebesar 25% disebabkan oleh penyakit pembuluh darah (lacunar stroke), 25% disebabkan oleh emboli jantung (thromboemboli strokes), dan yang lain merupakan penyakit pembuluh darah utama (Morris, 2005). Mortalitas stroke telah dijadikan salah satu parameter dalam penelitian kejadian stroke. Pada tahun 1998, menurut American Heart Association (AHA) terdapat 158.448 orang yang meninggal akibat stroke di Amerika Serikat. Stroke biasanya menyerang golongan geriatrik, yaitu penderita sudah lanjut usia dan angka kematian makin meningkat dua kali ganda setiap 10 tahun pada rentang usia 55-85 tahun. Sementara itu, menurut data World Health Organisation (WHO) tahun 2001 menyebutkan bahwa, jumlah penderita stroke di seluruh dunia berjumlah 20,5 juta jiwa. WHO memprediksikan bahwa kematian akibat stroke akan semakin meningkat seiring dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker, kurang lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta pada tahun 2030. Data yang berhasil dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan pertama di Asia sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbanyak. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, berdasarkan hasil survei Departemen Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke sebagai penyebab utama kematian pasien di Rumah Sakit Indonesia tahun 2006. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah
3
tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur. Dari hasil survei yang dilakukan oleh Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, jumlah kematian akibat stroke meningkat yakni 5,5% pada tahun 1586 dan 11,5% pada tahun 2001. Stroke mempunyai faktor risiko utama yang sama dengan penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat, aktivitas fisik, kegemukan, tekanan darah tinggi dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner dan kanker. Faktor risiko yang paling konvensional secara vaskuler adalah umur, merokok, diabetes, dan kegemukan (Anonim, 2009).
Dengan memperhatikan masalah-masalah di atas, maka penelitian tentang analisis ketepatan pengobatan stroke perlu dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan analisis ketepatan terhadap penggunaan obat stroke di RSUD Kota Mataram tahun 2011. Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pola penggunaan obat stroke dan seberapa besar tingkat ketepatan penggunaan obat pada terapi pasien stroke di RSUD Kota Mataram tahun 2011.
4
B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimana pola pengobatan stroke pada pasien di instalasi rawat inap RSUD Kota Mataram tahun 2011 ?
2.
Bagaimana ketepatan indikasi dan ketepatan pemilihan obat pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSUD Kota Mataram tahun 2011? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1.
Untuk mengetahui pola pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSUD Kota Mataram tahun 2011.
2.
Untuk mengetahui ketepatan indikasi dan ketepatan pemilihan obat pada pasien stroke terhadap standart tatalaksana terapi pengobatan stroke di RSUD Kota Mataram tahun 2011. D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat : 1.
Bermanfaat sebagai masukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan terutama dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSUD Kota Mataram.
2.
Bermanfaat bagi pihak yang terkait dan dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai kesesuaian dan ketepatan pengobatan pada penanganan pasien stroke berdasarkan standart tatalaksana terapi stroke.
3.
Sebagai bahan pembanding dan pelengkap penelitian selanjutnya.
5
E. Tinjauan Pustaka 1.
Definisi Stroke dan Faktor Risiko Stroke didefinisikan sebagai disfungsi akut neurologi dari pembuluh darah
secara mendadak (dalam detik) atau secara lebih lambat (dalam jam) dengan kejadian gejala dan tanda berhubungan dengan area fokal pada otak (Goldstein, 2001). Faktor risiko stroke dibedakan menjadi 2 macam, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi usia, jenis kelamin, ras, etnik, dan genetik. Sedangkan faktor risiko yang dapat dirubah antara lain hipertensi, penyakit jantung, Transient Ischemic Attack (TIA), diabetes melitus, hiperkolesterol, merokok, alkohol, dan pengggunaan obat yang bersifat adiksi (heroin, kokain, dan amfetamin), faktor lifestyle (obesitas, aktivitas, diet dan stress), kontrasepsi oral, migrain, dan faktor hemostatik (Dipiro dkk., 2005). Berdasarkan klasifikasi American Heart Association, terdapat dua macam tipe stroke (Ikawati, 2011) : a. Tipe oklusif atau penyumbatan, disebut juga stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan pembuluh darah. b. Tipe Hemoragik atau pendarahan adalah stroke yang disebabkan karena pendarahan intrakranial. Stroke hemoragik terdiri dari : i.
Hemoragi subarachnoid yaitu ketika darah memasuki daerah subarachnoid berhubungan dengan trauma, pecahnya aneurism
6
intrakranial, atau rupture of an arteriovenous malformation (AVM). ii.
Hemoragi intraserebral yaitu ketika pembuluh darah yang pecah dalam parenkim otak membentuk sebuah hemotoma. Tipe hemoragi ini sangat sering terjadi berhubungan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan kadang karena pemberian terapi antitrombotik atau trombolitik.
iii.
Hematoma subdural yaitu berkumpulnya darah di bagian bawah subdura, disebabkan umumnya oleh trauma.
Sejumlah 12% stroke adalah stroke pendarahan (hemoragik) dan termasuk pendarahan subaraknoid, pendarahan intraserebral, dan hematoma subdural. Pendarahan subaraknoid dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat arteriovena. Pendarahan intrasrebral terjadi ketika pembuluh darah rusak dalam parenkim otak menyebabkan pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka berat (Anonim, 2008). Pada hemoragi subarachnoid (SAH), terjadi pendarahan di mana darah memasuki daerah subraknoid, daerah yang mengelilingi otak dan spinal cord (Welty dan Horner, 1990). Penyebab utama pendarahan subaraknoid adalah aneurisme intrakranial. Tanda klasik pendarahan subaraknoid adalah sehubungan dengan pecahnya aneurisme yang besar, meliputi nyeri pada kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan muntah. Aneurisma yang berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek
7
medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala
di daerah frontal.
Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah pada suatu tempat (Anonim, 1996). Pada hemoragi intraserebral (ICH), pendarahan terjadi secara langsung di parenkim otak. Mekanisme yang umum adalah bocornya arteri intraserebral kecil yang rusak akibat hipertensi kronis, bleeding diathesis, iatrogenic anticoagulation, cerebral amyloidosis, dan penyalahgunaan kokain. Hemoragi intraserebral sering terjadi di bagian thalamus, putamen, serebelum, dan batang otak (Batang otak merupakan sebutan untuk kesatuan dari tiga struktur yaitu medulla oblongata, pons dan mesenfalon). Kerusakan lokasi tertentu di otak karena hemoragi, dapat menyebabkan lokasi sekelilingnya juga mengalamai kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan dari efek masa hematoma (Nasisi, 2010). Pendarahanan intraserebral umumnya terjadi antara umur 50-75 tahun, dan sedikit perbedaan frekuensi antara dan wanita. Beberapa diantaranya pernah mengalami infark otak atau pendarahan. Apabila ukuran hematoma cukup kecil maka tanda dan gejala adanya pendarahan intraserebral tidak nyata dan penderita tetap sadar. Pada pendarahan intraserebral, pendarahan talamus di hemisfer dominan dapat menimbulkan afasia. Prognosis bergantung pada ukuran lesi, bila lebih dari 3 cm maka biasanya bersifat fatal. Pendarahan talamus diawali
dengan contralateral hemisensory loss. Pada pendarahan
putamen, manifestasi awal adalah awitan yang sangat mendadak dengan hemiplegia, disertai sefalgia, muntah dan penurunan kesadaran. Pendarahan mesenfalon relatif jarang sekali terjadi, apabila terjadi maka muncullah paralisis
8
okulamorius (sindrom weber). Apabila pendarahan membesar maka tanda-tanda tadi menjadi bilateral. Terlibatnya formasio retikularis menyebabkan koma, dan tersumbatnya akuaduktus Sylviii menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak. Pendarahan pons pada sebagian besar kasus, pendarahan dimulai pada batas antara pons dan tegmentum di tingkat pertengahan pons. Pendarahan pons dicirikan oleh koma dalam yang mendadak tanpa didahului oleh peringatan atau nyeri kepala dan kematian dapat terjadi pada beberapa jam pertama. Pendarahan medula oblongata merupakan pendarahan yang sangat jarang terjadi dan penderita segera meninggal dunia. Pada pendarahan sereblum diagnosis yang segera ditegakkam merupakan hal essensial yang harus segera dilakukan, karena tindakan operasi dapat menolong jiwa penderita. Gejala klinis yang umumnya timbul adalah pendesakan pada fosa posterior dan peningkatan tekanan intrakranial. Pada stroke hemoragi subdural, darah yang terkumpul akibat pendarahan di bagian subdural dapat menarik air (karena osmosis) dan menyebabkan perluasan area. Perluasan tersebut dapat menekan jaringan otak dan menyebabkan pendarahan baru akibat robeknya pembuluh darah. Darah yang terkumpul dapat membentuk membran yang baru (McCaffrey, 2001). Pada beberapa kondisi pendarahan subdural, lapisan arachnoid
dari selaput otak yang robek
menyebabkan cairan serebrospinal maupun darah yang ada dapat berpenetrasi ke daerah intrakranial dan meningkatkan tekanan (Ikawati, 2011).
9
Tabel I. Perbedaan Pendarahan Intraserebral dengan Pendarahan Subaraknoid Gejala Timbulnya Nyeri Kepala Kesadaran Kejang Tanda rangsangan meninggal Hemiperase Gangguan saraf otak (sumber: Muttaqin , 2008)
PIS Dalam 1 jam Hebat Menurun Umum
PSA 1-2 menit Sangat hebat Menurun sementara Sering fokal
+/-
+++
++ +
+/+++
Sejumlah 88% dari semua stroke adalah stroke iskemik dan disebabkan oleh pembentukan
trombus
atau
emboli
yang
menghambat
arteri
serebral.
Aterosklerosis serebral adalah faktor penyebab utama dalam kebanyakan masalah stroke iskemia, walaupun 30% tidak diketahui etiologinya. Emboli dapat muncul dari intra- dan ekstra-kranial. Duapuluh persen stroke muncul dari jantung (Anonim, 2008). Stroke iskemik dapat terjadi akibat penurunan atau berhentinya sirkulasi darah sehingga neuron-neuron tidak mendapatkan substrat yang dibutuhkan. Efek iskemik yang cukup cepat terjadi karena otak kekurangan pasokan glukosa (substrat energi yang utama) dan memiliki kemampuan melakukan metabolisme anaerob (Sid, 2001). Stroke iskemik bisa terjadi akibat satu dari dua mekanisme patogenik yaitu trombosis serebri dan embolisme serebri. Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis atau vertebralis atau cabangnya, biasanya dikarenakan oleh aterosklerosis. Proses ini sering terjadi selama tidur dan mengakibatkan serangan stroke mendadak dan lengkap (Sabiston, 1995).
