BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... - ETD UGM

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Batuk dan demam merupakan faktor risiko untuk pengembangan pneumonia (Fatmi & White, 2002). .... Berdasarka...

19 downloads 673 Views 78KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Batuk dan demam merupakan faktor risiko untuk pengembangan pneumonia (Fatmi & White, 2002). Walaupun kondisi anak usia 0-4 tahun dengan batuk akut di puskesmas menjadi lebih baik namun 5%-10% nya berkembang menjadi bronchitis dan atau pneumonia (Hay & Wilson, 2002). Sebagian besar kematian akibat ISPA di negara berkembang karena pneumonia (WHO, 1996). Fokus manajemen ISPA adalah deteksi dan terapi pneumonia serta manajemen anak batuk dan demam dengan memastikan kondisinya bukan pneumonia (WHO, 2001). Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak-anak di seluruh dunia. Lebih dari 2 juta anak-anak dibawah 5 tahun mati karena pneumonia per tahun (ICDDR, 2008). Lebih dari 100 anak meninggal karena pneumonia di dunia setiap jam (R. E. Black & Arifeen, 2012). Kematian karena pneumonia banyak terjadi di negara-negara berkembang, yang jumlahnya lebih besar dari jumlah kematian akibat AIDS, malaria, dan TBC kombinasi (WHO, 2007). Hanya 1 dari 5 petugas kesehatan

yang tahu bagaimana

mendiagnosis

pneumonia (IVAC, 2008). Diagnosis

memainkan

peran

penting

dalam

perawatan

medis

(Roychowdhury et al., 2004). Salah satu tantangan yang paling penting dalam manajemen pneumonia adalah diagnosis dini dan tepat (Reissig, Gramegna, & Aliberti, 2012). Sementara dokter mungkin memiliki perbedaan konsepsi tentang apa yang mereka maksud dengan diagnosis. Keahlian individu bervariasi antar tenaga kesehatan akan menyebabkan masalah diagnosis yang berbeda dalam mengevaluasi kondisi pasien yang sama baik dengan langkah-langkah yang berbeda maupun sama (Berner, 2007).

1

2

Manajemen Terpadu Balita sakit (MTBS) adalah sebuah pendekatan untuk mengurangi kematian, memperbaiki perkembangan dan kesehatan anak di komunitas, fasilitas kesehatan, dan jenjang sistem kesehatan (J. A. Schellenberg et al., 2004). Penilaian MTBS pada anak sakit merupakan kombinasi dari tandatanda individu yang mengarah ke satu atau lebih klasifikasi, bukan untuk diagnosis (UNICEF & WHO, 2004). Algoritma MTBS cukup kritis dalam memutuskan

apakah

anak-anak

batuk

karena

pneumonia

atau

tidak,

sensitivitasnya mendeteksi pneumonia cukup tinggi (97%) (Gove, 1997). Klasifikasi penyakit pneumonia dengan menggunakan algoritma MTBS dibandingkan dengan diagnosis dokter memiliki sensitivitas

97% dan

spesifisitas 49% (Perkins et al., 1997). Dengan menerapkan MTBS selama 2 tahun, angka kematian anak di Tanzania menurun sebesar 13% (J. A. Schellenberg et al., 2004). Salah satu masalah kesehatan terbesar saat ini adalah medical error (Robert et al., 2003). Dalam

perawatan kesehatan dengan sistem yang sangat kompleks,

berpeluang untuk terjadinya banyak kesalahan. Manusia dapat membuat kesalahan dalam semua lini pekerjaan. Pasien harus memiliki jaminan bahwa pengobatan medis yang dijalaninya berjalan baik dan aman untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kesalahan dapat dicegah dengan merancang sistem yang membuat orang sulit untuk melakukan kesalahan dan mudah untuk melakukan hal yang benar dan diperlukan upaya terpadu oleh organisasi profesi, pelayanan kesehatan, konsumen, regulator dan pembuat kebijakan (Kohn, Corrigan, & Donaldson, 2000). Kesalahan yang dilaporkan dalam rekam medis mencakup terapi, diagnosis, layanan operasional atau administratif terkait yang berhubungan dengan semua pelayanan maupun bukan-perawatan kesehatan. Kesalahan pengobatan

