1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera ... - ETD UGM

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala mengenai hampir 1,5 juta orang di Amerika Serikat setiap tahunnya dan 240.000 orang membutuhkan rawat in...

25 downloads 662 Views 102KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala mengenai hampir 1,5 juta orang di Amerika Serikat setiap tahunnya dan 240.000 orang membutuhkan rawat inap untuk pengobatan trauma mereka (Frey et al., 2007). Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 orang mengalami cacat neurologis permanen. Kerugian finansial karena kehilangan produktivitas dan biaya perawatan medis sekitar 100 milyar dolar Amerika pertahunnya (Marik et al., 2002). Di Indonesia, walaupun belum tersedia data secara nasional, cedera kepala juga merupakan kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit. Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien cedera kepala ringan, 315 pasien cedera kepala sedang, dan 28 pasien cedera kepala berat, sedangkan di RS Swasta Siloam Gleaneagles terdapat 347 kasus cedera kepala secara keseluruhan. Di Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien cedera kepala mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan et al., 2010). Menurut laporan tahunan Instalasi Rawat Darurat RSUP. DR. Sardjito tahun 2006, angka kejadian cedera kepala adalah sebesar 75% (Barmawi, 2007). Cedera kepala akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini ( Perdossi, 2006). Hal ini juga berhubungan dengan mobilitas yang 1

2

tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah (Japardi, 2004). Laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera otak karena trauma dibanding wanita dengan perbandingan 2:1 (Elf, 2005). Menentukan prognosis pada penderita dengan cedera kepala seringkali sulit, sedangkan sebuah prognosis yang akurat sangat penting untuk membuat suatu keputusan. Kenyataannya sulit untuk menentukan prognosis akhir segera setelah cedera kepala. Hal ini disebabkan karena keterbatasan penilaian klinik (clinical assessment) awal, lamanya penyembuhan pada penderita cedera kepala, serta banyaknya faktor dan variabel yang dapat mempengaruhi prognosis (Sastrodiningrat, 2007). Faktor intrakranial dan ekstrakranial penyebab cedera kepala sekunder adalah target utama untuk intervensi medis dan mencegah kerusakan otak. Teknologi yang memonitor penyebab cedera kepala sekunder adalah penting sebagai guiding pengobatan untuk hasil yang lebih baik pada pasien cedera kepala (Bader, 2006; Barton et al., 2005; Dutton & McCunn, 2003; Jeremitsky et al., 2003; Lang et al., 2003; Stocchetti, Furlan, Adriano, & Volta,1996; Valadka & Robertson, 2007). Salah satu faktor ekstrakranial yang memperburuk prognosis pasien cedera kepala adalah hiponatremia. Hiponatremia sering terjadi pada cedera kepala, karena sistem saraf pusat berperan dalam mengatur homeostasis natrium dan air. Cedera kepala menyebabkan respon stress dan aktivasi hipotalamik-pituitari-adrenal-axis. Hal ini menyebabkan

3

peningkatan atrial natriuretik peptide (ANP) dan brain natriuretik peptide (BNP) yang mengakibatkan peningkatan arginin vasopressin sehingga terjadi hiponatremia (Adiga et al., 2012). Hiponatremia akan menyebabkan udem serebri, kematian sel-sel otak dan meningkatkan tekanan intrakranial sehingga menyebabkan terjadinya herniasi dan kematian pasien. Hiponatremia secara signifikan menghasilkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi yaitu 17,9% pada pasien rawat inap (Verbalis, 2007). Beberapa studi mendapatkan angka mortalitas, Gill et al. 2006 menyatakan bahwa 50% pasien dengan kadar natrium dalam darah < 115 mmol/l mengalami mortalitas, sedangkan Clayton et al. 2006 menyatakan bahwa 25% pasien dengan kadar natrium < 125 mmol/l mengalami mortalitas di rumah sakit dan 45% terjadi setelah dievaluasi 6 bulan (Hannon & Thompson, 2010). Hiponatremia terjadi pada 27,2% cedera kepala dan 16,6 % terdapat cedera kepala berat, tetapi tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara hiponatremia dengan outcome pada pasien cedera kepala. (Lohani & Devkota, 2011). Penelitian retrospektif lain didapatkan hiponatremia terdapat 16,8% pasien cedera kepala, 50,7% pada hematoma subdural (SDH), 25 % pada hematoma epidural (EDH), 47,9% pada contusio cerebri dan 50% pada diffuse axonal injury (DAI). Penelitian ini menunjukan hubungan yang bermakna antara hiponatremia pada cedera kepala dengan lama perawatan di rumah sakit, selain itu pasien cedera kepala dengan hiponatremia didapatkan outcome buruk sebesar 18%, sedangkan pasien