10
Tabel II. Perbedaan antara Stroke Iskemik dan Hemoragik Gejala Onset Waktu Peringatan Nyeri kepala Kejang Muntah Kesadaran menurun
Pemeriksaan darah pada LP Rontgen
Stroke Iskemik Sub-akut kurang Mendadak Bangun pagi/istirahat +50% TIA +/Kadang sedikit Hari ke-4 Tanda adanya aterosklerosis di retina, koroner, perifer. Emboli pada kelainan katub, fibrilasis, bising karotis +
Angiografi
Oklusi, stenosis
Ct scan
Densitas berkurang
Oftalmoskop
Fenomena silang silver wire art
+ Kemungkinan pergeseran glandula pineal Aneurisma, AVM , Massa intrahesmister/vasopasme Massa intrakranial densitas bertambah Pendarahan retina atau korpus vitreum
Normal Jernih < 250/mm3 Oklusi Di tengah
Meningkat Merah >1000/mm3 Alat pergeseran Bergeser dari bagian tengah
Kaku kuduk Tanda kemig Edema pupil Pendarahan retina Bradikardia Penyakit lain
Lumbal pungsi Tekanan Warna Eritrosit Arteriografi EEG
Stroke Hemoragik Sangat akut/ mendadak Saat aktivitas +++ + + +++ ++ + + + Sejak awal Hampir selalu hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung hemolisis (HHD)
(Sumber: Muttaqin, 2008)
Pada Stroke trombotik sering kali individu mengalami satu atau lebih serangan stroke iskemik sementara atau yang disebut Transient Ischemik Attack (TIA)
sebelum mengalami stroke trombotik
yang sebenarnya. TIA adalah
gangguan otak singkat yang bersifat reversible akibat hipoksia serebral. Stroke trombotik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar otak. Sumber utama embolus yang menyebabkan stroke adalah jantung setelah infark miokardium atau fibrilsi atrium, dan embolus yang merusak arteri karotis
11
komunis atau aorta (Corwin, 2007). Stroke jenis ini terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak. Dari 80% kasus stroke iskemik, 50% disumbangkan oleh stroke trombotik. Stroke iskemik trombotik disebut juga serebral trombosis. Serebral trombosis ini diuraikan berdasarkan jenis pembuluh darah tempat terjadinya penggumpalan, yakni trombosis pada pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil (Sutrisno, 2007). Pada stroke iskemik embolik tidak terjadi di pembuluh darah otak, melainkan terjadi pada pembuluh darah lain, pada jantung misalnya. Penggumpalan darah pada jantung mengakibatkan darah tidak dapat mengalirkan nustrisi dan oksigen untuk otak. Kelainan pada jantung ini mengakibatkan curah jantung berkurang atau tekanan perfusi yang menurun. Biasanya penyakit stroke jenis ini terjadi pada seseorang yang menjalani aktivitas fisik (Sutrisno, 2007). 2.
Manifestasi Klinik Pasien tidak dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya, karena
penurunan kemampuan kognitif atau bahasanya. Informasi perlu didapatkan dari anggota keluarga atau saksi lain. Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo, atau jatuh. Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan lebih parah pada stroke pendarahan. Pasien biasanya memiliki berbagai pertanda disfungsi sistem syaraf pada pemeriksaan fisik. Penurunan spesifik tergantung pada daerah otak yang berpengaruh. Penurunan hemi atau monoparesis dan hemisensori biasa terjadi. Pasien dengan sirkulasi posterior dapat mengalami vertigo dan diplopia. Stroke sirkulasi anterior biasanya terjadi aphasia. Pasien juga
12
dapat mengalami dysarthria, kerusakan daerah penglihatan, dan perubahan tingkat kesadaran (Anonim, 2008). 3.
Gejala Stroke Menurut World Health Association (WHO) gejala umum stroke antara lain
mati rasa (paresthesia) dan kelumpuhan (hemiparesis) secara tiba-tiba pada bagian lengan kaki, wajah, yang lebih sering terjadi pada separuh bagian tubuh. Gejala lain yang muncul antara lain bingung, kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan (aphasia), berkurangnya fungsi penglihatan pada salah satu mata (monocular visual loss) atau kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi, sakit kepala yang parah tanpa sebab, lemah bahkan tidak sadar. Efek penyakit stroke tergantung lokasi kerusakan otak dan bagaimana keparahan tersebut mempengaruhi kondisi tersebut. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan kematian (Ikawati, 2011). Tanda stroke yang dialami pasien diantaranya (Ikawati, 2011) : a. Disfungsi neurologik lebih dari satu (multiple), dan penurunan fungsi tersebut bersifat spesifik ditentukan oleh daerah di otak yang terkena. b. Hemi atau monoparesis (kelumpuhan separuh tubuh). c. Vertigo dan penglihatan yang kabur (double vision), yang dapat disebabkan oleh sirkulasi posterior yang terlibat di dalamnya. d. Aphasis (kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan).
13
e. Dysarthria (kesulitan menghafalkan ucapan dengan jelas), penurunan
lapang-pandang
visual,
dan
perubahan
tingkat
kesadaran. f. Jenis stroke dapat ditentukan melalui CT scan. CT Scan merupakan cara pemeriksaan yang penting untuk stroke. CT Scan dapat menghasilkan foto 3 dimensi otak. Pada daerah otak yang menunjukkan stroke iskemik, otak terlihat abnormal. Tanda pembengkakan juga terlihat. Mayoritas kejadian stroke (bahkan yang paling parah sekalipun) tidak menunjukkan keabnormalan sampai 12-24 jam setelah onset gejala. Selain itu CT Scan juga dapat mendeteksi pendarahan di otak, sehingga dapat menunjukkan stroke hemoragi (Morris, 2005). Selain CT Scan terdapat beberapa alat yang dapat mendukung antara lain MRI, Carotid Doppler (CD), Elektrokardiogram (ECG), Echocardiography Transthoracic (TTE),
Transesophagel
echocardiography
(TTE),
dan
Transcranial Dopller (TCD). 4.