adalah

kesalahan

yang

paling

umum

secara

eksplisit

didokumentasikan dalam rekam medis (Cao, Stetson, & Hripcsak, 2003). Rumah sakit dan para dokter di Amerika menggunakan rekam medis elektronik dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan kesembuhan pasien, meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya, meningkatkan prosedur

3

penagihan,

mengurangi

hilangnya

arsip,

data,

kesalahan

medis,

dan

menyediakan dokumen riwayat pasien dengan baik (Kukafka et al., 2007). Saat ini ilmu komputer telah merevolusi dunia dan menjadi komponen vital dari kehidupan kita. Komputerisasi di bidang kesehatan utamanya penggunaan rekam medis elektronik mengalami perkembangan yang cepat terutama di negara- negara barat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Jepang

rekam medis elektronik dimulai tahun 1999.

Amerika

memulai menggunakan rekam medis elektronik bagi seluruh penduduknya sejak tahun 2004 (Nakamura, 2006). Di beberapa negara penggunaan rekam medis elektronik berkisar dari 50% sampai 90% (Wang et al., 2002). Organisasi kesehatan di seluruh dunia sedang aktif mengembangkan rekam kesehatan elektronik dan sistem pendukung keputusan klinis (SPKK) untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Sistem pendukung keputusan klinis memberikan jaminan panduan pengobatan evidence based yang potensial diadopsi untuk perawatan pasien (Li et al., 2012). Clinical guideline bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang diterima pasien. Mengkoding, menafsirkan dan mengintegrasikan pedoman klinis dalam format komputer dengan rekam medis elektronik dapat mengaktifkan kapan dan dimana pengiriman rekomendasi dibutuhkan (Peleg, Keren & Denekamp, 2008). Computerized physician order entry (CPOE) dan SPKK dapat mengurangi lebih dari 85% kesalahan medis serius (D. W Bates et al., 2003). Sistem pendukung keputusan klinis yang terintegrasi dalam rekam medis elektronik menjamin meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan. Sampai saat ini efektivitas SPKK jauh dari yang diharapkan, terutama mengenai manajemen rawat jalan penyakit kronis. Hal ini disebabkan, karena dokter tidak menggunakan SPKK sepenuhnya. Hambatan untuk penggunaan SPKK oleh dokter karena desainnya belum terintegrasi dalam alur kerja tenaga kesehatan, relevansi penanganan pasien, penggunaan perangkat lunak dan antisipasi kebutuhan operator (Edmonson, Smith-Akin & Bernstam, 2007, Li et al., 2012).

4

Untuk mendukung efektifitas tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan rutin pada pasien, SPKK membutuhkan integrasi dengan sistem informasi klinik dan alur kerja tenaga kesehatan. Integrasi sistem dengan alur kerja dan sistem informasi tenaga kesehatan sangat penting untuk mempengaruhi bagaimana sistem diaplikasikan dalam pelayanan kepada pasien (Support, 2001). Sistem Pendukung Keputusan Klinik meningkatkan kinerja tenaga kesehatan sebesar 64% yang meliputi 40% sistem diagnostik, 76% sistem pengingat, 62% sistem manajemen penyakit, dan 66% sistem peresepan (A. X. Garg et al., 2005). Sistem pendukung keputusan klinis paling efektif ketika digunakan untuk memberikan rekomendasi antibiotik untuk pneumonia dan aspirin untuk myocardial infarction (Melnick et al., 2010). Kekuatan SPKK adalah dapat mengambil dan memproses data dalam jumlah besar, jangka waktu pendek, akses data terpadu pasien lebih lengkap untuk