4

cedera kepala dengan normonatremia didapatkan outcome buruk sebesar 5% (Moro et al., 2006). Menurut Adiga et al. (2012) hiponatremia terjadi pada 64% pasien cedera kepala. Penelitian tersebut terdapat hubungan yang bermakna antara hiponatremia dengan keparahan cedera kepala, tetapi tidak bermakna dengan outcome. Menurut Albanese et al. (2001) kejadian hiponatremia pada cedera kepala berat sebesar 31,5% dan meningkatkan angka kematian sebesar 14,3%. Penelitian lain menyebutkan hiponatremia sebesar 40% pada cedera kepala, dan 73,9% hiponatremia terjadi pada cedera kepala berat. Penelitian tersebut menunjukan hubungan yang bermakna antara tingkat keparahan cedera kepala dengan hiponatremia, tetapi tidak meneliti dengan outcome (Zhang et al., 2010). Menurut Van Beek et al., (2007) kadar natrium menunjukan hubungan berbentuk U dengan outcome, yaitu semakin rendah dan tinggi kadar natrium, outcome cedera kepala semakin buruk. Penelitian mengenai hiponatremia pada cedera kepala di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini terbukti dengan belum banyak ditemukan kepustakaan yang membahas mengenai hal tersebut, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan alasan tersebut perlu dilakukan penelitian tentang hiponatremia sebagai prediktor outcome di RS Dr.Sardjito.

5

B. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang yang telah diuraikan di atas terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Angka kejadian hiponatremia pada pasien cedera kepala cukup tinggi. 2. Pengaruh kadar natrium pada penderita cedera kepala masih

diperdebatkan.   

C. Pertanyaan Penelitian Apakah hiponatremia merupakan prediktor kematian cedera kepala berat? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hiponatremia sebagai prediktor kematian cedera kepala berat. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini bila terbukti hiponatremia sebagai prediktor kematian cedera kepala berat, akan memberikan manfaat bagi klinisi dalam menentukan prognosis kematian penderita cedera kepala berat sehingga dapat melakukan tindakan antisipasi yang lebih tepat, baik pada penderita maupun keluarganya, serta dalam memilih tindakan selanjutnya.

6

F. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran pustaka didapatkan penelitian mengenai hiponatremia pada cedera kepala berat, tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Penelitian tentang hiponatremia Peneliti,

Metode

Hasil

Judul Lohani et al., (2011), Hyponatremia in Patients with Traumatic Brain Injury : Etiology, Incidence, and Severity Correlation

Studi kohort prospektif

Moro et al., (2006), Hyponatremia in patients with traumatic brain injury : incidence, mechanism, and response to sodium supplementation or retention therapy with hydrocortisone Van Beek et al., (2007), Prognostic Value of Admission Laboratory Parameters in Traumatic Brain Injury : Result from the IMPACT Study El-Dabah & Elgebali, (2013), Hyponatremia in acute head injury : Correlation with severity and mortality

Studi kohort retrospektif

Penelitian ini

Studi kohort prospektif

Studi kohort prospektif

Studi kasus-kontrol

Hiponatremia didapatkan 27,2% pada pasien cedera kepala, 16,6% pada cedera kepala berat, tidak didapatkan hubungan antara hiponatremia dan outcome Hiponatremia pada cedera kepala berhubungan dengan outcome buruk dan lama perawatan

Kadar natrium menunjukan hubungan berbentuk U dengan outcome, semakin rendah dan tinggi kadar natrium, outcome semakin buruk Kadar natrium dalam darah sebagai prediktor kematian pada cedera kepala lebih rendah daripada kadar natrium dalam urin.