Tatalaksana Terapi Stroke Tujuan utama pengobatan stroke akut adalah (Anonim, 2008): a. Mengurangi luka sistem saraf yang sedang berlangsung dan menurunkan kematian serta cacat jangka panjang. b. Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem syaraf pusat. c. Mencegah berulangnya stroke.
14
Pendekatan awal adalah memastikan keseimbangan pernafasan dan bantuan jantung dan memeriksa secara cepat apakah lesi adalah iskemik atau pendarahan berdasarkan pemantauan CT Scan. Pasien stroke iskemik menunjukkan beberapa jam terjadinya gejala seharusnya dievaluasi untuk terapi reperfusi. Peningkatan tekanan darah seharusnya mengingatkan bahwa tidak terobatinya periode akut (7 hari pertama) setelah stroke iskemik karena risiko penurunan aliran darah ke otak dan gejala yang lebih buruk. Tekanan darah harusnya direndahkan jika mencapai 220/120 mmHg atau terdapat bukti pembedahan aorti, infark miokardial akut, edema pulmonari, atau encefalofati hipersensitif. Jika tekanan darah diobati dalam fasa akut, senyawa parenteral kerja cepat (misal: labetolol, nikardipin, nitropusid) lebih baik digunakan (Anonim,2008). Manajemen stroke yang rasional didasarkan pada pengetahuan jenis patologi stroke. Diagnosa jenis patologi stroke dapat ditegakkan secara tepat dan aman menggunakan CT Scan kepala (Lamsudin dkk.,1998). Strategi terapi dalam pengobatan stroke didasarkan pada tipe stroke dan waktu terapi. Tipe stroke yang dialami pasien adalah tipe iskemik atau hemoragik. Pada stroke hemoragik, terapinya tergantung pada latar belakang setiap kasus hemoragiknya. Sedangkan pada fase akut stroke iskemik, terapinya dilakukan dengan merestorasi aliran darah otak dengan menghilangkan sumbatan (clots), dan menghentikan kerusakan selular yang berkaitan dengan iskemik/hipoksia. Waktu terapi yaitu terapi pada fase akut dan terapi pencegahan sekunder (rehabilitasi). Pada fase akut, therapeutic window berkisar antara 12-24 jam dengan golden period berkisar antara 3-6 jam, jika dalam rentang waktu tersebut
15
dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, kemungkinan daerah di sekitar otak yang mengalami iskemik masih dapat disebuhkan. Pada fase rehabilitasi, penggunaan obat dalam terapi umumnya life-time (konsumsi seumur hidup) (Ikawati, 2011). a. Terapi Non Farmakologi
Pada stroke iskemik akut, penanganan operasi terbatas. Operasi dekompresi dapat menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan signifikan yang berhubungan dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penanganan stroke yang mencakup rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke dan terjadinya stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid dapat efektif dalam pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi berisiko tinggi selama endarterektomi (Anonim, 2008). Pendarahan subaraknoid disebabkan oleh rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat intravena, operasi untuk memotong atau memindahkan pembuluh darah yang abnormal, penting untuk mengurangi kematian dari pendarahan. Keuntungan operasi
tidak didokumentasikan dengan baik
dalam kasus
pendarahan
interaserebral primer. Pada pasien hematomas intraserebral, insersi pada saluran pembuluh darah dengan pemantauan atau tekanan intrakranial umum dilakukan. Operasi dekompresi hematoma masih diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancam (Anonim, 2008).
16
Terapi Non farmakologi yang dapat diberikan untuk stroke iskemik adalah (Ikawati, 2011): i.
Pembedahan (Surgical Intervention) Pembedahan
yang
dilakukan
meliputi
carotid
endarterectomy, dan pembedahan lain. Tujuan terapi pembedahan adalah mencegah kekambuhan TIA dengan menghilangkan sumber oklusi. Carotid endarterectomy diindikasi untuk pasien dengan stenosis lebih dari 70%. ii.
Intervensi Endovaskuler Intervensi endovaskuler terdiri dari : angioplasty and stenting, mechanical clot disruption dan clot extraction. Tujuan dari intervensi endovaskuler adalah meghilangkan trombus dari arteri intrakranial. Terapi Non Farmakologi yang dapat diberikan untuk stroke hemoragik
adalah pembedahan (surgical intervention). Contoh pembedahan adalah carotid endarterectomy dan carotid stenting. Pembedahan hanya efektif bila lokasi pendarahan dekat dengan permukaan otak (Ikawati, 2011). b.Terapi farmakologi i.
Stroke Iskemik Pendekatan terapi pada stroke akut adalah menghilangkan sumbatan pada
aliran darah menggunakan obat-obatan.