meningkatkan

keakuratan

dan

ketepatan

rekomendasi

yang

terkomputerisasi (Aronsky et al., 2001). Sistem pendukung keputusan klinik yang memiliki pengingat yang terkomputerisasi menyebabkan peningkatan vaksinasi untuk pencegahan pneumokokus dan influensa dari 6,1% menjadi 28,4%. SPKK juga dapat membantu mengatasi masalah kontraindikasi dari peresepan antimikroba (Evans et al., 1998). Sistem pendukung keputusan klinik dalam mendiagnosis acute respiratory infections (ARI) di puskesmas berkisar antara 39,4% - 77,2%. Dari delapan penyakit ARI, penggunaan SPKK untuk diagnosis pneumonia anak maupun dewasa menunjukkan prosentase terkecil (Nietert, 2012). Indonesia termasuk dalam urutan kedelapan dari 10 negara terbesar kematian anak akibat pneumonia.

Lebih dari 80% kematian akibat pneumonia disebabkan oleh

Pertusis dan TBC. Diagnosis sebagai tersangka pneumonia anak di fasilitas kesehatan sebesar 66% (Black et al., 2010). Pneumonia merupakan penyebab terbesar kematian bayi dan balita di Indonesia. Susenas, 2001 mencatat bahwa kasus kematian ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) akibat pneumonia sebesar 80-90% (Depkes RI, 2010). Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian

5

bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita nomer 2 (15,5%) dari seluruh kematian balita (Riskesdas, 2007). Angka ini sangat besar, sehingga perlu menjadi perhatian agar angka kematian ini dapat diturunkan (Depkes RI, 2010). Angka kesakitan pneumonia balita yang tinggi di unit rawat jalan puskesmas pada penelitian (Mardijanto & Hasanbasri, 2005) menyimpulkan bahwa kinerja proses MTBS tidak bertambah baik selama periode 2001-2003, seperti pengisian formulir MTBS dan pembuatan klasifikasi keluhan yang belum lengkap, penggunaan kotrimoksasol yang masih memprihatinkan, dan masih ditemukannya beberapa kasus dimana antibiotik diberikan pada balita sakit dengan klasifikasi bukan pnemonia yang seharusnya hanya

diberikan obat

pelega tenggorokan saja. Berdasarkan laporan kematian anak dan laporan bulanan KIA Propinsi Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk. Di Jawa Timur, pneumonia merupakan penyebab kematian nomer 2 (10,4%) pada balita. Tahun 2011 pneumonia tidak termasuk 10 besar penyakit penyebab kematian pada balita digantikan ISPA (13,5%) sebagai penyebab utamanya (Dinkes Jatim, 2010). Pneumonia merupakan penyebab kematian nomer 1 (23,8%) pada balita di Nganjuk tahun 2010, dan penyebab nomer 3 (12,5%) pada tahun 2011. Permasalahan rekam medis elektronik seluruh puskesmas di Kabupaten Nganjuk ternyata belum dapat menggambarkan kondisi

riil.

Dari studi

pendahuluan didapatkan bahwa ketidaklengkapan data rekam medis elektronik (RME) dari 20 puskesmas mulai bulan Juli-November 2011 sebesar 49,91%. Dengan rincian anamnesa tidak diisi 19,93%, pemeriksaan fisik tidak diisi 41,77%, diagnosis tidak diisi 2,78%, hasil laborat tidak diisi sebesar 63,38% dan 20,16% resep tidak terdokumentasi dalam RME. Oleh karena itu perlu dilakukannya redesain RME di seluruh puskesmas. Isue penting yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah bahwa rekam medis elektronik yang merupakan salah satu komponen electronic health record/rekam kesehatan elektronik memiliki fungsi

kuat sebagai informasi

6

klinis dan diharapkan dapat berfungsi optimal dalam menunjang akurasi diagnosis dan terapi bagi pasien. B. Rumusan Masalah Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak-anak di seluruh dunia (WHO, 2007). Indonesia termasuk 10 besar negara dengan kasus kematian anak terbanyak karena pneumonia (R. Black et al., 2010). Berdasarkan laporan bulanan (LB1), Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), batuk bukan pneumonia menduduki peringkat pertama dalam 10 penyakit terbanyak pada tahun 2010-2011. Sedangkan kunjungan kasus pneumonia dalam 2 tahun tersebut menduduki urutan 27 & 35 serta menjadi penyebab kematian utama di Kabupaten Nganjuk. Program MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) merupakan salah satu upaya penting dalam penanganan kasus pneumonia anak. Dikombinasikan dengan rekam medis elektronik, akan sangat berpotensi dalam upaya deteksi dini dan penanganan awal kejadian penyakit, terutama di fasilitas kesehatan primer. Dengan latar belakang tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Solusi kritis apa bagi bidan puskesmas agar mampu memutuskan apakah anak-anak batuk karena pneumonia atau tidak ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengembangkan sistem pendukung keputusan klinik anak batuk untuk meningkatkan akurasi klasifikasi dan terapi pneumonia berbasis MTBS yang dikombinasikan dengan rekam medis elektronik bagi bidan di puskesmas 2. Tujuan Khusus a. Identifikasi kelengkapan data klinis dalam rekam medis elektronik untuk kebutuhan klasifikasi penyakit dalam MTBS. b. Pengembangan sistem pendukung keputusan klinik

anak batuk dalam

rekam medis elektronik untuk meningkatkan akurasi klasifikasi dan terapi pneumonia.

7

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI Sistem ini dapat sebagai masukan dalam mengintegrasikan Sistem Informasi Puskesmas (SIMPUS) dengan program MTBS. 2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk Sistem ini dapat membantu pelaksanaan program MTBS di puskesmas dan jaringannya agar dapat dioptimalkan untuk fungsi surveilans. 3. Manfaat bagi Puskesmas Memberi nilai tambah pada rekam medis elektronik puskesmas yang terintegrasi dengan sistem pendukung keputusan klinik anak batuk berbasis algoritma MTBS untuk meningkatkan akurasi klasifikasi dan terapi anak batuk dan diharapkan mampu menjadi pemicu bagi petugas kesehatan di polindes, pustu, dan puskesmas induk untuk patuh terhadap standar MTBS. 4. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Sebagai bahan referensi dalam penelitian, pengembangan sistem pendukung keputusan klinik. 5. Manfaat bagi Peneliti Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian khususnya bidang sistem pendukung keputusan klinik. 6. Bagi Tenaga kesehatan Memberikan kemudahan dan dukungan dalam pengambilan keputusan klinik khususnya untuk anak batuk, agar dapat mendeteksi dan menangani kasus pneumonia lebih akurat dan cepat sehingga akan mengurangi keparahan dan kematian. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian RME atau SPKK khususnya masalah pneumonia diantaranya adalah: 1. Menurut hasil penelitian Diero et al., 2004 menyatakan bahwa rekam medis elektronik memungkinkan untuk mengakses data secara cepat, sistematis, dan tepat waktu untuk memprediksi dan memandu terapi klinis. Data dari

8

rekam medis elektronik bisa memprediksi pasien HIV yang terinfeksi pneumonia carinii. Namun, indeks yang dihasilkan kurang akurat untuk memungkinkan dokter mengobati pasien secara empiris dengan tidak mengesampingkan bronkoskopi untuk akurasi diagnosis. Namun, jika bronkoskopi tidak tersedia, maka indeks prediktif dapat memberikan informasi signifikan untuk membantu dokter dalam membuat pilihan antibiotik secara empiris. 2. Penelitian oleh Wong et al., 2010 meneliti bahwa anak di bawah 10 tahun memiliki kecenderungan terinfeksi Influenza Like illness (ILI) tetapi tidak terlalu membahayakan. RME dapat mendeteksi secara cepat pergerakan kegawatan kejadian pandemi secara real time.