17
Tujuan dari terapi stroke akut adalah mengurangi terjadinya luka neurologi, mortalitas, dan kelumpuhan dalam jangka panjang, mencegah komplikasi sekunder dan disfungsi neurologi serta mencegah terjadinya stroke kambuhan (Dipiro dkk., 2005). 1) Terapi Suportif dan Terapi Komplikasi Akut
Pendekatan terapi pada fase akut, difokuskan pada restortasi aliran darah otak dan menghenntikan kerusakan selular yang berkaitan dengan iskemik. Berdasarkan model stroke pada hewan percobaan, periode waktu ini (baca therapeutic window) berkisar antara 12-24 jam, walaupun secara khusus ditekankan antara 3-6 jam (Wibowo dan Gofir, 2001). Berikut merupakan terapi supportif dan terapi komplikasi akut (Ikawati, 2011 : a)
Pernafasan, ventilatory support dan suplementsi oksigen. Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah hipoksia dan potensi yang dapat memperburuk kerusakan otak. Terapi ini dapat dilakukan dengan menggunakan elective intubation dan endotracheal intubation.
b)
Pemantaun temperatur. Apabila temperatur tubuh pasien tinggi, diperlakukan terapi yang dapat menurunkan secara akurat yang diperkirakan dapat meningkatkan prognosis pasien. Obat yang berperan antara lain, aspirin, ibuprofen dan parasetamol
c)
Terapi dan pemantaun fungsi jantung. Pemantauan fungsi jantung diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya atrial fibrilasi yang paling
18
tidak diperiksa 24 jam pertama. Apabila ditemukan adanya aritmia yang serius, perlu dilakukan terapi. d)
Pemantaun tekanan darah arteri (hipertensi atau hipotensi). Tekanan darah merupakan faktor risiko, sehingga penting dilakukan pemantauan tekanan darah pasien. Apabila tekanan darah pasien terlalu rendah (<100/70mmHg), diperlukan pemberian cairan normal saline. Pemberian vasopressor (seperti dopamin) dopamin dapat dilakukan apabila normal saline kurang adekuat. Tekanan darah pasien yang tinggi perlu diterapi dengan obat antihipertensi.
e)
Pemantaun kadar gula darah (hipoglikemia atau hiperglikemia). Tujuan dilakukan adalah mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Pada kondisi hiperglikemia, pasien diterapi dengan insulin atau obat yang lain (target terapi 80-140) untuk mengurangi risiko perkembangan stroke iskemik menjadi hemoragik, sedangkan pada kondisi hipoglikemia, pasien perlu diterapi untuk mencegah terkacaunya tanda-tanda stroke iskemik dan mencegah kerusakan otak yang lain.
2) Terapi Trombolitik
Fibrinolitik yang bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan plasminogen untuk membentuk plasmin, yang lebih lanjut mendegradasi fibrin dan dengan demikian mencegah trombus. Termasuk dalam golongan ini diantaranya streptokinase, urokinase, alteplase, anistreplase (Anonim, 1996).
19
Indikasi golongan obat ini adalah untuk infark miokard akut, trombosis vena, emboli paru, trombus emboli arteri, melarutkan bekuan darah pada katup jantung buatan dan sebagai kateter intravena (Ganiswara, 1995). Golongan obat ini dikontraindikasikan pada kondisi pendarahan, trauma atau pembedahan (termasuk cabut gigi), cacat koagulasi, diatesis pendarahan, diseksi aorta, koma, riwayat penyakit serebrovaskuler, gejala-gejala tukak peptik, pendarahan vaginal, hipertensi berat, penyakit paru dengan kavitasi, pankreatis akut, penyakit hati berat, varises esophagus, dengan efek samping utamanya adalah mual, muntah dan pendarahan (Anonim, 1996). 3) Terapi Antiplatelet
Terapi antiplatelet bertujuan untuk meningkatkan kecepatan rekanalisasi spontan dan perbaikan mikrovaskuler. Agen antiplatelet dapat diberikan melalui oral maupun intravena. Pemberian agen antiplatelet oral dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi (Ikawati, 2011).
Contoh
antiplatelet yang digunakan pada terapi pasien stroke adalah aspirin, dipiridamol, tiklopidin dan klopidogrel.
Aspirin bekerja dengan cara
menghambat sikloksigenase melalui penurunan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong tromboxane A2. Dosis yang digunakan beragam, suatu penelitian yang dilakukan di Eropa (ESPS) memakai dosis aspirin 975 mg/ hari dengan dipiridamol 225 mg/hari menunjukkan hasil yang efikasius. Dipiridamol merupakan phosphodiester inhibitor,
menurunkan
agregasi platelet dengan menaikkan kadar cAMP dan cGMP dalam platelet.
20
Obat ini tidak lebih unggul jika diberikan tunggal dibandingkan aspirin, sehingga obat ini sering diberikan secara kombinasi dengan aspirin. Pasien yang tidak tahan menggunakan aspirin dapat diberikan terapi menggunakan tiklopidin atau klopidogrel. Obat ini bekerja dengan cara menghambat aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen- platelet yang diperantai oleh ADP dan antar aksi platelet-platelet (Wibowo dan Gofir, 2001) 4) Terapi Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Atas dasar ini antikoagulan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: a) Antikoagulan yang bekerja langsung b) antikoagulan yang bekerja tidak langsung, yang terdiri dari derivat kumarin misalnya ; dikumarol dan warfarin ii.
Stroke Hemoragik
Penangggulangan stroke pendarahan bergantung pada latar belakang masing-masing kasus pendarahan, pilihan obat pada stroke pendarahan antara lain δ-aminocaproicacid dan asam traneksenamat. Penggunaan δ-aminocaproicacid dapat menjadi pilihan untuk mengatasi pendarahan pada pasien dengan beraksi melawan aktivator plasminogen sedangkan asam traneksenamat bekerja secara kompetitif bahan-bahan aktifator yang mengubah plasminogen menjadi plasmin sehingga mencegah adanya pendarahan ulang.