Penelitian ini akan

memproporsikan kasus ILI dengan penumonia. Gejala pneumonia terjadi dalam waktu yang lama, ketika serangan terjadi barulah pasien akan berkunjung di puskesmas/sarana kesehatan. Penilaian terhadap efektifitas dan kegawatan

faktor

risiko

dalam

penelitian

ini

dimaksudkan

untuk

mengantisipasi meningkatkanya kegawatan kasus. 3. Penelitian pneumonia oleh Wahyono et al., 2008 dengan menggunakan rekam medis elektronik dilakukan dengan maksud untuk mengetahui pola pengobatan infeksi saluran pernapasan akut pasien balita di Puskesmas I Purwareja Klampok Kabupaten Banjarnegara. Data diperoleh secara retrospektif terhadap kartu rekam medis seluruh pasien infeksi saluran pernapasan akut balita di Puskesmas tersebut selama tahun 2004. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif bukan analitik, kemudian dibandingkan dengan standar penatalaksanaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 120 kasus yang terjadi pada balita usia 0 – 59 bulan, seluruhnya terdiagnosis sebagai penderita infeksi saluran pernapasan akut pneumonia. 4. Penelitian Aronsky et al., 2001 meneliti evaluasi komputerisasi SPK yang merupakan kombinasi tehnik jaringan bayesian dan sistem natural language untuk mendiagnosis pasien pneumonia dengan usia lebih dari 18 tahun. SPK menghitung probabilitas penumonia dengan menggunakan informasi dari instansi kesehatan dengan 2 tehnik tersebut. Kombinasi 2 cara tersebut

9

menghasilkan performance yang lebih bagus dalam sebuah SPK. Desain penelitian prospektif, studi klinis. 5. Penelitian Suharyanto, 2011 mengembangkan prototipe sistem pendukung keputusan klinik dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan DBD. Rancangan penelitian dengan pendekatan action research. Pengembangan sistem dengan prototiping menggunakan rule based dengan format “IF THEN ” untuk mendukung pengambilan keputusan. Sistem yang dikembangkan diuji dengan membandingkan hasil output dari tenaga kesehatan dan output dari sistem sesuai 2 guideline (WHO 1997 dan WHO 2009). Pengujian pada 46 tenaga kesehatan dan sampel 108 kasus. Kinerja sistem pada DBD berdasarkan Guideline WHO 1997 adalah 77,78% dan berdasarkan Guidelline WHO 2009 adalah 78,79%. Hasil output sistem dan diagnosis dari tenaga kesehatan tidak terdapat perbedaan yang bermakna dan sistem lebih baik dalam mendiagnosis. Sistem memiliki validitas dan reliabilitas yang baik untuk mendukung pengambilan keputusan klinis mendiagnosis dan penatalaksanaan DBD. 6. Penelitian Harefa, 2010 mengembangkan prototipe sistem pendukung keputusan diagnosis malaria. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan action research untuk mengekplorasi tahap per tahap dari pengembangan prototipe sistem pendukung keputusan diagnosis malaria. Hasil penelitian adalah terciptanya suatu model aplikasi sistem pendukung keputusan diagnosis malaria berbasis komputer yang dirancang dengan bahasa pemograman PHP dan database MySQL. Cara kerja sistem pakar ini yaitu dengan memasukkan gejala-gejala klinis malaria ke dalam sistem pakar, maka data gejala tersebut akan diolah oleh sistem pakar untuk kemudian dihasilkan diagnosis serta saran medis yang berguna untuk membantu petugas kesehatan dalam mengambil keputusan. 7. Roychowdhury et al., 2004 merancang sistem pakar dengan memodelkan pengetahuan dan proses berpikir dokter dalam mendiagnosis pneumonia dan penyakit

kuning.

Fuzzy

Logic

Controller

(FLC)

digunakan

untuk

10

memodelkan proses dan sebuah algoritma genetik membantu memilih sebuah aturan terbaik dari banyak rule base dalam FLC.