Selain tindakan medik berupa
21
penghentian pendarahan perlu juga dilakukan pengurangan efek desak, pengendalian tekanan intrakranium, pengendalian tekanan darah, pencegahan komplikasi dan pengaturan pemberian cairan dan elektrolit-elektrolit. Penanganan efek desakan dan tekanan intrakranial dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid, manitol, dan gliserol. (Lamsudin dkk., 1998). 5.
Obat-obat Untuk Penanganan Strokea.
a. Antikoagulan
i.
Antikoagulan yang bekerja langsung
Heparin Mekanisme kerja heparin mengikat antitrombin III membentuk kompleks yang berafinitas lebih besar dari antitrombin III sendiri, terhadap faktor pembekuan darah aktif, terutama trombin dan faktor Xa. Efek antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan bolus intravena dengan dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah suntikan subkutan. Heparin cepat dimetabolisme terutama di hati. 1) Penggunaan Terapi Profilakasis trombosis vena, emboli paru-paru dan koagulapati. Heparin Na/Ca digunakan juga pada kehamilan dan masa menyusui. Selain itu sebagai terapi infark miokard dan serangan serebrovaskuler setelah terapi lisis atau apabila merupakan kontraindikasi (Anonim, 2008).
22
2) Efek Samping Kenaikan konsentrasi transaminasi, kecendrungan pendarahan (terutama pada insufiensi ginjal), pruritis, kerontokan rambut reversible, reaksi-reaksi hipersensitivitas, nyeri kepala, trombositopenia yang diinduksi oleh heparin (Anonim, 2008). 3) Kontraindikasi Peningkatan kecendrungan pendarahan, lesi pembuluh darah, hipertensi berat tukak lambung-usus, pungsi lumbal, nephrolithiasis, alkoholisme kronis, injeksi IM, endokarditis bakterial, abortus imminens, trombositopenia (Anonim, 2008). 4) Interaksi Penguatan efek karena asam salisilat, dekstran, antikoagulan, penisilin IV, antiflogistik non-steroid; kehilangan efek karena asam askorbat, antihistamin, digitalis, nikotin, nitrogliserin, tettrasiklin, penguat efek propanolol karena pendesakan keluar dari ikatan protein plasma (Anonim, 2008). ii.
Antikoagulan yang bekerja tidak langsung (oral)
Derivat Kumarin Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalah kofaktor yang berperan dalam aktivitas faktor pembekuan darah II, VII, IX, X yaitu dalam merubah residu asam gamakarboksiglutamat. Untuk berfungsi, vitamin K mengalami siklus reduksi dan oksidasi di hati.
23
Antikoagulan oral mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivitas faktor-faktor pembekuan darah terganggu. Karena efek antikoagulan oral berdasarkan penghambatan produksi faktor pembekuan, efeknya baru nyata setelah sedikitnya 12-24 jam, yaitu setelah kadar-kadar faktor tersebut menurun (Ganiswara, 1995). 1) Penggunaan terapi Pembentukan trombus kardial (katup jantung buatan aneurism dinding jantung), transplantasi pembuluh darah, trombosis, dan emboli (Anonim, 2008). 2) Efek Samping Pendarahan,
mual,
muntah,
kerontokan
rambut,
kerusakan
parenkim hati dan diare (Anonim, 2008). 3) Kontraindikasi Kehamilan, kecendrungan pendarahan yang meningkat, lesi pembuluh darah, misalnya hipertensi berat, tukak lambung-usus, pungsi lumbal, compliance yang jelek. Tuberkolosis kavernosa, eplilepsi, nefrolitiasis, alkoholisme kronis,
injeksi i.m, endokarditis bakterail
(Anonim, 2008). 4) Interaksi Berikut merupakan interaksi dari derivat kumarin (Anonim,2008) : a)
Penguatan efek oleh : NSAR, Fibrat, berbagai jenis antibiotik spektrum lebar, alopurin, hormon kelenjar tiroid, kinidin,
24
simetidin,
dihidroergotoksin,
asam
valproat,
aktivator
plasminogen, sulfinpirazon. b)
Kehilangan efek oleh : barbiturat , rifampisin, karbamazepin, kolestiramin, digitalis, diuretik, glukokortikoid, griseofulvin, haloperidol, penghambat ovulasi
c)
Kumarin mempeerkuat golongan sulfonilurea, fenitoin
d)
Etanol
b. Antiplatelet i.
Aspirin
Aspirin merupakan pilihan utama antiplatelet pada penderita stroke atau TIA dibandingkan yang lainnya. Aspirin bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, menghasilkan efek analgesik, menghambat aktivitas inflamasi, dan pelepasan platelet. Aspirin juga menghambat jalur lipooksigenase seperti leukotrin yang memiliki sifat vasokontriksi serta metabolit seperti asam 15-hidro-peroksi-ekosa-tetranoik (15-HPETE) dan asam hidoksi-ekosa-tetranoik (15-HETE) yang mempunyai khasian antiagregasi trombosis (Tatro, 2003). 1) Penggunaan Terapi Digunakan sebagai terapi untuk nyeri ringan-sedang, inflamasi, dan demam; dapat digunakan untuk terapi pemeliharaan infark miokard; terapi pemeliharaan stroke iskemik, demam rematik, osteoritis, goat (dosis tinggi) (Lacy dkk., 2006).
25
2) Efek Samping Seperti obat lainnya yang mempengaruhi hemostatis, pendarahan adalah efek samping utama dari aspirin. Perdarahan dapat terjadi pada virtuality situs manapun. Risiko tergantung pada beberapa variabel, termasuk administrasi dosis, penggunaan bersamaan beberapa agen yang mengubah hemostatis, dan predisposisi pasien. Besarnya efek samping dari aspirin dipengaruhi oleh dosis, jarang terjadi pada dosis rendah. Reaksi serius lainnya adalah idiosyncratis, alergi pada individu (Lacy dkk., 2006). 3) Kontraindikasi Hipersensitivitas
terhadap
salisilat,
NSAIDs
lainnya,
atau
komponen lain dalam formulasi; asma; rhinitis; polip hidung; mewarisi gangguan pendarahan (termasuk defisiensi faktor VII dan IX ); jangan digunakan untuk pasien dibawah 16 tahun untuk infeksi viral (chikenpox atau jenis flu lainnya), dengan atau tanpa demam, karena kemungkinan reye’s syndrome; dan kehamilan terutama trimester ketiga (Lacy dkk., 2006). 4) Interaksi Peningkatan efek/ toksisitas: aspirin dapat meningkatkan serum level methotrexate dan dapat menggantikan posisi asam valproat pada binding site
sehingga dapat mengakibatkan efek toksik. NSAIDs dan
aspirin dapat meningkatkan efek samping gangguan GI. Aspirin bersama oral antikoagulan (warfarin), agen trombolitik, heparin, heparin bobot molekul rendah, dan agen antiplatelet (tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol,
26
NSAIDs, dan antagonis IIb/Iia) dapat mengakibatkan risiko pendarahan (Lacy dkk., 2006). Penurunan efek: penurunan efek ACE inhibitor dapat terjadi oleh aspirin (teruatama pada dosis tinggi). Aspirin dapat menurunkan efek betablocker, loop diuretik (furosemid), diuretik tiazid, dan probenecid. Aspirin dapat menurun konsentrasi NSAIDs dalam serum dan menurunkan efek probenecid (Lacy dkk., 2006). ii.
Tiklopidin Tiklopidin menghasilkan suatu metabolit yang menghambat
reseptor ADP
di hati dengan cara ini pengikatan fibrinogen dengan
glikoprotein IIIb/IIIa dihambat sehingga agregasi trombosit terganggu. Tiklopidin mempunyai efek samping yang lebih banyak antara lain netropenia agranulositosis dan diare (Tatro, 2003). 1) Penggunaan Terapi Tiklopidin digunakan untuk terapi profilaksis sekunder terhadap infark otak dan jantung pada pasien yang tidak tahan terhadap asam asetilsalisilat atau mendapat serangan baru waktu menggunakan asam asetilsalisilat. Hambatan agregat trombosit pada pasien dialisis dengan komplikasi shunt apabila tidak tahan asam asetilsalisilat (Anonim, 2008). 2) Efek Samping Gangguan GI, vertigo, nyeri kepala, hiperlipidemia (pengobatan jangka panjang), jarang perubahan gambaran darah atau gangguan fungsi hati (Anonim, 2008).
27
3) Kontraindikasi Perubahan gambaran darah, kecendrungan pendarahan, kehamilan, masa menyusui, anak-anak (Anonim, 2008). 4) Interaksi Meningkarkan risiko pendarahan dengan penggunaan bersama antikoagulan lain ; perpanjangan efek karena obat tidur dan penenang (Anonim, 2008). iii.
Klopidogrel Klopidogrel adalah inhibitor ADP yang menginduksi pelepasan
platelet
bekerja
secara
langsung
menghamabat
ADP
(Adenosin
diphosphate) berikatan dengan reseptornya dan kemudian ADP memediasi aktivasi kompleks glikoprotein GP IIb/IIIa (Anonim, 2008). 1) Penggunaan Terapi Klopidogrel digunakan untuk terapi profilaksis sekunder terhadap infark otak dan jantung pada pasien yang tidak tahan terhadap asam
asetilsalisilat
atau
mendapat
serangan
baru
waktu
menggunakan asam asetilsalisilat. Hambatan agregat trombosit pada pasien dialisis dengan komplikasi shunt apabila tidak tahan asam asetilsalisilat (Anonim, 2008). 2) Efek samping Pendarahan GI, pendarahan hidung, hematoma, perubahan gambaran darah, dan keluhan GI (Anonim, 2008).
28
3) Kontraindikasi Perubahan gambaran darah, gangguan hati berat, kecendrungan pendarahan, kehamilan (Anonim, 2008). c. Fibrinolitik
Alteplase Komite Nasional American Heart Association dan Europe Stroke Innitiative merekomendasikan penggunaannya untuk 3-4,5 jam onset stroke. Pemberian intravena alteplase (0,9 mg/kg BB maksimal 90 mg) dengan 10% dosisnya diberikan bolus, diikuti dengan infus yang berlangsung selama 60 menit. Pada pasien stroke penggunaan alteplase ditujukan untuk memperbaiki perfusi lairan darah dan mengurangi risiko cacat pada pasien akibat serangan stroke. Pemberian alteplase hanya bisa diberikan untuk pasien stroke yang dirawat di Rumah Sakit yang memiliki pelayana stroke yang mapan dan pasien harus memenuhi beberapa kriteria inklusi untuk dapat diterapi dengan alteplase. 1) Pengunaan Terapi Digunakan untuk membuka pembuluh darah akibat infark miokard akut dan pulomary embolism (Lacy dkk., 2006). Terapi untuk iskemik akut: untuk perdarahan intrakranial atau dicurgai perdarahan subarachnoid, baru saja (sekitar 3 bulan) menjalani operasi intrakranial atau intraspinal; jantung kardiak berkepanjangan, diduga diseksi aorta, trauma kepala yang serius atau riwayat, riwayat
29
perdarahan intrakranial, hipertensi yang tidak terkontrol dengan terapi (>185/110 mmHg), kejang pada awal stroke, pendarahan aktif (Lacy dkk., 2006). 2) Efek-efek Samping Seperti kebanyakan obat yang dapat mengakibatkan hemostatis, pendarahan adalah efek samping utamanya. Perdarahan dapat terjadi pada virtuality situs manapun. Risiko tergantung pada beberapa variabel, termasuk administrasi dosis, penggunaan bersamaan beberapa agen yang mengubah hemostatis, dan predisposisi pasien. Lisis yang cepat pada thrombi arteri koroner oleh agen trombolitik mungkin berhubungan dengan reperfusi terkait atrium dan/atau ventrikel aritmia (Lacy dkk., 2006). 3) Kontraindikasi Hipersensitivitas
terhadap
alteplase
atau
komponen
dalam
formulasi 4) Interaksi Peningkatan efek/toksisitas: potensi pendarahan penggunaan alteplase meningkat dengan penggunaan bersama dengan antikoagulan seperti warfarin, heparin, heparin dengan berat molekul rendah, obat dengan efek antiplatelet seperti NSAIDs, dipiridamol, ticlopidin, klopidogrel, IIb/IIa antagonis. Penggunaan bersama dengan heparin dan warfarin dapat meningkatkan risiko pendarahan (Lacy dkk., 2006).
30
Penurunan efek: aminocaproic acid (suatu agen antifibrinolitik) dapat menurunkan keefektivan terapi trombolitik. Nitrogliserin dapat meningkatkan klirens hepatic dari alteplase, sehingga menurunkan efek alteplase (Lacy dkk., 2006). d. Antihipertensi
Terapi hipertensi dibutuhkan karena hipertensi merupakan faktor risiko
(50% pada stroke iskemik dan 60% pada stroke hemoragik).
Penggunaan antihipertensi harus memperhatikan aliran darak ke otak dan aliran darah perifer untuk menjaga fungsi serebral.
Gambar 1. Meningkatnya risiko stroke seiiring dengan meningkatnya tekanan diastolik darah (Geyer dan Gomez, 2009)
Hipertensi merupakan faktor risiko dari stroke yang dapat dimodifikasi. Semakin tinggi tekanan darah seseorang maka semakin tinggi risiko terserang stroke.
31
Obat
pilihan
antihipertensi
yang
digunakan
untuk
terapi
pencegahan stroke adalah golongan Angiotensin II Receptor Antagonist (AIIRA) contohnya candesartan atau golongan ACE inhibitor. Namun demikian harus selalu disesuaikan dengan kondisi pasien terhadap pengobatan (Kirshner dkk., 2005). i.
Angiotensin-converting enzym inhibitor
ACE memfasilitasi produksi angiotensin II yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah.
ACE didistribusikan pada
banyak jaringan dan terdapat pada beberapa tipe sel yang berbeda, namun utamanya terletak pada sel endotelial. Karena itu, lokasi utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah, bukan di ginjal. ACE inhibitor menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, yang dapat mengakibatkan vasokontriksi dan menstimulasi sekresi aldosteron. ACE inhibitor dapat menurunkan aldosteron dan meningkatkan konsentrasi serum pottasium (Dipiro dkk., 2009). 1) Efek Samping Neutropenia, agranulosit, proteinuria, glomerulonefritis, dan gagal ginjal akut; efek ini terjadi pada penderita kurang dari 1% pasien (Anonim, 2008).
32
2) Kontraindikasi Ibu hamil karena dapat mengakibatkan neonatal, termasuk gagal ginjal dan kematian janin. Hal ini dilaporkan untuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga (Anonim, 2008). ii.
Angiotensin II Receptor Blockers
Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin angiotensin (termasuk ACE) dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. ACE inhibitor hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB menahan langsung reseptor angiotensin
tipe I (AT1), reseptor yang
memperantarai efek angiotensin II (vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen glomerolus) (Dipiro dkk., 2009). 1) Efek Samping ARB memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan antihipertensi yang lain. Batuk jarang terjadi pada penggunaan obat ini. ARB sama dengan ACE inhibitor dapat mengakibatkan insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik. Angioedema yang terjadi pada penggunaan obat ini lebih jarang dibandingkan pengggunaan ACE inhibitor (Dipiro dkk., 2009). 2) Kontraindikasi ARB dikontraindikasikan untuk ibu hamil (Dipiro dkk., 2009).
33
5. Evaluasi Hasil Terapi Pada pasien dengan stroke akut harus di monitoring secara ketat pada tingkat keparahan neorologi, komplikasi, dan efek samping dari pengobatan. Alasan utama penyebab memburuknya keadaan pasien stroke adalah (Dipiro dkk., 2009) : a. perpanjangan lesi awal di otak b. peningkatan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial c. hypertensive emergency d. infeksi e. tromboemboli vena f. abnormalitas elektrolit dan rhythm disturbance, g. kekambuhan stroke F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan dan mengetahui tingkat ketepatan pengobatan pasien Stroke di instalasi rawat inap RSUD Kota Mataram tahun 2011 terhadap standart pelayanan medik RSUD Kota Mataram tahun 2011 yang meliputi tepat indikasi dan tepat obat.